“La, Alan nemuin kamu?”Suara Alice yang bergetar di seberang sambungan telepon membuat Arla menghela napas.Menangis lagi. Pasti itu yang baru saja dilakukan Alice. Dirinya dan Alice bagaikan dua kutub yang berlawanan. Kalau dirinya lebih sering marah ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Prawira, maka Alice lebih memilih menangis sebagai medianya.Arla penuh dengan kemarahan, sedang Alice penuh dengan kesedihan. Abiel dan Aeriel punya cara mereka sendiri tentu saja, begitu juga mamanya yang masih sering meratapi foto mantan suaminya dengan penuh cinta.“Are you ok?” tanya Alice lagi untuk memastikan.“Hmm. Kenapa aku harus nggak ok, dia bukan siapa-siapa.”Oh, thanks to Ervin, sekarang ia bisa dengan santainya mengatakan hal itu. Kalau Alice menghubunginya tepat setelah Alan menemuinya, mungkin ceritanya akan berbeda.“Kenapa kamu nggak cerita? Termasuk waktu mamanya marah-marah ke kamu di kantin rumah sakit.”“Dia juga nemuin kamu?”“Kamu pikir aku tau dari mana
“Udah dapet infonya, Lil?”“Cek e-mail! Buat apa sih nyari info tentang keluarga Prawira? Cuma ada satu anak cowok dari keluarga itu, nggak mungkin bisa kamu deketin, Vin.”Ervin menahan umpatannya kepada Lily. Setidaknya ia harus berterima kasih lebih dulu. Lily sampai harus bertanya kepada mamanya yang kenal dengan istri dari Bagaskara Prawira demi mengorek informasi.“Ada lini bisnis keluarga Prawira yang mau kita ambil?” tanya Lily penasaran.“Nggak. Cuma ada perlu aja.”“Kamu ada masalah sama anak laki-laki mereka?”“Nggak, Lil. Udah ah, tugasmu udah kelar.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas. Sebelum ia meninggalkan ruangan Ervin, tiba-tiba dirinya mengingat sesuatu. “Eh, Vin. Aku lupa. Ada kabar yang bilang kalau Pak Bagaskara Prawira nggak muncul di kantor, udah setahunan, kabarnya sih sakit, tapi masih simpang siur juga, kayak ditutup-tutupin. Yang jelas, sekarang yang handle perusahannya ya anaknya. Tapi … dia nggak secakap Pak Bagas. Info itu nggak kumasukin ke da
Ervin mengetuk pintu apartemen Arla berkali-kali hingga seseorang membuka pintu untuknya.“Ervin?” Risma mengerjap bingung mendapati keberadaan Ervin di balik pintu apartemen yang ditempatinya bersama Arla. Untung saja Ervin pernah datang sebelumnya saat ada Alice, kalau tidak, kebingungan Risma pasti jauh lebih besar daripada yang sekarang.“Sorry, Ris, ganggu. Ada Arla?”“Di kamar sih, dari tadi. Pas aku pulang dia udah ada di apartemen, tapi emang nggak keluar-keluar dari tadi.”“Aku … boleh nemuin dia?”Risma memberikan ruang lebih lebar agar Ervin bisa masuk ke dalam apartemen. “Ada sesuatu yang terjadi ya?” tanya Risma bingung. Sikap Arla yang tidak mau keluar kamar dengan alasan mengantuk, lalu Ervin yang datang malam-malam cukup membuktikan kalau memang ada sesuatu yang terjadi.“Iya. Di coffee shop. Aku juga baru tau dari mamaku.”“Hah? Mama?”“Arla belum cerita kalo atasan dia mamaku?”“What? Kamu anaknya … Bu Rhea?” Risma membekap mulutnya sendiri.“Ini … gimana aku caranya
“Nggak usah aneh-aneh, Vin. Ini masalahku. Biarin aku mikir beberapa hari, pasti aku bisa nemuin caranya.”“Yakin?”“Iya. Aku cuma perlu waktu untuk berpikir.”“Tapi kan kamu lagi nggak bisa mikir, Nda.”“Enak aja!”“Loh, orang yang lagi dimabuk cinta biasanya nggak bisa mikir.”Arla membelalakkan mata. “Aku? Dimabuk cinta? Nggak ya. Aku masih bisa mikir. Kamu kali.”Ervin cengengesan sambil mengusap tengkuknya. “Oh berarti aku ya yang lagi dimabuk cinta?”“Geli ah, Vin. Nggak usah gombal, aku lagi males denger gombalan.”“Mau langsung aksi aja?”“Hmm?”“Risma udah tidur?”“Tadi sih pamitnya tidur. Kenapa?”“Karena nggak enak kalo kepergok.” Ervin cukup memajukan tubuhnya sedikit untuk memupus jarak karena sejak tadi mereka duduk berdekatan di sofa. Dan dalam waktu hitungan detik, bibirnya berhasil menguasai bibir Arla.Arla menahan diri sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan suara apa pun. Astaga! Ia ingin mengumpati Ervin karena tindakannya itu, tapi ... sialnya ia juga ikut larut.
“Maaa.” Ervin melongokkan kepala di sela pintu ruangan mamanya yang ia buka sedikit.“Kamu mau ngajak Mama makan siang lagi?” tanya Rhea sambil memicing tidak percaya. Sudah beberapa kali Ervin mengajaknya makan siang, suatu hal yang tidak biasa dilakukan Ervin karena Ervin lebih sering makan siang bersama deretan pacarnya. “Bukannya kamu dulu nggak mau ketauan kalo kamu anak Mama? Kenapa sekarang rajin amat ke sini?”“Udah pada tau juga.” Ervin berdiri di samping mamanya sambil memegang tangan mamanya. “Yuk, Ma. Udah siang. Ntar pada penuh tempat makan.”“Tapi Mama mau ngomong dulu sama—”“Ntar aja, Ma. Yang mau Mama ajak ngomong juga perlu istirahat kan.”Rhea memijat pelipisnya dalam diam. Rasanya ada yang janggal, tapi apa?“Ayo, Maaa. Aku udah laper.”Sembari meraih ponselnya, Rhea mengikuti langkah anaknya yang siang itu berhasil menyeretnya keluar ruangan, padahal ia ingin bicara dengan Arla. Dan begitu memikirkan Arla, otak Rhea langsung bekerja dengan cepat, apalagi saat meli
“Siapa F itu, Nda?” bisik Ervin tepat di samping telinga Arla.Bulu halus di tengkuk Arla seketika meremang, tapi dengan cepat Arla bisa menguasai keadaan dan dengan tatapan matanya memerintahkan Ervin untuk masuk ke dalam ruangan mamanya.“Jam tujuh aku ke apartemenmu. Ok?”Arla hanya mengangguk cepat dan meletakkan paper bag pemberian entah siapa itu secara asal ke atas meja.“F?” Arla memutar otaknya. Mantan pacarnya tidak hanya satu atau dua. Jumlah pacarnya lusinan, atau kodian? Ia tidak pernah benar-benar menghitungnya.Dan kalau ia disuruh menerka-nerka siapa yang namanya berawalan huruf F, maka ... ia masih akan tetap kebingungan.Firman, Febri, Ferdinan, Fery, Fandi, Fathur .... "Aaah." Arla mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia sampai tak sadar kalau Ervin telah keluar dari ruangan mamanya dan berhenti di depan mejanya."Sebaiknya kamu udah inget siapa F itu kalo nanti malem kita ketemu." Ervin melangkah santai, meninggalkan Arla yang menatapnya dengan tatapan kesal."Waktu
“Sibuk banget belakangan kamu, Nda? Apa perlu aku bilang ke Mama biar ngurangin load kerjaan kamu?”Arla memicingkan mata ke arah Ervin, sebagai ancaman agar tutup mulut dan tidak melanjutkan niat absurd-nya itu. “Jangan aneh-aneh, Vin!”Setelah makan siang tempo hari dengan atasannya itu, Arla cukup bersyukur karena ia tidak jadi dipanggil ke ruangan untuk bicara secara pribadi. Pun atasannya juga tidak pernah mengungkit lagi perkara hubungannya dengan Ervin.Jadi seminggu belakangan, Arla benar-benar fokus pada cabang Amigos yang akan dibuka di Sumatera, sekalian juga untuk mengurangi kuantitas pertemuannya dengan Ervin yang rasanya semakin lama jadi semakin sering.Banyak hal yang diam-diam Arla takutkan dengan intensitas pertemuannya dengan Ervin yang naik signifikan setelah mereka resmi pacaran.Pertama dan yang paling utama, ia benar-benar takut jatuh cinta terlalu dalam. Menjadi seperti mamanya--jatuh cinta setengah mati dan ditinggalkan--tidak pernah ada dalam bayangannya.Ked
"Udah nyari rumah, Vin?"Pertanyaan pembuka sarapan dari papanya itu membuat Ervin terdiam. Apa selangkah lagi izin akan dikantonginya?'Papa nanya udah cari rumah apa belum kan? Bukan langsung bilang nggak ngizinin.'"Emang Kak Ervin mau cari rumah? Mau pindah? Ngapain sih? Biar bebas bawa cewek? Sepi dong nanti di rumah sini." Yara mencebik kesal. Walau kakaknya itu menyebalkan, tetap saja ia lebih suka kakaknya ada di rumah."Kamu kan juga udah punya apartemen, Ra.""Ih, itu kan sewa ke Papa. Dipakenya juga jarang. Kalo aku lembur atau mau girls time sama sahabatku.""Udah, makan dulu. Kalian ini nggak pernah loh nggak berantem setiap bareng.""Itu nggak berantem, Ma. Tanda sayang aku ke Kak Ervin. Coba, kalo Kak Ervin macem-macem setelah pindah—"Ucapan Yara terhenti karena kakinya ditendang Ervin dari bawah meja."Papa kok nanya aku udah cari rumah apa belum? Berarti ... Papa udah ngizinin?""Kita ngomong dulu abis sarapan di ruang kerja Papa."Ervin mengulum senyumnya. Pertanda
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal