Share

7 Barisan Gagal Move On

Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.

Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.

Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!

“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”

Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.

“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”

Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.

“Kamu udah panya pacar?”

“Ya … seperti yang kamu lihat. Please, Than. Pergi dari sini.”

Lelaki itu seperti masih ingin menyuarakan protesnya saat Ervin kembali memberinya peringatan. “Saya bisa minta kamu diusir dari tempat ini kalau kamu masih mengganggu makan malam kami.”

Lelaki itu terpaksa undur diri dengan wajah kesalnya. Namun lelaki itu tidak benar-benar pergi. Ia hanya menjauh, duduk di meja yang berjarak tiga meja dari mereka.

Ervin lagi-lagi menahan diri untuk tidak menanyakan kepada Arla tentang siapa laki-laki itu. Arla pasti akan menjelaskannya sendiri kalau merasa perlu. Apalagi Arla tadi berani mengakuinya sebagai pacar. Pasti Arla akan meminta maaf setelah ini.

“Vin, sorry banget ya, Vin.”

See? Tebakannya tepat.

“Sorry kenapa, La? Kamu nggak salah kok. Kan dia yang ganggu makan malam kita.”

“Tapi tadi aku pinjem kamu buat ngelindungin aku. Sorry aku bilang kalo kamu pacarku. Cewekmu pasti ngamuk kalo denger.”

“Kalo aku punya cewek, nggak mungkin aku makan malamnya sama kamu, La.”

Arla hampir saja kelepasan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Ervin free. Status itu yang penting untuknya. Ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki kekasih, tunangan, apalagi istri.

"Tapi aku beneran minta maaf banget, takutnya kamu ngerasa nggak nyaman kuakui begitu di depan umum."

"Nggak apa-apa kok, pake aja namaku kalau kamu butuh." Ervin tersenyum lebar. Tidak masalah Arla mengakuinya sebavai pacar, selama itu tidak dilakukannya di depan wanita-wanita lain yang masuk sebagai kandidatnya.

"Kamu nggak nanya siapa dia?" Arla cukup bingung dengan segala sikap Ervin malam itu. Ia benar-benar berbeda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya selama ini.

"Kamu bakal ngejelasin kalau kamu merasa perlu. Iya kan?"

"Hmm. Just someone ... yang nggak bisa move on."

Ervin terkekeh dibuatnya. "Memang move on itu urusan paling susah di dunia ini. Harusnya kita kasihan sama dia, bukannya malah kita usir pergi."

Arla mendelik kesal mendengar pendapat Ervin. "Kadang yang nggak bisa move on itu berubah jadi super duper nyebelin, dan aku nggak suka direcokin sama orang yang nggak bisa move on."

Di sini Arla sedang menekankan sesuatu. Ia sengaja menyusun kalimat yang menyiratkan ketidaksukaannya terhadap barisan gagal move on.

Tujuannya satu, kalau suatu hari nanti ia benar bisa menjalin hubungan dengan Ervin dan akhirnya hubungan mereka berakhir, Arla tidak mau dikejar-kejar lagi oleh seseorang yang belum bisa move on.

Sebenarnya hal ini juga selalu ia sampaikan kepada lelaki yang sedang dekat dengannya atau yang jadi pacar-pacarnya terdahulu. Tapi tetap saja ia kecolongan. Sekali dua kali pasti ada mantan pacarnya yang muncul lagi di kehidupannya dan mengganggunya.

"I know. Annoying, right?" Ervin menahan senyumnya.

Ia pun demikian. Beberapa mantan pacarnya masih berusaha mengejarnya meskipun mereka putus dalam keadaan baik-baik dan dengan kesepakatan untuk tidak saling mengganggu.

"Banget."

"Ya udah lupain aja. Ini baru sampe appetizer, La. Sayang kalo habis ini kamu nggak bisa nikmatin rasa makanannya gara-gara orang tadi. Si Than itu."

Ervin sengaja menyebut dengan panggilan yang tadi dilayangkan Arla untuk laki-laki yang dari jauh masih sering melirik ke arah mereka itu.

Tidak tahan lagi, Arla menyemburkan tawa akibat Ervin yang menyebut 'Si Than' jadi terdengar seperti 'Se Than.'

"Namanya Nathan, Vin. Kasihan ah anak orang dipanggil Se Than."

"Oh, ya ... kan aku cuma denger kamu manggil dia Than Than aja dari tadi."

Obrolan mereka tidak pernah berhenti terlalu lama. Selalu ada saja yang bisa mereka obrolkan. Sampai Ervin keceplosan bercerita tentang pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran sebuah perusahaan retail.

"Gitu ngakunya marketing."

Ervin terdiam. What the ...! Sejak kapan pembicaraannya bisa disetir seorang wanita?

"Ya ... nggak salah dong, kan marketing."

"Iya, iya. Apalagi yang kamu sembunyiin?" selidik Arla.

"Tanya aja, aku pasti jawab kok."

Arla masih memikirkan pertanyaan apa yang bisa ia lemparkan ke Ervin. Pertanyaan yang jelas tidak membuat Ervin ilfeel, tapi juga mampu membuat lelaki itu menceritakan hal yang disembunyikan.

"Permisi."

Seorang pramusaji tiba-tiba muncul di samping Arla sambil membawa nampan berisi segelas wine. "Dari Mas yang di sana, Mbak," ucap pramusaji itu sambil menunjuk ke arah Nathan duduk.

Nathan tampak menyeringai, berusaha menggoda Arla dari kejauhan.

"Tolong kembalikan ke orangnya, Mbak. Saya nggak minum wine," tolak Arla halus.

Meski serba salah, akhirnya pramusaji itu mengalah dan mengangkat kembali nampannya.

"Kamu mau wine, La? Aku bisa pesenin." Ervin menatap garang pada Nathan yang lagi-lagi mengganggu acaranya. Segelas wine? Apa Nathan pikir segelas wine bisa membuat Arla menoleh lagi padanya sementara ada seorang Ervin Adhinata Candra di hadapan Arla?

"Aku nggak minum wine, Vin."

"Jadi kamu nolak karena kamu memang nggak minum wine? Kalo dia mesenin jus jeruk, kamu bakal terima?"

"Ya nggak lah." Arla tergelak melihat betapa cute-nya Ervin saat sedang menutupi rasa cemburunya. Oh, ralat, mungkin sekadar rasa tidak suka karena sejak tadi Nathan mengganggu mereka.

"Aku menghargai partnerku, Vin. Aku cuma akan nerima apa pun yang diberikan partnerku, bukan orang lain."

***

"Please, La. Aku anter ya. Udah malem. Mana mungkin aku ngebiarin kamu pulang naik taksi." Ervin masih saja belum berhasil merayu Arla untuk yang satu ini.

"Kamu tinggal catat nomor taksiku, Vin. Aku janji begitu sampe langsung ngasih tau kamu."

"Waaah. Ini bener-bener bukan caraku nge-treat cewek, La."

"Ya anggep aja aku memang beda."

"Tetep aja—"

"Kuanter ya, Yang."

"Shit!" Kali ini Ervin benar-benar mengumpat dengan kehadiran Nathan yang masih terus saja mengganggu ditambah dengan memanggil Arla 'Yang'.

"Kenapa sih dari tadi ganggu orang terus." Ervin maju selangkah dan memosisikan diri di antara Arla dan Nathan.

"Arla makan malam sama aku, jadi aku yang nganter Arla pulang!" tegas Ervin sambil menggenggam tangan Arla dan berjalan menuju mobilnya meskipun Arla belum memberikan persetujuan. Masa bodoh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status