“Gimana keadaan Mom?”“Tadi pagi sih udah nggak pusing, makanya Mom nyuruh aku berangkat kerja aja. Ibu juga bakalan nginep di rumah hari ini.”Pemandangan dua wanita yang duduk berhadapan itu berkali-kali membuat orang menoleh ke arah mereka. Apalagi alasannya kalau bukan karena tampang mereka yang berbeda dari orang Indonesia pada umumnya.Sebenarnya kalau hanya sepintas lewat, Arla masih terlihat seperti asli berdarah Indonesia, hanya mata hazel, rambut coklat dan hidungnya yang membuatnya seperti blasteran. Tapi kalau diperhatikan lebih teliti, Arla memang terlihat punya darah campuran. Sementara Abiel, sepertinya mengambil 80% gen dari mamanya.Siang itu, Abiel mengajak Arla bertemu karena kebetulan Abiel sedang ada acara di dekat tempat Arla bekerja. Arla memilih mall yang dekat dengan tempat kerjanya daripada mengajak Abiel ke coffee shop Amigos yang berada di lantai bawah kantornya.“Kamu masih aja main-main sama laki-laki, La?”“Aku bukannya main-main. Aku tertarik, pacaran,
Arla mengerjap, memperhatikan keadaan jalan yang mereka lalui. Tidak terlalu lebar walau masih cukup untuk dua kendaraan roda empat. “Vin, ini mobilmu nggak apa-apa ke daerah begini? Kalo kesenggol kendaraan lain gimana?”“Kamu nggak mikir kalo aku nggak punya asuransi buat mobil ini kan?” Senyum Ervin mengembang. Dari sekian banyak hal yang diajarkan papanya, kenapa juga ia bisa mengingat kalimat ini? Ada untungnya ia mendengarkan cerita picisan papanya saat dulu mendekati mamanya.“Kalo kenapa-kenapa jangan minta ganti rugi ke aku ya.”Ervin hanya terkekeh geli melihat raut khawatir di wajar Arla. Mungkin kekhawatiran wanita itu sudah menumpuk. Khawatir dibawa ke tempat aneh-aneh, khawatir hanya berdua, khawatir mobil itu rusak, dan mungkin kekhawatiran lainnya yang Ervin belum tahu.“Iya. Pepper spray bawa?”Arla menepuk-nepuk kantung jaketnya.Kembali Ervin tergelak. Hanya Arla—wanita yang jalan dengannya sambil membawa pepper spray.“Ervin!” Tiba-tiba Arla menegakkan duduknya kar
“Vin, laper.” Kalimat itu yang pertama kali terucap dari Arla ketika mereka menginjakkan kaki di Pulau Harapan—salah satu pulau di Kepulauan Seribu.Setelah Arla mengabaikan cemilan yang dipesannya sebelum makan siang, melupakan makan siang, dan menempuh perjalanan empat jam tanpa mengunyah apa pun, perutnya mulai terasa berontak. Baguslah, selera makannya telah kembali meskipun rasa sakit hatinya masih setia bercokol.“Hmmm … kamu tadi siang belum makan ya?”Arla menggeleng.“Sorry, aku nggak kepikiran buat sedia makanan selama perjalanan tadi. Kita mampir ke warung dulu deh beli cemilan, jaga-jaga kalo yang punya rumah belum masakin kita.”Masih banyak pertanyaan yang ingin disampaikan Arla pada Ervin tapi ia menutup mulutnya. Bisa semakin lapar dirinya kalau terus mengeluarkan tenaga untuk bertanya dan berpikir.Dari tempat kapal bersandar, mereka hanya perlu berjalan lurus hingga menemui perempatan dan berbelok ke kiri. Ervin berbelok ke toko kelontong yang ia temui di kanan jalan
“Player juga bisa tobat kalo udah ketemu pawangnya, La.”“Mohon maaf, itu player apa buaya?”Ervin tersenyum saja mendapati kedoknya yang sudah terbongkar. “Siapa yang bilang aku player?”“Pertama, aku tau trik kamu waktu numpahin minuman ke aku. Itu … klasik banget, Vin. Mungkin kamu harus nyari trik yang lebih kekinian. Kedua, aku tau kamu nemuin cewek lain waktu kita nggak sengaja ketemu di mall dan Lily ngajak aku makan siang bareng. Ketiga, Nathan pernah ngirim foto kamu sama cewek lain lagi jalan di mall. Keempat, kamu bisa nge-treat cewek. Udah cukup belum bukti yang kubeberkan?”Karena salah tingkah dan tidak ingin melanjutkan percakapan yang semakin membuka kedoknya, ia memilih mengajak Arla masuk. “Udah malem. Masuk yuk, La. Ntar masuk angin lagi. Anginnya makin berasa.”“Jawab dulu, Vin. Udah cukup belum bukti-buktinya?” goda Arla sambil meraih dua gelas bekas kopi yang kini dalam keadaan kosong, kemudian meletakkannya di dekat pintu bersama dengan piring-piring yang tadi m
Arla membuka matanya kala mendengar kokok ayam bersahutan. “Woah! Ini di pulau kenapa banyak ayam?” gumam Arla yang masih berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya.Ia sudah sadar, tapi matanya begitu berat untuk dibuka. Wajar, karena ia menangis entah berapa lama semalam.Bangkit dari kasur, Arla membuka pintu kamar dan mendapati Ervin yang masih memejamkan mata tapi duduk tegak di kursi plastik dekat televisi. Rambutnya masih acak-acakan, jelas Ervin sama sekali tidak merapikan diri sebelum keluar kamar.‘Dasar! Kalo emang ganteng, mau acak-acakan kayak apa juga tetep ganteng.’“Jangan ngelihatin terus, La. Nanti naksir.”Arla berdecak pelan. “Kamu udah bangun beneran belum sih? Ngapain begitu?”“Ssst! Aku lagi ngumpulin nyawa.” Sebenarnya otak Ervin sedang berputar. Tadi pagi mamanya menghubunginya, menanyakan keberadaannya. Alasan menginap di rumah Bastian langsung disanggah mamanya karena kakaknya ternyata makan malam di café Bastian dan saat bertemu dengan Bastian, sahabat laknatny
“Menurutmu kalo aku punya pacar, kamu bakal selamat nggak nanti begitu kita balik?”“Pasti nggak ya. Mana ada cowok yang rela ceweknya pergi sama cowok lain, apalagi kalo ceweknya kayak kamu. Makanya aku nanya.” Ervin terkekeh geli. Sebenarnya ia tidak takut, ia sama sekali tidak pernah ragu dengan bekal beladiri yang dimilikinya. Tapi akan terasa sangat kurang ajar kalau ia membawa pacar orang pergi ke tempat yang asing, hanya berdua. Ia juga tidak akan terima kalau pacarnya dibawa lari orang dengan cara seperti itu.Tapi di luar itu, Ervin hanya ingin tahu status Arla sebagai pertimbangan utamanya untuk mendekati gadis itu. Walau itu artinya ia harus menghianati hasil sayembaranya kali ini.Harusnya … ia memilih Linda—setelah mengeleminasi Ema, Priscilia, Rista dan Arla—terlepas dari kebiasaan Linda yang sering bergelayut manja, tapi memang tidak ada pilihan lainnya. Sialnya, nama Linda tidak lagi menggiurkan setelah ia menghabiskan waktu bersama Arla, dan nama Arla justru menjadi k
Arla memegang dadanya, tepat di depan jantungnya, merasakan jantungnya yang berdebar. Hal yang tak ingin diakuinya. "Aku baru kali ini ditembak cowok kayak diajakin makan di kantin."Sekarang ganti Ervin yang mengusap wajahnya dengan frustrasi. Kenapa ajakan untuk jadian tiba-tiba keluar dari mulutnya?"Kamu mau kutembak pas snorkeling nggak? Itu udah cukup romantis belum buat kamu?" Astaga! Sepertinya Ervin sedang tidak waras. Otak, hati, dan mulutnya sama sekali tidak ada yang sinkron.Bukannya menganggap omongan Ervin serius, tawa berderai justru keluar dari mulut Arla."Jangan gila deh, Vin. Udah, begini aja lebih enak. Temenan. Atau atasan bawahan. Gimana pun juga kamu anak atasanku, Vin.""Atasan bawahan itu saling melengkapi, La. Kamu bisa disangka nggak waras kalo cuma make atasan doang, dan kamu bisa disangka gila kalo cuma pake bawahan doang."Ok, sekarang Ervin menggunakan perumpamaan pakaian, entah nanti apalagi yang keluar dari mulut manisnya."Udah, udah, Vin. Lama-lama
“La.”“Nggak, Vin.”Ervin tergelak mendengar penolakan Arla yang terus-menerus. “Berarti kita jadian dong.”“Hah?”“Aku tadinya mau nanya, setelah kamu nolak aku seharian ini, kali ini kamu nggak akan nolak lagi kan? Kamu jawab nggak, berarti nggak nolak kan?”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas. Tidak pernah ada seorang pun lelaki yang pernah mengajaknya menjalin hubungan dengan cara se-nyeleneh Ervin.“Mau ngopi sambil duduk di teras lagi?” tanya Ervin usai menyelesaikan makan malam yang berlangsung cepat karena perut mereka memang sudah meronta sejak mereka menikmati sunset sore tadi.“Boleh.”Arla berjalan menuju kamarnya untuk mengambil jaket selagi Ervin menyeduh dua gelas kopi sachet. Kalau dipikir-pikir, Arla kira Ervin alergi kopi sachet. Anak pemilik coffee shop yang memiliki puluhan cabang, sekaligus keturunan keluarga Candra penguasa pasar retail, industri pengolahan makanan, konstruksi, perkapalan, hotel, ekspor impor, entah berapa banyak lagi sektor bisnis yang
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal