Arla mengerjap, memperhatikan keadaan jalan yang mereka lalui. Tidak terlalu lebar walau masih cukup untuk dua kendaraan roda empat. “Vin, ini mobilmu nggak apa-apa ke daerah begini? Kalo kesenggol kendaraan lain gimana?”“Kamu nggak mikir kalo aku nggak punya asuransi buat mobil ini kan?” Senyum Ervin mengembang. Dari sekian banyak hal yang diajarkan papanya, kenapa juga ia bisa mengingat kalimat ini? Ada untungnya ia mendengarkan cerita picisan papanya saat dulu mendekati mamanya.“Kalo kenapa-kenapa jangan minta ganti rugi ke aku ya.”Ervin hanya terkekeh geli melihat raut khawatir di wajar Arla. Mungkin kekhawatiran wanita itu sudah menumpuk. Khawatir dibawa ke tempat aneh-aneh, khawatir hanya berdua, khawatir mobil itu rusak, dan mungkin kekhawatiran lainnya yang Ervin belum tahu.“Iya. Pepper spray bawa?”Arla menepuk-nepuk kantung jaketnya.Kembali Ervin tergelak. Hanya Arla—wanita yang jalan dengannya sambil membawa pepper spray.“Ervin!” Tiba-tiba Arla menegakkan duduknya kar
“Vin, laper.” Kalimat itu yang pertama kali terucap dari Arla ketika mereka menginjakkan kaki di Pulau Harapan—salah satu pulau di Kepulauan Seribu.Setelah Arla mengabaikan cemilan yang dipesannya sebelum makan siang, melupakan makan siang, dan menempuh perjalanan empat jam tanpa mengunyah apa pun, perutnya mulai terasa berontak. Baguslah, selera makannya telah kembali meskipun rasa sakit hatinya masih setia bercokol.“Hmmm … kamu tadi siang belum makan ya?”Arla menggeleng.“Sorry, aku nggak kepikiran buat sedia makanan selama perjalanan tadi. Kita mampir ke warung dulu deh beli cemilan, jaga-jaga kalo yang punya rumah belum masakin kita.”Masih banyak pertanyaan yang ingin disampaikan Arla pada Ervin tapi ia menutup mulutnya. Bisa semakin lapar dirinya kalau terus mengeluarkan tenaga untuk bertanya dan berpikir.Dari tempat kapal bersandar, mereka hanya perlu berjalan lurus hingga menemui perempatan dan berbelok ke kiri. Ervin berbelok ke toko kelontong yang ia temui di kanan jalan
“Player juga bisa tobat kalo udah ketemu pawangnya, La.”“Mohon maaf, itu player apa buaya?”Ervin tersenyum saja mendapati kedoknya yang sudah terbongkar. “Siapa yang bilang aku player?”“Pertama, aku tau trik kamu waktu numpahin minuman ke aku. Itu … klasik banget, Vin. Mungkin kamu harus nyari trik yang lebih kekinian. Kedua, aku tau kamu nemuin cewek lain waktu kita nggak sengaja ketemu di mall dan Lily ngajak aku makan siang bareng. Ketiga, Nathan pernah ngirim foto kamu sama cewek lain lagi jalan di mall. Keempat, kamu bisa nge-treat cewek. Udah cukup belum bukti yang kubeberkan?”Karena salah tingkah dan tidak ingin melanjutkan percakapan yang semakin membuka kedoknya, ia memilih mengajak Arla masuk. “Udah malem. Masuk yuk, La. Ntar masuk angin lagi. Anginnya makin berasa.”“Jawab dulu, Vin. Udah cukup belum bukti-buktinya?” goda Arla sambil meraih dua gelas bekas kopi yang kini dalam keadaan kosong, kemudian meletakkannya di dekat pintu bersama dengan piring-piring yang tadi m
Arla membuka matanya kala mendengar kokok ayam bersahutan. “Woah! Ini di pulau kenapa banyak ayam?” gumam Arla yang masih berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya.Ia sudah sadar, tapi matanya begitu berat untuk dibuka. Wajar, karena ia menangis entah berapa lama semalam.Bangkit dari kasur, Arla membuka pintu kamar dan mendapati Ervin yang masih memejamkan mata tapi duduk tegak di kursi plastik dekat televisi. Rambutnya masih acak-acakan, jelas Ervin sama sekali tidak merapikan diri sebelum keluar kamar.‘Dasar! Kalo emang ganteng, mau acak-acakan kayak apa juga tetep ganteng.’“Jangan ngelihatin terus, La. Nanti naksir.”Arla berdecak pelan. “Kamu udah bangun beneran belum sih? Ngapain begitu?”“Ssst! Aku lagi ngumpulin nyawa.” Sebenarnya otak Ervin sedang berputar. Tadi pagi mamanya menghubunginya, menanyakan keberadaannya. Alasan menginap di rumah Bastian langsung disanggah mamanya karena kakaknya ternyata makan malam di café Bastian dan saat bertemu dengan Bastian, sahabat laknatny
“Menurutmu kalo aku punya pacar, kamu bakal selamat nggak nanti begitu kita balik?”“Pasti nggak ya. Mana ada cowok yang rela ceweknya pergi sama cowok lain, apalagi kalo ceweknya kayak kamu. Makanya aku nanya.” Ervin terkekeh geli. Sebenarnya ia tidak takut, ia sama sekali tidak pernah ragu dengan bekal beladiri yang dimilikinya. Tapi akan terasa sangat kurang ajar kalau ia membawa pacar orang pergi ke tempat yang asing, hanya berdua. Ia juga tidak akan terima kalau pacarnya dibawa lari orang dengan cara seperti itu.Tapi di luar itu, Ervin hanya ingin tahu status Arla sebagai pertimbangan utamanya untuk mendekati gadis itu. Walau itu artinya ia harus menghianati hasil sayembaranya kali ini.Harusnya … ia memilih Linda—setelah mengeleminasi Ema, Priscilia, Rista dan Arla—terlepas dari kebiasaan Linda yang sering bergelayut manja, tapi memang tidak ada pilihan lainnya. Sialnya, nama Linda tidak lagi menggiurkan setelah ia menghabiskan waktu bersama Arla, dan nama Arla justru menjadi k
Arla memegang dadanya, tepat di depan jantungnya, merasakan jantungnya yang berdebar. Hal yang tak ingin diakuinya. "Aku baru kali ini ditembak cowok kayak diajakin makan di kantin."Sekarang ganti Ervin yang mengusap wajahnya dengan frustrasi. Kenapa ajakan untuk jadian tiba-tiba keluar dari mulutnya?"Kamu mau kutembak pas snorkeling nggak? Itu udah cukup romantis belum buat kamu?" Astaga! Sepertinya Ervin sedang tidak waras. Otak, hati, dan mulutnya sama sekali tidak ada yang sinkron.Bukannya menganggap omongan Ervin serius, tawa berderai justru keluar dari mulut Arla."Jangan gila deh, Vin. Udah, begini aja lebih enak. Temenan. Atau atasan bawahan. Gimana pun juga kamu anak atasanku, Vin.""Atasan bawahan itu saling melengkapi, La. Kamu bisa disangka nggak waras kalo cuma make atasan doang, dan kamu bisa disangka gila kalo cuma pake bawahan doang."Ok, sekarang Ervin menggunakan perumpamaan pakaian, entah nanti apalagi yang keluar dari mulut manisnya."Udah, udah, Vin. Lama-lama
“La.”“Nggak, Vin.”Ervin tergelak mendengar penolakan Arla yang terus-menerus. “Berarti kita jadian dong.”“Hah?”“Aku tadinya mau nanya, setelah kamu nolak aku seharian ini, kali ini kamu nggak akan nolak lagi kan? Kamu jawab nggak, berarti nggak nolak kan?”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas. Tidak pernah ada seorang pun lelaki yang pernah mengajaknya menjalin hubungan dengan cara se-nyeleneh Ervin.“Mau ngopi sambil duduk di teras lagi?” tanya Ervin usai menyelesaikan makan malam yang berlangsung cepat karena perut mereka memang sudah meronta sejak mereka menikmati sunset sore tadi.“Boleh.”Arla berjalan menuju kamarnya untuk mengambil jaket selagi Ervin menyeduh dua gelas kopi sachet. Kalau dipikir-pikir, Arla kira Ervin alergi kopi sachet. Anak pemilik coffee shop yang memiliki puluhan cabang, sekaligus keturunan keluarga Candra penguasa pasar retail, industri pengolahan makanan, konstruksi, perkapalan, hotel, ekspor impor, entah berapa banyak lagi sektor bisnis yang
Ervin berjalan mengendap dari mobil hingga menuju ke halaman samping rumahnya.Waktu sudah menginjak pukul dua siang, ia baru saja mengantar Arla kembali ke apartemen. Pelarian mereka sudah berakhir, meskipun Ervin belum berhasil juga untuk menjadikan Arla kekasihnya, tetapi dua hari dua malam kebersamaan mereka membuat hubungan mereka maju lebih cepat bila dibandingkan hubungan Ervin dengan para wanitanya yang terdahulu.“Bi, Bi,” panggil Ervin pelan kepada Bi Ijah—salah satu ART di rumahnya—yang melintas di dekat ruang keluarga. “Papa mana, Bi?”“Keluar habis makan siang, Mas. Pergi sama Pak Rama.”“Kalo Mama?”“Di kamar, Mas.”Ervin meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebagai kode kepada Bi Ijah untuk merahasiakan kepulangannya.Beruntung kamarnya berada di lantai 2, terpisah dari kamar orang tuanya yang berada di lantai 1 hingga usaha Ervin agar mamanya tidak memergokinya sukses besar. Kini ia berada di dalam kamar tidurnya yang ditinggalkan selama beberapa hari demi Arla.Ah, b