Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!
"Jaga matamu, pria mesum."
Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."
Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.
Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas bermata keranjang.
Tanpa menjabat tangan Alex, aku menarik Julian untuk segera membawanya ke arah dapur. Dengan ponsel yang masih menempel ditelinganya, Julian menaikkan alisnya seolah berkata; ada apa? Aku pun membuang muka. Julian yang sudah paham dengan sikapku langsung berinisiatif menghakhiri pembicaraan melalui ponselnya.
"Tinggalkan saja dokumennya di meja. Saya akan segera ke sana."
"Maksudmu apa? Bodyguard?" Cerocosku kesal. "Aku tidak butuh hal semacam itu. Aku juga tidak mau jika dia yang menggantikan August." Aku sengaja berbicara dengan suara keras. Tujuanku utamaku ialah agar Alex mengetahui bahwa keberadaannya tidak diharapkan. Lagipula posisi August sebelumnya adalah supir, lalu kenapa kekasihnya mengganti dengan seorang bodyguard?
Julian menekan pelipisnya beberapa saat, berupaya mencari kata-kata yang tepat demi meredakan gejolak emosiku. "Teror yang kau dapat setiap hari semakin banyak. Aku takut apabila terjadi hal yang jauh lebih buruk. Ini satu-satunya cara yang bisa ku lakukan untuk melindungimu, sayang."
Aku merasa sedikit bersalah. Dia jelas bermaksud baik, yang mana dia menginginkan keadaanku selalu aman. "Tapi... kenapa dia? Dari sekian banyak relasi, kenapa harus Alex?"
"Alex itu sepupu dari Thomas. Aku tidak mungkin menolak tawarannya ketika dia mengatakan mempunyai sepupu yang sedang mencari pekerjaan. Alex juga berpengalaman dengan predikat sabuk hitamnya. Kau akan aman bersama Alex." Jelas Julian panjang lebar.
"Tunggu, Thomas?" Suaraku melunak saat dia mengucapkan nama Thomas. Thomas Alfonso merupakan teman baik sekaligus rekan kerja Julian. Julian dan Thomas bertemu saat sama-sama mengikuti sesi wawancara. Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Thomas, dan dia merupakan orang yang cukup menyenangkan untuk diajak bicara. Membantu teman memang perlu dilakukan selagi kita sanggup. Tapi, oh entahlah. Sebab di sini yang aku bicarakan adalah sosok Alex Willis.
Julian meraih jariku, membungkus dalam kehangatannya. "Tolong dengarkan aku, sayang. Alex tengah melamar pekerjaan di tempatku bekerja. Selagi menunggu panggilan, tidak ada salahnya dia bekerja sementara untukmu."
"Apakah kau sengaja menyuruh Alex menyelamatkanku dari kejaran paparazzi?" Aku membuat kesimpulan sepihak. Bagaimana pun perkara bantuan dari Alex di malam itu cukup mencurigakan.
"Tidak, sayang. Alex bilang dia mengenalimu karena pernah melihat wajahmu di majalah, dan yeah dia sebatas ingin membantu. Bukankah ini suatu kebetulan yang menarik?"
"Ya, menarik. Sampai-sampai dia bisa begitu saja masuk ke apartmenku." Sahutku.
Julian tersenyum kecil mendengar bagaimana aku tidak berhenti mengeluh. "Aku yang memberikan Alex password apartemenmu, karena dia secepatnya akan bekerja padamu. Aku harap kau mengerti. Berkasku sudah menumpuk untuk satu bulan ini. Aku tidak mungkin mengawasimu terus-menerus, sekalipun aku sangat ingin."
Julian meraih daguku, membuatku harus menatap mata birunya yang merupakan hal yang paling ku sukai. Dia menarik kedua ujung bibirku. Mau tak mau segaris senyumanku muncul, lalu aku mendengus sebelum tertawa kecil. Julian memang paling handal dalam urusan mengembalikan moodku.
"Nah, kalau seperti ini kau semakin cantik. Aku berjanji, selepas urusan kantorku tidak lagi hectic, aku akan mencari pengganti August sesuai dengan kriteriamu. Setidaknya berilah Alex masa percobaan selama satu bulan."
Aku termenung, menimbang segala sesuatunya secara matang. "Hanya satu bulan, kan?"
"Ya, berikan Alex kesempatan."
Pun ku berikan anggukan tipis. "Baiklah. Aku setuju."
Kendati aku menyetujui tawaran Julian, dia pun kembali membawaku guna menemui Alex. Ku pastikan aku hanya perlu bertahan sementara waktu. Ya, cukup satu bulan dan tidak lebih.
*****
"Sudah ku katakan, jangan berjalan terlalu dekat denganku." Memperbesar langkah kakiku dari Alex, aku menjaga jarak sebisa mungkin darinya. Ini resmi tugas pertama Alex sebagai bodyguard, yaitu menemaniku rehearsal untuk acara fashion show besok. Seluruh pandangan tertuju ketika aku memasuki hall room. Ku kira begitu, sampai satu dari mereka berdecak kagum pada pria berbalut serba hitam di belakangku. Ya, pusat perhatian mereka merupakan Alex Willis, bukan aku. Bukan.
"Lily!" Aku menoleh, mencari sumber teriakan. Lantas aku mendapati sahabatku, Emily Campbell, setengah berlari menghampiriku. Rambut pirangnya nampak kontras dengan blouse berwana maroon.
"Mengapa kau tidak bilang akan ikut fashion show ini?" Pekikku gemas. Tidak heran jika beberapa hari belakangan dia selalu mengatakan akan memberiku kejutan. Ternyata inilah yang Emily maksudkan. Kami akan bekerja dalam satu proyek yang sama. Pasti menyenangkan.
"It's surprise! Bukan kejutan namanya jika aku memberitahumu terlebih dahulu." Ledeknya. Tawa Emily terhenti diiringi bola matanya membulat pada sosok pria di sampingku, Alex. Padahal sudah aku bilang agar kami tidak terlalu dekat. "Hey, dia siapa? Tampan juga."
"Dia bukan siapa-siap."
"Aku Alex Willis, bodyguard dari Lily Cansas yang pemarah ini." Aku mendengus mendapatinya sudah mengulurkan tangan. Dia gemar sekali mengulurkan tangan kesana kemari. Dan, apa katanya? Aku seorang pemarah? Apa dia ingin dipecat?
"Kau bisa memanggilku Emily Campbell. Aku sahabat dari supermodel bernama Lily Cansas."
Sontak aku menggeleng pada Emily sebelum mereka berdua berjabat tangan.
"Anda cantik sekali, Nona Emily." Kepalaku berputar cepat ke tempat Alex berdiri, memelototinya tajam. Belum dua jam menjadi bodyguardku saja dia sudah berani menggoda sahabatku satu-satunya.
"Lily, kita harus bergegas ke backstage dan menyusul yang lainnya." Emily menarikku untuk menutupi pipinya yang sudah bersemu merah.
"Bye, Alex." Ujar Emily halus. "Lily akan aman bersamaku."
"Ok. Good luck." Balas Alex. Entah good lucknya ditujukan untukku atau Emily. Aku sama sekali tidak peduli! Lagipula siapa yang butuh semangat dari bodguard mesum?
Tidak lama kemudian lighting diredupkan, berubah menjadi warna biru langit. Latar musik upbeat mengiringi arahan dari pengarah gaya dan Aiden, sang desainer. Pun giliranku akhirnya tiba keluar dari arah backstage. Berjalan di catwalk bukanlah hal yang sulit, walaupun ada teknik khusus yang perlu dipelajari dalam waktu lama. Akan tetapi langkahku goyah mengetahui Alex tengah tersenyum miring. Dia duduk disalah satu kursi yang sudah disiapkan untuk acara besok.
Dengan ke dua siku yang menyentuh pahanya, manik matanya tak lepas dariku. Dia bertepuk tangan ketika aku melewati kursi yang di dudukinya. Bersiul-siul juga dilakukan. Ku rasakan pipiku sudah persis kepiting rebus akan tatapannya yang selalu seperti menelanjangiku. Dia mengedipkan sebelah matanya (lagi) sebelum beranjak meninggalkan hall room.
Aku menatap punggungnya dan jatuh ke cara berjalannya yang memesona. Setiap langkah yang dia ambil terasa panas hingga aku terhipnotis dibuatnya. Dan seketika itu konsentrasiku hancur total.
Brukk!
"Astaga Lily, kau baik-baik saja?!"
Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi."Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya."Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak
Aku tidak henti memaki Alex dalam hati, merutuki setiap perkataan dan perlakuan pria tersebut padaku. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?! Dia sudah menciumku dua kali! Dia juga mengatakan ingin menikahiku! Kami bahkan baru saling mengenal beberapa hari. Namun bukan berarti jalan pikiranku akan berubah seandainya aku dan Alex sudah mengenal selama satu bulan, satu tahun, bahkan satu tahun sekalipun.Kenapa Alex kian mempoposisikanku dalam keadaan yang sulit?Menjatuhkan tubuhku di ranjang, aku membenambakan wajah pada tumpukan bantal empuk. Tanpa beranjak, aku meraih ponselku yang berada di atas nakas dan mencari nomor Julian."Hallo say- oh, shit! Hentikan."Dahiku seketika mengerut mendengar suara Julian. "Julian, apa yang terjadi denganmu? Apa ada masalah?""Tidak ada apa-apa, Lily. Tadi ada office boy yang menumpahkan kopi ke celanaku.""Aku kira ada a-" Ucapanku terhenti ketika mendengar jelas gelak tawa seorang wanita. Pikiranku mulai bercabang, memikirkan berbagai kemun
Rabu siang ini berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan bahwa penjahat tempo hari akan kembali menjalankan aksinya. Seselesainya sesi pemotretan untuk sebuah majalah remaja, Alex langsung mengantarkanku pulang. Di pelataran basement, tanpa turun dari mobil, dia bilang akan bergegas pergi ke sebuah perusahaan. Ya, pria ini baru saja mendapatkan panggilan kerja, namun bukan perusahaan tempat Julian bekerja. Aku menarik kesimpulan dia melamar ke beberapa tempat."Wish you luck! Dan dengan begitu kau akan segera berhenti menjadi bodyguard payahku."Aku terkekeh, walau sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Memang, akan bagus jika Alex mendapatkan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, namun jika ia diterima, itu berarti cepat atau lambat ia tidak akan berada di sisiku lagi."I know, you don't mean it." Tanpa ku duga Alex merangku. Sadar bahwa dia mulai bertingkah sekenanya, aku menarik tubuhku menjauh. Tenaga pria ini ku akui sangat besar, saat dengan mudahnya dia kembal
Bel sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Tetapi aku dan Julian tetap tidak terpengaruh, apalagi perhatian dia tidak terlepas sedikitpun dari secarik kertas yang berada di genggamannya. Dengan keberanianku aku berjinjit untuk merebut kertas tersebut. Namun dia mengangkat tangannya lebih tinggi ke udara. Julian menatapku dengan tanda tanya, mengapa aku harus bertingkah sampai sebegitunya?Mata birunya menghakimiku, mengetahui bahwa ada sesuatu yang ku sembunyikan darinya. Aku pasrah walaupun belum siap jika hubunganku dan Alex terbongkar. Di sini aku sebenarnya tidak mengerti secret relation macam apa yang ku lakoni bersama Alex, penyebab dan kapannya pun aku sendiri tidak tahu menahu. Yang jelas, aku sudah bermain terlampau jauh, hingga tiba-tiba tanpa sadar aku sudah berada diujung jurang.Ku ibaratkan jika Julian membaca isi kertas itu, aku akan lepas dari ranting pohon yang mana merupakan penyangga hidupku. Hal gilanya adalah, aku tidak takut apabila harus jatuh dan terluka. Egois ji
"Lily! Fokus!" Setelah belasan take, lagi-lagi kalimatku tidak sesuai dengan script. Banyak kru yang menatapku tidak suka. Ya, aku menjadi penyebab waktu kerja mereka berjalan lebih panjang. Semua gara-gara perkataan Alex mengenai Julian. Aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali untuk pembuatan short movie kali ini."Maaf, break sebentar." Dengan terburu-buru aku meraih script yang sedang dibaca Alex."Kembalikan." Gusarku."Berlatihlah denganku. Anggap aku si Nick lawan mainmu itu." Aku tahu Alex bersungguh-sungguh ketika dia melipat kedua tangannya, dan matanya menatapku lurus."Lebih baik kau pergi.""Eits." Desisnya saat menghalauku yang hendak mengambil kertasku yang masih dipegangnya. "Kau tidak perlu membaca ulang. Kau sudah tahu pasti isinya. Bahkan aku sampai muak dan hapal seluruh ucapanmu." Alex menegakkan cara dudukku, menarik kedua ujung bibirku yang menghasilkan senyum paksa. "Berkonsentrasilah. Kau sangat buruk dalam hal itu.""Baiklah, tapi jangan anggap aku sudah mema
Aku memberikan nampan berisi makanan yang sudah Alex diamkan sedari tadi. Ia tidak menyentuh makanannya sama sekali, melirik pun tidak. Pikirannya seakan menerawang jauh, dan hanya membiarkanku menerka-nerka apa isi kepalanya. Ku yakin, Alex juga tidak sadar bahwa kami sudah terduduk berhadapan di kursi pojok McD selama lebih dari dua puluh menit terakhir."Alex?" Berujar dengan nada rendah, aku menundukkan wajahku mendekatinya. Kepalanya terangkat, lalu tersenyum tipis."Kau tidak makan?"Itu adalah lontaran pertama Alex setelah ia mengatakan bahwa si pembunuh masih berkeliaran. Sejujurnya aku takut jika pembunuh itu akan mencoba berbagai cara lagi untuk menghabisiku. Sebagian dariku ingin menghindar, tapi aku bisa apa? Aku harus bekerja. Aku mempunyai rentetan kontrak yang harus ku penuhi. Tidak mungkin aku mengurung diri sebatas agar lepas dari teror tersebut. Dengan enggan, aku mengambil sepotong french fries, lalu memakannya."Ini aku makan."Alex tertawa, namun untukku itu jelas
Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu
BONUS CHAPTER-Enam bulan kemudian-Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda."Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya."Apa permintaanku berlebihan?"Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya.""Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k
"Mom?"Suara Trixie sukses menyadarkan kami. Posisiku yang berada dalam pelukan Alex bisa membuat Trixie bertanya hal yang macam-macam. Aku tak sanggup meladeni cara berpikirnya. Bagaimana ia bertanya tentang ini itu dan tentang siapa ayahnya. Dan aku semakin mengutuk atas apa yang Trixie lihat saat ini.Aku mendorong Alex. Aku harus membedakan apa yang perlu ku hadapi dengan apa yang menjadi masa lalu. Alex adalah masa laluku. Masa laluku yang buru lebih tepatnya."Alex? Mengapa kau ada di sini?"Mendengar Trixie memanggil nama Alex secara langsung terasa sangat salah. Aku segera menarik tangan Trixie guna membawanya masuk ke dalam. Beruntung ia menurut. Tanpa menoleh lagi, ku tinggalkan Alex bersama Julian yang sedari tadi diam
Alex's POVHal pertama yang ku lakukan setelah bebas adalah mencari tahu di mana keberadaan Lily. 6 tahun berlalu tanpa melihatnya merupakan tahun-tahun tersulit. Julian sempat mengunjungi lapasku tepat ketika aku di penjara 8 bulan. Ia bercerita bahwa Lily telah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Trixie. Masih jelas diingatanku, di hari itu aku bungkam sebelum akhirnya menangis haru. Tuhan sudah memberikan dua sosok hebat yang menjadi kebahagiaan terbesarku.Aku kerahkan semua usaha guna menemukan Lily dan Trixie. Bahkan rumah yang sempat kami tinggali dahulu juga ku datangi. Aku tahu, aku terlalu bodoh lantaran mengira Lily masih bertahan di sana. Rumah tersebut tak lebih hanya meninggalkan kenangan pahit baginya. Kematian Thomas, tertangkapnya diriku, dan kebersamaan kami yang dinilainya sebagai kepalsuan. Jujur sedari awal aku bertemu dengan Lily, aku sudah menyukainya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan mampu memenuhi misi gila Thomas. Ben
Sorak-sorai pesta kemenangan masih berlangsung meriah di podium sirkuit. Para wartawan sibuk mengambil gambar, menyiarkannya ke televisi di seluruh dunia. Aku sedikit beruntung karena Ezra tidak menang. Pun aku mundur satu langkah, melambaikan tangan pada Sofie yang berada di bawah podium."Kau terlambat bukan?" Pekik Sofie lantang, lantaran suasana di sini benar-benar berisik. Aku mengangguk. Ini sudah pukul dua, dan aku terlambat satu jam dari yang seharusnya. Oh, aku bisa membayangkan bagaimana cemberutnya Trixie."Lain kali ku traktir makan siang." Ujarku pada Sofie sebagai bentuk terima kasih.Di atas heels 12 cmku, aku berlari menuju ruang ganti. Pakaianku yang nyaris basah seluruhnya oleh bir, menjadikan banyak mata pria mengekoriku. Aku menyilangkan tanganku di bagian
"Mom, di mana Millyku?!"Aku menggeram kesal, nyaris menjerit karena ulah Trixie. Ia terus menghentak-hentakan kakinya di anak tangga. Aku yakin, ia akan berbuat demikian hingga aku meladeni rengekannya, atau lebih parah lagi sampai gendang telingaku akhirnya pecah. Oh aku tidak tahu! Tak ingin semua bertambah runyam, aku memutuskan berhenti mengaduk kari di wajan, lalu menghampirinya."Siapa Milly?""Boneka unicornku!"Menekan kepalaku, aku mengembuskan nafas sekaligus. Mengapa nama unicorn itu rumit sekali? "Kapan terakhir kali kau memainkannya?""Kemarin.""Di mana?"Ma
6 Tahun Kemudian...Menaburi bunga lily di atas pusar makam, aku duduk bersimpuh. Aku tidak berhenti mengusap pahatan nama nisan itu. 6 tahun sudah aku melewati masa tersulit sekaligus masa terindah secara bersamaan. Kehilangan, kesedihan, dan kebahagiaan bergantian menghampiri. Dan kebahagiaan itu hadir lewat seorang putri kecil cantik yang kini menjadi pelengkap hidupku."Mom?" Trixie, buah hatiku memanggil. Jari-jari mungilnya menumpukkan tanah, untuk kemudian merapatkannya pada figura yang sengaja aku taruh. "Kau harus meletakannya seperti ini. Kalau tidak, nantinya jatuh terkena angin.""Iya, sayang. Terima kasih."Membersihkan telapak tangannya yang kotor, ia memerhatikanku lekat. Tangan tersebut menggapai
Aku tersadar dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Bibirku ditutupi lakban, tapi itu tak menghalau asin darah yang terasa oleh indra pengecapku. Dengan tenaga yang tak seberapa, aku mencoba melepaskan lilitan dibagian tanganku. Sial! Tidak bisa!Thomas pun berjalan mendekat, lalu mencabut lakbanku dalam sekali sentakan. Aku langsung meludahi wajahnya. Hanya itu satu-satunya perbuatan yang bisa ku lakukan, untuk menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak takut."Diam, atau aku akan memotong lidahmu!"Plak! Plak!Dua tamparan berturut-turut ku terima. Alih-alih bukannya aku meringis, penglihatanku justru teralihkan pada banyak cipratan darah di lantai dan dinding. Seketika itu juga aku menganga lebar. Hatiku seakan diremas-remas
Aku menarik ujung sweater sampai sebatas jari-jariku, berusaha menyembunyikan tanganku yang masih mengalami gemetar hebat. Ponselku kini telah hancur karena ulah Alex. Mungkin ia muak melihat bagaimana diriku yang terus membaca semua lontaran kasar, gunjingan, serta bujukan bunuh diri yang membanjiri sosial mediaku.Dengan tatapan kosong, Alex melipatkan kakinya sebelum bersandar ke dinding. Tegak kepalanya berakhir dengan tundukkan dalam. Sekalipun di video bejat tersebut wajahnya disamarkan, namun ia jutsru terlihat lebih terpuruk dibandingkan diriku."Aku bersumpah akan menghabisinya! Aku bersumpah!" Geraman lantang Alex menghentikan gerak kakiku yang hendak menghampirinya. Selanjutnya nafasku tertahan sebab ia mengobarak-abrik isi laci nakas, dan mengeluarkan sebuah pistol.