Setelah Perceraian

Setelah Perceraian

last updateLast Updated : 2021-06-26
By:Ā  Novica AyuCompleted
Language:Ā Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
28 ratings. 28 reviews
33Chapters
16.2Kviews
Read
Add to library

Share:Ā Ā 

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Dimulai dari sebuah ketukan dini hari. Seorang lelaki menyampaikan berita pada Hening. Bagaimana perasaanmu jika seseorang datang dan menyampaikan kabar, "Suamimu kena grebek di rumah wanita desa sebelah!" Marah? Kecewa? Tak percaya? Sedih? Semua perasaan itu menjadi satu di hati Hening. Rumah tangganya yang telah dibina selama puluhan tahun hancur. Bagaimana sikap Hening kemudian, bagaimana keputusannya? Memaafkan atau malah meninggalkan sang suami pilihannya? Ikuti terus kisah ini, jangan lupa siapkan tisu.

View More

Chapter 1

Bab 1. Penggerebekan!

Sepi, sunyi, yang terdengar hanya suara jam berdetak. Lampu kamar masih menyala. Entah siapa yang kutunggu. Di luar sana, mulai terdengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Biasanya, di jam seperti sekarang, aku sudah sibuk mempersiapkan diri, mandi, memasak nasi, lalu berjalan ke jalan raya untuk menunggu angkot yang biasa mengantar jemput ke pabrik rokok tempatku bekerja. Kini, aku sudah pensiun dan tengah menikmati hari sebagai seorang ibu rumah tangga. 

Tok … tok … tok ….

Tok … tok … tok ….

Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu dapur

ā€œAs-salaamu’alaikum."


"As-salaamu’alaikum.ā€

Ketukan dan salam yang terlihat penting pada jam seperti ini, ada rasa penasaran dalam hati. Siapa? apa yang terjadi?

Aku menggeliat, menyibakkan selimut hangat yang memeluk tubuh. Perlahan, mengucek-ngucek mata. Mata memicing ke arah jarum jam di dinding kamar, tampak masih pukul tiga lebih lima belas. Siapa yang sepagi ini ingin bertamu? 


Sambil merapikan rambut dan membenahi daster, aku berjalan menuju pintu. Kuputar gagang kunci pada lubangnya dan membuka pintu perlahan. 

ā€œAs-salaamu’alaikum. Apa benar ini rumahnya Mbak Hening, istrinya Pak Harto?ā€ tanya lelaki berjaket itu. 

ā€œWa’alaikum-salam, iya benar, Pak. Ada apa ya?ā€ jawabku.

ā€œPak Harto kena grebek di rumah Siti, di desa sebelah. Sekarang kehadirannya Mbak Hening ditunggu di balai desa.ā€

Selesai memberikan kabar, lelaki berjaket itu pergi. Kakiku terasa lemas dan mukaku terasa panas. Terkejutkah? Marahkah? Entahlah. Semua rasa bercampur aduk dalam hati. Setitik air bening telah jatuh di pipi. 

Kutatap lekat-lekat sebuah cermin tua yang tergantung di dalam kamar. Cermin itu tampak usang, banyak goresan di sana. Mungkin tergores sesuatu yang tajam, seperti kepercayaan. Atau sesuatu yang runcing dan menyayat, yaitu kejujuran.

Ah, mungkin kebiasaan Mas Harto yang suka mabuk itu telah melangkahkan kakinya bertamu ke sana sepagi ini. Biarlah, ini juga bukan kali pertama suamiku telat pulang. Hatiku mencoba membelanya. 

Tapi, apa yang dilakukannya sepagi ini? Pukul tiga pagi di rumah si Siti itu. Siapa Siti? Kenapa? Sedang apa? Pergi ... tidak ... pergi ... tidak? Ah, sepagi ini. Ada banyak tanya di kepala bermunculan. 

Di usia yang hampir setengah abad, ingin rasanya aku hidup tenang, tanpa masalah, berkumpul, dan bercanda dengan anak cucu. Namun, apalah daya. 

Kedua anakku sudah berkeluarga. Anton—si sulung—dan anak laki-lakinya tinggal di desa lain, di rumah keluarga sang istri. Sementara si bungsu, Nur Laila yang baru melahirkan, ikut suaminya yang seorang abdi negara tinggal di rumah dinas Bogor. Aku sendirian. Motor matic merah satu-satunya pun dibawa Mas Harto. 


Biarlah, besok saja. Mau naik apa aku ke sana? 

šŸ’”šŸ’”šŸ’”

Keesokan paginya, aku berangkat ke balai desa ditemani Anton. Kebetulan ini hari minggu, Anton dan cucuku biasa datang untuk menginap. 


Suasana di balai desa sedikit tegang, terlihat beberapa perangkat desa duduk berbicara dengan Mas Harto. 

Seorang laki-laki paruh baya berbaju koko mempersilakanku dan Anton untuk duduk di kursi yang telah disediakan, berhadapan dengan suamiku. 

Betapa kagetnya aku, saat Pak RT dari desa sebelah bercerita bahwa Mas Harto sudah diintai warga di sana untuk waktu yang lama karena sering bertamu pada malam hari dengan durasi yang lumayan lama. Sedangkan Siti, masih berstatus istri orang dengan satu anak laki-laki berumur sekitar lima atau enam tahun. 

Lelaki berbaju koko maju beberapa langkah, ia memperkenalkan diri sebagai Pak Modin di desa, tempat Siti tinggal.

ā€œBagaimana Pak Harto? Anda sanggup membayar denda sebesar satu juta atau menikahi saudari, Siti?ā€ tanya Pak Modin. 

Mas Harto terlihat diam, matanya menerawang. Mungkin ia berpikir atau mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Tak berapa lama, ia menoleh ke arahku.

ā€œSaya pilih denda saja, Pak,ā€  jawab suamiku. 

Aku lega karena artinya ia masih merasa berat dan memilih keluarganya sendiri. Tak mungkin, ia tega memilih Siti yang masih berstatus istri orang dan menelantarkan istri dan anak-anaknya sendiri. 

Penasaran, kuamati wajah perempuan yang duduk agak jauh di barisan Mas Harto. Ada seorang anak laki-laki kecil yang terus menempel padanya. Perempuan itu memiliki perawakan tubuh berisi, lumayan tinggi, rambut lurus sebahu, dan bulu matanya terlihat lentik. 

Ah, si bodi aduhai yang jarang ditemani suaminya. Tentu saja butuh kehangatan, batinku. Kuperkirakan usianya masih jauh di bawahku. Mungkin, masih sekitar dua puluh tahunan. Ia duduk dengan didampingi beberapa orang. Mungkin, keluarga yang datang untuk membawanya pulang sepertiku. 

Lama, kuamati perempuan itu dari jauh. Tanpa sengaja, tatapan kami bertemu ketika ia mencuri pandang ke arah Mas Harto. Beberapa detik kemudian, ia malah menatapku tajam. Tak ada senyum di wajahnya, ia pun menundukkan pandangannya. 

Pak Lurah yang mencoba menengahi, memberi penjelasan bahwa masalah ini sebenarnya akan dibawa kepada pihak yang berwajib. Namun, demi kerukunan antar warga yang harus terjaga, Pak Lurah mencoba mengambil jalan damai dengan cara kekeluargaan seperti ini. Berunding dengan keluarga kedua belah pihak.

Matahari mulai meninggi. Beberapa orang yang ikut menggerebek dan menonton suamiku mulai meninggalkan balai desa, kembali pada aktivitasnya masing masing. 

ā€œGimana, Pak ... Bapak mau berubah gak?ā€ Anton bertanya pada bapaknya dengan disaksikan para perangkat desa dan beberapa orang yang masih tertinggal di balai desa.

"Udah dinikahin aja!" seru seorang warga yang masih mengikuti jalannya sidang.


ā€œIya, Nak. Bapak, mau berubah. Bapak, tidak akan mengulanginya,ā€ jawab laki-laki tampan, bertubuh athletis itu, badannya tinggi dan kekar. Garis urat diwajah, dan otot-otot tangan, yang terbentuk sempurna. Bukti nyata hasil tempaan Sang Ayah. Saat anak-anak seusianya bermain layangan atau sibuk mengerjakan PR dari sekolah ia telah pandai mengaduk campuran semen.

ā€œBu, maafin Bapak, ya. Bapak, janji akan berubah dan tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Apa Ibu, tega kalau Bapak, dimasukan penjara?ā€ tanyanya dengan muka memelas, memohon ibaku. Namun, sorot matanya tajam seperti memberi perintah. 

Aku hanya diam, bukan mengiyakan. Aku terlalu lelah untuk berkata. Siapa yang tidak akan marah jika dikhianati seperti ini. Nyatanya, kepercayaan yang kuberikan telah disalahgunakan.

Akhirnya, kami pulang. Aku berdamai dengan kemarahanku, berusaha memberi kesempatan baginya untuk kesekian kalinya. Aku mau menerima Mas Harto kembali, dengan syarat ia tidak akan mengulangi kesalahannya dan tidak menemui perempuan itu. Aku berusaha untuk menata kembali puing-puing reruntuhan kepercayaan padanya. Ibarat sebuah cermin, sekali ia retak tak dapat disatukan lagi. Sekalipun dapat disatukan lagi, gambar yang terpantul tak akan sama. Begitu pula dengan rumah tangga kami yang sudah retak.

***

"Buk, masak apa hari ini?"


"Sayur asem, sama goreng ikan pindang. Sambalnya udah siap itu di meja."


Pagi itu kehidupan kami berjalan seperti biasanya. Aku tak mengungkit kehadian di balai desa. Melayani suamiku makan seperti biasa.


Mas Harto tak banyak keluar rumah. Kebetulan proyek sedang sepi. Jadi, ia melanjutkan renovasi rumah kami yang sudah hampir selesai. Uang pensiun yang kudapat dari bekerja selama dua puluh lima tahun di sebuah pabrik rokok terkenal di kotaku, cukup membuat rumah kami terlihat pantas dilihat mata. Ada dua pilar marmer tegak berdiri menyangga teras. 

Mas Harto bekerja sebagai tukang. Uang yang diberikan padaku hanya sekadarnya. Aku bisa memaklumi karena ia jarang bekerja. Jadi, tidak setiap hari ia punya uang. Namun, setelah ia kena grebek, aku baru menyadari ke mana perginya uang yang ia dapat dari bekerja selama ini. Padahal untuk menyokong perekonomian kami, aku mengalah dengan tetap bekerja semenjak kami menikah. 

Apa kurangnya aku? Aku tak pernah menuntut. Semua kesalahannya, kumaafkan. Dulu, saat ia tepergok jalan berdua dengan Maemunah—si Janda Kembang yang sok cantik, aku masih memaafkan dan menerima ia kembali. Aku tahu, semakin hari aku semakin tua dan tak cantik lagi. Aku bekerja dari pagi hingga sore hari, jarang memberi perhatian dan waktu padanya. Namun, jika aku tak bekerja, kedua anakku yang masih sekolah saat itu mau makan apa? Bagaimana aku membayar tunggakan uang sekolah mereka karena saat itu Mas Harto sering tak bekerja. 

Alhamdulillah, kini anak-anakku sudah berkeluarga. Tanggung jawabku sedikit berkurang. 


Sejak dua tahun yang lalu, peraturan di pabrik makin ketat. Target dalam sehari dinaikkan, sementara kecepatan tanganku ikut menurun karena termakan usia. 

Akhirnya, aku mengajukan permohonan pensiun. Aku sudah lelah melakukan rutinitas yang sama, bekerja dari pagi hingga sore hari. Aku ingin menikmati sisa usia dengan secangkir teh sembari duduk berdua dengan suami tercinta di depan televisi, saling bercerita dan bernostalgia tentang bagaimana kami dulu bertemu. Sungguh, itu impian sederhana seorang wanita.

Bersambung ...

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
96%(27)
9
4%(1)
8
0%(0)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
10 / 10.0
28 ratings Ā· 28 reviews
Write a review
user avatar
Pipit Aisyafa
bagus banget
2022-03-10 16:35:48
1
user avatar
Aisyah J. Yanty
menyentuh banget
2021-09-10 20:40:52
1
user avatar
Khanna
Aku mampir di sini Kak...
2021-09-03 19:50:46
1
user avatar
Meybutjuly
waaa ceritanya bagus lho thoršŸ˜
2021-06-28 22:29:40
2
user avatar
KSIndra
Baca kelanjutannya, semakin seru. Kalian harus baca ini. Harus Mampir pokoknya.
2021-06-28 12:39:10
2
user avatar
KSIndra
Keren banget, alurnya mantap, walau aku baru baca 3 bab tpi konfliknya sudah terlihat bakalan tambah seru. Teruskan thor. Semangat. Salam. Ksindra
2021-06-28 12:02:34
2
user avatar
Rizuki
Bagus, kak. Penulisan rapi dan juga langka sekali nemuin typo dan tata letak.... Keren juga untuk idenya... šŸ‘šŸ‘šŸ‘šŸ‘šŸ‘. Semangat....
2021-06-28 05:35:54
2
user avatar
Askama95
Duh, judulnya bikin sedih. Moga aja happy ending
2021-06-27 06:57:30
2
user avatar
Secret.Vee
POV 1 nya keren thor. Sabar banget sih mbak hening nya 😢
2021-06-26 22:57:31
2
user avatar
Yuliyhana
Bacanya kudu siapi tisu..🄲
2021-06-26 13:49:55
2
user avatar
Elle Ryu
Karena ini kisah nyata, gak cuma yg baca yg harus siapin tisu, yg nulis juga harus kuat. Semangat! Ditunggu updatenya
2021-06-26 13:07:15
2
user avatar
RENA ARIANA
Suka banget
2021-06-26 12:09:48
2
user avatar
RENA ARIANA
Kerennnnnnnnnnnnnnnn
2021-06-26 12:09:36
2
user avatar
RENA ARIANA
Suka bgt author
2021-06-26 12:09:24
2
user avatar
Dianti W
Next next nextšŸ˜
2021-06-26 11:53:55
2
  • 1
  • 2
33 Chapters
Bab 1. Penggerebekan!
Sepi, sunyi, yang terdengar hanya suara jam berdetak. Lampu kamar masih menyala. Entah siapa yang kutunggu. Di luar sana, mulai terdengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Biasanya, di jam seperti sekarang, aku sudah sibuk mempersiapkan diri, mandi, memasak nasi, lalu berjalan ke jalan raya untuk menunggu angkot yang biasa mengantar jemput ke pabrik rokok tempatku bekerja. Kini, aku sudah pensiun dan tengah menikmati hari sebagai seorang ibu rumah tangga. Tok … tok … tok ….Tok … tok … tok ….Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu dapurā€œAs-salaamu’alaikum."
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab 2. Fakta Baru.
Setelah kejadian di balai desa, tak ada yang ganjil dengan sikap Mas Harto. Dia juga memperlakukanku seperti biasa. Namun, kebiasaan begadangnya tak berhenti. Di dalam rumah pun ia kerap tidur larut malam di depan TV yang menyala. Pagi itu, kulihat ada beberapa pesan masuk pada aplikasi WhatsApp di gawai Mas Harto. Ia sedang berada di kamar mandi. Penasaran, kucoba untuk membuka dan memeriksanya. Tertera nama pengirimnya hanya diberi inisial ā€œSā€.[Mas aku kangen!] pesan pertama yang kubaca. [Mas kapan kita ketemu lagi!]Jiwa detektif seorang istri menuntunku untuk mencari tahu lebih banyak lagi. Kubuka percakapan mereka
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Baba. 3 Lelah.
Jarum pendek benda pipih di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan aku masih terjaga. Meskipun kucoba memejamkan mata, namun pikiranku tak henti bekerja. Ia memutar semua kejadian hari ini, dan hati mengingatkan tentang rasa sakitnya.Tuhan, aku ingin mengamuk, menjelma badai memporak porandakan dunia. Jika boleh meminta, aku ingin hilang ingatan melupakan semua yang menyakitkan dan berharap segalanya baik-baik saja.'Tuhan … tolong aku.'"Bude, ndak tidur." Aini bertanya sambil menggosok-gosok matanya, yang masih mengantuk. Wajah remaja itu terlihat iba dan kawatir.
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 4 Cermin Itu.
šŸ’žšŸ’žšŸ’ž"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu."Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah."Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 5 Jagoan Kami.
šŸ’”šŸ’”šŸ’”Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis. Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan. Tiba
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 6 Bahagia Bertiga.
Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam. Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup. "Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat.  Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 7 Rezeki Tak Terduga.
Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi."Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku."Ning, bangun ning!"Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 8 Kehamilan Kedua.
šŸ’–šŸ’–šŸ’–"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton."Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokt
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 9 Kelahiran Nurlaila.
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Bab. 10. Pengajuan Berkas Perceraian.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.  Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada. Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku. Maafkan aku Mas, yang  lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
last updateLast Updated : 2021-05-26
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status