“Mau ngomongin proposal di hotel coba, Ris! Bayangin! Ngapain mesti di hotel?” Arla masih bercerita dengan menggebu kepada Risma di sofa ruang televisi apartemen mereka. “Nyokapnya itu kalem, dan bokapnya juga kayaknya nggak macem-macem. Kenapa punya anak begitu sih?”“Hmm beberapa kerja sama memang dihasilkan dari pertemuan di hotel sih, La. Positive thinking coba.”“Mana bisa aku positive thinking kalo pertemuan itu cuma antara aku sama dia. Aku nanya loh, Lily sekretarisnya ikut apa nggak, tapi katanya nggak. ‘Cuma aku sama kamu.’ Gitu.” Bulu halus di tengkuk Arla meremang saat mengingat Ervin mengucapkannya sambil menatap matanya lekat.“Dan yang lebih parahnya ya, Ris. Dia nyuruh aku buat rahasiain ini dari mamanya. Gila kan!”Risma menahan tawanya melihat rasa frustrasi Arla yang dibalut dengan emosi. Beberapa bulan lalu Arla mengalami hal yang sama, hanya karena menonton berita di mana seorang anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur berkata kalau Labuan Bajo hanya memiliki Ko
Ervin sadar kalau keisengannya hari itu benar-benar di luar batas normalnya, hanya demi mengikuti ide bodoh yang pernah terlontar dari Bastian dan Adit.“Lo mau tau seberapa murahannya seorang cewek? Ajakin ke hotel.”Dan ide itulah yang pertama kali terngiang di otak ketika Arla datang ke kantornya untuk menjelaskan proposal kerja sama antara coffee shop mamanya dengan department store yang dikelolanya.Tidak ada yang tahu kalau Ervin menunggu hampir setengah jam di dalam mobil untuk menguatkan langkahnya.“Ok, just do it, Vin. Jangan cemen!”Ia melangkah pasti menuju sebuah restoran di lantai 3 yang mengusung konsep fine dining dengan menu makanan khas Indonesia.Arla masih belum menghubunginya sementara langkah kakinya telah memasuki restoran. Keraguan mulai membayanginya. Apa mungkin Arla tidak akan datang?Ia mengirim satu pesan untuk memberitahukan meeting point mereka.Selain keraguan, kini rasa insecure mulai menyerangnya. Bagaimana kalau ternyata Arla tidak setertarik itu pad
Ervin masih menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan daftar layanan yang disediakan hotel dan ke mana ia bisa menghubungi jika membutuhkan layanan mereka—fitur otomatis yang langsung nyala begitu card key dimasukkan ke dalam tempatnya di dinding dekat pintu untuk mengaktifkan electricity di dalam kamar.Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara percakapan dari depan pintu. “Lagi apa Arla? Nelepon orang? Atau ada orang yang ngajak dia ngobrol?”Ah, mungkin hanya perasaannya karena beberapa detik kemudian hanya hening. Tapi tiba-tiba terdengar lagi Arla bicara dan kali ini nada bicaranya lebih naik daripada sebelumnya.Atau itu hanya akal-akalan Arla untuk menarik perhatiannya?Ervin mengedikkan bahu, berniat mengambil minuman dingin yang biasanya disediakan di dalam kulkas mini yang berada di kabinet panjang yang terletak di bawah televisi. Tapi lagi-lagi, Ervin mendengar suara Arla dan seorang laki-laki. Kali ini sepertinya ia tidak berhalusinasi.Berjalan mendekat ke
“Sumpah lo seruwet ini cuma gara-gara cewek?” Adit melempar tisu bekasnya mengusap bibir ke arah Ervin yang baru saja selesai menceritakan kejadian di hotel tempo hari.Malam itu, seperti biasa mereka bertiga berkumpul di Artco Café—café milik Bastian. Namun karena kondisi Jakarta yang sedang diguyur hujan deras, mereka tidak bisa menikmati malam dari rooftop café itu. Terpaksa mereka menggunakan ruang kerja Bastian untuk berkumpul daripada duduk bersama pelanggan lain dengan risiko menjadi pusat perhatian.“Gue cuma merasa bersalah aja. Coba kalo lo di posisi gue, cewek itu hampir diseret laki-laki tua bangka gara-gara gue,” bantah Ervin. “Gara-gara ide gila kalian tuh!”Adit dan Bastian hanya terkekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepala.Silakan tanya kepada mereka, siapa yang paling suka main-main dengan wanita? Pasti jawabannya adalah Ervin. Jumlah mantan pacar mereka bahkan tidak ada setengahnya dari jumlah mantan Ervin. Tapi tanyakan juga kepada mereka, siapa yang tidak pern
Lantunan lagu Here Without You dari 3 Doors Down memenuhi ruangan sempit di dalam mobilnya. Ringtone itu sudah terpasang sejak ia berganti ponsel. Dia tergila-gila dengan suara berat Brad Arnold—vocalis dari band rock asal America tahun 90’an itu. Kalau orang mendengar ringtone ponselnya, ia bisa saja langsung dihakimi sebagai wanita yang sedang patah hati dan tidak bisa move on. Tapi Arla sama sekali tidak peduli.Sambil tetap fokus pada kemudinya, tangan Arla meraih tasnya yang ia letakkan di kursi penumpang depan, lantas mengangkat telepon entah dari siapa pun itu. Ia sama sekali tidak memperhatikan nama si penelepon.“Halo.”“Arla.”Seketika punggungnya menegak meskipun lawan bicaranya tidak bisa melihat dirinya. Iya, sehormat itu Arla padanya. Tapi ia pasti mati kutu kalau wanita itu memintanya datang lagi ke rumah. Oh please, jangan permintaan yang satu itu. “Iya, Bu?”“Kamu nggak usah ke kantor kita, langsung ke kantornya Ervin aja.”Ya Tuhan! Ini sebelas dua belas namanya.“K
“Aww!” Ervin mendesis pelan, menahan kakinya yang sakit karena baru saja diinjak dengan heels oleh Lily.“Apa sih?” tanya Ervin tanpa suara sambil menatap kesal ke arah Lily.“Sepertinya Pak Ervin masih perlu waktu untuk memutuskan cabang yang mana yang paling strategis. Iya kan, Pak?”“Hm? Iya. Kirim ke saya data yang biasa dikumpulin sama tim research per semesternya. Nanti saya lihat lagi.”Meeting siang itu pun Ervin bubarkan karena kondisinya yang agak kurang normal—kondisi otaknya, bukan kondisi tubuhnya.Begitu semua orang keluar dari ruang rapat, Lily mengomelinya habis-habisan. “Vin, serius cuma fisikmu doang yang duduk sebagai pimpinan rapat. Tapi pikiranmu sama sekali nggak ada di rapat. Apa yang anak-anak sampein nggak kamu dengerin, setiap mereka nanya keputusanmu, kamu malah bengong.”Ervin menyugar rambutnya dengan frustasi sembari menyandarkan dirinya ke punggung kursi.“Kenapa sih?”Ervin menggeleng.“Ada masalah?”Ervin menggeleng lagi.“Nggak bisa berhenti mikirin A
“Sekarang dia ngajak aku ke Puncak Bogor, Ris. Aku curiga kayaknya dia maniak deh.”“Hush! Sembarangan.”“Ya apa coba namanya, abis ngajak ke hotel, trus ngajak ke Puncak.”Puncak Bogor memang indah, banyak orang datang ke sana karena suasana yang dingin dan pemandangan alam yang memesona. Tapi beberapa orang datang ke sana dengan niat lain—seperti memadu kasih untuk mereka yang bukan merupakan pasangan sah.“Positif thinking dikit, La. Kali dia mau ngajak makan sate.”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas meskipun Risma tidak bisa melihatnya karena ia memang langsung menghubungi Risma setelah berhasil kabur dari Ervin yang masuk ke dalam ruang kerja atasannya. “Kayak nggak ada sate aja di Jakarta.”“Trus gimana? Kamu berani? Setelah apa yang pernah dia lakukan di hotel waktu itu.”“Hmmm, nggak tau ah, aku nanti beli pepper spray dulu kali ya.”Risma tergelak mendengar penuturan Arla. Tapi wanita seperti Arla memang seharusnya membawa benda-benda untuk melindungi diri. Sudah ta
“Tu vas bien Mom? Je vais travailler si tu vas vraiment bien.” (Mom beneran nggak apa-apa? Aku berangkat kerja kalo Mom udah membaik)“Oui, retourne juste au travail.” (Iya, berangkat kerja sana)“Bu, nitip Mom ya.” Arla berpesan singkat kepada seorang wanita paruh baya yang sudah lama membantu mengurus rumah sekaligus menemani mamanya di siang hari, yang biasa dipanggilnya ‘Ibu’.Harusnya Arla tidak perlu terlalu khawatir karena kondisi mamanya memang sudah membaik pasca tekanan darah rendah yang sempat membuatnya sering pusing beberapa hari ini. Namun setelah melihat apa yang dilakukan mamanya semalam—menatap sendu sambil terisak memandang foto laki-laki penyumbang benih empat orang wanita di rumah itu—Arla tidak bisa untuk tidak merasa khawatir.“Bu, beneran, kalo Mom mulai pusing-pusing lagi langsung kabarin aku ya. Mom pasti ngerahasiain dari anak-anaknya.”“Iya, Neng. Nanti Ibu kabarin kalau Nyonya kenapa-kenapa. Ibu udah bawa baju buat nginep sini kok. Neng Alice katanya nyampe