“Sibuk banget belakangan kamu, Nda? Apa perlu aku bilang ke Mama biar ngurangin load kerjaan kamu?”Arla memicingkan mata ke arah Ervin, sebagai ancaman agar tutup mulut dan tidak melanjutkan niat absurd-nya itu. “Jangan aneh-aneh, Vin!”Setelah makan siang tempo hari dengan atasannya itu, Arla cukup bersyukur karena ia tidak jadi dipanggil ke ruangan untuk bicara secara pribadi. Pun atasannya juga tidak pernah mengungkit lagi perkara hubungannya dengan Ervin.Jadi seminggu belakangan, Arla benar-benar fokus pada cabang Amigos yang akan dibuka di Sumatera, sekalian juga untuk mengurangi kuantitas pertemuannya dengan Ervin yang rasanya semakin lama jadi semakin sering.Banyak hal yang diam-diam Arla takutkan dengan intensitas pertemuannya dengan Ervin yang naik signifikan setelah mereka resmi pacaran.Pertama dan yang paling utama, ia benar-benar takut jatuh cinta terlalu dalam. Menjadi seperti mamanya--jatuh cinta setengah mati dan ditinggalkan--tidak pernah ada dalam bayangannya.Ked
"Udah nyari rumah, Vin?"Pertanyaan pembuka sarapan dari papanya itu membuat Ervin terdiam. Apa selangkah lagi izin akan dikantonginya?'Papa nanya udah cari rumah apa belum kan? Bukan langsung bilang nggak ngizinin.'"Emang Kak Ervin mau cari rumah? Mau pindah? Ngapain sih? Biar bebas bawa cewek? Sepi dong nanti di rumah sini." Yara mencebik kesal. Walau kakaknya itu menyebalkan, tetap saja ia lebih suka kakaknya ada di rumah."Kamu kan juga udah punya apartemen, Ra.""Ih, itu kan sewa ke Papa. Dipakenya juga jarang. Kalo aku lembur atau mau girls time sama sahabatku.""Udah, makan dulu. Kalian ini nggak pernah loh nggak berantem setiap bareng.""Itu nggak berantem, Ma. Tanda sayang aku ke Kak Ervin. Coba, kalo Kak Ervin macem-macem setelah pindah—"Ucapan Yara terhenti karena kakinya ditendang Ervin dari bawah meja."Papa kok nanya aku udah cari rumah apa belum? Berarti ... Papa udah ngizinin?""Kita ngomong dulu abis sarapan di ruang kerja Papa."Ervin mengulum senyumnya. Pertanda
Ruangan itu mewah namun dingin, cahaya lampu sengaja dimatikan dan digantikan dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela bertirai putih transparan.Arla tidak mengerti mengapa dirinya ada di sana. Ia berdiri paling belakang. Mamanya berdiri paling dekat dengan ranjang mewah berukuran king size. Abiel dan Aeriel berdiri di belakang mamanya, hanya beberapa langkah jaraknya. Sementara Alice berada di samping Arla, menahan tangan Arla, lebih seperti upaya agar Arla tidak melarikan diri.Cahaya matahari yang masuk ke ruangan dari arah kanan membuat Arla tidak bisa melihat siapa yang tergeletak di atas ranjang. Arla menatap Alice yang cengeng dan sudah menangis tersedu di sebelahnya. Ingin Arla bertanya kepada Alice apa yang terjadi hingga membuatnya menangis seperti itu.Tapi suara isak tangis mamanya kemudian memenuhi ruangan itu, disusul suara tangis Abiel dan Aeriel. Arla semakin pening.Di tengah rasa peningnya, sosok perempuan yang belakangan ini mengganggunya—Amalia Pratiwi—me
“Bisa kita lanjutin ngomongnya di dalem?” Setelah mendengar ucapan Arla, Ervin baru sadar kalau Arla mungkin saja menjadi tidak nyaman atau bahkan takut atas tindakan impulsifnya.Menurut, Arla ikut masuk dan mengedarkan pandangan, menatap takjub pada interior apartemen itu. Apartemen dengan type yang sama dengan yang ditempatinya saat ini, tapi dengan interior yang sudah jelas dikerjakan seseorang yang ahli di bidangnya, membuat apartemen itu terasa berkelas.“Welcome. Anggap aja rumah sendiri. Tenang aja, kamu bukan cewek pertama yang ke sini kok.”“Hm?” Kenapa Arla merasa tidak senang saat mendengarnya? Ada perasaannya yang sedikit merasa tidak nyaman karena hal itu.“Kak Aileen sama Yara udah pernah ke sini,” terang Ervin selanjutnya.Arla berusaha setengah mati untuk menahan senyumnya yang hampir keluar setelah mendengar kalau hanya keluarga Ervin yang pernah datang ke apartemennya.“Terus? Siapa lagi?”“Udah, baru Kak Aileen sama Yara kok. Mama belum sih. Katanya mau sidak sewak
"Baru ada siapa di sini?"“Hah? Maksud Papa?” Jantung Ervin memang hampir loncat dari rongganya, tapi ia berusaha setengah mati untuk tidak menunjukkan kegugupannya di depan orang tuanya yang kini duduk bersebelahan di sofa.“Ini, kenapa ada dua piring?” Naren menatap piring yang masih berserakan di atas meja.Ada dua piring yang masing-masing masih berisi sisa ayam saos mentega dan sisa capcay. Lalu ada dua piring kosong yang jelas-jelas baru digunakan untuk makan.“Oooh, tadi aku udah pulang agak sore, Pa. Aku laper, jadi makan. Trus barusan makan lagi.”“Itu, teflon di atas kompor?”“Cuma buat manasin, Pa.” Ervin tidak tahu bagaimana caranya jawaban-jawaban itu bisa tersusun di otaknya. Yang jelas ia hanya berusaha untuk memberikan alasan yang paling masuk akal.Bisa saja sebenarnya ia memberi alasan kalau Bastian atau Adit baru dari unitnya dan mereka makan bersama, tapi Ervin yakin detik itu juga pasti papanya akan langsung menghubungi temannya dan menanyakan kebenarannya.Kening
“Papa sama Om Pras bercanda kan?” Ervin menatap mamanya, berharap mamanya akan meledakkan tawa karena itu hanyalah sebuah lelucon. Tapi mamanya malah mengangguk antusias, begitu juga dengan mama Lily.“Pa, Om, aku belum mau nikah,” jawab Lily tergesa.“Aku juga belum mau nikah.” Ervin ikut menegaskan jawaban Lily.“Tuh kan, kalian itu kompak sebenernya,” timpal Alya—istri Pras yang duduk di samping Rhea.Setelah mama Lily itu bicara, Ervin baru menyadari sesuatu. Kedua orang itu—papa dan mama Lily—juga menikah karena perjodohan, dan mereka hidup bahagia, bahkan hadir Lily di antara mereka. Apa mungkin itu yang membuat mereka juga ingin menjodohkan Lily dengan seseorang? Tapi kenapa harus dirinya?“Om Pras, Om tau kan kalo aku ganti cewek udah serajin ganti … baju.” Padahal Ervin ingin mengibaratkan ‘ganti cewek serajin ganti kolor’, tapi ia tahan demi kesopanan. “Kasihan Lily kalo dapet suami kayak aku.”“Nggak apa-apa. Senggaknya Om tau kalo kamu bersih, nggak kayak cowok yang lagi d
Arla menyeret langkahnya dengan malas saat mendengar ketukan di pintu apartemennya.Risma pergi dari pagi dengan gebetannya yang ditemuinya di seminar beberapa hari sebelumnya, Ervin pulang ke rumah, jadi fix seharian itu Arla hanya bergelung di dalam selimut sambil rerun drama Korea apa saja yang ia temukan di harddisk-nya. Toh ia sebenarnya tidak berniat menonton, hanya agar ada suara yang menemaninya.Harusnya ia pulang ke Depok, tapi mamanya sedang pergi dengan Alice mengunjungi Abiel. Mengingat pertengkaran terakhirnya dengan Abiel, Arla jadi mengurungkan niat untuk pulang.Dan kini entah siapa yang berada di depan unit apartemennya. Ia merasa tidak memiliki janji dengan siapa pun. Atau bisa saja itu Risma yang (lagi-lagi) kehilangan kunci pintu apartemen. Sudah dua kali dengan kecerobohannya yang agak di luar nalar, Risma menghilangkan kunci pintu apartemen. Mereka sampai pernah terpikir untuk mengganti kunci apartemen dengan smart lock yang menggunakan PIN atau finger print kar
“Vin, kita—”“Kita ngomong lain kali ya, aku lagi nggak bisa mikir.” Ervin mengusap puncak kepala wanita itu dengan pelan—wanita yang tadi bahkan tidak bisa menjawab ketika Ervin bertanya perasaannya. “Kamu istirahat, aku balik dulu.”Ervin langsung berbalik. Sekarang bebannya terasa dua kali lebih berat. Seakan di pundak kirinya diberati masalah perjodohan dan di bahu kanannya diberati perasaannya kepada Arla yang (sepertinya) tidak berbalas.Melangkah gontai, Ervin memilih kembali ke apartemennya daripada harus kembali ke rumah dan mendengar masalah perjodohan itu lagi.Baru saja ia melangkah masuk, sebuah pesan dari Adam masuk ke ponselnya.Adam: Kak ErvinAdam: Masalah permintaan Kakak waktu ituAdam: Udah hampir selesaiErvin: Kamu ke sini aja dehErvin: Ke apartemenkuErvin: -sent location-Sebenarnya ia sedang malas berpikir, tapi mungkin saja bicara masalah pekerjaan membuatnya melupakan sedikit beban yang bercokol di dua pundaknya. Meskipun yang akan dibicarakannya dengan Ada