Ervin masih menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan daftar layanan yang disediakan hotel dan ke mana ia bisa menghubungi jika membutuhkan layanan mereka—fitur otomatis yang langsung nyala begitu card key dimasukkan ke dalam tempatnya di dinding dekat pintu untuk mengaktifkan electricity di dalam kamar.Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara percakapan dari depan pintu. “Lagi apa Arla? Nelepon orang? Atau ada orang yang ngajak dia ngobrol?”Ah, mungkin hanya perasaannya karena beberapa detik kemudian hanya hening. Tapi tiba-tiba terdengar lagi Arla bicara dan kali ini nada bicaranya lebih naik daripada sebelumnya.Atau itu hanya akal-akalan Arla untuk menarik perhatiannya?Ervin mengedikkan bahu, berniat mengambil minuman dingin yang biasanya disediakan di dalam kulkas mini yang berada di kabinet panjang yang terletak di bawah televisi. Tapi lagi-lagi, Ervin mendengar suara Arla dan seorang laki-laki. Kali ini sepertinya ia tidak berhalusinasi.Berjalan mendekat ke
“Sumpah lo seruwet ini cuma gara-gara cewek?” Adit melempar tisu bekasnya mengusap bibir ke arah Ervin yang baru saja selesai menceritakan kejadian di hotel tempo hari.Malam itu, seperti biasa mereka bertiga berkumpul di Artco Café—café milik Bastian. Namun karena kondisi Jakarta yang sedang diguyur hujan deras, mereka tidak bisa menikmati malam dari rooftop café itu. Terpaksa mereka menggunakan ruang kerja Bastian untuk berkumpul daripada duduk bersama pelanggan lain dengan risiko menjadi pusat perhatian.“Gue cuma merasa bersalah aja. Coba kalo lo di posisi gue, cewek itu hampir diseret laki-laki tua bangka gara-gara gue,” bantah Ervin. “Gara-gara ide gila kalian tuh!”Adit dan Bastian hanya terkekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepala.Silakan tanya kepada mereka, siapa yang paling suka main-main dengan wanita? Pasti jawabannya adalah Ervin. Jumlah mantan pacar mereka bahkan tidak ada setengahnya dari jumlah mantan Ervin. Tapi tanyakan juga kepada mereka, siapa yang tidak pern
Lantunan lagu Here Without You dari 3 Doors Down memenuhi ruangan sempit di dalam mobilnya. Ringtone itu sudah terpasang sejak ia berganti ponsel. Dia tergila-gila dengan suara berat Brad Arnold—vocalis dari band rock asal America tahun 90’an itu. Kalau orang mendengar ringtone ponselnya, ia bisa saja langsung dihakimi sebagai wanita yang sedang patah hati dan tidak bisa move on. Tapi Arla sama sekali tidak peduli.Sambil tetap fokus pada kemudinya, tangan Arla meraih tasnya yang ia letakkan di kursi penumpang depan, lantas mengangkat telepon entah dari siapa pun itu. Ia sama sekali tidak memperhatikan nama si penelepon.“Halo.”“Arla.”Seketika punggungnya menegak meskipun lawan bicaranya tidak bisa melihat dirinya. Iya, sehormat itu Arla padanya. Tapi ia pasti mati kutu kalau wanita itu memintanya datang lagi ke rumah. Oh please, jangan permintaan yang satu itu. “Iya, Bu?”“Kamu nggak usah ke kantor kita, langsung ke kantornya Ervin aja.”Ya Tuhan! Ini sebelas dua belas namanya.“K
“Aww!” Ervin mendesis pelan, menahan kakinya yang sakit karena baru saja diinjak dengan heels oleh Lily.“Apa sih?” tanya Ervin tanpa suara sambil menatap kesal ke arah Lily.“Sepertinya Pak Ervin masih perlu waktu untuk memutuskan cabang yang mana yang paling strategis. Iya kan, Pak?”“Hm? Iya. Kirim ke saya data yang biasa dikumpulin sama tim research per semesternya. Nanti saya lihat lagi.”Meeting siang itu pun Ervin bubarkan karena kondisinya yang agak kurang normal—kondisi otaknya, bukan kondisi tubuhnya.Begitu semua orang keluar dari ruang rapat, Lily mengomelinya habis-habisan. “Vin, serius cuma fisikmu doang yang duduk sebagai pimpinan rapat. Tapi pikiranmu sama sekali nggak ada di rapat. Apa yang anak-anak sampein nggak kamu dengerin, setiap mereka nanya keputusanmu, kamu malah bengong.”Ervin menyugar rambutnya dengan frustasi sembari menyandarkan dirinya ke punggung kursi.“Kenapa sih?”Ervin menggeleng.“Ada masalah?”Ervin menggeleng lagi.“Nggak bisa berhenti mikirin A
“Sekarang dia ngajak aku ke Puncak Bogor, Ris. Aku curiga kayaknya dia maniak deh.”“Hush! Sembarangan.”“Ya apa coba namanya, abis ngajak ke hotel, trus ngajak ke Puncak.”Puncak Bogor memang indah, banyak orang datang ke sana karena suasana yang dingin dan pemandangan alam yang memesona. Tapi beberapa orang datang ke sana dengan niat lain—seperti memadu kasih untuk mereka yang bukan merupakan pasangan sah.“Positif thinking dikit, La. Kali dia mau ngajak makan sate.”Arla memutar kedua bola matanya dengan malas meskipun Risma tidak bisa melihatnya karena ia memang langsung menghubungi Risma setelah berhasil kabur dari Ervin yang masuk ke dalam ruang kerja atasannya. “Kayak nggak ada sate aja di Jakarta.”“Trus gimana? Kamu berani? Setelah apa yang pernah dia lakukan di hotel waktu itu.”“Hmmm, nggak tau ah, aku nanti beli pepper spray dulu kali ya.”Risma tergelak mendengar penuturan Arla. Tapi wanita seperti Arla memang seharusnya membawa benda-benda untuk melindungi diri. Sudah ta
“Tu vas bien Mom? Je vais travailler si tu vas vraiment bien.” (Mom beneran nggak apa-apa? Aku berangkat kerja kalo Mom udah membaik)“Oui, retourne juste au travail.” (Iya, berangkat kerja sana)“Bu, nitip Mom ya.” Arla berpesan singkat kepada seorang wanita paruh baya yang sudah lama membantu mengurus rumah sekaligus menemani mamanya di siang hari, yang biasa dipanggilnya ‘Ibu’.Harusnya Arla tidak perlu terlalu khawatir karena kondisi mamanya memang sudah membaik pasca tekanan darah rendah yang sempat membuatnya sering pusing beberapa hari ini. Namun setelah melihat apa yang dilakukan mamanya semalam—menatap sendu sambil terisak memandang foto laki-laki penyumbang benih empat orang wanita di rumah itu—Arla tidak bisa untuk tidak merasa khawatir.“Bu, beneran, kalo Mom mulai pusing-pusing lagi langsung kabarin aku ya. Mom pasti ngerahasiain dari anak-anaknya.”“Iya, Neng. Nanti Ibu kabarin kalau Nyonya kenapa-kenapa. Ibu udah bawa baju buat nginep sini kok. Neng Alice katanya nyampe
“Gimana keadaan Mom?”“Tadi pagi sih udah nggak pusing, makanya Mom nyuruh aku berangkat kerja aja. Ibu juga bakalan nginep di rumah hari ini.”Pemandangan dua wanita yang duduk berhadapan itu berkali-kali membuat orang menoleh ke arah mereka. Apalagi alasannya kalau bukan karena tampang mereka yang berbeda dari orang Indonesia pada umumnya.Sebenarnya kalau hanya sepintas lewat, Arla masih terlihat seperti asli berdarah Indonesia, hanya mata hazel, rambut coklat dan hidungnya yang membuatnya seperti blasteran. Tapi kalau diperhatikan lebih teliti, Arla memang terlihat punya darah campuran. Sementara Abiel, sepertinya mengambil 80% gen dari mamanya.Siang itu, Abiel mengajak Arla bertemu karena kebetulan Abiel sedang ada acara di dekat tempat Arla bekerja. Arla memilih mall yang dekat dengan tempat kerjanya daripada mengajak Abiel ke coffee shop Amigos yang berada di lantai bawah kantornya.“Kamu masih aja main-main sama laki-laki, La?”“Aku bukannya main-main. Aku tertarik, pacaran,
Arla mengerjap, memperhatikan keadaan jalan yang mereka lalui. Tidak terlalu lebar walau masih cukup untuk dua kendaraan roda empat. “Vin, ini mobilmu nggak apa-apa ke daerah begini? Kalo kesenggol kendaraan lain gimana?”“Kamu nggak mikir kalo aku nggak punya asuransi buat mobil ini kan?” Senyum Ervin mengembang. Dari sekian banyak hal yang diajarkan papanya, kenapa juga ia bisa mengingat kalimat ini? Ada untungnya ia mendengarkan cerita picisan papanya saat dulu mendekati mamanya.“Kalo kenapa-kenapa jangan minta ganti rugi ke aku ya.”Ervin hanya terkekeh geli melihat raut khawatir di wajar Arla. Mungkin kekhawatiran wanita itu sudah menumpuk. Khawatir dibawa ke tempat aneh-aneh, khawatir hanya berdua, khawatir mobil itu rusak, dan mungkin kekhawatiran lainnya yang Ervin belum tahu.“Iya. Pepper spray bawa?”Arla menepuk-nepuk kantung jaketnya.Kembali Ervin tergelak. Hanya Arla—wanita yang jalan dengannya sambil membawa pepper spray.“Ervin!” Tiba-tiba Arla menegakkan duduknya kar
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal