10 menit pertama aku terus menguap, menguap, dan menguap. Alex beberapa kali kerap menyuruhku untuk tidur, tak mempermasalahkan walau tidak ada teman mengobrol. Akan tetapi aku menolak, dan memilih menghilangkan kantukku dengan bermain snapchat. Aku berniat memposting video ketika mobil akan melintasi London Eye. Sekalipun hampir setiap hari melewati ikon itu, tetapi aku tidak pernah bosan mengaguminya."Kau norak sekali." Celetuk Alex saat aku mulai merekam. Aku memelototinya, menyuruhnya diam dengan meletakkan telunjuk tepat di bibirku."Apa, sayang? Ah ya ya, aku juga sudah tidak sabar untuk bercinta denganmu."Bip!Sial, karenanya aku tidak bisa mengupload video tersebut. Sekalipun id snapchatku private, tapi tetap saja bisa-bisa temanku akan salah paham."Hey, videokan aku atau foto aku." Pintanya. Cukup memaksa."Untuk apa aku mengambil gambar pria yang masih suka mengompol?""Kau bisa melihat fotoku saat kau merindukanku." Jawab Alex, masa bodoh terhadap ledekanku.Pun aku mengi
Alex mematikan saluran televisi yang sedang ku tonton. Padahal aku tengah menyaksikan bagaimana pembawa acara membuat kesimpulan sepihak atas kejadianku dengan Emily. Ulasannya bahkan sama persis dengan koran yang tadi pagi ku baca. Alex melemparkan remote, lalu menarik tanganku untuk keluar dari apartemennya.Kami memasuki lift, seiring Alex terus mendumal. Mulutnya aktif bersumpah-serapah. Sementara aku menghela nafas, sadar sejak pagi ponselku tak berhenti bergetar. Puluhan panggilan masuk dari mulai pihak agensi, Julian sampai ibuku. Notifikasi dari akun sosial mediaku pun selaras. Itu semua membuatku merasa kian terpojokkan."Hubungi Emily. Suruh dia datang ke apartemenmu untuk menjelaskan semuanya."Ketika aku hendak mencari kontak Emily, sahabatku itu terlebih dahulu menghubungi. Aku diam. Alhasil Alex menatapku geram lantaran aku seperti menolak sambungan telepon dari Emily."Angkat, Lily." Perintahnya. "Kau ingin aku yang berbicara dengan si pirang itu?"Abai terhadap saran Al
Tepat setelah kehadiran Julian di tengah-tengahku dan Alex, Julian tanpa banyak babibu langsung membawaku pergi. Aku masih mengingat jelas gurat emosi Alex ketika kekasihku menyuruh dirinya pulang, dan mengatakan bahwa ia tidak cukup becus untuk menjagaku.Julian menginterogasiku secara tidak langsung dengan rentetan pertanyaannya. Bahkan disituasi seperti ini, ia sempat menyinggung mengapa aku dan Alex terlihat lebih 'dekat' dari biasanya."Aku tidak suka kau menginap di tempat Alex! Kau juga kemana saja tidak mengangkat telpon dariku?" Pekik Julian setibanya kami di apartemennya. "Kau tahu aku mendengar ocehan ibumu! Ibumu itu terlalu banyak bicara!"Aku memandanginya jengah. Apa seperti inikah sikap asli Julian? "Jangan sangkutpautkan kekesalanmu pada ibuku. Jangan menghinanya."Julian mengacak-acak rambutnya kesal. "Aku tidak menghina ibumu. Aku hanya tidak mau ibumu menganggapku pria yang tidak pantas untukmu. Aku merasa buruk ketika ia menanyakan apa yang terjadi denganmu, dan ak
Hal yang tidak pernah ku duga sebelumnya adalah, bahwa Matthew masih mengirimkan jadwal terbaruku melalui email. Ku pikir ia hanya akan memberikan rinciannya tanpa mengupdate job yang masuk. Nyatanya Matthew belum sepenuhnya berhenti menjadi managerku."Lily, berhentilah memainkan ponselmu. Kita sedang makan."Belum sempat aku membaca isi email Matthew hari ini, aku pun akhirnya memasukkan ponselku ke dalam tas. Aku kembali melahap makanan yang sudah tersedia di meja kami. Menghela nafas dalam, aku sebenarnya tidak berselera melahap salad sayur. Julian bilang pipi dan tanganku terlihat besar dari biasanya. Jadi dia langsung mengatakan tidak ketika aku mengusulkan fast food."Fast food tidak punya ruang private, sayang. Aku lebih suka kita makan dengan nyaman seperti ini.""Aku juga baru ingat, kalau kita ke sana kemungkinan aku tidak akan makan, melainkan mendapatkan omongan pedas."Tentu, masalah Emily denganku masih hangat diperbincangkan banyak orang. Julian merespon dengan senyuman
Aku mengerang perlahan merasakan gerakan kaki Alex menyusup masuk diantara kakiku. Dia memelukku, menjadikan tubuhku lebih rapat pada dada telanjangnya. Semilir tercium aroma keringat bercampur parfum maskulin, perpaduannya menciptakan kesan seksi yang berhasil membuatku membuka mata secara penuh.Ku melihat sekeliling. Sepertinya Alex menggendongku dari sofa ke kamar. Dan kenapa dia jadi ikut-ikutan tertidur? Alhasil aku terkekeh pelan.Sekarang Alex tengah menganga disertai mendengkur halus. Dia merangkul pinggangku posesif, sementara satu tangan lainnya sengaja untuk ku gunakan sebagai bantalan.Jemariku menyusuri setiap inci wajahnya. Dari mulai hidung mancungnya, rahang tegas, sampai bibir Alex yang kemerahan. Aku seolah sedang dibuat jatuh cinta pada pameran seni yang selalu ku kunjungi di akhir musim panas. Terakhir aku menyentuh tinta permanen yang menghiasi tubuh tegapnya. Tattoo berbentuk sepasang burung di kiri kanan dadanya menyita perhatianku. Oh, aku menyukai semua yang m
Bersalah.Satu perasaan yang menderaku sepanjang aku duduk dipangkuan Julian. Luapan kebimbangan ku lampiaskan pada tautan bibir kami. Sementara Alex, ya dia masih berada di kamarku. Berbanding terbalik dengan kokohnya dinding pembatas ruangan, aku justru telah menghancurkannya untuk kesekian kali."Temanku sudah membohongi kekasihnya." Ucap Julian di tengah ciuman kami.Nafasnya yang tersengal membuat dia sesaat menghirup oksigen sebelum kembali melumatku. Tersirat ada semacam ketakutan. Julian menarik diri seraya mata birunya sibuk mencari-cari objek lain, berusaha mengacuhkan tatapan penasaranku."Siapa? Thomas?" Tanyaku. Aku tidak tahu banyak mengenai teman Julian selain Thomas."Bukan, sayang. Temanku yang lain."Aku mengusap bibirku menggunakan punggung tangan. "Berbohong tentang apa?""Temanku adalah pria baik. Dia mencintai kekasihnya. Tetapi, dia tidak sengaja melakukan kesalahan fatal. Sangat fatal." Menyisir ujung rambutku menggunakan jemarinya, Julian menatapku lekat. "Apak
Ada pepatah mengatakan, jika waktu berjalan cepat maka kau bahagia terhadap apa yang kau lakukan. Hal yang ku rasakan kini justru adalah kebalikannya. Hariku berangsur lambat setelah satu minggu semenjak kepergian Alex.Terlebih saat malam, di mana berakhirnya rutinitas seharianku yang kembali padat. Aku hanya bisa terdiam di sisi ranjang, merenung. Lambat laun berbagai pertanyaan menjejali isi kepalaku. Dan aku akui, ada rasa kehilangan mendalam yang enggan ku jelaskan."Sepulang dari kantor, aku akan meminta resep obat lagi pada Dokter Lukas." Julian bersuara sembari mengeluarkan tas bawaanku dari bagasi. "Ingat, sayang. Jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak mau kau sampai pingsan lagi. Kau paham?"Aku tersenyum tipis, mengangguk. Julian adalah jelmaan malaikat, dan fakta itu membuatku malu. Bahkan setelah dia tahu bahwa aku menyelingkuhinya, sikapnya masih sama seperti Julian yang dulu ku kenal.Aku menangkupkan wajah Julian, bersih tanpa ditumbuhi bulu kasar. Berlainan dengan A
Pemotretan selesai di sore hari. Guyuran gerimis menghentikan sejenak kegiatan diseluruh set. Beberapa dari kami pun sampai harus melakukan take ulang sebelum benar-benar berakhir.Dengan terburu-buru aku memasuki salah satu tenda. Bukan apa-apa, aku hanya tidak mau Julian sampai kesal lantaran sudah terlalu lama menungguku. Begitu aku selesai berganti pakaian, aku langsung keluar dari area set. Tidak adanya tempat khusus yang disediakan, menjadikan semua kendaraan dibiarkan terparkir secara sembarang.Sesampainya dibarisan terujung, aku masih belum bisa menemukan mobil Julian. Apa dia lupa menjemputku? Selagi aku mempertajam penglihatanku di tengah minimnya pencahayaan, aku pun meraih ponselku dari dalam tas. Dan ternyata Julian mengirimkan aku sebuah pesan;Sayang, mobilku kehabisan bensin. Aku sudah pesankan taksi atas namamu. Is it okay?Namun perhatianku lebih tersita pada 34 panggilan tak terjawab dari Alex. Mau apa lagi dia? Perasaan itu bergejolak lagi. Aku tahu. Aku seharusnya
Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu
BONUS CHAPTER-Enam bulan kemudian-Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda."Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya."Apa permintaanku berlebihan?"Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya.""Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k
"Mom?"Suara Trixie sukses menyadarkan kami. Posisiku yang berada dalam pelukan Alex bisa membuat Trixie bertanya hal yang macam-macam. Aku tak sanggup meladeni cara berpikirnya. Bagaimana ia bertanya tentang ini itu dan tentang siapa ayahnya. Dan aku semakin mengutuk atas apa yang Trixie lihat saat ini.Aku mendorong Alex. Aku harus membedakan apa yang perlu ku hadapi dengan apa yang menjadi masa lalu. Alex adalah masa laluku. Masa laluku yang buru lebih tepatnya."Alex? Mengapa kau ada di sini?"Mendengar Trixie memanggil nama Alex secara langsung terasa sangat salah. Aku segera menarik tangan Trixie guna membawanya masuk ke dalam. Beruntung ia menurut. Tanpa menoleh lagi, ku tinggalkan Alex bersama Julian yang sedari tadi diam
Alex's POVHal pertama yang ku lakukan setelah bebas adalah mencari tahu di mana keberadaan Lily. 6 tahun berlalu tanpa melihatnya merupakan tahun-tahun tersulit. Julian sempat mengunjungi lapasku tepat ketika aku di penjara 8 bulan. Ia bercerita bahwa Lily telah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Trixie. Masih jelas diingatanku, di hari itu aku bungkam sebelum akhirnya menangis haru. Tuhan sudah memberikan dua sosok hebat yang menjadi kebahagiaan terbesarku.Aku kerahkan semua usaha guna menemukan Lily dan Trixie. Bahkan rumah yang sempat kami tinggali dahulu juga ku datangi. Aku tahu, aku terlalu bodoh lantaran mengira Lily masih bertahan di sana. Rumah tersebut tak lebih hanya meninggalkan kenangan pahit baginya. Kematian Thomas, tertangkapnya diriku, dan kebersamaan kami yang dinilainya sebagai kepalsuan. Jujur sedari awal aku bertemu dengan Lily, aku sudah menyukainya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan mampu memenuhi misi gila Thomas. Ben
Sorak-sorai pesta kemenangan masih berlangsung meriah di podium sirkuit. Para wartawan sibuk mengambil gambar, menyiarkannya ke televisi di seluruh dunia. Aku sedikit beruntung karena Ezra tidak menang. Pun aku mundur satu langkah, melambaikan tangan pada Sofie yang berada di bawah podium."Kau terlambat bukan?" Pekik Sofie lantang, lantaran suasana di sini benar-benar berisik. Aku mengangguk. Ini sudah pukul dua, dan aku terlambat satu jam dari yang seharusnya. Oh, aku bisa membayangkan bagaimana cemberutnya Trixie."Lain kali ku traktir makan siang." Ujarku pada Sofie sebagai bentuk terima kasih.Di atas heels 12 cmku, aku berlari menuju ruang ganti. Pakaianku yang nyaris basah seluruhnya oleh bir, menjadikan banyak mata pria mengekoriku. Aku menyilangkan tanganku di bagian
"Mom, di mana Millyku?!"Aku menggeram kesal, nyaris menjerit karena ulah Trixie. Ia terus menghentak-hentakan kakinya di anak tangga. Aku yakin, ia akan berbuat demikian hingga aku meladeni rengekannya, atau lebih parah lagi sampai gendang telingaku akhirnya pecah. Oh aku tidak tahu! Tak ingin semua bertambah runyam, aku memutuskan berhenti mengaduk kari di wajan, lalu menghampirinya."Siapa Milly?""Boneka unicornku!"Menekan kepalaku, aku mengembuskan nafas sekaligus. Mengapa nama unicorn itu rumit sekali? "Kapan terakhir kali kau memainkannya?""Kemarin.""Di mana?"Ma
6 Tahun Kemudian...Menaburi bunga lily di atas pusar makam, aku duduk bersimpuh. Aku tidak berhenti mengusap pahatan nama nisan itu. 6 tahun sudah aku melewati masa tersulit sekaligus masa terindah secara bersamaan. Kehilangan, kesedihan, dan kebahagiaan bergantian menghampiri. Dan kebahagiaan itu hadir lewat seorang putri kecil cantik yang kini menjadi pelengkap hidupku."Mom?" Trixie, buah hatiku memanggil. Jari-jari mungilnya menumpukkan tanah, untuk kemudian merapatkannya pada figura yang sengaja aku taruh. "Kau harus meletakannya seperti ini. Kalau tidak, nantinya jatuh terkena angin.""Iya, sayang. Terima kasih."Membersihkan telapak tangannya yang kotor, ia memerhatikanku lekat. Tangan tersebut menggapai
Aku tersadar dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Bibirku ditutupi lakban, tapi itu tak menghalau asin darah yang terasa oleh indra pengecapku. Dengan tenaga yang tak seberapa, aku mencoba melepaskan lilitan dibagian tanganku. Sial! Tidak bisa!Thomas pun berjalan mendekat, lalu mencabut lakbanku dalam sekali sentakan. Aku langsung meludahi wajahnya. Hanya itu satu-satunya perbuatan yang bisa ku lakukan, untuk menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak takut."Diam, atau aku akan memotong lidahmu!"Plak! Plak!Dua tamparan berturut-turut ku terima. Alih-alih bukannya aku meringis, penglihatanku justru teralihkan pada banyak cipratan darah di lantai dan dinding. Seketika itu juga aku menganga lebar. Hatiku seakan diremas-remas
Aku menarik ujung sweater sampai sebatas jari-jariku, berusaha menyembunyikan tanganku yang masih mengalami gemetar hebat. Ponselku kini telah hancur karena ulah Alex. Mungkin ia muak melihat bagaimana diriku yang terus membaca semua lontaran kasar, gunjingan, serta bujukan bunuh diri yang membanjiri sosial mediaku.Dengan tatapan kosong, Alex melipatkan kakinya sebelum bersandar ke dinding. Tegak kepalanya berakhir dengan tundukkan dalam. Sekalipun di video bejat tersebut wajahnya disamarkan, namun ia jutsru terlihat lebih terpuruk dibandingkan diriku."Aku bersumpah akan menghabisinya! Aku bersumpah!" Geraman lantang Alex menghentikan gerak kakiku yang hendak menghampirinya. Selanjutnya nafasku tertahan sebab ia mengobarak-abrik isi laci nakas, dan mengeluarkan sebuah pistol.