Tiga tahun berlalu, Kiran tak juga bisa melupakan Haidar, mantan suaminya. Tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut hati. Kiran memilih pergi saat perasaannya tak bisa lagi memberikan toleransi. Bagi wanita dengan segala kesempurnaan yang dia punya itu, seumur hidup terlalu lama jika harus tersiksa karena berbagi cinta. Adalah Raya, wanita itu biasa saja jika dibandingkan dengan Kiran. Ditambah kakinya yang tidak berfungsi sejak lahir, membuat Raya tak ada apa-apanya saat disandingkan dengan Kiran. Raya menjadi istri kedua Haidar karena terpaksa oleh keadaan. Dia tak punya pilihan saat kedua orangtuanya sudah memutuskan. Tahun demi tahun terlewati, Kiran ternyata tak mampu melepaskan bayangan indah pernikahannya dengan Haidar. dia belum juga bisa melepaskan belenggu masa lalu. Perasaan itu masih tersimpan rapi di dasar sanubari. Walau tak pernah Kiran ucapkan, tapi dia menyadari cinta itu masih utuh dia rasakan.
View More"Mainlah ke rumah, Ran. Raya akan senang kalau kau mau sesekali berkunjung. Kehamilannya yang kedua ini lebih payah dari yang pertama. Mungkin kalau kau mau datang, dia akan sedikit lebih tenang."
Kiran tersenyum mendengar ucapan Haidar, mantan suaminya."In syaa Allah." Dia refleks meremas ujung baju. Rasa itu masih sama. Walau telah bercerai lama, Kiran masih merasakan sakit setiap kali Haidar menyebut nama Raya, wanita yang tiga tahun lalu menjadi alasannya memilih berpisah.Ponsel Haidar berbunyi. Melalui ujung mata, Kiran bisa melihat layar ponsel itu menampilkan notifikasi pesan. Dia menarik napas dalam. Mantan suaminya itu belum berubah, ponselnya tidak pernah dikunci sehingga setiap ada pesan masuk langsung bisa terbaca dengan jelas di layar depan."Mas, pulang nanti tolong bawakan nasi goreng Pak Aji. Perutku kram lagi, aku tidak kuat masak."Kiran menarik napas panjang. Dari sini, dia bisa membaca dengan jelas pesan di ponsel Haidar yang ada di atas meja. Lelaki itu mengambil ponselnya setelah menyeruput seteguk jus melon dingin.Kiran Zarina bekerja sebagai Account Officer salah satu Bank Syariah. Bulan depan, dia genap berusia tiga puluh dua tahun. Karena tuntutan pekerjaan, Kiran selalu tampil modis. Hal itu terbawa hingga kehidupannya sehari-hari. Seperti hari ini, dia mengenakan blus coklat tua yang dipadukan dengan celana bahan dan hijab beige. Perpaduan warna yang terlihat sangat cocok dengan kulit putihnya.Kiran memiliki mata hitam yang tajam, hidung mancung, wajah lonjong telur dengan bibir kecil dan tipis yang membuatnya terlihat sangat manis kalau sedang tersenyum. Riasan wajah natural membuat wajahnya selalu tampak segar. Sebagai karyawan Bank, Kiran selalu menjaga tubuh tetap langsing sehingga proporsional dengan tingginya, 173 sentimeter."Jadi, bagaimana?""Apanya yang bagaimana?" Kiran mengerutkan kening mendengar pertanyaan Haidar. Dia berdecak pelan saat lelaki itu memasukkan ponselnya ke celana dan seperti bersiap akan segera pergi."Apa Bank bisa memberiku pinjaman modal usaha seperti yang kuajukan di proposal? Kau urus saja masalah termin pencairannya, Kiran. Aku ikut skema yang kalian berikan.""Data yang Bapak berikan ….""Mas.""Hah?""Panggil Mas saja.""Maaf, saya bekerja secara profesional. Saya menemui Bapak sebagai nasabah kami." Kiran mengepalkan tangan di bawah meja. Dia berusaha mengendalikan hatinya yang kebat-kebit. Tak dapat dipungkiri jantungnya berdegup kencang melihat tatapan teduh dan senyum di wajah Haidar."Dokumen yang Bapak berikan masih ada kekurangan. Izin lokasi, peil banjir dan hasil tes air bersih masih belum dilengkapi. Saya bisa mengajukan ke pimpinan jika semua dokumen legal sudah terpenuhi.""Gampang itu, Ran." Haidar terkekeh. "Semua sudah lengkap, aku lupa membawanya karena beda map. Kapan kita bisa bertemu lagi?"Kiran mengeluh dalam hati. Setiap janji pertemuan, selalu ada saja kekurangan dokumen yang sepertinya sengaja Haidar tinggalkan. Ini pertemuan ketiga sejak awal lelaki itu mengajukan pembiayaan. Hal yang biasa sebenarnya bertemu beberapa kali dengan calon nasabah untuk melengkapi persyaratan. Namun, Haidar bukan nasabah biasa. Itu masalahnya."Nanti saya ambil saja ke kantor Bapak. Sekalian melihat lokasi perumahan dan progres pembangunan rumah contoh.""Ok." Haidar mengangguk dan tersenyum. Dia menarik napas panjang. Kiran selalu menjadi candu baginya. Setiap pertemuan memberikan kebahagiaan tersendiri. Itulah sebabnya dia sengaja mengulur waktu untuk melengkapi dokumen pengajuan pinjaman agar bisa kembali berjumpa.Ah … andai bisa memutar waktu, Haidar akan merengkuh Kiran sekuat tenaga. Dia tidak akan membiarkan wanita yang namanya masih terpatri di singgasana tertinggi perasaannya itu pergi. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu, dia menyadari cintanya masih utuh untuk Kiran.Kiran menarik napas lega saat ponsel Haidar berdering. Dia merasa sedikit kikuk karena mantan suaminya terus memandangi wajahnya dengan tatap memuja. Kiran tahu persis, cinta itu masih utuh untuknya."Raya pendarahan?"Kiran tersentak mendengar suara panik Haidar. Dia menahan napas saat melihat wajah lelaki dengan rahang tegas itu memucat."Rumah sakit mana? Aku segera meluncur kesana."Kiran menatap Haidar dengan mata bertanya, bibirnya tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Ketakutan mendadak memenuhi hati Kiran. Bayangan Raya yang bersimbah darah beberapa tahun lalu berkelebat di matanya."Boleh aku pergi sekarang, Ran?" Suara Haidar bergetar. Kekhawatiran jelas terpancar dari mata teduh itu."Pergilah, urusan pengajuan pinjaman bisa dibahas lain kali. Titip salam untuk Bapak dan Ibu. Semoga Raya dan kandungannya baik-baik saja.""Terima kasih." Suara Haidar tercekat. "Dulu aku sangat panik, Ran." Haidar tersenyum tanggung.Kiran menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud ucapan Haidar."Andai dulu aku meminta izin untuk merawat Raya setelah keguguran yang pertama, mungkin saat ini kita masih bersama ….""Pergilah, Mas.""Ran ….""Bagiku, kita hanya masa lalu. Pertemuan kita akhir-akhir ini murni karena pekerjaan.""Maaf."Haidar akhirnya bangkit saat Kiran tak menjawab ucapannya. Wanita itu dengan tegas telah menarik batasan yang jelas di antara mereka. "Berkunjunglah sesekali, itu akan membuat Raya tak terlalu merasa bersalah."Kiran menatap kepergian Haidar dengan mata berkaca. Sungguh, jauh di dalam sana dia masih menyimpan cinta. Tiga tahun Kiran berjuang melupakan semua cerita tentang mereka. Namun, dia tahu pasti hatinya belum pergi. Getaran itu masih sama. Andai dia tidak sadar posisi, Kiran bahkan masih bisa tenggelam saat menatap mata teduh Haidar."Raya …." Kiran berbisik lirih. Bayangan mantan madunya yang sedang duduk di kursi roda melintas di ruang ingatan.Raya Velisha, wanita itu biasa saja jika dibandingkan dengan dirinya. Ditambah kakinya yang tidak berfungsi sejak lahir, membuat Raya tak ada apa-apanya saat disandingkan dengan Kiran.Raya memiliki wajah bulat dengan tubuh mungil. Jika bersebelahan, tinggi Raya hanya sebatas dada Kiran. Alisnya tebal dengan hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir Raya kecil dan penuh dengan kulit sawo matang khas perempuan Indonesia.Ah … andai kehidupan tak sekejam itu pada mereka. Pasti saat ini Raya dan Kiran masih menjadi sahabat dekat. Namun, tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut hati. Kiran memilih pergi saat perasaannya tak bisa lagi memberikan toleransi. Bagi wanita dengan segala kesempurnaan yang dia punya itu, seumur hidup terlalu lama jika harus menderita karena berbagi cinta.Berulang kali dia meneguhkan hati saat Haidar mati-matian mempertahankan pernikahan mereka. Lelaki itu bahkan bersimpuh di hadapannya saat di dalam ruang sidang perceraian. Membuat sahabat-sahabat dan keluarga yang datang terisak menahan sesak, hingga hakim memutuskan menjeda persidangan untuk memberikan kesempatan berpikir kembali.Namun, tekad Kiran sudah bulat. Bahkan permohonan dari kedua mertuanya tak mampu meruntuhkan keinginannya untuk berpisah. Tepat di hari pembacaan ikrar talak dilakukan sebagai tanda sah mereka tak lagi terikat pernikahan, detik itu juga kabar Raya kembali dilarikan ke rumah sakit terdengar.Haidar langsung berlari kencang. Lelaki yang tadi membacakan ikrar talak dengan suara bergetar hingga membuat yang hadir ikut merasakan sakit itu berlalu begitu saja di samping Kiran. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun pada wanita yang sejak awal proses perceraian berusaha dia pertahankan mati-matian.Kiran terluka. Semua pernyataan cinta Haidar seolah menguap jika itu berhubungan dengan Raya. Perasaan sakit itu dia resapi dan nikmati agar bisa melupakan cinta sang mantan suami.Naas, tiga tahun berlalu. Dia belum juga bisa melepaskan belenggu masa lalu. Perasaan itu masih tersimpan rapi di dasar sanubari. Walau tak pernah Kiran ucapkan, tapi dia menyadari cinta itu masih utuh dia rasakan.Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments