“Mas Ervin, beberapa hari nggak kelihatan, Mas.”Tidak ada yang tidak kenal Ervin di café milik Bastian—saking seringnya kunjungan Ervin dan Adit ke café itu. Apalagi tampang anak-anak terawat dengan penampilan segar khas anak orang kaya seperti mereka, tidak perlu upaya banyak untuk menyadari keberadaan mereka.“Iya, ke luar kota. Bas di mana?”“Di ruangannya, Mas,” jawab wanita yang berdiri di balik meja kasir itu dengan ramah."Ke ruangan Bas dulu ya." Ervin pun pamit dengan sama ramahnya. Baginya, wanita adalah makhluk yang haus perlakuan lembut dan dia dengan senang hati akan memberikannya.Ervin baru saja menginjakkan kaki di anak tangga pertama, kasir itu masih menatap kepergian Ervin dengan gelisah. Ada yang ingin disampaikannya, tapi apa? Mendadak ia lupa ketika wajah Ervin membingkai senyum untuknya. “Mau ngomong apa sih tadi?”“Bas.” Ervin melongokkan kepala sebelum ia masuk ke dalam ruangan yang berada di ujung lantai 2 itu.“Hei, dari mana aja lo?”Ervin duduk di kursi k
“Kenapa, La?” Tidak biasanya Rhea melihat Arla gelisah, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi juga seperti ragu untuk menyampaikannya. “Mau cuti? Atau mau naik gaji?” Rhea terkekeh geli. Biasanya dua hal itu kan yang selalu dengan takut-takut diminta seorang pegawai.“Nggak, Bu.” Arla menggeleng cepat.“Trus kamu ngapain gelisah gitu setiap ketemu saya? Ada masalah?”“Saya ….” Arla memang masih maju mundur untuk menyampaikan maksudnya.“Kalo belum siap ngomong ya udah, La. Dimantepin dulu hatinya baru ngomong.”Ok, Arla tidak bisa mundur lagi. Mungkin ia memang harus memberanikan diri. “Saya … sebenernya punya ide, tapi nggak yakin Ibu bakal setuju.”Melihat keseriusan Arla, Rhea bangkit dari kursi kerjanya dan mengajak asistennya itu untuk duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.“Saya nggak bisa bilang setuju atau nggak kalau kamu belum ngasih tau ide kamu. Bilang aja, La. Nggak akan saya pecat cuma karena kamu ngeluarin uneg-uneg kamu.”“Ibu nggak mau melebarkan coffee shop ini?
Dengkusan napas mewarnai meja makan itu, selagi seorang ART membersihkan tumpahan jus.Naren, Aileen, dan Yara sama-sama berpikir kalau Ervin terlalu antusias kedatangan perempuan cantik di pagi hari."Norak, Kak. Norak!" ledek Yara yang duduk di samping Ervin.For the God's sake, sejak kapan Arla jadi asisten mamanya?Aileen hanya terkekeh sebentar, kemudian bergeser tempat duduk dan membiarkan Arla duduk di antara mamanya dan dirinya. Biasanya seseorang cenderung merasa lebih nyaman jika duduk di samping orang yang dia kenal di dalam sebuah pertemuan yang dikelilingi orang-orang tak dikenal. Meski berniat baik, sesungguhnya Aileen justru seperti sedang menjebak Ervin dan Arla untuk duduk berhadapan.Setengah mati, baik Ervin maupun Arla berusaha menyembunyikan hubungan—lebih tepatnya sejarah—yang pernah terjadi di antara mereka."Asisten mamamu, Vin. Nggak usah dijadiin target juga," tegur papanya saat melihat manik mata Ervin yang bergerak gelisah dan acap kali melirik ke arah Arla
"Pagi."Lily menatap heran pada wanita di hadapannya yang baru saja menyapanya sambil melemparkan senyum. "Arla, kok di sini?"Bukannya apa-apa. Lily tahu persis kalau Ervin tidak pernah membawa mangsanya ke kantor. Dan ia tidak tahu sejauh mana perkembangan hubungan Ervin dan Arla hingga Arla tahu di mana kantor Ervin dan menyambanginya ke kantor.“Kamu mau ketemu Ervin?” Lily memang harus menanyakan tujuan setiap tamu yang berkunjung untuk menemui Ervin—untuk urusan pribadi atau pekerjaan.“Sebenernya aku nggak tau harus ketemu siapa sih. Tapi tadi dari resepsionis, aku diarahkan ke sini setelah aku nunjukin e-mail konfirmasi kedatangan.”“E-mail? Boleh kulihat e-mailnya?”Arla membuka ponselnya dan menunjukkan e-mail yang diterimanya dari akun resmi perusahaan itu.“Oh, aksara.a ini akun e-mail kamu?” Lily masih ingat membaca e-mail itu sehari sebelumnya, perihal penawaran kerja sama dari sebuah coffee shop—dan coffee shop itu adalah milik keluarga Ervin juga. Karena itu, Lily semp
“Mau ngomongin proposal di hotel coba, Ris! Bayangin! Ngapain mesti di hotel?” Arla masih bercerita dengan menggebu kepada Risma di sofa ruang televisi apartemen mereka. “Nyokapnya itu kalem, dan bokapnya juga kayaknya nggak macem-macem. Kenapa punya anak begitu sih?”“Hmm beberapa kerja sama memang dihasilkan dari pertemuan di hotel sih, La. Positive thinking coba.”“Mana bisa aku positive thinking kalo pertemuan itu cuma antara aku sama dia. Aku nanya loh, Lily sekretarisnya ikut apa nggak, tapi katanya nggak. ‘Cuma aku sama kamu.’ Gitu.” Bulu halus di tengkuk Arla meremang saat mengingat Ervin mengucapkannya sambil menatap matanya lekat.“Dan yang lebih parahnya ya, Ris. Dia nyuruh aku buat rahasiain ini dari mamanya. Gila kan!”Risma menahan tawanya melihat rasa frustrasi Arla yang dibalut dengan emosi. Beberapa bulan lalu Arla mengalami hal yang sama, hanya karena menonton berita di mana seorang anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur berkata kalau Labuan Bajo hanya memiliki Ko
Ervin sadar kalau keisengannya hari itu benar-benar di luar batas normalnya, hanya demi mengikuti ide bodoh yang pernah terlontar dari Bastian dan Adit.“Lo mau tau seberapa murahannya seorang cewek? Ajakin ke hotel.”Dan ide itulah yang pertama kali terngiang di otak ketika Arla datang ke kantornya untuk menjelaskan proposal kerja sama antara coffee shop mamanya dengan department store yang dikelolanya.Tidak ada yang tahu kalau Ervin menunggu hampir setengah jam di dalam mobil untuk menguatkan langkahnya.“Ok, just do it, Vin. Jangan cemen!”Ia melangkah pasti menuju sebuah restoran di lantai 3 yang mengusung konsep fine dining dengan menu makanan khas Indonesia.Arla masih belum menghubunginya sementara langkah kakinya telah memasuki restoran. Keraguan mulai membayanginya. Apa mungkin Arla tidak akan datang?Ia mengirim satu pesan untuk memberitahukan meeting point mereka.Selain keraguan, kini rasa insecure mulai menyerangnya. Bagaimana kalau ternyata Arla tidak setertarik itu pad
Ervin masih menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan daftar layanan yang disediakan hotel dan ke mana ia bisa menghubungi jika membutuhkan layanan mereka—fitur otomatis yang langsung nyala begitu card key dimasukkan ke dalam tempatnya di dinding dekat pintu untuk mengaktifkan electricity di dalam kamar.Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara percakapan dari depan pintu. “Lagi apa Arla? Nelepon orang? Atau ada orang yang ngajak dia ngobrol?”Ah, mungkin hanya perasaannya karena beberapa detik kemudian hanya hening. Tapi tiba-tiba terdengar lagi Arla bicara dan kali ini nada bicaranya lebih naik daripada sebelumnya.Atau itu hanya akal-akalan Arla untuk menarik perhatiannya?Ervin mengedikkan bahu, berniat mengambil minuman dingin yang biasanya disediakan di dalam kulkas mini yang berada di kabinet panjang yang terletak di bawah televisi. Tapi lagi-lagi, Ervin mendengar suara Arla dan seorang laki-laki. Kali ini sepertinya ia tidak berhalusinasi.Berjalan mendekat ke
“Sumpah lo seruwet ini cuma gara-gara cewek?” Adit melempar tisu bekasnya mengusap bibir ke arah Ervin yang baru saja selesai menceritakan kejadian di hotel tempo hari.Malam itu, seperti biasa mereka bertiga berkumpul di Artco Café—café milik Bastian. Namun karena kondisi Jakarta yang sedang diguyur hujan deras, mereka tidak bisa menikmati malam dari rooftop café itu. Terpaksa mereka menggunakan ruang kerja Bastian untuk berkumpul daripada duduk bersama pelanggan lain dengan risiko menjadi pusat perhatian.“Gue cuma merasa bersalah aja. Coba kalo lo di posisi gue, cewek itu hampir diseret laki-laki tua bangka gara-gara gue,” bantah Ervin. “Gara-gara ide gila kalian tuh!”Adit dan Bastian hanya terkekeh geli sambil menggeleng-gelengkan kepala.Silakan tanya kepada mereka, siapa yang paling suka main-main dengan wanita? Pasti jawabannya adalah Ervin. Jumlah mantan pacar mereka bahkan tidak ada setengahnya dari jumlah mantan Ervin. Tapi tanyakan juga kepada mereka, siapa yang tidak pern
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal