18+ warning! Hidup Lily Cansas, model ternama asal Hungaria berusia 22 tahun tidaklah sesempurna yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Dia selalu diliputi oleh kelamnya masa lalu dan banyaknya teror yang menghantuinya. Namun apa yang akan Lily lakukan jika kedatangan Alex Willis sebagai bodyguardnya justru membuat segala sesuatunya semakin rumit? Mulai dari renggangnya hubungan Lily dengan kekasihnya, hingga munculnya suatu skandal yang membuat karir cemerlangnya nyaris runtuh dalam sekejap mata.Ini tentang persahabatan, percintaan, perselingkuhan, dan pengkhianatan. Tak lupa, fakta tersembunyi akan turut terungkap dikemudian hari. [COMPLETED]
View More"Lily, bisa kau ceritakan mengenai project terbarumu?"
"Bagaimana perasaanmu masuk ke dalam nominasi kategori sexiest women alive?"
"Apakah benar berita tentang pertunanganmu?"
Kurang lebih itulah pertanyaan-pertanyaan senada yang dilontarkan paparazzi dalam satu bulan terakhir. Aku hanya tersenyum simpul dan terus melangkah menghindari kerumunan yang semakin menjadi. Matthew yang merupakan managerku, sebisa mungkin membuat jarak agar aku bisa mudah berjalan. Dengan radius beberapa meter August sudah siap membukakan pintu mobil dan itu menjadikanku bernafas lega. Detik selanjutnya mobil membelah mulus jalanan malam kota London.
"Astaga paparazzi semakin tidak sopan saja!" Kesal Matthew. Yang selanjutnya terdengar adalah teriakan histersisnya karena mendapati tanganku tergores. Memang mengeluarkan sedikit darah, tapi tak apa. "Lihat saja. Aku hapal mereka semua berasal dari media mana saja. Beraninya mereka menyakiti artisku!" Sebuah plester bergambar binatang panda kini sudah menutupi lukaku.
"Thank you, handsome."
Mata Matthew mengerling tak menyukai pujian yang ku layangkan. "Hey, aku ini secantik Paris Hilton loh. Mungkin aku harus operasi dada dulu agar kau memanggilku si cantik Matthew."
Lewat ponselnya, Matthew terus mencari-cari dokter terbaik untuk operasi. Sementara aku iseng meraih tangannya dan bergelayut manja di sana. "Hih! Lepaskan!"
Kekasihku, Julian Watson, tidak akan merah sekalipun melihatku bermanja ria pada Matthew. Maksudku Matthew tidak menyukai gadis manapun, karena baginya pria bertubuh atletis dan berkulit eksotis lebih menarik.
Sekarang Matthew menoyor pelan kepalaku dan aku balas saja. Perbuatan kami persis anak kecil, yang langsung disambut kekehan August dari balik kemudi. Mereka berdua sudah bersamaku semenjak dua tahun aku berkarir. Dan sejujurnya Matthew dan August sudah ku anggap sebagai orang terdekat. Mereka temanku.
"Jadwalmu besok padat, Lily." Ujar Matthew sesaat perkelahian kami usai. Dia memberikanku sebotol air mineral dan langsung ku habiskan. "Jam 10 pemotretan, jam 3 ada syuting video musik dan dilanjutkan dengan makan malam. Besok aku akan ingatkan lagi."
Aku mengacungkan dua ibu jari. "Kau yang terbaik."
"Tentu. Oh tunggu, ada telpon masuk dari pihak pemotretan. Aku akan mengangkatnya."
Selanjutnya Matthew sudah sibuk membicarakan ulang mengenai konsep besok hari. Dan aku memainkan ponselku sebentar sebelum jatuh melamun.
"Nona Lily, anda baik-baik saja?"
Aku memerhatikan lekat plester di tanganku, tersenyum. "Tentu, August. Aku baik."
Padahal kenyataanya tidaklah demikian.
Jujur aku bukanlah orang yang gila akan publisitas. Aku mencintai pekerjaanku, tetapi tidak dengan hadirnya para paparazzi yang selalu menguntitku tanpa henti. Lagi pula apa yang mereka ingin tahu? Aku hanyalah gadis biasa yang berasal dari kota kecil, Hungaria. Dari segi pendidikan pun tidak ada yang bisa ku banggakan, aku cuti kuliah di tahun ke dua dan lebih memilih menetap di London untuk melanjutkan karirku sebagai model.
"Nona Lily, apa anda tempat yang ingin anda datangi?" August kembali bertanya saat aku mulai memejamkan mata. Rintikan hujan yang memasahi kaca mobil membuatku semakin ingin merebahkan diri di ranjang.
"Tidak, langsung pulang saja."
-----
Gelegar petir yang bersahutan membangunkanku dari tidur. Pendingin ruanganpun tidak bisa menghalau keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupegangi dada sejenak, berusaha menormalkan deru nafas yang masih memburu. Bukan hanya peluh, pipiku sudah basah oleh tangisan.
Mimpi itu lagi...
Aku menghapus sisa air mataku, kemudian tersadar jam dinding baru menunjukkan pukul 3 pagi. Peristiwa mengerikan itu sudah lama terjadi, namun aku masih kerap memimpikannya. Kakiku bahkan bergetar sebelum berhasil berjalan gontai ke arah dapur.
'Tidak ada makan di malam hari, sayang. Ingat, karirmu lebih penting dibandingkan satu cup mie instant. I love you.'
Begitulah kalimat yang tertera pada sticky notes di pintu kulkas. Aku harap itu hanya lelucon, akan tetapi aku tidak menemukan apapun disetiap kabinet dapur. Kekasihku memang tahu aku sering menyelinap makan di tengah malam. Tidakah tindakannya terasa berlebihan?
To: Julian
Aku akan marah padamu satu minggu penuh.
Sesudah mengirimi Julian pesan guna menunjukkan kekesalanku, aku beranjak menuju balkon. Aku harap pepatah makan angin dapat berfungsi dan membuat rasa laparku teratasi. Oh, sekarang aku benar-benar terdengar seperti orang bodoh.
Kimono tipis yang ku kenakan langsung berhembus begitu ku geser pintu balkon. Bau tanah sisa hujan semalam masih melekat. Lampu kota yang menerangi lengangnya jalan membuatku semakin menikmati semuanya secara keseluruhan. Bisa dibilang, ini adalah kali pertamanya aku tidak menyesal membeli apartemen di pusat kota. Sangat menenangkan. Rileks.
Kepulan asap yang ditangkap lampu jalan mengalihkan fokusku. Seorang pria berdiri di bawah sana dengan hoodie yang menutupi kepalanya. Aku refleks menggigit bibirku kala sadar pria tersebut sedari tadi tengah... memperhatikanku? Mengapa juga dia... menyeringai? Tunggu, untuk apa dia melakukan itu padaku?
Apakah ini termasuk pelecehan?
Belum usai aku dengan berbagai pikiran burukku, tiba-tiba orang asing tersebut menginjak puntung rokoknya sebelum Range Rovernya. Dalam sepersekian detik dia menghilang dibalik kegelapan, menyisakan diriku yang mematung bersama dering ponselku yang berbunyi keras.
"Baby, satu minggu terlalu lama."
Suara Julian boleh saja memecahkan ketakutanku, tapi seringaian pria misterius itu membekas. Seringaian yang dingin dan mendebarkan.
-----
Dinner bersama agensiku baru saja berakhir. Sekarang di sinilah aku, terduduk sendiri disebuah restaurant Prancis menanti kedatangan Julian. Bahkan aku sengaja menyuruh Matthew pulang lebih awal karena Julianlah yang memaksaku demikian. Ah ya, siang ini August mengundurkan diri secara mendadak. Dia berpamitan dengan alasan bahwa ibunya jatuh sakit, jadi dia langsung bergegas kembali ke kampung halamannya di Doncaster. Pun untuk hari-hari berikutnya Matthew resmi merangkap sebagai manager sekaligus supirku.
"Sayang, maaf aku terjebak macet. Tunggu sebentar lagi, ya?" Suara Julian terdengar pelan diujung ponselku. Mungkin takut amarahku akan meledak.
"Berapa lama?" Aku mencoba mengerti posisinya yang kini sudah memiliki porsi kerja lebih banyak. Sebab menjadi pimpinan divisi di perusahaan asuransi tentu bukanlah perkara mudah.
"Hampir sampai. Tidak sampai 15 menit."
Terdengar Julian membunyikan klaksonnya berulang kali, dan aku menghela nafas dalam-dalam. "Baiklah. Hati-hati mengemudinya."
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu." Balasku.
Tidak berselang lama setelah aku mengakhir pembicaraan dengan Julian, seorang waiter datang dan memberikan segelas minuman yang bisa kutebak itu adalah wine. Ada sepucuk kertas tepat dipinggir gelas tersebut.
"Aku tidak memesan menu tambahan." Jelasku terheran.
"Ini pemberian dari pria yang duduk di-" Aku mengikuti arah mata si waiter ketika berbicara, namun ucapannya terhenti ketika meja yang dimaksud sudah kosong.
"Maaf nona, tadi pria yang saya maksudkan ada di sana. Beliau menyuruh saya memberikan ini pada... Nona Lily Cansas?"
"Benar, itu namaku. Baiklah, terima kasih." Setelah waiter tersebut pergi, dengan ragu aku membuka lipatan surat tersebut.
'Lily, kau adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat. Tapi kau tahu? Aku lebih suka jika mata indahmu tertutup selamanya.'
Tubuhku seketika melemas. Ku mohon tidak lagi. Tidak dengan teror lagi. Ini gila, bahkan ditempat umum seperti ini peneror tersebut tak segan menunjukan niatannya. Kakiku limbung saat mencoba berjalan. Mataku memanas seiring rasa takut yang menjalar diseluruh tubuhku. Aku harus pergi! Persetan dengan paparazzi yang akan mengambil gambarku dengan keadaanku yang kacau seperti ini!
Sebelum si pelayan membukakan pintu, seseorang terlebih dahulu menutupi kepalaku dengan sebuah jaket dan menarik jari-jariku dalam genggamannya. Aku sempat mengelak, tetapi yang ada dia semakin mengeratkan persatuan tangan kami. Seseorang itu seolah menawarkanku kepastian untuk percaya padanya.
Dalam sekejap, kilatan flashpun sibuk menyambarku dan entah siapa dia.
Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu
BONUS CHAPTER-Enam bulan kemudian-Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda."Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya."Apa permintaanku berlebihan?"Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya.""Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k
"Mom?"Suara Trixie sukses menyadarkan kami. Posisiku yang berada dalam pelukan Alex bisa membuat Trixie bertanya hal yang macam-macam. Aku tak sanggup meladeni cara berpikirnya. Bagaimana ia bertanya tentang ini itu dan tentang siapa ayahnya. Dan aku semakin mengutuk atas apa yang Trixie lihat saat ini.Aku mendorong Alex. Aku harus membedakan apa yang perlu ku hadapi dengan apa yang menjadi masa lalu. Alex adalah masa laluku. Masa laluku yang buru lebih tepatnya."Alex? Mengapa kau ada di sini?"Mendengar Trixie memanggil nama Alex secara langsung terasa sangat salah. Aku segera menarik tangan Trixie guna membawanya masuk ke dalam. Beruntung ia menurut. Tanpa menoleh lagi, ku tinggalkan Alex bersama Julian yang sedari tadi diam
Alex's POVHal pertama yang ku lakukan setelah bebas adalah mencari tahu di mana keberadaan Lily. 6 tahun berlalu tanpa melihatnya merupakan tahun-tahun tersulit. Julian sempat mengunjungi lapasku tepat ketika aku di penjara 8 bulan. Ia bercerita bahwa Lily telah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Trixie. Masih jelas diingatanku, di hari itu aku bungkam sebelum akhirnya menangis haru. Tuhan sudah memberikan dua sosok hebat yang menjadi kebahagiaan terbesarku.Aku kerahkan semua usaha guna menemukan Lily dan Trixie. Bahkan rumah yang sempat kami tinggali dahulu juga ku datangi. Aku tahu, aku terlalu bodoh lantaran mengira Lily masih bertahan di sana. Rumah tersebut tak lebih hanya meninggalkan kenangan pahit baginya. Kematian Thomas, tertangkapnya diriku, dan kebersamaan kami yang dinilainya sebagai kepalsuan. Jujur sedari awal aku bertemu dengan Lily, aku sudah menyukainya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan mampu memenuhi misi gila Thomas. Ben
Sorak-sorai pesta kemenangan masih berlangsung meriah di podium sirkuit. Para wartawan sibuk mengambil gambar, menyiarkannya ke televisi di seluruh dunia. Aku sedikit beruntung karena Ezra tidak menang. Pun aku mundur satu langkah, melambaikan tangan pada Sofie yang berada di bawah podium."Kau terlambat bukan?" Pekik Sofie lantang, lantaran suasana di sini benar-benar berisik. Aku mengangguk. Ini sudah pukul dua, dan aku terlambat satu jam dari yang seharusnya. Oh, aku bisa membayangkan bagaimana cemberutnya Trixie."Lain kali ku traktir makan siang." Ujarku pada Sofie sebagai bentuk terima kasih.Di atas heels 12 cmku, aku berlari menuju ruang ganti. Pakaianku yang nyaris basah seluruhnya oleh bir, menjadikan banyak mata pria mengekoriku. Aku menyilangkan tanganku di bagian
"Mom, di mana Millyku?!"Aku menggeram kesal, nyaris menjerit karena ulah Trixie. Ia terus menghentak-hentakan kakinya di anak tangga. Aku yakin, ia akan berbuat demikian hingga aku meladeni rengekannya, atau lebih parah lagi sampai gendang telingaku akhirnya pecah. Oh aku tidak tahu! Tak ingin semua bertambah runyam, aku memutuskan berhenti mengaduk kari di wajan, lalu menghampirinya."Siapa Milly?""Boneka unicornku!"Menekan kepalaku, aku mengembuskan nafas sekaligus. Mengapa nama unicorn itu rumit sekali? "Kapan terakhir kali kau memainkannya?""Kemarin.""Di mana?"Ma
6 Tahun Kemudian...Menaburi bunga lily di atas pusar makam, aku duduk bersimpuh. Aku tidak berhenti mengusap pahatan nama nisan itu. 6 tahun sudah aku melewati masa tersulit sekaligus masa terindah secara bersamaan. Kehilangan, kesedihan, dan kebahagiaan bergantian menghampiri. Dan kebahagiaan itu hadir lewat seorang putri kecil cantik yang kini menjadi pelengkap hidupku."Mom?" Trixie, buah hatiku memanggil. Jari-jari mungilnya menumpukkan tanah, untuk kemudian merapatkannya pada figura yang sengaja aku taruh. "Kau harus meletakannya seperti ini. Kalau tidak, nantinya jatuh terkena angin.""Iya, sayang. Terima kasih."Membersihkan telapak tangannya yang kotor, ia memerhatikanku lekat. Tangan tersebut menggapai
Aku tersadar dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Bibirku ditutupi lakban, tapi itu tak menghalau asin darah yang terasa oleh indra pengecapku. Dengan tenaga yang tak seberapa, aku mencoba melepaskan lilitan dibagian tanganku. Sial! Tidak bisa!Thomas pun berjalan mendekat, lalu mencabut lakbanku dalam sekali sentakan. Aku langsung meludahi wajahnya. Hanya itu satu-satunya perbuatan yang bisa ku lakukan, untuk menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak takut."Diam, atau aku akan memotong lidahmu!"Plak! Plak!Dua tamparan berturut-turut ku terima. Alih-alih bukannya aku meringis, penglihatanku justru teralihkan pada banyak cipratan darah di lantai dan dinding. Seketika itu juga aku menganga lebar. Hatiku seakan diremas-remas
Aku menarik ujung sweater sampai sebatas jari-jariku, berusaha menyembunyikan tanganku yang masih mengalami gemetar hebat. Ponselku kini telah hancur karena ulah Alex. Mungkin ia muak melihat bagaimana diriku yang terus membaca semua lontaran kasar, gunjingan, serta bujukan bunuh diri yang membanjiri sosial mediaku.Dengan tatapan kosong, Alex melipatkan kakinya sebelum bersandar ke dinding. Tegak kepalanya berakhir dengan tundukkan dalam. Sekalipun di video bejat tersebut wajahnya disamarkan, namun ia jutsru terlihat lebih terpuruk dibandingkan diriku."Aku bersumpah akan menghabisinya! Aku bersumpah!" Geraman lantang Alex menghentikan gerak kakiku yang hendak menghampirinya. Selanjutnya nafasku tertahan sebab ia mengobarak-abrik isi laci nakas, dan mengeluarkan sebuah pistol.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments