Dengkusan napas mewarnai meja makan itu, selagi seorang ART membersihkan tumpahan jus.Naren, Aileen, dan Yara sama-sama berpikir kalau Ervin terlalu antusias kedatangan perempuan cantik di pagi hari."Norak, Kak. Norak!" ledek Yara yang duduk di samping Ervin.For the God's sake, sejak kapan Arla jadi asisten mamanya?Aileen hanya terkekeh sebentar, kemudian bergeser tempat duduk dan membiarkan Arla duduk di antara mamanya dan dirinya. Biasanya seseorang cenderung merasa lebih nyaman jika duduk di samping orang yang dia kenal di dalam sebuah pertemuan yang dikelilingi orang-orang tak dikenal. Meski berniat baik, sesungguhnya Aileen justru seperti sedang menjebak Ervin dan Arla untuk duduk berhadapan.Setengah mati, baik Ervin maupun Arla berusaha menyembunyikan hubungan—lebih tepatnya sejarah—yang pernah terjadi di antara mereka."Asisten mamamu, Vin. Nggak usah dijadiin target juga," tegur papanya saat melihat manik mata Ervin yang bergerak gelisah dan acap kali melirik ke arah Arla
"Pagi."Lily menatap heran pada wanita di hadapannya yang baru saja menyapanya sambil melemparkan senyum. "Arla, kok di sini?"Bukannya apa-apa. Lily tahu persis kalau Ervin tidak pernah membawa mangsanya ke kantor. Dan ia tidak tahu sejauh mana perkembangan hubungan Ervin dan Arla hingga Arla tahu di mana kantor Ervin dan menyambanginya ke kantor.“Kamu mau ketemu Ervin?” Lily memang harus menanyakan tujuan setiap tamu yang berkunjung untuk menemui Ervin—untuk urusan pribadi atau pekerjaan.“Sebenernya aku nggak tau harus ketemu siapa sih. Tapi tadi dari resepsionis, aku diarahkan ke sini setelah aku nunjukin e-mail konfirmasi kedatangan.”“E-mail? Boleh kulihat e-mailnya?”Arla membuka ponselnya dan menunjukkan e-mail yang diterimanya dari akun resmi perusahaan itu.“Oh, aksara.a ini akun e-mail kamu?” Lily masih ingat membaca e-mail itu sehari sebelumnya, perihal penawaran kerja sama dari sebuah coffee shop—dan coffee shop itu adalah milik keluarga Ervin juga. Karena itu, Lily semp
“Mau ngomongin proposal di hotel coba, Ris! Bayangin! Ngapain mesti di hotel?” Arla masih bercerita dengan menggebu kepada Risma di sofa ruang televisi apartemen mereka. “Nyokapnya itu kalem, dan bokapnya juga kayaknya nggak macem-macem. Kenapa punya anak begitu sih?”“Hmm beberapa kerja sama memang dihasilkan dari pertemuan di hotel sih, La. Positive thinking coba.”“Mana bisa aku positive thinking kalo pertemuan itu cuma antara aku sama dia. Aku nanya loh, Lily sekretarisnya ikut apa nggak, tapi katanya nggak. ‘Cuma aku sama kamu.’ Gitu.” Bulu halus di tengkuk Arla meremang saat mengingat Ervin mengucapkannya sambil menatap matanya lekat.“Dan yang lebih parahnya ya, Ris. Dia nyuruh aku buat rahasiain ini dari mamanya. Gila kan!”Risma menahan tawanya melihat rasa frustrasi Arla yang dibalut dengan emosi. Beberapa bulan lalu Arla mengalami hal yang sama, hanya karena menonton berita di mana seorang anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur berkata kalau Labuan Bajo hanya memiliki Ko
Ervin sadar kalau keisengannya hari itu benar-benar di luar batas normalnya, hanya demi mengikuti ide bodoh yang pernah terlontar dari Bastian dan Adit.“Lo mau tau seberapa murahannya seorang cewek? Ajakin ke hotel.”Dan ide itulah yang pertama kali terngiang di otak ketika Arla datang ke kantornya untuk menjelaskan proposal kerja sama antara coffee shop mamanya dengan department store yang dikelolanya.Tidak ada yang tahu kalau Ervin menunggu hampir setengah jam di dalam mobil untuk menguatkan langkahnya.“Ok, just do it, Vin. Jangan cemen!”Ia melangkah pasti menuju sebuah restoran di lantai 3 yang mengusung konsep fine dining dengan menu makanan khas Indonesia.Arla masih belum menghubunginya sementara langkah kakinya telah memasuki restoran. Keraguan mulai membayanginya. Apa mungkin Arla tidak akan datang?Ia mengirim satu pesan untuk memberitahukan meeting point mereka.Selain keraguan, kini rasa insecure mulai menyerangnya. Bagaimana kalau ternyata Arla tidak setertarik itu pad
Ervin masih menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan daftar layanan yang disediakan hotel dan ke mana ia bisa menghubungi jika membutuhkan layanan mereka—fitur otomatis yang langsung nyala begitu card key dimasukkan ke dalam tempatnya di dinding dekat pintu untuk mengaktifkan electricity di dalam kamar.Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara percakapan dari depan pintu. “Lagi apa Arla? Nelepon orang? Atau ada orang yang ngajak dia ngobrol?”Ah, mungkin hanya perasaannya karena beberapa detik kemudian hanya hening. Tapi tiba-tiba terdengar lagi Arla bicara dan kali ini nada bicaranya lebih naik daripada sebelumnya.Atau itu hanya akal-akalan Arla untuk menarik perhatiannya?Ervin mengedikkan bahu, berniat mengambil minuman dingin yang biasanya disediakan di dalam kulkas mini yang berada di kabinet panjang yang terletak di bawah televisi. Tapi lagi-lagi, Ervin mendengar suara Arla dan seorang laki-laki. Kali ini sepertinya ia tidak berhalusinasi.Berjalan mendekat ke
“Sumpah lo seruwet ini cuma gara-gara cewek?” Adit melempar tisu bekasnya mengusap bibir ke arah Ervin yang baru saja selesai menceritakan kejadian di hotel tempo hari.Malam itu, seperti biasa mereka bertiga berkumpul di Artco Café—café milik Bastian. Namun karena kondisi Jakarta yang sedang diguyur hujan deras, mereka tidak bisa menikmati malam dari rooftop café itu. Terpaksa mereka menggunakan ruang kerja Bastian untuk berkumpul daripada duduk bersama pelanggan lain dengan risiko menjadi pusat perhatian.“Gue cuma merasa bersalah aja. Coba kalo lo di posisi gue, cewek itu hampir diseret laki-laki tua bangka gara-gara gue,” bantah Ervin. “Gara-gara ide gila kalian tuh!”Adit dan Bastian hanya terkekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepala.Silakan tanya kepada mereka, siapa yang paling suka main-main dengan wanita? Pasti jawabannya adalah Ervin. Jumlah mantan pacar mereka bahkan tidak ada setengahnya dari jumlah mantan Ervin. Tapi tanyakan juga kepada mereka, siapa yang tidak pern
Lantunan lagu Here Without You dari 3 Doors Down memenuhi ruangan sempit di dalam mobilnya. Ringtone itu sudah terpasang sejak ia berganti ponsel. Dia tergila-gila dengan suara berat Brad Arnold—vocalis dari band rock asal America tahun 90’an itu. Kalau orang mendengar ringtone ponselnya, ia bisa saja langsung dihakimi sebagai wanita yang sedang patah hati dan tidak bisa move on. Tapi Arla sama sekali tidak peduli.Sambil tetap fokus pada kemudinya, tangan Arla meraih tasnya yang ia letakkan di kursi penumpang depan, lantas mengangkat telepon entah dari siapa pun itu. Ia sama sekali tidak memperhatikan nama si penelepon.“Halo.”“Arla.”Seketika punggungnya menegak meskipun lawan bicaranya tidak bisa melihat dirinya. Iya, sehormat itu Arla padanya. Tapi ia pasti mati kutu kalau wanita itu memintanya datang lagi ke rumah. Oh please, jangan permintaan yang satu itu. “Iya, Bu?”“Kamu nggak usah ke kantor kita, langsung ke kantornya Ervin aja.”Ya Tuhan! Ini sebelas dua belas namanya.“K
“Aww!” Ervin mendesis pelan, menahan kakinya yang sakit karena baru saja diinjak dengan heels oleh Lily.“Apa sih?” tanya Ervin tanpa suara sambil menatap kesal ke arah Lily.“Sepertinya Pak Ervin masih perlu waktu untuk memutuskan cabang yang mana yang paling strategis. Iya kan, Pak?”“Hm? Iya. Kirim ke saya data yang biasa dikumpulin sama tim research per semesternya. Nanti saya lihat lagi.”Meeting siang itu pun Ervin bubarkan karena kondisinya yang agak kurang normal—kondisi otaknya, bukan kondisi tubuhnya.Begitu semua orang keluar dari ruang rapat, Lily mengomelinya habis-habisan. “Vin, serius cuma fisikmu doang yang duduk sebagai pimpinan rapat. Tapi pikiranmu sama sekali nggak ada di rapat. Apa yang anak-anak sampein nggak kamu dengerin, setiap mereka nanya keputusanmu, kamu malah bengong.”Ervin menyugar rambutnya dengan frustasi sembari menyandarkan dirinya ke punggung kursi.“Kenapa sih?”Ervin menggeleng.“Ada masalah?”Ervin menggeleng lagi.“Nggak bisa berhenti mikirin A