Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.
“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.
Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.
Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!
“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”
Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.
“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”
Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.
“Kamu udah panya pacar?”
“Ya … seperti yang kamu lihat. Please, Than. Pergi dari sini.”
Lelaki itu seperti masih ingin menyuarakan protesnya saat Ervin kembali memberinya peringatan. “Saya bisa minta kamu diusir dari tempat ini kalau kamu masih mengganggu makan malam kami.”
Lelaki itu terpaksa undur diri dengan wajah kesalnya. Namun lelaki itu tidak benar-benar pergi. Ia hanya menjauh, duduk di meja yang berjarak tiga meja dari mereka.
Ervin lagi-lagi menahan diri untuk tidak menanyakan kepada Arla tentang siapa laki-laki itu. Arla pasti akan menjelaskannya sendiri kalau merasa perlu. Apalagi Arla tadi berani mengakuinya sebagai pacar. Pasti Arla akan meminta maaf setelah ini.
“Vin, sorry banget ya, Vin.”
See? Tebakannya tepat.
“Sorry kenapa, La? Kamu nggak salah kok. Kan dia yang ganggu makan malam kita.”
“Tapi tadi aku pinjem kamu buat ngelindungin aku. Sorry aku bilang kalo kamu pacarku. Cewekmu pasti ngamuk kalo denger.”
“Kalo aku punya cewek, nggak mungkin aku makan malamnya sama kamu, La.”
Arla hampir saja kelepasan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Ervin free. Status itu yang penting untuknya. Ia tidak pernah mau menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki kekasih, tunangan, apalagi istri.
"Tapi aku beneran minta maaf banget, takutnya kamu ngerasa nggak nyaman kuakui begitu di depan umum."
"Nggak apa-apa kok, pake aja namaku kalau kamu butuh." Ervin tersenyum lebar. Tidak masalah Arla mengakuinya sebavai pacar, selama itu tidak dilakukannya di depan wanita-wanita lain yang masuk sebagai kandidatnya.
"Kamu nggak nanya siapa dia?" Arla cukup bingung dengan segala sikap Ervin malam itu. Ia benar-benar berbeda dengan laki-laki yang pernah dikenalnya selama ini.
"Kamu bakal ngejelasin kalau kamu merasa perlu. Iya kan?"
"Hmm. Just someone ... yang nggak bisa move on."
Ervin terkekeh dibuatnya. "Memang move on itu urusan paling susah di dunia ini. Harusnya kita kasihan sama dia, bukannya malah kita usir pergi."
Arla mendelik kesal mendengar pendapat Ervin. "Kadang yang nggak bisa move on itu berubah jadi super duper nyebelin, dan aku nggak suka direcokin sama orang yang nggak bisa move on."
Di sini Arla sedang menekankan sesuatu. Ia sengaja menyusun kalimat yang menyiratkan ketidaksukaannya terhadap barisan gagal move on.
Tujuannya satu, kalau suatu hari nanti ia benar bisa menjalin hubungan dengan Ervin dan akhirnya hubungan mereka berakhir, Arla tidak mau dikejar-kejar lagi oleh seseorang yang belum bisa move on.
Sebenarnya hal ini juga selalu ia sampaikan kepada lelaki yang sedang dekat dengannya atau yang jadi pacar-pacarnya terdahulu. Tapi tetap saja ia kecolongan. Sekali dua kali pasti ada mantan pacarnya yang muncul lagi di kehidupannya dan mengganggunya.
"I know. Annoying, right?" Ervin menahan senyumnya.
Ia pun demikian. Beberapa mantan pacarnya masih berusaha mengejarnya meskipun mereka putus dalam keadaan baik-baik dan dengan kesepakatan untuk tidak saling mengganggu.
"Banget."
"Ya udah lupain aja. Ini baru sampe appetizer, La. Sayang kalo habis ini kamu nggak bisa nikmatin rasa makanannya gara-gara orang tadi. Si Than itu."
Ervin sengaja menyebut dengan panggilan yang tadi dilayangkan Arla untuk laki-laki yang dari jauh masih sering melirik ke arah mereka itu.
Tidak tahan lagi, Arla menyemburkan tawa akibat Ervin yang menyebut 'Si Than' jadi terdengar seperti 'Se Than.'
"Namanya Nathan, Vin. Kasihan ah anak orang dipanggil Se Than."
"Oh, ya ... kan aku cuma denger kamu manggil dia Than Than aja dari tadi."
Obrolan mereka tidak pernah berhenti terlalu lama. Selalu ada saja yang bisa mereka obrolkan. Sampai Ervin keceplosan bercerita tentang pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran sebuah perusahaan retail.
"Gitu ngakunya marketing."
Ervin terdiam. What the ...! Sejak kapan pembicaraannya bisa disetir seorang wanita?
"Ya ... nggak salah dong, kan marketing."
"Iya, iya. Apalagi yang kamu sembunyiin?" selidik Arla.
"Tanya aja, aku pasti jawab kok."
Arla masih memikirkan pertanyaan apa yang bisa ia lemparkan ke Ervin. Pertanyaan yang jelas tidak membuat Ervin ilfeel, tapi juga mampu membuat lelaki itu menceritakan hal yang disembunyikan.
"Permisi."
Seorang pramusaji tiba-tiba muncul di samping Arla sambil membawa nampan berisi segelas wine. "Dari Mas yang di sana, Mbak," ucap pramusaji itu sambil menunjuk ke arah Nathan duduk.
Nathan tampak menyeringai, berusaha menggoda Arla dari kejauhan.
"Tolong kembalikan ke orangnya, Mbak. Saya nggak minum wine," tolak Arla halus.
Meski serba salah, akhirnya pramusaji itu mengalah dan mengangkat kembali nampannya.
"Kamu mau wine, La? Aku bisa pesenin." Ervin menatap garang pada Nathan yang lagi-lagi mengganggu acaranya. Segelas wine? Apa Nathan pikir segelas wine bisa membuat Arla menoleh lagi padanya sementara ada seorang Ervin Adhinata Candra di hadapan Arla?
"Aku nggak minum wine, Vin."
"Jadi kamu nolak karena kamu memang nggak minum wine? Kalo dia mesenin jus jeruk, kamu bakal terima?"
"Ya nggak lah." Arla tergelak melihat betapa cute-nya Ervin saat sedang menutupi rasa cemburunya. Oh, ralat, mungkin sekadar rasa tidak suka karena sejak tadi Nathan mengganggu mereka.
"Aku menghargai partnerku, Vin. Aku cuma akan nerima apa pun yang diberikan partnerku, bukan orang lain."
***
"Please, La. Aku anter ya. Udah malem. Mana mungkin aku ngebiarin kamu pulang naik taksi." Ervin masih saja belum berhasil merayu Arla untuk yang satu ini.
"Kamu tinggal catat nomor taksiku, Vin. Aku janji begitu sampe langsung ngasih tau kamu."
"Waaah. Ini bener-bener bukan caraku nge-treat cewek, La."
"Ya anggep aja aku memang beda."
"Tetep aja—"
"Kuanter ya, Yang."
"Shit!" Kali ini Ervin benar-benar mengumpat dengan kehadiran Nathan yang masih terus saja mengganggu ditambah dengan memanggil Arla 'Yang'.
"Kenapa sih dari tadi ganggu orang terus." Ervin maju selangkah dan memosisikan diri di antara Arla dan Nathan.
"Arla makan malam sama aku, jadi aku yang nganter Arla pulang!" tegas Ervin sambil menggenggam tangan Arla dan berjalan menuju mobilnya meskipun Arla belum memberikan persetujuan. Masa bodoh!
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
Diam-diam Ervin mengedarkan pandangan ke arah unit apartemen yang baru saja dimasukinya.Unit apartemen itu memiliki dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang televisi, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur."Silakan duduk." Alice memilih duduk di ujung sofa dengan sisi lebih pendek, membiarkan Ervin dan Arla duduk di bagian sofa yang panjang karena sofa itu berbentuk letter L.Alice sengaja diam, sejak tadi ia belum mendengar nama lelaki yang duduk di samping adiknya itu.“Ca n'avait rien à voir avec lui.” (Ini semua nggak ada hubungannya sama dia).Ervin refleks menoleh ke arah Arla begitu mendengar Arla berbicara bahasa Perancis kepada kakaknya dengan lancar.“Kamu … bisa bahasa Perancis, La?”Alice menahan tawanya saat melihat ekspresi bingung lelaki itu.“Saya boleh tau nama kamu? Biar gampang saya manggilnya.”Ervin kemudian beralih menatap Alice dan tiba-tiba salah tingkah saat sadar ia belum memperkenalkan diri. “Saya Ervin, Kak.”“Panggil Alice
“La!” panggil Risma sambil mengetuk pintu kamar Arla.“Udah mau pergi?”“Iya. Anak-anak bentar lagi dateng. Nggak apa-apa kan kutinggal? Soalnya mbakku terlanjur booking jadwal buat check up.”“Nggak apa-apa. Astaga aku masih bisa jalan, nggak usah berlebihan ah.”“Ya udah, beneran paling bentar lagi anak-anak dateng. Alice mana?”“Udah balik pagi-pagi banget. Dia mesti ke kantor. Hotel kan weekend makin rame.”“Aku jalan ya. Nanti kalo ada apa-apa, pengen apa-apa, kabarin.”“Iyaaa.”Arla berjalan pelan menuju ruang tamu unitnya setelah Risma pergi. Daripada ia harus berjalan lebih jauh sampai ke pintu saat nanti sahabat-sahabatnya datang, lebih baik ia menghabiskan waktu sambil menonton series di saluran TV berbayar.Benar kata Risma, sesaat kemudian, pintu apartemennya diketuk, dan mendengar betapa berisiknya di depan pintu apartemennya, pastilah rombongan sahabatnya yang datang. Karena Alice juga mengenal teman-temannya, Alice pasti menitipkan kartu akses ke salah satu di antara me
“Mas Ervin, beberapa hari nggak kelihatan, Mas.”Tidak ada yang tidak kenal Ervin di café milik Bastian—saking seringnya kunjungan Ervin dan Adit ke café itu. Apalagi tampang anak-anak terawat dengan penampilan segar khas anak orang kaya seperti mereka, tidak perlu upaya banyak untuk menyadari keberadaan mereka.“Iya, ke luar kota. Bas di mana?”“Di ruangannya, Mas,” jawab wanita yang berdiri di balik meja kasir itu dengan ramah."Ke ruangan Bas dulu ya." Ervin pun pamit dengan sama ramahnya. Baginya, wanita adalah makhluk yang haus perlakuan lembut dan dia dengan senang hati akan memberikannya.Ervin baru saja menginjakkan kaki di anak tangga pertama, kasir itu masih menatap kepergian Ervin dengan gelisah. Ada yang ingin disampaikannya, tapi apa? Mendadak ia lupa ketika wajah Ervin membingkai senyum untuknya. “Mau ngomong apa sih tadi?”“Bas.” Ervin melongokkan kepala sebelum ia masuk ke dalam ruangan yang berada di ujung lantai 2 itu.“Hei, dari mana aja lo?”Ervin duduk di kursi k
“Kenapa, La?” Tidak biasanya Rhea melihat Arla gelisah, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi juga seperti ragu untuk menyampaikannya. “Mau cuti? Atau mau naik gaji?” Rhea terkekeh geli. Biasanya dua hal itu kan yang selalu dengan takut-takut diminta seorang pegawai.“Nggak, Bu.” Arla menggeleng cepat.“Trus kamu ngapain gelisah gitu setiap ketemu saya? Ada masalah?”“Saya ….” Arla memang masih maju mundur untuk menyampaikan maksudnya.“Kalo belum siap ngomong ya udah, La. Dimantepin dulu hatinya baru ngomong.”Ok, Arla tidak bisa mundur lagi. Mungkin ia memang harus memberanikan diri. “Saya … sebenernya punya ide, tapi nggak yakin Ibu bakal setuju.”Melihat keseriusan Arla, Rhea bangkit dari kursi kerjanya dan mengajak asistennya itu untuk duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.“Saya nggak bisa bilang setuju atau nggak kalau kamu belum ngasih tau ide kamu. Bilang aja, La. Nggak akan saya pecat cuma karena kamu ngeluarin uneg-uneg kamu.”“Ibu nggak mau melebarkan coffee shop ini?
Dengkusan napas mewarnai meja makan itu, selagi seorang ART membersihkan tumpahan jus.Naren, Aileen, dan Yara sama-sama berpikir kalau Ervin terlalu antusias kedatangan perempuan cantik di pagi hari."Norak, Kak. Norak!" ledek Yara yang duduk di samping Ervin.For the God's sake, sejak kapan Arla jadi asisten mamanya?Aileen hanya terkekeh sebentar, kemudian bergeser tempat duduk dan membiarkan Arla duduk di antara mamanya dan dirinya. Biasanya seseorang cenderung merasa lebih nyaman jika duduk di samping orang yang dia kenal di dalam sebuah pertemuan yang dikelilingi orang-orang tak dikenal. Meski berniat baik, sesungguhnya Aileen justru seperti sedang menjebak Ervin dan Arla untuk duduk berhadapan.Setengah mati, baik Ervin maupun Arla berusaha menyembunyikan hubungan—lebih tepatnya sejarah—yang pernah terjadi di antara mereka."Asisten mamamu, Vin. Nggak usah dijadiin target juga," tegur papanya saat melihat manik mata Ervin yang bergerak gelisah dan acap kali melirik ke arah Arla
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal