Beranda / Romansa / PLAYER / 32 Sugar Brother

Share

32 Sugar Brother

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“La.”

“Nggak, Vin.”

Ervin tergelak mendengar penolakan Arla yang terus-menerus. “Berarti kita jadian dong.”

“Hah?”

“Aku tadinya mau nanya, setelah kamu nolak aku seharian ini, kali ini kamu nggak akan nolak lagi kan? Kamu jawab nggak, berarti nggak nolak kan?”

Arla memutar kedua bola matanya dengan malas. Tidak pernah ada seorang pun lelaki yang pernah mengajaknya menjalin hubungan dengan cara se-nyeleneh Ervin.

“Mau ngopi sambil duduk di teras lagi?” tanya Ervin usai menyelesaikan makan malam yang berlangsung cepat karena perut mereka memang sudah meronta sejak mereka menikmati sunset sore tadi.

“Boleh.”

Arla berjalan menuju kamarnya untuk mengambil jaket selagi Ervin menyeduh dua gelas kopi sachet. Kalau dipikir-pikir, Arla kira Ervin alergi kopi sachet. Anak pemilik coffee shop yang memiliki puluhan cabang, sekaligus keturunan keluarga Candra penguasa pasar retail, industri pengolahan makanan, konstruksi, perkapalan, hotel, ekspor impor, entah berapa banyak lagi sektor bisnis yang
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • PLAYER   33 Sama Siapa?

    Ervin berjalan mengendap dari mobil hingga menuju ke halaman samping rumahnya.Waktu sudah menginjak pukul dua siang, ia baru saja mengantar Arla kembali ke apartemen. Pelarian mereka sudah berakhir, meskipun Ervin belum berhasil juga untuk menjadikan Arla kekasihnya, tetapi dua hari dua malam kebersamaan mereka membuat hubungan mereka maju lebih cepat bila dibandingkan hubungan Ervin dengan para wanitanya yang terdahulu.“Bi, Bi,” panggil Ervin pelan kepada Bi Ijah—salah satu ART di rumahnya—yang melintas di dekat ruang keluarga. “Papa mana, Bi?”“Keluar habis makan siang, Mas. Pergi sama Pak Rama.”“Kalo Mama?”“Di kamar, Mas.”Ervin meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebagai kode kepada Bi Ijah untuk merahasiakan kepulangannya.Beruntung kamarnya berada di lantai 2, terpisah dari kamar orang tuanya yang berada di lantai 1 hingga usaha Ervin agar mamanya tidak memergokinya sukses besar. Kini ia berada di dalam kamar tidurnya yang ditinggalkan selama beberapa hari demi Arla.Ah, b

  • PLAYER   34 Packaging Player

    "Kalian ada hubungan apa? Mau cerita ke Mama biar Mama nggak salah paham?”Di usia seperti Ervin, harusnya Rhea tidak lagi menanyakan hal seperti itu, tapi memang kelakuan Ervin yang masih belum dewasa membuat Rhea seperti berhadapan dengan bocah SMA yang baru puber.Dewasa baginya tidaklah dilihat dari umur, tapi dari sikap. Rhea bisa mengacungkan jempol untuk tanggung jawab Ervin di perusahaan, tapi untuk sikap main-main perempuannya, rasanya semua anggota keluarga sudah cukup sering mengingatkan Ervin untuk menghentikannya, tapi Ervin belum juga berubah.Mungkin belum ada wanita yang bisa membuat Ervin bertekuk lutut dan menghentikan kebiasaan itu. Rhea selalu mencoba berpikir positif karena suaminya dulu pun seperti itu.“Jangan pecat Arla ya, Ma. Ini nggak kayak yang Mama pikir.”“Orang Mama nggak mikir apa-apa,” jawab Rhea sambil menggelengkan kepala.“Sebenernya aku kenal Arla sebelum Mama bawa Arla ke sini. Dan ya … to be honest, aku memang sempet mau deketin dia.”Rhea menghe

  • PLAYER   35 Cobaan

    “Selangkah lagi menuju kebebasan!” seru Ervin pada kedua sahabatnya yang malam itu berkumpul di apartemen Adit.“Akhirnya … bisa keluar dari rumah tanpa izin ya, Vin? Bisa bawa cewek ke rumah sendiri—” Dan sebuah cushion sofa melayang ke arah Adit karena ucapannya.“Jangan sampe lo ngomong begini pas ada bokap atau nyokap gue. Bisa otomatis dicabut masa percobaan tiga bulan ini. Lagian nggak ada niatan gue untuk bawa cewek ke rumah. Rumah itu bakalan jadi tempat yang sakral, yang boleh dateng cuma keluarga gue sama calon istri gue nanti.”“Njir! Kita nggak boleh main ke rumah lo?” Bastian mendelik kesal. Café-nya, rumahnya, lalu apartemen Adit, semuanya sering dijadikan tempat mereka berkumpul, sekarang berani-beraninya Ervin mencoret mereka dari daftar tamu rumahnya.“Hmm … boleh lah, jangan sering-sering tapi.”“Bangke! Lagian kayak ada calon istri aja sok-sokan yang boleh dateng cuma keluarga sama calon istri.”Ervin terdiam mendengar umpatan Adit. Bukan karena ia tersinggung, tapi

  • PLAYER   36 Coba Ulangi!

    "Iya kan, Mas? Ervin nggak pernah seimpulsif itu kan sebelumnya sama cewek?" Sambil masih memegang berkas budgeting coffee shop yang akan dibuka di beberapa daerah di Sumatera, Rhea duduk di samping suaminya dengan satu kaki dilipat di atas sofa dan memiringkan badannya agar bisa berhadapan langsung dengan suaminya."Kok baru bahas sekarang sih, Yang?""Aku diam-diam merhatiin Arla dari kemaren, pengen mastiin aja. Tapi Arla kelihatan biasa, nggak terganggu atau grogi gitu kalo aku nyebut nama Ervin. Beda banget sama Ervin kalo aku lagi nyebut nama Arla.""Terus kalo Ervin emang suka sama Arla kenapa? Kamu nggak setuju?""Bukan gitu, aku nggak mau kehilangan asisten kayak Arla. Nanti kalo Ervin main-main terus Arla resign gimana?"Naren menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu nggak mikirin anak kita, malah mikirin asistenmu?""Maaas, Ervin udah umur segini. Udah waktunya dia serius nata hidupnya. Aku nggak ngomong tentang pekerjaan atau materi ya. Aku ngomongin tentang rumah tangga. Sam

  • PLAYER   37 Kamu Mempermainkanku!

    Belum sempat Arla menjawab, suara vokal Brad Arnold membuyarkan suasanya tegang di dalam mobil.Arla bergegas mengangkat telepon dari seseorang, sementara Ervin masih menatap Arla, berharap Arla segera menyelesaikan sambungan telepon itu.“Ya, Ris?”“…”“Ya udah kalo nggak ada, pilihin yang lain aja.”“…”“Jangan yang kismis ya, yang coklat atau keju aja.”“…”Arla terkekeh. Ervin berusaha memperluas kesabarannya. Entah apa yang dibicarakan Arla dengan seseorang di sambungan telepon itu, sepertinya tentang makanan. Dan Arla dengan santainya terus meladeni siapa pun itu, mengabaikan Ervin yang detak jantungnya belum juga kembali normal.Tiba-tiba Ervin terkesiap saat Arla menepuk pelan tangannya sambil menunjuk lampu traffic light yang berubah menjadi hijau. Tak lama kemudian suara bel bersahut-sahutan keluar dari pengemudi di belakangnya. Ervin terpaksa melajukan mobilnya meskipun belum mendapatkan apa yang ingin didengarnya.Shit! Apartemen Arla hanya tinggal berjarak kurang dari ser

  • PLAYER   38 Tidak Ada Kesempatan Untukku?

    “Vin.” Arla meletakkan telapak tangannya di bahu kiri Ervin, berusaha menahan agar Ervin tidak semakin mendekat. Hanya beberapa detik Arla terkesiaap, tapi nalarnya lebih cepat mencerna apa yang harus dilakukannya.“Begini ternyata berhadapan sama seorang player juga.” Satu sudut bibir Ervin tertarik ke atas, melemparkan segaris senyuman. “Sampe kapan kamu mau main-main sama aku, La?”“Aku nggak ngerasa lagi main-main sama kamu. Ya … semalem aku cuma sedikit tersentuh waktu kamu bawain pesenan mamamu.”“Trus kamu nggak tersentuh aku udah menuhin permintaan kamu untuk pergi? Aku nemenin kamu berhari-hari itu nggak bikin kamu tersentuh?”“Kamu pasti tau kalo aku sangat berterima kasih untuk beberapa hari itu. Tapi tetep aja beda sama yang semalem.” Arla masih melemparkan senyuman, sama sekali tidak menunjukkan kalau Ervin berhasil mengintimidasinya.“Jadi pacarku, La. Aku pengen tau kenapa jantungku deg-degan setiap deket kamu.”Arla terdiam. Ia bisa melihat keseriusan dari Ervin. Tapi

  • PLAYER   39 Childish

    "Vin, sorry." Lily berusaha meminta maaf karena keteledorannya Arla sampai merangsek masuk ke ruangan Ervin."It's ok, Lil. Aku perlu bicara juga sama Arla."Lily mengangguk kemudian menutup pintu ruangan Ervin. "Erviiin, Erviiin, bikin masalah apa lagi sih sampe Arla kayak mau nelen orang gitu."Ervin menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, mencoba mencari alasan yang tidak terlalu memalukan untuknya."Aku—""Aku nggak peduli sih Vin alasanmu apa, tapi ini udah nggak profesional banget.""Duduk dulu, La." Ervin bangkit dari kursi kerjanya dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Arla juga duduk di sana saat dulu pertama kali menyambangi ruangan itu.Arla memang pada akhirnya duduk di sofa, mengikuti ajakan Ervin, tapi ia memilih diam tanpa bicara, membiarkan Ervin yang bicara lebih dulu untuk menjelaskan."Sorry, belakangan ini agak sibuk, jadi aku belum sempet ngecek. Hari ini aku juga sebenernya lagi ngerjain sesuatu yang urgent makanya minta ke Lily untuk bilang aku

  • PLAYER   40 Cuma Have Fun

    "Dokter Galant?” Arla menyapa lelaki yang duduk di sudut café seorang diri.Lelaki itu mengenakan polo shirt berwarna hitam dan jeans berwarna abu-abu. Penampilanya sesuai deskripsi yang ia kirim melalui pesan singkat.Malam sebelumnya, Arla memaksa Putra yang seorang dokter untuk memperkenalkan seseorang kepadanya, siapa pun, asal terlihat proper menjadi pasangan kencannya. Putra yang semula menolak akhirnya pasrah setelah mendapat rengekan Arla sepanjang malam.Belakangan ini Arla sama sekali tidak terpikir untuk berkencan karena load pekerjaannya yang menggila. Ia pun hanya melemparkan pepesan kosong ketika mengatakan kalau ia sudah memiliki pacar kepada Ervin. Tapi pesan singkat dari Ervin untuk mengajaknya double date benar-benar membuat harga dirinya terkoyak.“Arla?”Keduanya saling berjabat tangan, sebagai tanda pertemuan mereka yang pertama.Galant kemudian mempersilakan Arla duduk di hadapannya sambil mengangsurkan sebuah buku menu.Tampang: Ok, meskipun tidak separipurna Er

Bab terbaru

  • PLAYER   200 Extra Part 2 ( Je T'aime Chaque Jour Davantage)

    "Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat

  • PLAYER   199 Extra Part 1 (Bagaimana Kalau Jiwa Player Mendarah Daging?)

    “Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang

  • PLAYER   198 Ancel Adhiputra Candra

    “Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge

  • PLAYER   197 Tinggal di Rumah Mertua

    Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut

  • PLAYER   196 Kita ke Rumah Sakit!

    “Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r

  • PLAYER   195 Bargain

    “Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah

  • PLAYER   194 The True Face of Pramono

    “Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela

  • PLAYER   193 Satu Aja Nggak Abis-Abis

    "Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa

  • PLAYER   192 Kamu yang Menang

    “Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal

DMCA.com Protection Status