Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
Diam-diam Ervin mengedarkan pandangan ke arah unit apartemen yang baru saja dimasukinya.Unit apartemen itu memiliki dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang televisi, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur."Silakan duduk." Alice memilih duduk di ujung sofa dengan sisi lebih pendek, membiarkan Ervin dan Arla duduk di bagian sofa yang panjang karena sofa itu berbentuk letter L.Alice sengaja diam, sejak tadi ia belum mendengar nama lelaki yang duduk di samping adiknya itu.“Ca n'avait rien à voir avec lui.” (Ini semua nggak ada hubungannya sama dia).Ervin refleks menoleh ke arah Arla begitu mendengar Arla berbicara bahasa Perancis kepada kakaknya dengan lancar.“Kamu … bisa bahasa Perancis, La?”Alice menahan tawanya saat melihat ekspresi bingung lelaki itu.“Saya boleh tau nama kamu? Biar gampang saya manggilnya.”Ervin kemudian beralih menatap Alice dan tiba-tiba salah tingkah saat sadar ia belum memperkenalkan diri. “Saya Ervin, Kak.”“Panggil Alice
“La!” panggil Risma sambil mengetuk pintu kamar Arla.“Udah mau pergi?”“Iya. Anak-anak bentar lagi dateng. Nggak apa-apa kan kutinggal? Soalnya mbakku terlanjur booking jadwal buat check up.”“Nggak apa-apa. Astaga aku masih bisa jalan, nggak usah berlebihan ah.”“Ya udah, beneran paling bentar lagi anak-anak dateng. Alice mana?”“Udah balik pagi-pagi banget. Dia mesti ke kantor. Hotel kan weekend makin rame.”“Aku jalan ya. Nanti kalo ada apa-apa, pengen apa-apa, kabarin.”“Iyaaa.”Arla berjalan pelan menuju ruang tamu unitnya setelah Risma pergi. Daripada ia harus berjalan lebih jauh sampai ke pintu saat nanti sahabat-sahabatnya datang, lebih baik ia menghabiskan waktu sambil menonton series di saluran TV berbayar.Benar kata Risma, sesaat kemudian, pintu apartemennya diketuk, dan mendengar betapa berisiknya di depan pintu apartemennya, pastilah rombongan sahabatnya yang datang. Karena Alice juga mengenal teman-temannya, Alice pasti menitipkan kartu akses ke salah satu di antara me
“Mas Ervin, beberapa hari nggak kelihatan, Mas.”Tidak ada yang tidak kenal Ervin di café milik Bastian—saking seringnya kunjungan Ervin dan Adit ke café itu. Apalagi tampang anak-anak terawat dengan penampilan segar khas anak orang kaya seperti mereka, tidak perlu upaya banyak untuk menyadari keberadaan mereka.“Iya, ke luar kota. Bas di mana?”“Di ruangannya, Mas,” jawab wanita yang berdiri di balik meja kasir itu dengan ramah."Ke ruangan Bas dulu ya." Ervin pun pamit dengan sama ramahnya. Baginya, wanita adalah makhluk yang haus perlakuan lembut dan dia dengan senang hati akan memberikannya.Ervin baru saja menginjakkan kaki di anak tangga pertama, kasir itu masih menatap kepergian Ervin dengan gelisah. Ada yang ingin disampaikannya, tapi apa? Mendadak ia lupa ketika wajah Ervin membingkai senyum untuknya. “Mau ngomong apa sih tadi?”“Bas.” Ervin melongokkan kepala sebelum ia masuk ke dalam ruangan yang berada di ujung lantai 2 itu.“Hei, dari mana aja lo?”Ervin duduk di kursi k
“Kenapa, La?” Tidak biasanya Rhea melihat Arla gelisah, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi juga seperti ragu untuk menyampaikannya. “Mau cuti? Atau mau naik gaji?” Rhea terkekeh geli. Biasanya dua hal itu kan yang selalu dengan takut-takut diminta seorang pegawai.“Nggak, Bu.” Arla menggeleng cepat.“Trus kamu ngapain gelisah gitu setiap ketemu saya? Ada masalah?”“Saya ….” Arla memang masih maju mundur untuk menyampaikan maksudnya.“Kalo belum siap ngomong ya udah, La. Dimantepin dulu hatinya baru ngomong.”Ok, Arla tidak bisa mundur lagi. Mungkin ia memang harus memberanikan diri. “Saya … sebenernya punya ide, tapi nggak yakin Ibu bakal setuju.”Melihat keseriusan Arla, Rhea bangkit dari kursi kerjanya dan mengajak asistennya itu untuk duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.“Saya nggak bisa bilang setuju atau nggak kalau kamu belum ngasih tau ide kamu. Bilang aja, La. Nggak akan saya pecat cuma karena kamu ngeluarin uneg-uneg kamu.”“Ibu nggak mau melebarkan coffee shop ini?
Dengkusan napas mewarnai meja makan itu, selagi seorang ART membersihkan tumpahan jus.Naren, Aileen, dan Yara sama-sama berpikir kalau Ervin terlalu antusias kedatangan perempuan cantik di pagi hari."Norak, Kak. Norak!" ledek Yara yang duduk di samping Ervin.For the God's sake, sejak kapan Arla jadi asisten mamanya?Aileen hanya terkekeh sebentar, kemudian bergeser tempat duduk dan membiarkan Arla duduk di antara mamanya dan dirinya. Biasanya seseorang cenderung merasa lebih nyaman jika duduk di samping orang yang dia kenal di dalam sebuah pertemuan yang dikelilingi orang-orang tak dikenal. Meski berniat baik, sesungguhnya Aileen justru seperti sedang menjebak Ervin dan Arla untuk duduk berhadapan.Setengah mati, baik Ervin maupun Arla berusaha menyembunyikan hubungan—lebih tepatnya sejarah—yang pernah terjadi di antara mereka."Asisten mamamu, Vin. Nggak usah dijadiin target juga," tegur papanya saat melihat manik mata Ervin yang bergerak gelisah dan acap kali melirik ke arah Arla
"Pagi."Lily menatap heran pada wanita di hadapannya yang baru saja menyapanya sambil melemparkan senyum. "Arla, kok di sini?"Bukannya apa-apa. Lily tahu persis kalau Ervin tidak pernah membawa mangsanya ke kantor. Dan ia tidak tahu sejauh mana perkembangan hubungan Ervin dan Arla hingga Arla tahu di mana kantor Ervin dan menyambanginya ke kantor.“Kamu mau ketemu Ervin?” Lily memang harus menanyakan tujuan setiap tamu yang berkunjung untuk menemui Ervin—untuk urusan pribadi atau pekerjaan.“Sebenernya aku nggak tau harus ketemu siapa sih. Tapi tadi dari resepsionis, aku diarahkan ke sini setelah aku nunjukin e-mail konfirmasi kedatangan.”“E-mail? Boleh kulihat e-mailnya?”Arla membuka ponselnya dan menunjukkan e-mail yang diterimanya dari akun resmi perusahaan itu.“Oh, aksara.a ini akun e-mail kamu?” Lily masih ingat membaca e-mail itu sehari sebelumnya, perihal penawaran kerja sama dari sebuah coffee shop—dan coffee shop itu adalah milik keluarga Ervin juga. Karena itu, Lily semp
“Mau ngomongin proposal di hotel coba, Ris! Bayangin! Ngapain mesti di hotel?” Arla masih bercerita dengan menggebu kepada Risma di sofa ruang televisi apartemen mereka. “Nyokapnya itu kalem, dan bokapnya juga kayaknya nggak macem-macem. Kenapa punya anak begitu sih?”“Hmm beberapa kerja sama memang dihasilkan dari pertemuan di hotel sih, La. Positive thinking coba.”“Mana bisa aku positive thinking kalo pertemuan itu cuma antara aku sama dia. Aku nanya loh, Lily sekretarisnya ikut apa nggak, tapi katanya nggak. ‘Cuma aku sama kamu.’ Gitu.” Bulu halus di tengkuk Arla meremang saat mengingat Ervin mengucapkannya sambil menatap matanya lekat.“Dan yang lebih parahnya ya, Ris. Dia nyuruh aku buat rahasiain ini dari mamanya. Gila kan!”Risma menahan tawanya melihat rasa frustrasi Arla yang dibalut dengan emosi. Beberapa bulan lalu Arla mengalami hal yang sama, hanya karena menonton berita di mana seorang anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur berkata kalau Labuan Bajo hanya memiliki Ko