Arla membuka matanya kala mendengar kokok ayam bersahutan. “Woah! Ini di pulau kenapa banyak ayam?” gumam Arla yang masih berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya.Ia sudah sadar, tapi matanya begitu berat untuk dibuka. Wajar, karena ia menangis entah berapa lama semalam.Bangkit dari kasur, Arla membuka pintu kamar dan mendapati Ervin yang masih memejamkan mata tapi duduk tegak di kursi plastik dekat televisi. Rambutnya masih acak-acakan, jelas Ervin sama sekali tidak merapikan diri sebelum keluar kamar.‘Dasar! Kalo emang ganteng, mau acak-acakan kayak apa juga tetep ganteng.’“Jangan ngelihatin terus, La. Nanti naksir.”Arla berdecak pelan. “Kamu udah bangun beneran belum sih? Ngapain begitu?”“Ssst! Aku lagi ngumpulin nyawa.” Sebenarnya otak Ervin sedang berputar. Tadi pagi mamanya menghubunginya, menanyakan keberadaannya. Alasan menginap di rumah Bastian langsung disanggah mamanya karena kakaknya ternyata makan malam di café Bastian dan saat bertemu dengan Bastian, sahabat laknatny
“Menurutmu kalo aku punya pacar, kamu bakal selamat nggak nanti begitu kita balik?”“Pasti nggak ya. Mana ada cowok yang rela ceweknya pergi sama cowok lain, apalagi kalo ceweknya kayak kamu. Makanya aku nanya.” Ervin terkekeh geli. Sebenarnya ia tidak takut, ia sama sekali tidak pernah ragu dengan bekal beladiri yang dimilikinya. Tapi akan terasa sangat kurang ajar kalau ia membawa pacar orang pergi ke tempat yang asing, hanya berdua. Ia juga tidak akan terima kalau pacarnya dibawa lari orang dengan cara seperti itu.Tapi di luar itu, Ervin hanya ingin tahu status Arla sebagai pertimbangan utamanya untuk mendekati gadis itu. Walau itu artinya ia harus menghianati hasil sayembaranya kali ini.Harusnya … ia memilih Linda—setelah mengeleminasi Ema, Priscilia, Rista dan Arla—terlepas dari kebiasaan Linda yang sering bergelayut manja, tapi memang tidak ada pilihan lainnya. Sialnya, nama Linda tidak lagi menggiurkan setelah ia menghabiskan waktu bersama Arla, dan nama Arla justru menjadi k
Arla memegang dadanya, tepat di depan jantungnya, merasakan jantungnya yang berdebar. Hal yang tak ingin diakuinya. "Aku baru kali ini ditembak cowok kayak diajakin makan di kantin."Sekarang ganti Ervin yang mengusap wajahnya dengan frustrasi. Kenapa ajakan untuk jadian tiba-tiba keluar dari mulutnya?"Kamu mau kutembak pas snorkeling nggak? Itu udah cukup romantis belum buat kamu?" Astaga! Sepertinya Ervin sedang tidak waras. Otak, hati, dan mulutnya sama sekali tidak ada yang sinkron.Bukannya menganggap omongan Ervin serius, tawa berderai justru keluar dari mulut Arla."Jangan gila deh, Vin. Udah, begini aja lebih enak. Temenan. Atau atasan bawahan. Gimana pun juga kamu anak atasanku, Vin.""Atasan bawahan itu saling melengkapi, La. Kamu bisa disangka nggak waras kalo cuma make atasan doang, dan kamu bisa disangka gila kalo cuma pake bawahan doang."Ok, sekarang Ervin menggunakan perumpamaan pakaian, entah nanti apalagi yang keluar dari mulut manisnya."Udah, udah, Vin. Lama-lama
“La.”“Nggak, Vin.”Ervin tergelak mendengar penolakan Arla yang terus-menerus. “Berarti kita jadian dong.”“Hah?”“Aku tadinya mau nanya, setelah kamu nolak aku seharian ini, kali ini kamu nggak akan nolak lagi kan? Kamu jawab nggak, berarti nggak nolak kan?”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas. Tidak pernah ada seorang pun lelaki yang pernah mengajaknya menjalin hubungan dengan cara se-nyeleneh Ervin.“Mau ngopi sambil duduk di teras lagi?” tanya Ervin usai menyelesaikan makan malam yang berlangsung cepat karena perut mereka memang sudah meronta sejak mereka menikmati sunset sore tadi.“Boleh.”Arla berjalan menuju kamarnya untuk mengambil jaket selagi Ervin menyeduh dua gelas kopi sachet. Kalau dipikir-pikir, Arla kira Ervin alergi kopi sachet. Anak pemilik coffee shop yang memiliki puluhan cabang, sekaligus keturunan keluarga Candra penguasa pasar retail, industri pengolahan makanan, konstruksi, perkapalan, hotel, ekspor impor, entah berapa banyak lagi sektor bisnis yang
Ervin berjalan mengendap dari mobil hingga menuju ke halaman samping rumahnya.Waktu sudah menginjak pukul dua siang, ia baru saja mengantar Arla kembali ke apartemen. Pelarian mereka sudah berakhir, meskipun Ervin belum berhasil juga untuk menjadikan Arla kekasihnya, tetapi dua hari dua malam kebersamaan mereka membuat hubungan mereka maju lebih cepat bila dibandingkan hubungan Ervin dengan para wanitanya yang terdahulu.“Bi, Bi,” panggil Ervin pelan kepada Bi Ijah—salah satu ART di rumahnya—yang melintas di dekat ruang keluarga. “Papa mana, Bi?”“Keluar habis makan siang, Mas. Pergi sama Pak Rama.”“Kalo Mama?”“Di kamar, Mas.”Ervin meletakkan jari telunjuknya di bibir, sebagai kode kepada Bi Ijah untuk merahasiakan kepulangannya.Beruntung kamarnya berada di lantai 2, terpisah dari kamar orang tuanya yang berada di lantai 1 hingga usaha Ervin agar mamanya tidak memergokinya sukses besar. Kini ia berada di dalam kamar tidurnya yang ditinggalkan selama beberapa hari demi Arla.Ah, b
"Kalian ada hubungan apa? Mau cerita ke Mama biar Mama nggak salah paham?”Di usia seperti Ervin, harusnya Rhea tidak lagi menanyakan hal seperti itu, tapi memang kelakuan Ervin yang masih belum dewasa membuat Rhea seperti berhadapan dengan bocah SMA yang baru puber.Dewasa baginya tidaklah dilihat dari umur, tapi dari sikap. Rhea bisa mengacungkan jempol untuk tanggung jawab Ervin di perusahaan, tapi untuk sikap main-main perempuannya, rasanya semua anggota keluarga sudah cukup sering mengingatkan Ervin untuk menghentikannya, tapi Ervin belum juga berubah.Mungkin belum ada wanita yang bisa membuat Ervin bertekuk lutut dan menghentikan kebiasaan itu. Rhea selalu mencoba berpikir positif karena suaminya dulu pun seperti itu.“Jangan pecat Arla ya, Ma. Ini nggak kayak yang Mama pikir.”“Orang Mama nggak mikir apa-apa,” jawab Rhea sambil menggelengkan kepala.“Sebenernya aku kenal Arla sebelum Mama bawa Arla ke sini. Dan ya … to be honest, aku memang sempet mau deketin dia.”Rhea menghe
“Selangkah lagi menuju kebebasan!” seru Ervin pada kedua sahabatnya yang malam itu berkumpul di apartemen Adit.“Akhirnya … bisa keluar dari rumah tanpa izin ya, Vin? Bisa bawa cewek ke rumah sendiri—” Dan sebuah cushion sofa melayang ke arah Adit karena ucapannya.“Jangan sampe lo ngomong begini pas ada bokap atau nyokap gue. Bisa otomatis dicabut masa percobaan tiga bulan ini. Lagian nggak ada niatan gue untuk bawa cewek ke rumah. Rumah itu bakalan jadi tempat yang sakral, yang boleh dateng cuma keluarga gue sama calon istri gue nanti.”“Njir! Kita nggak boleh main ke rumah lo?” Bastian mendelik kesal. Café-nya, rumahnya, lalu apartemen Adit, semuanya sering dijadikan tempat mereka berkumpul, sekarang berani-beraninya Ervin mencoret mereka dari daftar tamu rumahnya.“Hmm … boleh lah, jangan sering-sering tapi.”“Bangke! Lagian kayak ada calon istri aja sok-sokan yang boleh dateng cuma keluarga sama calon istri.”Ervin terdiam mendengar umpatan Adit. Bukan karena ia tersinggung, tapi
"Iya kan, Mas? Ervin nggak pernah seimpulsif itu kan sebelumnya sama cewek?" Sambil masih memegang berkas budgeting coffee shop yang akan dibuka di beberapa daerah di Sumatera, Rhea duduk di samping suaminya dengan satu kaki dilipat di atas sofa dan memiringkan badannya agar bisa berhadapan langsung dengan suaminya."Kok baru bahas sekarang sih, Yang?""Aku diam-diam merhatiin Arla dari kemaren, pengen mastiin aja. Tapi Arla kelihatan biasa, nggak terganggu atau grogi gitu kalo aku nyebut nama Ervin. Beda banget sama Ervin kalo aku lagi nyebut nama Arla.""Terus kalo Ervin emang suka sama Arla kenapa? Kamu nggak setuju?""Bukan gitu, aku nggak mau kehilangan asisten kayak Arla. Nanti kalo Ervin main-main terus Arla resign gimana?"Naren menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu nggak mikirin anak kita, malah mikirin asistenmu?""Maaas, Ervin udah umur segini. Udah waktunya dia serius nata hidupnya. Aku nggak ngomong tentang pekerjaan atau materi ya. Aku ngomongin tentang rumah tangga. Sam