“Vin.” Arla meletakkan telapak tangannya di bahu kiri Ervin, berusaha menahan agar Ervin tidak semakin mendekat. Hanya beberapa detik Arla terkesiaap, tapi nalarnya lebih cepat mencerna apa yang harus dilakukannya.“Begini ternyata berhadapan sama seorang player juga.” Satu sudut bibir Ervin tertarik ke atas, melemparkan segaris senyuman. “Sampe kapan kamu mau main-main sama aku, La?”“Aku nggak ngerasa lagi main-main sama kamu. Ya … semalem aku cuma sedikit tersentuh waktu kamu bawain pesenan mamamu.”“Trus kamu nggak tersentuh aku udah menuhin permintaan kamu untuk pergi? Aku nemenin kamu berhari-hari itu nggak bikin kamu tersentuh?”“Kamu pasti tau kalo aku sangat berterima kasih untuk beberapa hari itu. Tapi tetep aja beda sama yang semalem.” Arla masih melemparkan senyuman, sama sekali tidak menunjukkan kalau Ervin berhasil mengintimidasinya.“Jadi pacarku, La. Aku pengen tau kenapa jantungku deg-degan setiap deket kamu.”Arla terdiam. Ia bisa melihat keseriusan dari Ervin. Tapi
"Vin, sorry." Lily berusaha meminta maaf karena keteledorannya Arla sampai merangsek masuk ke ruangan Ervin."It's ok, Lil. Aku perlu bicara juga sama Arla."Lily mengangguk kemudian menutup pintu ruangan Ervin. "Erviiin, Erviiin, bikin masalah apa lagi sih sampe Arla kayak mau nelen orang gitu."Ervin menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, mencoba mencari alasan yang tidak terlalu memalukan untuknya."Aku—""Aku nggak peduli sih Vin alasanmu apa, tapi ini udah nggak profesional banget.""Duduk dulu, La." Ervin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Arla juga duduk di sana saat dulu pertama kali menyambangi ruangan itu.Arla memang pada akhirnya duduk di sofa, mengikuti ajakan Ervin, tapi ia memilih diam tanpa bicara, membiarkan Ervin yang bicara lebih dulu untuk menjelaskan."Sorry, belakangan ini agak sibuk, jadi aku belum sempet ngecek. Hari ini aku juga sebenernya lagi ngerjain sesuatu yang urgent makanya minta ke Lily untuk bilang aku
"Dokter Galant?” Arla menyapa lelaki yang duduk di sudut café seorang diri.Lelaki itu mengenakan polo shirt berwarna hitam dan jeans berwarna abu-abu. Penampilanya sesuai deskripsi yang ia kirim melalui pesan singkat.Malam sebelumnya, Arla memaksa Putra yang seorang dokter untuk memperkenalkan seseorang kepadanya, siapa pun, asal terlihat proper menjadi pasangan kencannya. Putra yang semula menolak akhirnya pasrah setelah mendapat rengekan Arla sepanjang malam.Belakangan ini Arla sama sekali tidak terpikir untuk berkencan karena load pekerjaannya yang menggila. Ia pun hanya melemparkan pepesan kosong ketika mengatakan kalau ia sudah memiliki pacar kepada Ervin. Tapi pesan singkat dari Ervin untuk mengajaknya double date benar-benar membuat harga dirinya terkoyak.“Arla?”Keduanya saling berjabat tangan, sebagai tanda pertemuan mereka yang pertama.Galant kemudian mempersilakan Arla duduk di hadapannya sambil mengangsurkan sebuah buku menu.Tampang: Ok, meskipun tidak separipurna Er
“Kamu siap-siap gini sebenernya karena nggak mau kalah sama ceweknya Ervin apa karena mau bikin Ervin terpukau?”“Kalo bisa sekali tepuk dua lalat, kenapa nggak?”Arla masih ingat percakapannya dengan Risma sebelum ia berangkat double date. Oh sungguh, Arla pikir double date hanya ada dalam drama-drama yang sering ditontonnya. Dan sekarang ia terjebak dalam keadaan itu hanya karena tidak mau harga dirinya tercoreng.“Arla.”“Hmm?”Oh ya, Arla harus mengembalikan fokusnya. Ada Galant di sampingnya yang sudah bersedia ikut dalam acara double date hari itu. Ia harus menghargai kesediaan Galant.“Aku baru tau loh ada yang beneran mau double date. Bukannya orang itu sukanya dating berdua aja.”“Tenang, nggak kamu aja kok, Lant. Aku juga baru tau ada orang ngajakin double date.”Galant terkekeh, lalu memilih melanjutkan pembicaraan seputar Putra yang sedang digosipkan menjalin hubungan dengan perawat di rumah sakit.Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di pelataran sebuah café. Arla langsu
"Aku ke toilet dulu ya, Lant."Galant mengangguk mengiakan. "Kamu pengen minum apa? Biar kupesenin.""Hmm ... Hazelnut Latte tapi yang hot ya.""Ok. Popcorn-nya campur aja ya."Arla mengangguk kemudian bergegas pergi, sebelum akhirnya berpapasan dengan Ervin dan Linda yang baru datang. Ia bersama Galant memang sampai lebih dulu di bioskop tempat mereka janji bertemu. Kebetulan mobil Galant bisa lolos dari lampu merah sementara mobil Ervin sempat tertahan lampu merah.“Tiketnya udah dipegang Galant ya.”“Kamu mau ke mana, La?” tanya Linda yang masih setia memegangi lengan Ervin seakan Ervin akan lepas dari jangkauannya begitu ia melonggarkan pegangannya.“Mau ke toilet dulu.”“Bareng dong,” rengek Linda.“Galant di mana sekarang?” tanya Ervin.“Itu lagi pesen makanan sama minuman.”“Aku ke sana deh.” Ervin hampir saja melangkah pergi, tapi Linda berhasil menariknya.“Aku mau honey lemon dong, Vin.”“Ok. Kamu nggak, Ra?”“Aku udah dipesenin sama Galant.”Ervin mengangguk namun mengumpat
“Sekarang bisa nilai kan siapa yang perhatian sama kamu?”Arla melengos, kembali memusatkan perhatiannya pada layar bioskop yang kini masih menampilkan iklan film-film yang akan segera tayang. Tapi pikirannya sedang tidak di sana. Ia memperhatikan jaket yang menutupi badannya, jaket itu memang milik Galant, tapi Ervin yang sebenarnya memperhatikan detail kecil tentang dirinya. Arla buru-buru menggeleng dan menghalau pikirannya.‘Ervin sudah punya pacar. Inget, La! Jangan make perasaan kalau kamu nggak mau terjebak!’Dari ekor matanya, Ervin bisa melihat Arla yang terdiam menatap layar di hadapannya. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya, sementara di sampingnya Linda terus mengajaknya bicara.Ervin melakukan hal yang sama seperti Galant—memberikan jaketnya kepada Linda yang sejak tadi merasa iri kepada Arla yang mendapat perhatian dari Galant.Jangan bayangkan ada kejadian tidak sengaja saling bersentuhan tangan ketika mengambil popcorn dari wadah yang sama, karena perhatian Ervin ha
“La, nggak lupa kan?”“Nggak, Al. Ini aku lagi siap-siap. Kamu sama Mom udah jalan?”“Udah, tiga puluh menitan lagi sampe apartemenmu.”Pagi itu Alice mengatur janji temu dengan dokter mamanya yang praktik di salah satu rumah sakit swasta. Mamanya memang tidak mengalami penyakit serius selain tensi darah yang sering lebih rendah daripada orang pada umumnya, tapi keluarga mereka memang meminta mamanya untuk rutin check up sejak mamanya menginjak usia enam puluh tahun.Arla meraih sweater yang ada di lemari sebelum keluar dari kamarnya. Ia berencana sarapan di minimarket yang berada di bawah apartemen sekalian menunggu Alice dan mamanya tiba.Seperti biasa, ia memesan secangkir flat white dan dua onigiri begitu tiba di minimarket yang juga menyediakan kursi-kursi bagi pelanggan yang ingin menghabiskan makanan mereka di sana.Arla baru menggigit onigiri tuna mayo di tangannya saat melihat Ervin masuk ke dalam minimarket tempatnya sedang sarapan. ‘Ngapain dia di sini sepagi ini?’Ervin—y
“Vin, rileks.”Bukan Arla yang duduk di depan yang menegur Ervin, melainkan Alice yang duduk di kursi penumpang tengah. Dari tempatnya duduk, Alice bisa melihat punggung Ervin yang tegak dan kaku, lalu cara menyetirnya yang terlihat agak aneh, walaupun mobil tetap berjalan dengan mulus. Hanya saja sikap Ervin mengingatkannya ketika kantornya sedang melakukan tes driving untuk supir kantor.Arla yang semula menoleh ke arah jendela sekarang berganti menatap Ervin karena penasaran dengan ucapan Alice.‘Ya Tuhan, dia bener-bener setegang itu.’ Mau tidak mau Arla berusaha menahan tawanya.“Mau aku yang nyetir?” tanya Arla.“Nggak, nggak.” Ervin mencoba merilekskan punggungnya daripada para wanita itu terus merongrongnya. “Tante, kalau saya nyetirnya terlalu ngebut, atau Tante nggak nyaman, kasih tau ya, Tante.”Esther tergelak mendapati perhatian yang disampaikan Ervin padanya—perhatian yang agak berlebihan karena teman Arla yang lain tidak ada yang seperti itu padanya.“La, aku bener ngga