"Kalian ada hubungan apa? Mau cerita ke Mama biar Mama nggak salah paham?”Di usia seperti Ervin, harusnya Rhea tidak lagi menanyakan hal seperti itu, tapi memang kelakuan Ervin yang masih belum dewasa membuat Rhea seperti berhadapan dengan bocah SMA yang baru puber.Dewasa baginya tidaklah dilihat dari umur, tapi dari sikap. Rhea bisa mengacungkan jempol untuk tanggung jawab Ervin di perusahaan, tapi untuk sikap main-main perempuannya, rasanya semua anggota keluarga sudah cukup sering mengingatkan Ervin untuk menghentikannya, tapi Ervin belum juga berubah.Mungkin belum ada wanita yang bisa membuat Ervin bertekuk lutut dan menghentikan kebiasaan itu. Rhea selalu mencoba berpikir positif karena suaminya dulu pun seperti itu.“Jangan pecat Arla ya, Ma. Ini nggak kayak yang Mama pikir.”“Orang Mama nggak mikir apa-apa,” jawab Rhea sambil menggelengkan kepala.“Sebenernya aku kenal Arla sebelum Mama bawa Arla ke sini. Dan ya … to be honest, aku memang sempet mau deketin dia.”Rhea menghe
“Selangkah lagi menuju kebebasan!” seru Ervin pada kedua sahabatnya yang malam itu berkumpul di apartemen Adit.“Akhirnya … bisa keluar dari rumah tanpa izin ya, Vin? Bisa bawa cewek ke rumah sendiri—” Dan sebuah cushion sofa melayang ke arah Adit karena ucapannya.“Jangan sampe lo ngomong begini pas ada bokap atau nyokap gue. Bisa otomatis dicabut masa percobaan tiga bulan ini. Lagian nggak ada niatan gue untuk bawa cewek ke rumah. Rumah itu bakalan jadi tempat yang sakral, yang boleh dateng cuma keluarga gue sama calon istri gue nanti.”“Njir! Kita nggak boleh main ke rumah lo?” Bastian mendelik kesal. Café-nya, rumahnya, lalu apartemen Adit, semuanya sering dijadikan tempat mereka berkumpul, sekarang berani-beraninya Ervin mencoret mereka dari daftar tamu rumahnya.“Hmm … boleh lah, jangan sering-sering tapi.”“Bangke! Lagian kayak ada calon istri aja sok-sokan yang boleh dateng cuma keluarga sama calon istri.”Ervin terdiam mendengar umpatan Adit. Bukan karena ia tersinggung, tapi
"Iya kan, Mas? Ervin nggak pernah seimpulsif itu kan sebelumnya sama cewek?" Sambil masih memegang berkas budgeting coffee shop yang akan dibuka di beberapa daerah di Sumatera, Rhea duduk di samping suaminya dengan satu kaki dilipat di atas sofa dan memiringkan badannya agar bisa berhadapan langsung dengan suaminya."Kok baru bahas sekarang sih, Yang?""Aku diam-diam merhatiin Arla dari kemaren, pengen mastiin aja. Tapi Arla kelihatan biasa, nggak terganggu atau grogi gitu kalo aku nyebut nama Ervin. Beda banget sama Ervin kalo aku lagi nyebut nama Arla.""Terus kalo Ervin emang suka sama Arla kenapa? Kamu nggak setuju?""Bukan gitu, aku nggak mau kehilangan asisten kayak Arla. Nanti kalo Ervin main-main terus Arla resign gimana?"Naren menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu nggak mikirin anak kita, malah mikirin asistenmu?""Maaas, Ervin udah umur segini. Udah waktunya dia serius nata hidupnya. Aku nggak ngomong tentang pekerjaan atau materi ya. Aku ngomongin tentang rumah tangga. Sam
Belum sempat Arla menjawab, suara vokal Brad Arnold membuyarkan suasanya tegang di dalam mobil.Arla bergegas mengangkat telepon dari seseorang, sementara Ervin masih menatap Arla, berharap Arla segera menyelesaikan sambungan telepon itu.“Ya, Ris?”“…”“Ya udah kalo nggak ada, pilihin yang lain aja.”“…”“Jangan yang kismis ya, yang coklat atau keju aja.”“…”Arla terkekeh. Ervin berusaha memperluas kesabarannya. Entah apa yang dibicarakan Arla dengan seseorang di sambungan telepon itu, sepertinya tentang makanan. Dan Arla dengan santainya terus meladeni siapa pun itu, mengabaikan Ervin yang detak jantungnya belum juga kembali normal.Tiba-tiba Ervin terkesiap saat Arla menepuk pelan tangannya sambil menunjuk lampu traffic light yang berubah menjadi hijau. Tak lama kemudian suara bel bersahut-sahutan keluar dari pengemudi di belakangnya. Ervin terpaksa melajukan mobilnya meskipun belum mendapatkan apa yang ingin didengarnya.Shit! Apartemen Arla hanya tinggal berjarak kurang dari ser
“Vin.” Arla meletakkan telapak tangannya di bahu kiri Ervin, berusaha menahan agar Ervin tidak semakin mendekat. Hanya beberapa detik Arla terkesiaap, tapi nalarnya lebih cepat mencerna apa yang harus dilakukannya.“Begini ternyata berhadapan sama seorang player juga.” Satu sudut bibir Ervin tertarik ke atas, melemparkan segaris senyuman. “Sampe kapan kamu mau main-main sama aku, La?”“Aku nggak ngerasa lagi main-main sama kamu. Ya … semalem aku cuma sedikit tersentuh waktu kamu bawain pesenan mamamu.”“Trus kamu nggak tersentuh aku udah menuhin permintaan kamu untuk pergi? Aku nemenin kamu berhari-hari itu nggak bikin kamu tersentuh?”“Kamu pasti tau kalo aku sangat berterima kasih untuk beberapa hari itu. Tapi tetep aja beda sama yang semalem.” Arla masih melemparkan senyuman, sama sekali tidak menunjukkan kalau Ervin berhasil mengintimidasinya.“Jadi pacarku, La. Aku pengen tau kenapa jantungku deg-degan setiap deket kamu.”Arla terdiam. Ia bisa melihat keseriusan dari Ervin. Tapi
"Vin, sorry." Lily berusaha meminta maaf karena keteledorannya Arla sampai merangsek masuk ke ruangan Ervin."It's ok, Lil. Aku perlu bicara juga sama Arla."Lily mengangguk kemudian menutup pintu ruangan Ervin. "Erviiin, Erviiin, bikin masalah apa lagi sih sampe Arla kayak mau nelen orang gitu."Ervin menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, mencoba mencari alasan yang tidak terlalu memalukan untuknya."Aku—""Aku nggak peduli sih Vin alasanmu apa, tapi ini udah nggak profesional banget.""Duduk dulu, La." Ervin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Arla juga duduk di sana saat dulu pertama kali menyambangi ruangan itu.Arla memang pada akhirnya duduk di sofa, mengikuti ajakan Ervin, tapi ia memilih diam tanpa bicara, membiarkan Ervin yang bicara lebih dulu untuk menjelaskan."Sorry, belakangan ini agak sibuk, jadi aku belum sempet ngecek. Hari ini aku juga sebenernya lagi ngerjain sesuatu yang urgent makanya minta ke Lily untuk bilang aku
"Dokter Galant?” Arla menyapa lelaki yang duduk di sudut café seorang diri.Lelaki itu mengenakan polo shirt berwarna hitam dan jeans berwarna abu-abu. Penampilanya sesuai deskripsi yang ia kirim melalui pesan singkat.Malam sebelumnya, Arla memaksa Putra yang seorang dokter untuk memperkenalkan seseorang kepadanya, siapa pun, asal terlihat proper menjadi pasangan kencannya. Putra yang semula menolak akhirnya pasrah setelah mendapat rengekan Arla sepanjang malam.Belakangan ini Arla sama sekali tidak terpikir untuk berkencan karena load pekerjaannya yang menggila. Ia pun hanya melemparkan pepesan kosong ketika mengatakan kalau ia sudah memiliki pacar kepada Ervin. Tapi pesan singkat dari Ervin untuk mengajaknya double date benar-benar membuat harga dirinya terkoyak.“Arla?”Keduanya saling berjabat tangan, sebagai tanda pertemuan mereka yang pertama.Galant kemudian mempersilakan Arla duduk di hadapannya sambil mengangsurkan sebuah buku menu.Tampang: Ok, meskipun tidak separipurna Er
“Kamu siap-siap gini sebenernya karena nggak mau kalah sama ceweknya Ervin apa karena mau bikin Ervin terpukau?”“Kalo bisa sekali tepuk dua lalat, kenapa nggak?”Arla masih ingat percakapannya dengan Risma sebelum ia berangkat double date. Oh sungguh, Arla pikir double date hanya ada dalam drama-drama yang sering ditontonnya. Dan sekarang ia terjebak dalam keadaan itu hanya karena tidak mau harga dirinya tercoreng.“Arla.”“Hmm?”Oh ya, Arla harus mengembalikan fokusnya. Ada Galant di sampingnya yang sudah bersedia ikut dalam acara double date hari itu. Ia harus menghargai kesediaan Galant.“Aku baru tau loh ada yang beneran mau double date. Bukannya orang itu sukanya dating berdua aja.”“Tenang, nggak kamu aja kok, Lant. Aku juga baru tau ada orang ngajakin double date.”Galant terkekeh, lalu memilih melanjutkan pembicaraan seputar Putra yang sedang digosipkan menjalin hubungan dengan perawat di rumah sakit.Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di pelataran sebuah café. Arla langsu