Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi.
"Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.
Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?
"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya.
"Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku akan memerah lantaran perlakuannya yang terkesan gila ini. Pun jantungku seperti bersiap meledak. Situasi apa ini?
Alex tak menggubris, dia justru membawaku untuk duduk di kursi ujung hall room. Dengan beerjongkok dan lutut kirinya menyentuh lantai, dia melepaskan high heelsku.
"Aaa!" Aku berteriak ketika dia mulai memijit tumit kakiku.
Hal itu membuat dia tersenyum jahil dengan garis matanya yang terangkat ke atas. Harus ku akui, lesung kedua pipinya yang terbentuk jelas menjadikan senyumannya sangat manis. Baiklah, mungkin dia bisa dibilang lumayan tampan. Tetapi kategori tampan menurutku bukanlah pria bertattoo ataupun yang memiliki rambut gondrong. Aku lebih menyukai pria yang rapih, sopan, berwibawa dan jelas-jelas semua yang kusebutkan tidak melekat pada Alex.
"Pegang pundakku." Dia memajukan tubuhnya dengan tangannya yang masih berada pada tumitku.
Aku memutarkan kedua bola mataku. "Never in million years."
"Jika kau tidak mau latihan ini terhenti karenamu, ikuti saja ucapanku." Ucapnya mulai geram.
"Jangan mencuri kesempatan. Aku tidak mau menyentuhmu." Menarik kakiku darinya, aku bangkit dari kursi dan seketika meringis, tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.
"Kakimu terkilir, nona pemarah. Duduklah dan biarkan aku memijat kakimu lagi."
Menghela nafas, akhirnya aku menurut. Aku meremas kencang pundak Alex saat dia kembali memijat tumitku. Demi Tuhan, ini 10 kali lebih kejam dari pada pijatan sebelumnya. Ku tangkap beberapa pasang mata dari arah stage memperhatikanku dengan tatapan iba, termasuk Emily.
"Kau jahat sekali, bodoh!" Umpatku.
"Anggaplah kau benar. Maka aku dumb dan kau dumber. Karena kau mempercayakan kaki indahmu untuk dipijat oleh orang bodoh." Alex berucap tanpa melihatku, jari-jarinya memijat dengan teliti atau dia hanya pura-pura teliti, entahlah.
"Bagaimana? Apa sudah lebih baik?" Tanya Alex diikuti alisnya tebalnya yang bertautan sempurna. Mata hijaunya tengah menunggu jawaban yang akan ku berikan. Meskipun sepasang matanya bukan berwarna biru laut seperti milik Julian, akan tetapi rasanya aku tetap bisa tenggelam dalam keindahannya.
Kurasa aku terlalu stres memikirkan runway besok, hingga otakku bergeser dan mengatakan hal yang tidak wajar. "Umm ya. Terima kasih." Aku tiba-tiba saja menjadi gugup sekaligus kacau. Hati dan kakiku berdenyut seirama.
"Kau tidak perlu melanjutkan latihan. Kau bahkan berkali-kali lebih hebat dari mereka semua."
Alex memujiku?
Sekarang dia ikut terduduk dengan menjinjing high heels-ku. Aku melirik pria ini sekilas, sebelum mataku berakhir di stage. "Pisau jika tidak diasah akan tumpul, begitupun dengan kemampuan seseorang." Untuk beberapa alasan yang tidak ku ketahui, aku sebenarnya tidak menyukai pembicaraan seperti ini. Terlebih percakapan itu terjadi antara aku dan Alex.
"Ku pikir kau hanyalah gadis bodoh. Rupanya kau pintar."
Aku mendengus. "Tidak perlu memuji jika kau hanya bertujuan mengejekku. Aku memang pintar, tapi aku tidak sombong dengan kepintaran yang ku miliki."
"Bukankah kalimatmu barusan justru menyimpulkan bahwa dirimu itu sombong?"
Woah, Alex adalah pribadi baru yang belum aku temui seumur hidupku, sangat arogan. Hebatnya aku tidak sakit hati. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan seluruh ucapan sarkasnya.
"Lily my honey, bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa mengikuti runway besok?" Aiden menghampiriku dan mengusapkan tangannya pada pundakku. Gelisah.
"Tentu saja, Aiden. Ini bukanlah masalah besar." Dia nampak begitu khawatir jika kejadian tadi membuatku membatalkan bergabung di peragaan busananya.
Pria bertubuh gempal ini bernafas lega. "Syukurlah. Kau adalah model yang paling ku inginkan untuk mengenakan rancangan terbaruku. Kau bisa pulang sekarang, Lily. Beristirahatlah." Ucap Aiden panjang lebar.
"Aku baik-baik saja, sungguh. Aku bisa kembali mengikuti latihan. Kau lihat ya, Aiden." Aku tersenyum kikuk seraya mencoba berdiri. Lantai hall room ini bagaikan bara api saat telapak kaki telanjangku berusaha menahan beban tubuhku.
Hasilnya nihil.
Sial, ini sakit sekali.
Lagi-lagi Alex menangkap tubuhku, karena aku ternyata tidak bisa membuktikan ucapanku pada Aiden. Tangan kekar Alex kini sudah kembali melingkar pada pinggangku, seakan tak membiarkan aku untuk jauh darinya.
"See? Kau harus pulang, honey. Kalau kau terlalu memaksakan, takutnya kau justru tidak bisa mengikuti acara besok." Aiden kini menggenggam tanganku. Bagaimanapun aku tetap ingin latihan. Tidak ingin dianggap bahwa Aiden pilih kasih dengan membiarkan aku pulang mendahului mereka.
Sesuatu mengejutankan terjadi, Alex menggendongku lagi tanpa basi-basi. "Benar apa yang dikatakan pria ini. Kau harus pulang." Alex memberi penekanan saat menyebutkan kata pria. Aku tak habis pikir, di mana sopan santunnya pada Aiden?
"Ya benar. Bodyguard tampanmu saja setuju dengan perkataanku." Aiden memberikan senyum terbaiknya khusus untuk Alex, membuat deretan gigi putih pria gemulai ini bersinar. Aku mendesah dalam hati, tak habis pikir, banyak sekali orang yang termakan pesona Alex Willis.
*****
Matthew kemarin ijin padaku tidak bisa mendampingiku latihan, dan kini dia menggunakan alasan yang sama seperti kemarin. Dia bilang ada masalah dengan pencernaan yang mengharuskannya tidak bisa jauh dari toilet. Sejujurnya aku butuh Matthew bukan untuk mencatat atau mengatur jadwalku saja, setidaknya jika ada dia aku tidak harus berduaan dengan Alex. Apa yang harus ku lakukan agar suasana tidak menjadi canggung?
Ting!
Pintu lift apartmentku terbuka di lantai basement. Pun aku langsung mencari di mana sosok pria jangkung itu berada. Mataku menangkap Alex tengah bersandar di kap mobil selagi berbicara melalui ponselnya. Raut wajahnya tegang, seolah pembicaraan yang dimilikinya begitu serius.
"Berikan aku waktu. Tidak mungkin aku melakukannya sekarang, itu terlalu cepat."
Alex sedang berbicara dengan siapa sih? Jengkel, aku pun menghentakkan flat shoesku, hal itu membuatnya menyadari keberadaanku dan segera menutup ponselnya. "Kau sudah siap?" Tanya Alex.
"Seperti yang kau lihat. Setelah kau mengantarkanku, tolong bawa mobilku ke bengkel karena sudah masuk bulan untuk diservice." Ucapku selagi dia membukakan pintu disamping kemudi.
Aku memundurkan langkah. Alex seperti bisa membaca situasi, pun dia kembali melakukan hal yang sama.
"Aku ini bodyguardmu, bukan supir. Jadi duduklah di sampingku." Dia membukakan pintu lagi dan aku mendengus sebelum menurutinya. Padahal dia kan pengganti August, yang mana August merupakan supir terdahuluku. Jadi, intinya Alex sedang mengisi posisi itu.
Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan diantara kami, hanya suara penyiar wanita yang berceloteh dari radio. Tak lama terdengar sebuah lagu diputarkan. Aku mematikan radio tersebut yang disambut lirikan sinis Alex.
"Kau tidak suka mendengarkan lagu?"
"Aku butuh kesunyian agar tetap bisa fokus."
"Fokus sampai terjatuh seperti kemarin maksudmu?" Sarkas Alex. Serius, dia ini senang mengajakku berdebat. "Dengarkan saja. Musik itu bagus agar kau bisa lebih tenang." Pun dia menyalakan radio lagi, bahkan kini memperbesar volumenya. Sehingga aku memutuskan berhenti peduli. "Lain kali aku akan bernyanyi untukmu. Suaraku tidak kalah dengan penyanyi terkenal Harry Styles."
Dia pasti bercanda.
Aku pun membuka lipatan cermin yang berada di bagian depanku. Kantung mataku nampak lantaran semalam aku bermimpi buruk lagi dan berakhir bergadang.
"Pukul berapa acaramu selesai?" Tanya Alex.
"Jam 1 mungkin."
"Aku akan menunggumu di sana. Sekedar memastikan bahwa tidak ada yang mengganggumu." Dia mengarahkan stir ke kiri, mobil pun keluar dari jalan tol.
"Tidak, kau service saja mobilku. Lagi pula di sana ramai. Sekalipun ada orang yang bertindak macam-macam, aku bisa berteriak."
"Jangan membantah, Lily." Mulutku menganga tak percaya, aku baru saja diperintah oleh bodyguarku sendiri. "Ini kemauan Julian, bukan aku. Jadi ku harap kau tidak berpikiran yang berlebihan."
Mau aku mengiyakan ataupun menolak mentah-mentah, nyatanya dia tidak mungkin goyah dengan kalimatnya. Dapat ku rasakan, ujung mata Alex melirikku. Mungkin dia merasa sedikit tidak nyaman atas kalimatnya yang terdengar lebih seperti gertakan. Aku kini tengah memainkan game sepanjang masa dari ponselku, tetris.
"Lily?" Gumam Alex. Oh dia benar-benar merasa bersalah.
"Hmm."
"Aku tidak suka berbicara tapi lawan bicaraku tak menatapku."
"Jangan bicara padaku kalau begitu. Selesai."
"Kau pernah bercinta di dalam mobil?"
"Apa? Dasar! Kau benar-benar mesum!" Teriakku histeris.
"Giliran aku bertanya seperti itu kau langsung cepat melihatku." Satu garis bibirnya tertarik ke atas, membuat seringaian menjijikan yang demi 7 tingakatan langit aku membenci hal tersebut.
Aku memberikan jari tengahku dan ku letakkan tepat di depan wajahnya. Alex menepis karena aku mengganggu penglihatannya yang tengah mengemudi.
"Apa kau mau bercinta denganku di sini? Memang sempit dan tidak nyaman, tapi disitulah letak kenikmatannya." Dia mengoceh dengan santainya, seakan tidak sadar bahwa sikapnya mulai kurang ajar.
Aku langsung memukul pundaknya, tidak begitu keras kurasa, mengingat kami masih berada di tengah jalan. Bisa-bisa kami malah tak sampai tepat waktu untuk runway. Alex hanya tertawa mendapatkan respon yang terhitung kejam dariku. Rambutnya dia acak-acak sekilas, membuat harumnya yang beraroma peppermint menyerbak ke indra penciumanku.
"Apa kakimu masih sakit? Kau ingin ku pijat lagi?"
"Aku sudah tidak apa dan terima kasih untuk obatnya." Well, pijatan Alex pada tumitku kemarin memang membuatku ingin memangkas habis rambutnya yang sepertinya bagian yang paling Alex sukai, namun aku mengurungkan niatan tersebut mengingat dia berbaik hati memberikan krim pereda nyeri.
"Itu bukan apa-apa. Ayo kita turun." Alex membukakan sabuk pengamanku, membuatku tersadar bahwa kami sudah tiba di lokasi. Ini baru pukul 9. Setengah jam akan cukup bagiku untuk bersiap-siap.
Setelah berpikir lama, aku menyerahkan kepada Alex satu lembar tiket masuk. Tadinya itu milik Julian, tapi tidak lagi sejak dirinya menolak dengan kata maaf yang tak ada habisnya. Julian bukanlah tipe pria yang mau membolos kerja hanya untuk menyaksikan runway-ku. Tidak pernah ada orang terdekat yang melihatku saat tampil. Tidak siapapun dan tidak dalam kurun waktu 2 tahun kemarin. Padahal semua orang selalu membutuhkan dukungan setidaknya penyemangat, termasuk aku.
"Berhubung kau memaksa ingin menunggu. Kau bisa memiliki tiket ini."
Secara mengejutkan Alex membawa wajahku bersembunyi di dadanya. Dia memelukku!
"Lepaskan, Alex! Apa-apaan kau?!" Aku berusaha melepaskan diri, namun yang ada dia semakin erat dan enggan menuruti permintaanku.
"Aku lebih ingin memilikimu. Bisakah?"
Ku yakin jantungku berdegup kencang atas pengakuan mengejutkannya. Jujur aku dapat merasakan ritme miliknya selaras denganku. Lama-kelamaan dada bidang Alex memberikan rasa nyaman. Sapuan jemarinya pada rambut kecoklatanku kian melemahkan sistem sarafku. Entah untuk alasan apa, acara hari ini terasa berat. Alex seolah tahu isi pikiranku dan memberikan ketenangan melalui sebuah pelukan hangat.
"Fokuslah dan jangan biarkan dirimu terjatuh lagi. You are my favorite person."
Dan... tunggu!
Apa yang baru saja terjadi?
Kenapa Alex mencium puncak kepalaku?
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak
Aku tidak henti memaki Alex dalam hati, merutuki setiap perkataan dan perlakuan pria tersebut padaku. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?! Dia sudah menciumku dua kali! Dia juga mengatakan ingin menikahiku! Kami bahkan baru saling mengenal beberapa hari. Namun bukan berarti jalan pikiranku akan berubah seandainya aku dan Alex sudah mengenal selama satu bulan, satu tahun, bahkan satu tahun sekalipun.Kenapa Alex kian mempoposisikanku dalam keadaan yang sulit?Menjatuhkan tubuhku di ranjang, aku membenambakan wajah pada tumpukan bantal empuk. Tanpa beranjak, aku meraih ponselku yang berada di atas nakas dan mencari nomor Julian."Hallo say- oh, shit! Hentikan."Dahiku seketika mengerut mendengar suara Julian. "Julian, apa yang terjadi denganmu? Apa ada masalah?""Tidak ada apa-apa, Lily. Tadi ada office boy yang menumpahkan kopi ke celanaku.""Aku kira ada a-" Ucapanku terhenti ketika mendengar jelas gelak tawa seorang wanita. Pikiranku mulai bercabang, memikirkan berbagai kemun
Rabu siang ini berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan bahwa penjahat tempo hari akan kembali menjalankan aksinya. Seselesainya sesi pemotretan untuk sebuah majalah remaja, Alex langsung mengantarkanku pulang. Di pelataran basement, tanpa turun dari mobil, dia bilang akan bergegas pergi ke sebuah perusahaan. Ya, pria ini baru saja mendapatkan panggilan kerja, namun bukan perusahaan tempat Julian bekerja. Aku menarik kesimpulan dia melamar ke beberapa tempat."Wish you luck! Dan dengan begitu kau akan segera berhenti menjadi bodyguard payahku."Aku terkekeh, walau sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Memang, akan bagus jika Alex mendapatkan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, namun jika ia diterima, itu berarti cepat atau lambat ia tidak akan berada di sisiku lagi."I know, you don't mean it." Tanpa ku duga Alex merangku. Sadar bahwa dia mulai bertingkah sekenanya, aku menarik tubuhku menjauh. Tenaga pria ini ku akui sangat besar, saat dengan mudahnya dia kembal
Bel sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Tetapi aku dan Julian tetap tidak terpengaruh, apalagi perhatian dia tidak terlepas sedikitpun dari secarik kertas yang berada di genggamannya. Dengan keberanianku aku berjinjit untuk merebut kertas tersebut. Namun dia mengangkat tangannya lebih tinggi ke udara. Julian menatapku dengan tanda tanya, mengapa aku harus bertingkah sampai sebegitunya?Mata birunya menghakimiku, mengetahui bahwa ada sesuatu yang ku sembunyikan darinya. Aku pasrah walaupun belum siap jika hubunganku dan Alex terbongkar. Di sini aku sebenarnya tidak mengerti secret relation macam apa yang ku lakoni bersama Alex, penyebab dan kapannya pun aku sendiri tidak tahu menahu. Yang jelas, aku sudah bermain terlampau jauh, hingga tiba-tiba tanpa sadar aku sudah berada diujung jurang.Ku ibaratkan jika Julian membaca isi kertas itu, aku akan lepas dari ranting pohon yang mana merupakan penyangga hidupku. Hal gilanya adalah, aku tidak takut apabila harus jatuh dan terluka. Egois ji
"Lily! Fokus!" Setelah belasan take, lagi-lagi kalimatku tidak sesuai dengan script. Banyak kru yang menatapku tidak suka. Ya, aku menjadi penyebab waktu kerja mereka berjalan lebih panjang. Semua gara-gara perkataan Alex mengenai Julian. Aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali untuk pembuatan short movie kali ini."Maaf, break sebentar." Dengan terburu-buru aku meraih script yang sedang dibaca Alex."Kembalikan." Gusarku."Berlatihlah denganku. Anggap aku si Nick lawan mainmu itu." Aku tahu Alex bersungguh-sungguh ketika dia melipat kedua tangannya, dan matanya menatapku lurus."Lebih baik kau pergi.""Eits." Desisnya saat menghalauku yang hendak mengambil kertasku yang masih dipegangnya. "Kau tidak perlu membaca ulang. Kau sudah tahu pasti isinya. Bahkan aku sampai muak dan hapal seluruh ucapanmu." Alex menegakkan cara dudukku, menarik kedua ujung bibirku yang menghasilkan senyum paksa. "Berkonsentrasilah. Kau sangat buruk dalam hal itu.""Baiklah, tapi jangan anggap aku sudah mema
Aku memberikan nampan berisi makanan yang sudah Alex diamkan sedari tadi. Ia tidak menyentuh makanannya sama sekali, melirik pun tidak. Pikirannya seakan menerawang jauh, dan hanya membiarkanku menerka-nerka apa isi kepalanya. Ku yakin, Alex juga tidak sadar bahwa kami sudah terduduk berhadapan di kursi pojok McD selama lebih dari dua puluh menit terakhir."Alex?" Berujar dengan nada rendah, aku menundukkan wajahku mendekatinya. Kepalanya terangkat, lalu tersenyum tipis."Kau tidak makan?"Itu adalah lontaran pertama Alex setelah ia mengatakan bahwa si pembunuh masih berkeliaran. Sejujurnya aku takut jika pembunuh itu akan mencoba berbagai cara lagi untuk menghabisiku. Sebagian dariku ingin menghindar, tapi aku bisa apa? Aku harus bekerja. Aku mempunyai rentetan kontrak yang harus ku penuhi. Tidak mungkin aku mengurung diri sebatas agar lepas dari teror tersebut. Dengan enggan, aku mengambil sepotong french fries, lalu memakannya."Ini aku makan."Alex tertawa, namun untukku itu jelas
10 menit pertama aku terus menguap, menguap, dan menguap. Alex beberapa kali kerap menyuruhku untuk tidur, tak mempermasalahkan walau tidak ada teman mengobrol. Akan tetapi aku menolak, dan memilih menghilangkan kantukku dengan bermain snapchat. Aku berniat memposting video ketika mobil akan melintasi London Eye. Sekalipun hampir setiap hari melewati ikon itu, tetapi aku tidak pernah bosan mengaguminya."Kau norak sekali." Celetuk Alex saat aku mulai merekam. Aku memelototinya, menyuruhnya diam dengan meletakkan telunjuk tepat di bibirku."Apa, sayang? Ah ya ya, aku juga sudah tidak sabar untuk bercinta denganmu."Bip!Sial, karenanya aku tidak bisa mengupload video tersebut. Sekalipun id snapchatku private, tapi tetap saja bisa-bisa temanku akan salah paham."Hey, videokan aku atau foto aku." Pintanya. Cukup memaksa."Untuk apa aku mengambil gambar pria yang masih suka mengompol?""Kau bisa melihat fotoku saat kau merindukanku." Jawab Alex, masa bodoh terhadap ledekanku.Pun aku mengi
Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu
BONUS CHAPTER-Enam bulan kemudian-Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda."Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya."Apa permintaanku berlebihan?"Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya.""Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k
"Mom?"Suara Trixie sukses menyadarkan kami. Posisiku yang berada dalam pelukan Alex bisa membuat Trixie bertanya hal yang macam-macam. Aku tak sanggup meladeni cara berpikirnya. Bagaimana ia bertanya tentang ini itu dan tentang siapa ayahnya. Dan aku semakin mengutuk atas apa yang Trixie lihat saat ini.Aku mendorong Alex. Aku harus membedakan apa yang perlu ku hadapi dengan apa yang menjadi masa lalu. Alex adalah masa laluku. Masa laluku yang buru lebih tepatnya."Alex? Mengapa kau ada di sini?"Mendengar Trixie memanggil nama Alex secara langsung terasa sangat salah. Aku segera menarik tangan Trixie guna membawanya masuk ke dalam. Beruntung ia menurut. Tanpa menoleh lagi, ku tinggalkan Alex bersama Julian yang sedari tadi diam
Alex's POVHal pertama yang ku lakukan setelah bebas adalah mencari tahu di mana keberadaan Lily. 6 tahun berlalu tanpa melihatnya merupakan tahun-tahun tersulit. Julian sempat mengunjungi lapasku tepat ketika aku di penjara 8 bulan. Ia bercerita bahwa Lily telah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Trixie. Masih jelas diingatanku, di hari itu aku bungkam sebelum akhirnya menangis haru. Tuhan sudah memberikan dua sosok hebat yang menjadi kebahagiaan terbesarku.Aku kerahkan semua usaha guna menemukan Lily dan Trixie. Bahkan rumah yang sempat kami tinggali dahulu juga ku datangi. Aku tahu, aku terlalu bodoh lantaran mengira Lily masih bertahan di sana. Rumah tersebut tak lebih hanya meninggalkan kenangan pahit baginya. Kematian Thomas, tertangkapnya diriku, dan kebersamaan kami yang dinilainya sebagai kepalsuan. Jujur sedari awal aku bertemu dengan Lily, aku sudah menyukainya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan mampu memenuhi misi gila Thomas. Ben
Sorak-sorai pesta kemenangan masih berlangsung meriah di podium sirkuit. Para wartawan sibuk mengambil gambar, menyiarkannya ke televisi di seluruh dunia. Aku sedikit beruntung karena Ezra tidak menang. Pun aku mundur satu langkah, melambaikan tangan pada Sofie yang berada di bawah podium."Kau terlambat bukan?" Pekik Sofie lantang, lantaran suasana di sini benar-benar berisik. Aku mengangguk. Ini sudah pukul dua, dan aku terlambat satu jam dari yang seharusnya. Oh, aku bisa membayangkan bagaimana cemberutnya Trixie."Lain kali ku traktir makan siang." Ujarku pada Sofie sebagai bentuk terima kasih.Di atas heels 12 cmku, aku berlari menuju ruang ganti. Pakaianku yang nyaris basah seluruhnya oleh bir, menjadikan banyak mata pria mengekoriku. Aku menyilangkan tanganku di bagian
"Mom, di mana Millyku?!"Aku menggeram kesal, nyaris menjerit karena ulah Trixie. Ia terus menghentak-hentakan kakinya di anak tangga. Aku yakin, ia akan berbuat demikian hingga aku meladeni rengekannya, atau lebih parah lagi sampai gendang telingaku akhirnya pecah. Oh aku tidak tahu! Tak ingin semua bertambah runyam, aku memutuskan berhenti mengaduk kari di wajan, lalu menghampirinya."Siapa Milly?""Boneka unicornku!"Menekan kepalaku, aku mengembuskan nafas sekaligus. Mengapa nama unicorn itu rumit sekali? "Kapan terakhir kali kau memainkannya?""Kemarin.""Di mana?"Ma
6 Tahun Kemudian...Menaburi bunga lily di atas pusar makam, aku duduk bersimpuh. Aku tidak berhenti mengusap pahatan nama nisan itu. 6 tahun sudah aku melewati masa tersulit sekaligus masa terindah secara bersamaan. Kehilangan, kesedihan, dan kebahagiaan bergantian menghampiri. Dan kebahagiaan itu hadir lewat seorang putri kecil cantik yang kini menjadi pelengkap hidupku."Mom?" Trixie, buah hatiku memanggil. Jari-jari mungilnya menumpukkan tanah, untuk kemudian merapatkannya pada figura yang sengaja aku taruh. "Kau harus meletakannya seperti ini. Kalau tidak, nantinya jatuh terkena angin.""Iya, sayang. Terima kasih."Membersihkan telapak tangannya yang kotor, ia memerhatikanku lekat. Tangan tersebut menggapai
Aku tersadar dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Bibirku ditutupi lakban, tapi itu tak menghalau asin darah yang terasa oleh indra pengecapku. Dengan tenaga yang tak seberapa, aku mencoba melepaskan lilitan dibagian tanganku. Sial! Tidak bisa!Thomas pun berjalan mendekat, lalu mencabut lakbanku dalam sekali sentakan. Aku langsung meludahi wajahnya. Hanya itu satu-satunya perbuatan yang bisa ku lakukan, untuk menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak takut."Diam, atau aku akan memotong lidahmu!"Plak! Plak!Dua tamparan berturut-turut ku terima. Alih-alih bukannya aku meringis, penglihatanku justru teralihkan pada banyak cipratan darah di lantai dan dinding. Seketika itu juga aku menganga lebar. Hatiku seakan diremas-remas
Aku menarik ujung sweater sampai sebatas jari-jariku, berusaha menyembunyikan tanganku yang masih mengalami gemetar hebat. Ponselku kini telah hancur karena ulah Alex. Mungkin ia muak melihat bagaimana diriku yang terus membaca semua lontaran kasar, gunjingan, serta bujukan bunuh diri yang membanjiri sosial mediaku.Dengan tatapan kosong, Alex melipatkan kakinya sebelum bersandar ke dinding. Tegak kepalanya berakhir dengan tundukkan dalam. Sekalipun di video bejat tersebut wajahnya disamarkan, namun ia jutsru terlihat lebih terpuruk dibandingkan diriku."Aku bersumpah akan menghabisinya! Aku bersumpah!" Geraman lantang Alex menghentikan gerak kakiku yang hendak menghampirinya. Selanjutnya nafasku tertahan sebab ia mengobarak-abrik isi laci nakas, dan mengeluarkan sebuah pistol.