Home / Romansa / PLAYER / 41 Double Date (1)

Share

41 Double Date (1)

Author: Ans18
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kamu siap-siap gini sebenernya karena nggak mau kalah sama ceweknya Ervin apa karena mau bikin Ervin terpukau?”

“Kalo bisa sekali tepuk dua lalat, kenapa nggak?”

Arla masih ingat percakapannya dengan Risma sebelum ia berangkat double date. Oh sungguh, Arla pikir double date hanya ada dalam drama-drama yang sering ditontonnya. Dan sekarang ia terjebak dalam keadaan itu hanya karena tidak mau harga dirinya tercoreng.

“Arla.”

“Hmm?”

Oh ya, Arla harus mengembalikan fokusnya. Ada Galant di sampingnya yang sudah bersedia ikut dalam acara double date hari itu. Ia harus menghargai kesediaan Galant.

“Aku baru tau loh ada yang beneran mau double date. Bukannya orang itu sukanya dating berdua aja.”

“Tenang, nggak kamu aja kok, Lant. Aku juga baru tau ada orang ngajakin double date.”

Galant terkekeh, lalu memilih melanjutkan pembicaraan seputar Putra yang sedang digosipkan menjalin hubungan dengan perawat di rumah sakit.

Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di pelataran sebuah café. Arla langsu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (2)
goodnovel comment avatar
miit
wkwkwkwk....jan sampe.kebakaran.y vin......
goodnovel comment avatar
audrey larissa
hihihi.. bagus.. bagus.. Galant sesuai ekspektasi Arla nih.. gimana Vin jantung aman..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • PLAYER   42 Double Date (2)

    "Aku ke toilet dulu ya, Lant."Galant mengangguk mengiakan. "Kamu pengen minum apa? Biar kupesenin.""Hmm ... Hazelnut Latte tapi yang hot ya.""Ok. Popcorn-nya campur aja ya."Arla mengangguk kemudian bergegas pergi, sebelum akhirnya berpapasan dengan Ervin dan Linda yang baru datang. Ia bersama Galant memang sampai lebih dulu di bioskop tempat mereka janji bertemu. Kebetulan mobil Galant bisa lolos dari lampu merah sementara mobil Ervin sempat tertahan lampu merah.“Tiketnya udah dipegang Galant ya.”“Kamu mau ke mana, La?” tanya Linda yang masih setia memegangi lengan Ervin seakan Ervin akan lepas dari jangkauannya begitu ia melonggarkan pegangannya.“Mau ke toilet dulu.”“Bareng dong,” rengek Linda.“Galant di mana sekarang?” tanya Ervin.“Itu lagi pesen makanan sama minuman.”“Aku ke sana deh.” Ervin hampir saja melangkah pergi, tapi Linda berhasil menariknya.“Aku mau honey lemon dong, Vin.”“Ok. Kamu nggak, Ra?”“Aku udah dipesenin sama Galant.”Ervin mengangguk namun mengumpat

  • PLAYER   43 End of the Day

    “Sekarang bisa nilai kan siapa yang perhatian sama kamu?”Arla melengos, kembali memusatkan perhatiannya pada layar bioskop yang kini masih menampilkan iklan film-film yang akan segera tayang. Tapi pikirannya sedang tidak di sana. Ia memperhatikan jaket yang menutupi badannya, jaket itu memang milik Galant, tapi Ervin yang sebenarnya memperhatikan detail kecil tentang dirinya. Arla buru-buru menggeleng dan menghalau pikirannya.‘Ervin sudah punya pacar. Inget, La! Jangan make perasaan kalau kamu nggak mau terjebak!’Dari ekor matanya, Ervin bisa melihat Arla yang terdiam menatap layar di hadapannya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, sementara di sampingnya Linda terus mengajaknya bicara.Ervin melakukan hal yang sama seperti Galant—memberikan jaketnya kepada Linda yang sejak tadi merasa iri kepada Arla yang mendapat perhatian dari Galant.Jangan bayangkan ada kejadian tidak sengaja saling bersentuhan tangan ketika mengambil popcorn dari wadah yang sama, karena perhatian Ervin ha

  • PLAYER   44 Juste Amie

    “La, nggak lupa kan?”“Nggak, Al. Ini aku lagi siap-siap. Kamu sama Mom udah jalan?”“Udah, tiga puluh menitan lagi sampe apartemenmu.”Pagi itu Alice mengatur janji temu dengan dokter mamanya yang praktik di salah satu rumah sakit swasta. Mamanya memang tidak mengalami penyakit serius selain tensi darah yang sering lebih rendah daripada orang pada umumnya, tapi keluarga mereka memang meminta mamanya untuk rutin check up sejak mamanya menginjak usia enam puluh tahun.Arla meraih sweater yang ada di lemari sebelum keluar dari kamarnya. Ia berencana sarapan di minimarket yang berada di bawah apartemen sekalian menunggu Alice dan mamanya tiba.Seperti biasa, ia memesan secangkir flat white dan dua onigiri begitu tiba di minimarket yang juga menyediakan kursi-kursi bagi pelanggan yang ingin menghabiskan makanan mereka di sana.Arla baru menggigit onigiri tuna mayo di tangannya saat melihat Ervin masuk ke dalam minimarket tempatnya sedang sarapan. ‘Ngapain dia di sini sepagi ini?’Ervin—y

  • PLAYER   45 Panggil Mom Juga Boleh

    “Vin, rileks.”Bukan Arla yang duduk di depan yang menegur Ervin, melainkan Alice yang duduk di kursi penumpang tengah. Dari tempatnya duduk, Alice bisa melihat punggung Ervin yang tegak dan kaku, lalu cara menyetirnya yang terlihat agak aneh, walaupun mobil tetap berjalan dengan mulus. Hanya saja sikap Ervin mengingatkannya ketika kantornya sedang melakukan tes driving untuk supir kantor.Arla yang semula menoleh ke arah jendela sekarang berganti menatap Ervin karena penasaran dengan ucapan Alice.‘Ya Tuhan, dia bener-bener setegang itu.’ Mau tidak mau Arla berusaha menahan tawanya.“Mau aku yang nyetir?” tanya Arla.“Nggak, nggak.” Ervin mencoba merilekskan punggungnya daripada para wanita itu terus merongrongnya. “Tante, kalau saya nyetirnya terlalu ngebut, atau Tante nggak nyaman, kasih tau ya, Tante.”Esther tergelak mendapati perhatian yang disampaikan Ervin padanya—perhatian yang agak berlebihan karena teman Arla yang lain tidak ada yang seperti itu padanya.“La, aku bener ngga

  • PLAYER   46 Stalker

    “Kamu anak Esther kan?” Senyum meremehkan keluar darinya. “Sebegitu sempitnya kah Jakarta, sampai kamu harus ada di sini selagi suami saya sakit? Udah ngincer harta warisan?”Arla mengernyitkan dahi. “Anda siapa ya?”Sebenarnya Arla bukannya tidak ingat dengan wanita itu. Ia masih ingat dengan jelas, wanita itu pernah menyambangi rumahnya dan dengan membabi buta memaki-maki mamanya. Arla tidak akan pernah melupakannya meskipun saat itu ia masih kecil.“Jangan pura-pura nggak tau ya.”Arla mengabaikan keberadaan perempuan itu dan melanjutkan menghabiskan beberapa potongan siomay terakhir di piringnya.“La,” tegur Ervin pelan. “Mau pergi aja?”“Why? Makananku belum abis.” Arla tidak akan gentar hanya karena kehadiran perempuan itu. Ia tidak bersalah, perempuan itulah yang mengganggu acara makan siangnya.“Mama sama anak semua sama. Murahan!”Arla refleks berdiri dan menghadap perempuan itu. Ia masih bisa terima ketika dirinya yang dijelek-jelekkan, tapi ia tidak bisa terima kalau mamany

  • PLAYER   47 You Will Enjoy It, I Swear

    “Loh, Ervin kok tau jalan? Udah dimasukin ke GPS ya, La?” tanya Alice yang baru sadar kalau Arla sama sekali tidak memberi tahu kepada Ervin ke mana arah rumah mereka.“Aku udah pernah nganter Arla pulang ke rumah, Al.”“Kapan?” Ganti Esther yang bertanya dengan raut penuh penasaran.Arla menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Waktu terakhir aku pulang nggak bawa mobil itu, Mom.”“Kok nggak kamu ajak mampir?”Arla terdiam. Kalau dipikir-pikir, jahat juga dirinya. Sudah diantar sampai Depok, tapi langsung menyuruh Ervin pulang.“Saya ada janji waktu itu, Tante,” bela Ervin.Arla mungkin akan mendapatkan satu sesi ceramah dari sang mama kalau dilihat dari ekspresi mamanya yang merasa tidak enak kepada Ervin.“Oooh.” Esther percaya saja dan mengangguk-angguk.Arla menghela napas lega. Siang itu, ia memang sukses mengelabui mama dan kakaknya, seakan-akan tidak ada yang terjadi saat makan siang. Ia mengaku hanya ingin duduk dengan nyaman, karena itu meminta Ervin untuk ke mobil. Dan untung

  • PLAYER   48 I'm Not Sure I Can Handle This Anymore

    “Ayo,” ajak Ervin saat Arla masih terlihat enggan mengikutinya. “Nggak bawa pepper spray kan?”“Ya nggak lah, tadi pagi kan cuma mau nganter Mom medical check up. Ngapain juga aku bawa pepper spray.”Ervin tergelak mendengar alasan Arla. “Sebenernya kamu nggak butuh pepper spray selama kamu bareng aku, La.”“Justru karena bareng kamu.”Ervin berdecak kesal, berbalik, lalu menarik pergelangan tangan Arla. Kalau diizinkan sebenarnya Ervin lebih ingin menggenggam tangan itu, tapi daripada Arla berteriak histeris, lebih baik Ervin cari aman untuk saat ini.“Malem, Beum,” sapa Ervin begitu melihat laki-laki paruh baya yang dikenalnya keluar dari salah satu ruangan di lantai 2.“Heh, Vin. Akhirnya dateng juga. Udah ditungguin dari tadi. Pake aja, tapi inget jangan macem-macem,” ucapnya saat melihat Ervin menggandeng seorang wanita. “Nanti kalo udah kelar, kuncinya titipin ke Bapak warung samping ya.”“Siap, Beum. Makasih ya, Beum.”“Kalo butuh dobok baru, ada di rak, kamu tau kan tempatnya?

  • PLAYER   49 Backstreet

    Hening.Awkward.Entah istilah apa lagi yang bisa menggambarkan keadaan di dalam mobil yang dikendarai Ervin. Harusnya tidak seperti itu. Tapi pikiran dua anak manusia itu entah berada di mana sampai-sampai bingung membuka topik pembicaraan.“Udah sampe, La.”“Ah? Iya.” Arla menghembuskan napas panjang. ‘Please deh, La. Kayak pertama kali jadian,’ hardiknya pada diri sendiri yang sejak tadi merasa salah tingkah berada di dekat Ervin—pacar barunya.“Kuanter sampe depan unit?” Ervin memang baru masuk ke dalam area apartemen, jadi ia masih memiliki opsi mengantar Arla sampai area drop off atau mengantarnya hingga depan unit, yang artinya ia harus memarkirkan mobilnya lebih dulu.“Nggak usah—”“Anter aja deh.”Arla mencebik. “Ngapain nanya kalo gitu?”“Mau denger suara kamu aja.”Bukan tersipu malu respon Arla, melainkan bergidik ngeri mendengar betapa cringe-nya pemuda aneh yang mengajaknya jadian setelah menciumnya lebih dulu. Kalau dipikir-pikir, berani juga tindakan Ervin. Apa Ervin t

Latest chapter

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

  • PLAYER   194 The True Face of Pramono

    “Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela

  • PLAYER   193 Satu Aja Nggak Abis-Abis

    "Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa

  • PLAYER   192 Kamu yang Menang

    “Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal

DMCA.com Protection Status