“Di rooftop nggak apa-apa? Temen-temenku jarang ngerokok dan kalau mereka mau ngerokok, pasti bakal kularang selagi ada kamu.”“Nggak apa-apa.”Begitu mereka masuk ke dalam ArtCo Café, hampir semua pegawai menyapa Ervin yang (dulu) hampir setiap malam datang ke sana.“Udah lama Mas Ervin nggak ke sini? Sekalinya ke sini udah bawa gandengan,” ledek manager di café itu. Kalau bukan selevel manager, mana mungkin meledek Ervin seperti itu. Bagaimana pun juga mereka tahu kalau Ervin adalah sahabat bos mereka dan pastinya dari golongan berada—kalau dilihat dari tunggangan beserta outfit-nya.“Iya dong,” pamer Ervin.“Emang sebelumnya dia nggak pernah bawa cewek, Mas?” tanya Arla penasaran.Belum juga manager itu menjawab pertanyaan Arla, Ervin menarik Arla menjauh dan memberikan kode dengan tangannya agar manager itu juga pergi menjauh.“Kenapa sih? Aku kan cuma nanya. Pernah bawa juga nggak apa-apa, Vin. Aku nggak se-childish itu buat ngambek gara-gara masalah begitu.”“Aku nggak suka dia
“La, Alan nemuin kamu?”Suara Alice yang bergetar di seberang sambungan telepon membuat Arla menghela napas.Menangis lagi. Pasti itu yang baru saja dilakukan Alice. Dirinya dan Alice bagaikan dua kutub yang berlawanan. Kalau dirinya lebih sering marah ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Prawira, maka Alice lebih memilih menangis sebagai medianya.Arla penuh dengan kemarahan, sedang Alice penuh dengan kesedihan. Abiel dan Aeriel punya cara mereka sendiri tentu saja, begitu juga mamanya yang masih sering meratapi foto mantan suaminya dengan penuh cinta.“Are you ok?” tanya Alice lagi untuk memastikan.“Hmm. Kenapa aku harus nggak ok, dia bukan siapa-siapa.”Oh, thanks to Ervin, sekarang ia bisa dengan santainya mengatakan hal itu. Kalau Alice menghubunginya tepat setelah Alan menemuinya, mungkin ceritanya akan berbeda.“Kenapa kamu nggak cerita? Termasuk waktu mamanya marah-marah ke kamu di kantin rumah sakit.”“Dia juga nemuin kamu?”“Kamu pikir aku tau dari mana
“Udah dapet infonya, Lil?”“Cek e-mail! Buat apa sih nyari info tentang keluarga Prawira? Cuma ada satu anak cowok dari keluarga itu, nggak mungkin bisa kamu deketin, Vin.”Ervin menahan umpatannya kepada Lily. Setidaknya ia harus berterima kasih lebih dulu. Lily sampai harus bertanya kepada mamanya yang kenal dengan istri dari Bagaskara Prawira demi mengorek informasi.“Ada lini bisnis keluarga Prawira yang mau kita ambil?” tanya Lily penasaran.“Nggak. Cuma ada perlu aja.”“Kamu ada masalah sama anak laki-laki mereka?”“Nggak, Lil. Udah ah, tugasmu udah kelar.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas. Sebelum ia meninggalkan ruangan Ervin, tiba-tiba dirinya mengingat sesuatu. “Eh, Vin. Aku lupa. Ada kabar yang bilang kalau Pak Bagaskara Prawira nggak muncul di kantor, udah setahunan, kabarnya sih sakit, tapi masih simpang siur juga, kayak ditutup-tutupin. Yang jelas, sekarang yang handle perusahannya ya anaknya. Tapi … dia nggak secakap Pak Bagas. Info itu nggak kumasukin ke da
Ervin mengetuk pintu apartemen Arla berkali-kali hingga seseorang membuka pintu untuknya.“Ervin?” Risma mengerjap bingung mendapati keberadaan Ervin di balik pintu apartemen yang ditempatinya bersama Arla. Untung saja Ervin pernah datang sebelumnya saat ada Alice, kalau tidak, kebingungan Risma pasti jauh lebih besar daripada yang sekarang.“Sorry, Ris, ganggu. Ada Arla?”“Di kamar sih, dari tadi. Pas aku pulang dia udah ada di apartemen, tapi emang nggak keluar-keluar dari tadi.”“Aku … boleh nemuin dia?”Risma memberikan ruang lebih lebar agar Ervin bisa masuk ke dalam apartemen. “Ada sesuatu yang terjadi ya?” tanya Risma bingung. Sikap Arla yang tidak mau keluar kamar dengan alasan mengantuk, lalu Ervin yang datang malam-malam cukup membuktikan kalau memang ada sesuatu yang terjadi.“Iya. Di coffee shop. Aku juga baru tau dari mamaku.”“Hah? Mama?”“Arla belum cerita kalo atasan dia mamaku?”“What? Kamu anaknya … Bu Rhea?” Risma membekap mulutnya sendiri.“Ini … gimana aku caranya
“Nggak usah aneh-aneh, Vin. Ini masalahku. Biarin aku mikir beberapa hari, pasti aku bisa nemuin caranya.”“Yakin?”“Iya. Aku cuma perlu waktu untuk berpikir.”“Tapi kan kamu lagi nggak bisa mikir, Nda.”“Enak aja!”“Loh, orang yang lagi dimabuk cinta biasanya nggak bisa mikir.”Arla membelalakkan mata. “Aku? Dimabuk cinta? Nggak ya. Aku masih bisa mikir. Kamu kali.”Ervin cengengesan sambil mengusap tengkuknya. “Oh berarti aku ya yang lagi dimabuk cinta?”“Geli ah, Vin. Nggak usah gombal, aku lagi males denger gombalan.”“Mau langsung aksi aja?”“Hmm?”“Risma udah tidur?”“Tadi sih pamitnya tidur. Kenapa?”“Karena nggak enak kalo kepergok.” Ervin cukup memajukan tubuhnya sedikit untuk memupus jarak karena sejak tadi mereka duduk berdekatan di sofa. Dan dalam waktu hitungan detik, bibirnya berhasil menguasai bibir Arla.Arla menahan diri sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan suara apa pun. Astaga! Ia ingin mengumpati Ervin karena tindakannya itu, tapi ... sialnya ia juga ikut larut.
“Maaa.” Ervin melongokkan kepala di sela pintu ruangan mamanya yang ia buka sedikit.“Kamu mau ngajak Mama makan siang lagi?” tanya Rhea sambil memicing tidak percaya. Sudah beberapa kali Ervin mengajaknya makan siang, suatu hal yang tidak biasa dilakukan Ervin karena Ervin lebih sering makan siang bersama deretan pacarnya. “Bukannya kamu dulu nggak mau ketauan kalo kamu anak Mama? Kenapa sekarang rajin amat ke sini?”“Udah pada tau juga.” Ervin berdiri di samping mamanya sambil memegang tangan mamanya. “Yuk, Ma. Udah siang. Ntar pada penuh tempat makan.”“Tapi Mama mau ngomong dulu sama—”“Ntar aja, Ma. Yang mau Mama ajak ngomong juga perlu istirahat kan.”Rhea memijat pelipisnya dalam diam. Rasanya ada yang janggal, tapi apa?“Ayo, Maaa. Aku udah laper.”Sembari meraih ponselnya, Rhea mengikuti langkah anaknya yang siang itu berhasil menyeretnya keluar ruangan, padahal ia ingin bicara dengan Arla. Dan begitu memikirkan Arla, otak Rhea langsung bekerja dengan cepat, apalagi saat meli
“Siapa F itu, Nda?” bisik Ervin tepat di samping telinga Arla.Bulu halus di tengkuk Arla seketika meremang, tapi dengan cepat Arla bisa menguasai keadaan dan dengan tatapan matanya memerintahkan Ervin untuk masuk ke dalam ruangan mamanya.“Jam tujuh aku ke apartemenmu. Ok?”Arla hanya mengangguk cepat dan meletakkan paper bag pemberian entah siapa itu secara asal ke atas meja.“F?” Arla memutar otaknya. Mantan pacarnya tidak hanya satu atau dua. Jumlah pacarnya lusinan, atau kodian? Ia tidak pernah benar-benar menghitungnya.Dan kalau ia disuruh menerka-nerka siapa yang namanya berawalan huruf F, maka ... ia masih akan tetap kebingungan.Firman, Febri, Ferdinan, Fery, Fandi, Fathur .... "Aaah." Arla mengacak rambutnya dengan frustasi. Ia sampai tak sadar kalau Ervin telah keluar dari ruangan mamanya dan berhenti di depan mejanya."Sebaiknya kamu udah inget siapa F itu kalo nanti malem kita ketemu." Ervin melangkah santai, meninggalkan Arla yang menatapnya dengan tatapan kesal."Waktu
“Sibuk banget belakangan kamu, Nda? Apa perlu aku bilang ke Mama biar ngurangin load kerjaan kamu?”Arla memicingkan mata ke arah Ervin, sebagai ancaman agar tutup mulut dan tidak melanjutkan niat absurd-nya itu. “Jangan aneh-aneh, Vin!”Setelah makan siang tempo hari dengan atasannya itu, Arla cukup bersyukur karena ia tidak jadi dipanggil ke ruangan untuk bicara secara pribadi. Pun atasannya juga tidak pernah mengungkit lagi perkara hubungannya dengan Ervin.Jadi seminggu belakangan, Arla benar-benar fokus pada cabang Amigos yang akan dibuka di Sumatera, sekalian juga untuk mengurangi kuantitas pertemuannya dengan Ervin yang rasanya semakin lama jadi semakin sering.Banyak hal yang diam-diam Arla takutkan dengan intensitas pertemuannya dengan Ervin yang naik signifikan setelah mereka resmi pacaran.Pertama dan yang paling utama, ia benar-benar takut jatuh cinta terlalu dalam. Menjadi seperti mamanya--jatuh cinta setengah mati dan ditinggalkan--tidak pernah ada dalam bayangannya.Ked