“Ayo,” ajak Ervin saat Arla masih terlihat enggan mengikutinya. “Nggak bawa pepper spray kan?”“Ya nggak lah, tadi pagi kan cuma mau nganter Mom medical check up. Ngapain juga aku bawa pepper spray.”Ervin tergelak mendengar alasan Arla. “Sebenernya kamu nggak butuh pepper spray selama kamu bareng aku, La.”“Justru karena bareng kamu.”Ervin berdecak kesal, berbalik, lalu menarik pergelangan tangan Arla. Kalau diizinkan sebenarnya Ervin lebih ingin menggenggam tangan itu, tapi daripada Arla berteriak histeris, lebih baik Ervin cari aman untuk saat ini.“Malem, Beum,” sapa Ervin begitu melihat laki-laki paruh baya yang dikenalnya keluar dari salah satu ruangan di lantai 2.“Heh, Vin. Akhirnya dateng juga. Udah ditungguin dari tadi. Pake aja, tapi inget jangan macem-macem,” ucapnya saat melihat Ervin menggandeng seorang wanita. “Nanti kalo udah kelar, kuncinya titipin ke Bapak warung samping ya.”“Siap, Beum. Makasih ya, Beum.”“Kalo butuh dobok baru, ada di rak, kamu tau kan tempatnya?
Hening.Awkward.Entah istilah apa lagi yang bisa menggambarkan keadaan di dalam mobil yang dikendarai Ervin. Harusnya tidak seperti itu. Tapi pikiran dua anak manusia itu entah berada di mana sampai-sampai bingung membuka topik pembicaraan.“Udah sampe, La.”“Ah? Iya.” Arla menghembuskan napas panjang. ‘Please deh, La. Kayak pertama kali jadian,’ hardiknya pada diri sendiri yang sejak tadi merasa salah tingkah berada di dekat Ervin—pacar barunya.“Kuanter sampe depan unit?” Ervin memang baru masuk ke dalam area apartemen, jadi ia masih memiliki opsi mengantar Arla sampai area drop off atau mengantarnya hingga depan unit, yang artinya ia harus memarkirkan mobilnya lebih dulu.“Nggak usah—”“Anter aja deh.”Arla mencebik. “Ngapain nanya kalo gitu?”“Mau denger suara kamu aja.”Bukan tersipu malu respon Arla, melainkan bergidik ngeri mendengar betapa cringe-nya pemuda aneh yang mengajaknya jadian setelah menciumnya lebih dulu. Kalau dipikir-pikir, berani juga tindakan Ervin. Apa Ervin t
“Mbak Arla, ada yang nyari di bawah.”Arla menatap bingung pada Winda—salah satu pramusaji di coffee shop—yang sampai naik ke lantai 3 demi mencarinya. Kalau sampai yang mencarinya adalah Ervin, Arla pastikan ia akan mengomelinya sepanjang hari.Tapi belum sampai 24 jam mereka jadian, harusnya Ervin tidak seiseng itu untuk membuka hubungan mereka di depan umum, sementara mereka sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka.“Siapa?”“Namanya Alan.”Kening Arla mengernyit. Ok, dia memang sering berganti pacar, tapi seingatnya tidak ada yang bernama Alan.“Mau ditemui nggak, Mbak? Kalo nggak, biar saya bilang kalo Mbak Arla lagi meeting. Soalnya udah dari tadi di sini, cuma baru bilang kalo nyariin Mbak.”“Lima menit lagi ya, Win. Saya izin dulu ke Bu Rhea.”“Ok, Mbak.” Winda berlalu pergi setelah mendapatkan kepastian dari asisten bos besar itu. Sudah sekitar satu jam ia memperhatikan lelaki berkacamata yang duduk sendirian dengan gelisah di lantai 2 coffee shop. Saat ia membersihkan mej
“Boleh nggak kupanggil … Nda?”“Hah?” Arla terburu menoleh hingga lehernya terasa sakit. “Kamu … bukan kayak anak SD yang mau bikin panggilan ayah bunda kan?” Bulu-bulu halus di belakang leher Arla tiba-tiba saja meremang.Oh, God! Dari sekian banyak panggilan, kenapa harus se-cringe itu. Lagipula mereka baru resmi berpacaran dua hari dan sepertinya tidak perlu panggilan sayang.“Itu nama kamu sendiri, La. Aku nggak aneh-aneh.”“Arlanda. Aku cuma geser panggilan dari Arla jadi Nda.” Ervin masih tersenyum senang sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas setir sembari menikmati lantunan lagu yang mengalun dari pemutar musik.“Nggak mau ah, Vin.” Arla menggeleng-geleng tegas. Kalau seseorang mendengarnya, bisa jadi bulan-bulanan seumur hidupnya.“Tapi aku mau manggil gitu, kayaknya romantis.”Eugh! Arla menghentakkan kakinya. “Aku nggak bakal noleh kalo kamu manggil gitu.”“Nanti lama-lama juga biasa.”“Mending kamu samain kayak panggilan Yara ke kucingnya deh.”“Loh ini terinspirasi dari Y
“Beneran, gue beberapa kali ngelihat Mbak Arla jalan sama anaknya Bu Rhea.” Seorang pegawai di coffee shop dengan menggebu menceritakan penemuannya pada sesama rekannya.“Anaknya Bu Rhea pasti belum tau kalo Mbak Arla itu playgirl. Dia sering banget ganti cowok, ya wajar sih, cakep,” timpal seorang pegawai yang lain.“Lah anaknya Bu Rhea kan juga katanya playboy. Orang cakep mah bebas ya.”“Memang bisa ya playboy sama playgirl gitu punya hubungan? Main-main doang sih gue rasa.”“Ehem! Pagi Bu Rhea, mau minum sesuatu, Bu? Nanti saya antar ke atas.” Ardi memang sengaja berdeham agak keras untuk menyadarkan kedua rekannya yang sedang bergosip kalau bos besar baru datang dan sedang berdiri di dekat mereka.“Pagi. Vanila latte deh. Tolong nanti minta dianter ke ruangan ya.”“Pagi, Bu,” sapa kedua pegawai yang tadi asik bergosip.Rhea tersenyum, menyapa keduanya sambil mengangguk. Setelahnya ia langsung melangkahkan kakinya menaiki anak tangga sambil memikirkan selentingan gosip yang baru s
“Di rooftop nggak apa-apa? Temen-temenku jarang ngerokok dan kalau mereka mau ngerokok, pasti bakal kularang selagi ada kamu.”“Nggak apa-apa.”Begitu mereka masuk ke dalam ArtCo Café, hampir semua pegawai menyapa Ervin yang (dulu) hampir setiap malam datang ke sana.“Udah lama Mas Ervin nggak ke sini? Sekalinya ke sini udah bawa gandengan,” ledek manager di café itu. Kalau bukan selevel manager, mana mungkin meledek Ervin seperti itu. Bagaimana pun juga mereka tahu kalau Ervin adalah sahabat bos mereka dan pastinya dari golongan berada—kalau dilihat dari tunggangan beserta outfit-nya.“Iya dong,” pamer Ervin.“Emang sebelumnya dia nggak pernah bawa cewek, Mas?” tanya Arla penasaran.Belum juga manager itu menjawab pertanyaan Arla, Ervin menarik Arla menjauh dan memberikan kode dengan tangannya agar manager itu juga pergi menjauh.“Kenapa sih? Aku kan cuma nanya. Pernah bawa juga nggak apa-apa, Vin. Aku nggak se-childish itu buat ngambek gara-gara masalah begitu.”“Aku nggak suka dia
“La, Alan nemuin kamu?”Suara Alice yang bergetar di seberang sambungan telepon membuat Arla menghela napas.Menangis lagi. Pasti itu yang baru saja dilakukan Alice. Dirinya dan Alice bagaikan dua kutub yang berlawanan. Kalau dirinya lebih sering marah ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Prawira, maka Alice lebih memilih menangis sebagai medianya.Arla penuh dengan kemarahan, sedang Alice penuh dengan kesedihan. Abiel dan Aeriel punya cara mereka sendiri tentu saja, begitu juga mamanya yang masih sering meratapi foto mantan suaminya dengan penuh cinta.“Are you ok?” tanya Alice lagi untuk memastikan.“Hmm. Kenapa aku harus nggak ok, dia bukan siapa-siapa.”Oh, thanks to Ervin, sekarang ia bisa dengan santainya mengatakan hal itu. Kalau Alice menghubunginya tepat setelah Alan menemuinya, mungkin ceritanya akan berbeda.“Kenapa kamu nggak cerita? Termasuk waktu mamanya marah-marah ke kamu di kantin rumah sakit.”“Dia juga nemuin kamu?”“Kamu pikir aku tau dari mana
“Udah dapet infonya, Lil?”“Cek e-mail! Buat apa sih nyari info tentang keluarga Prawira? Cuma ada satu anak cowok dari keluarga itu, nggak mungkin bisa kamu deketin, Vin.”Ervin menahan umpatannya kepada Lily. Setidaknya ia harus berterima kasih lebih dulu. Lily sampai harus bertanya kepada mamanya yang kenal dengan istri dari Bagaskara Prawira demi mengorek informasi.“Ada lini bisnis keluarga Prawira yang mau kita ambil?” tanya Lily penasaran.“Nggak. Cuma ada perlu aja.”“Kamu ada masalah sama anak laki-laki mereka?”“Nggak, Lil. Udah ah, tugasmu udah kelar.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas. Sebelum ia meninggalkan ruangan Ervin, tiba-tiba dirinya mengingat sesuatu. “Eh, Vin. Aku lupa. Ada kabar yang bilang kalau Pak Bagaskara Prawira nggak muncul di kantor, udah setahunan, kabarnya sih sakit, tapi masih simpang siur juga, kayak ditutup-tutupin. Yang jelas, sekarang yang handle perusahannya ya anaknya. Tapi … dia nggak secakap Pak Bagas. Info itu nggak kumasukin ke da