Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.
Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.
Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
"Pagi Ning," sapa perempuan muda, dengan gincu merah di bibirnya, kami hampir bersamaan memasuki gerbang tadi. Prapti, hampir seumuran denganku, masih betah melajang, ia belum menikah.
"Eeh, Bumil, selamat pagi, udah sarapan belum?" Mbak Juminah memperlambat langkah, saat menyadari aku berjalan di belakangnya.
"Udah, Mbak. Sekalian minum susu hamil biar sehat bayinya," jawabku
Beberapa karyawan wanita lain, terburu-buru mengejar waktu, saling mendahului menuju tempat duduknya. Seorang ibu berbadan besar, beberapa langkah di depanku, menengok ke belakang, netranya mengarah padaku. memindai dari atas hingga ke bawah, lalu berhenti pada perutku.
"Anak masih kecil, sudah hamil lagi," cibirnya seketika. Tanpa merasa berdosa ia tetap berjalan meneruskan langkah.
Langkahku terhenti, mematung dengan jantung berdebar. Kutatap punggung wanita itu. Apa salahku padanya, sehingga ia berkata seperti itu, kami bahkan tak saling mengenal.
"Sudah, tidak usah dipikirkan. Anggap saja angin lalu." Mbak Juminah merangkul pundakku, menggiring langkahku menuju tempat kami bekerja.
"Kapan hari perkiraan lahir bayimu, Ning?" tanya Mbak Juminah, dengan muka penasaran.
"Menurut perkiraan Bu Bidan, sekitar dua minggu dari sekarang. Jadi untuk berjaga-jaga mulai minggu depan, aku sudah ambil cuti, Mbak," jelasku panjang lebar.
"Mbak, bakal kangen kamu, Ning," ucapnya, sambil mengelus perutku.
Terkadang kita bertemu saudara walaupun tak sedarah. Seseorang yang benar-benar baik, tanpa ingin terlihat baik di depan kita.
Terkadang ada pula saudara, seseorang yang berhubungan darah dengan kita. Namun kita tak pernah benar-benar tahu tentang dia. Hanya sekedar bersalaman saat lebaran tiba.
πππ
Persalinan kali ini, berjalan lancar. Tidak selama ketika aku akan melahirkan Anton dahulu. Seorang bayi perempuan dengan berat badan 3.5 kg dan tinggi 5.1 cm, terlahir dengan normal malam itu.
Sempat takut terjadi apa-apa pada bayi perempuanku ini, pasalnya hampir tiga bulan mengandung aku tak mengetahuinya. Rutin pijat badan sebulan sekali saat lelah, dan minum obat-obatan saat sakit mendera.
"Bu, apa anak saya normal?" tanyaku ketika bayi itu terlahir.
Bu Bidan menggendong bayi itu mendekat, sedikit direndahkan gendongannya agar aku dapat melihat bayi dalam posisi berbaring. Kusentuh kulit tipis di wajahnya, meraba mata, hidung, kuping hingga ke lima jari tangan dan kakinya.
"Normal, Bu, normal!" Seakan-akan mengerti ketakutanku, Bu Bidan mengulangi kata-katanya untuk meyakinkanku.
"Mau dibuatkan akta lahir sekalian atau mengurus ke kecamatan sendiri, Mbak Hening? Tanya Bu Bidan.
"Sekalian saja, Bu." jawabku.
"Siapa nama anaknya?" tanyanya lagi.
"Nur Laila β¦."
πππ
Sayup-sayup terdengar suara rintihan bayi, buru-buru kusiram air ke dalam lubang closet, dan menaikkan celana. Bergegas kembali ke dalam kamar tidur. Anton keluar dari kamar tidur dengan berlari kecil, hampir bertabrakan denganku di pintu.
"Pelan-pelan, Nak," kataku padanya. Namun ia tak menghiraukan, tetap berlari-lari kecil di depan tv menirukan aksi Tom si kucing di layar televisi.
"Ya Allah," pekikku saat menoleh kasur, dan bergegas menujunya. Dibawah selimut ada sesuatu yang bergerak-gerak. Segera kutarik selimut itu, tampak wajah Nur Laila berkeringat. Anton yang belum mengerti apa-apa sepertinya ingin menyelimuti adiknya. Tapi ia menyelimuti adiknya hingga kepala.
Usia Anton terpaut sekitar sembilan belas bulan dari adiknya, masih butuh perhatian juga pengawasan ekstra. Dia masih belum begitu paham jika diberitahu. Belum benar-benar mengerti arti kata.
Terkadang Anton dengan sengaja mencubit adiknya hingga menangis. Entah karena ia memang jahil, atau merasa cemburu kami lebih memperhatikan adiknya yang masih bayi.
Hari berlalu, tahun berganti, sisa usia semakin berkurang. Tak ada yang tahu berapa usia kita, tak ada yang tahu kapan ajal menjemput. Aku benar-benar takut akan kematian. Sadar diri masih penuh salah dan dosa.
Dalam satu kajian tausiyah selepas subuh yang sempat kutonton, penceramah itu menyinggung soal sabda Rasulullah Shallallahuβalaihi Wasallam yang berbunyi, βSebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusiaβ
Pada intinya, kita harus terus berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Jadilah orang yang bermanfaat.
Setidaknya jika kita tak bisa bermanfaat bagi orang lain, janganlah memberikan beban.
Sebisa mungkin jika ada uang lebih, kusisihkan untuk Simbok. Membeli beberapa keperluan dapur untuknya. Jatah rokok dari pabrik sering kuberikan untuk Bapak dan suamiku. Aku mulai berbuat baik pada orang-orang terdekat lebih dulu.
Kehadiran anak kedua membuat Mas Harto lebih semangat bekerja, ia memberanikan diri untuk menggarap sawah, juga memelihara sapi, terkadang jika ada tawaran bekerja di proyek masih diambilnya. Demi menambah pemasukan keuangan kami.
"Capek, Mas?" tanyaku padanya saat itu. Selepas maghrib ia baru sampai rumah, badannya basah oleh keringat. Baju dan celana yang dipakai pun kotor semua.
"Enggak, Buk," elaknya sambil tersenyum. Padahal rautnya terlihat kusam, peluh memenuhi kening, masih ada sisa tanah yang menempel di bajunya.
"Mumpung, dapat kerjaan deket. Bantu bangun rumah Pak Nandar tetangga kita itu. Lumayan buat tambah beli susu," ucapnya lagi.
Karena tuntutan biaya kehidupan, aku memutuskan tetap bekerja. Mau tak mau harus menambah anggaran untuk membeli susu formula juga memberi sedikit imbalan pada Simbok dan Mbok Ijah yang telah merawat mereka.
Walaupun tak meminta upah saat menjaga anak-anakku. Namun aku tak tega melihat Simbok lelah karenanya. Seminggu sekali aku memberi uang sekedarnya pada Simbok juga Mbok Ijah.
Mbok Ijah adalah kakak kandung Simbok, walaupun lebih tua, namun Mbok Ijah lebih sehat juga lebih gesit dari Simbok. Ia menawarkan diri untuk mengasuh Nur Laila.
Saat usia Anton sudah cukup untuk masuk taman kanak-kanak. Ia begitu berani dan mandiri, Simbok hanya mengantarkan hingga ruang belajar. Anton yang pemberani menyuruh Simbok pulang, tak mau ditunggui.
Jarak antara Anton dan Nur Laila yang hanya satu setengah tahun, membuat mereka terlihat seumuran. Selalu berada dalam lingkungan sekolah yang sama, terpaut satu tingkatan kelas.
Saat menginjak kelas empat sekolah dasar, Anton begitu nakal. Gurunya sering melaporkan kenakalannya, entah tidak membuat pekerjaan rumah, berkelahi dengan teman juga membolos sekolah.
Pada akhirnya, gurunya tidak menaikkan Anton ke kelas selanjutnya. Jadilah mereka satu angkatan di sekolah. Menyekolahkan dua anak pada jenjang sekolah yang sama sekaligus. Membuat keuangan kami kala itu tersengal-sengal. Tak jarang kami meminjam pada saudara untuk membayar biaya sekolah.
πππ
Ah, waktu begitu cepat berlalu, kini Anton dan Nur Laila sudah menikah. Melanjutkan hidup dan membangun keluarga mereka sendiri. Baru tadi kulihat bayangan kejadian saat mereka masih duduk di Sekolah Mengah Pertama, ketika Nur Laila bertengkar dengan kakaknya itu.
"Buk, Mas Nakal β¦ pulpen Laila diambil!"
Keduanya berebut pulpen untuk mengerjakan tugas. Kepalaku langsung menoleh ke arah kamarnya. Kosong, tak ada siapa pun disana. Berteman sepi, kerap halusinasi mencumbui.
Ah, aku kembali terbawa perasaan dan melamun.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Beberapa helai rambut terjatuh, kupandangi helai rambut yang jatuh ada warna putih pada salah satunya.
Ah, apa aku sudah setua itu?
Hingga tak bisa membedakan kenyataan dan bayangan? Atau semua karena kesepianku, hingga menghadirkan bayangan-bayangan itu?
Bersambungβ¦
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
πππAnton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan."Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto."Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian."Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela
πππRoda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya."Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi."Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan mengg
πππMalam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya.Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan."Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari b
Bab : 14Judul Bab : Maling Dalam SelimutπππKepalaku semakin terasa berdenyut, pusing menjalar di seluruh bagian kepala. Kenapa semua masalah datang bertubi-tubi di waktu yang sama. Sebegitu sayangkah Tuhan padaku, hingga ia terus mengujiku?Uang pensiun yang kutitipkan pada Mbakyu Widuri, hilang segepok. Segepok uang itu ada empat juta rupiah, aku ingat betul terakhir memasukkan uang pesangon yang diberikan oleh pihak pabrik ada delapan gepok, sudah terpakai untuk banyak hal. Hanya tersisa lima gepok uang.
πππAku tak sabar menanti sidang ke tiga hari ini, pada sidang sebelumnya Mas Harto telah mengatakan jawabannya secara lisan bahwa ia bersedia berpisah.Hari ini adalah tanggal 16 Juni 2020, acara sidang ke tiga, semoga semuanya berjalan dengan lancar, perceraianku segera selesai, dan aku tak perlu bolak balik ke Pengadilan Agama lagi. Sungguh melelahkan rasanya.Kuawali pagi dengan mengambil air wudhu, membasuh segarnya air pada telapak tangan, berkumur tiga kali lalu membasuh pada bagian tubuh lainnya. Kemudian kukenakan mukena putih dengan hiasan brokat di tepiannya. Kuangkat kedua tangan setinggi telinga, m
πππAku sedang duduk berdua dengan Mas Harto di sebuah taman, taman yang indah banyak bunga bermekaran juga beberapa kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya anggun, terbang kesana kemari. Sesekali hinggap pada bunga menghisap madunya.Senyum kami selalu merekah, menatap indah pemandangan sekeliling. Betapa bahagia bisa menikmati pemandangan indah ini berdua dengan suami tercinta.Tiba-tiba seorang perempuan datang mendekat, ia tersenyum menyeringai menampakkan taring tajam, lalu menarik paksa tangan Mas Harto."Mas β¦ Mas β¦ jangan bawa sua
Bab : 17Judul Bab : TeluhπππMataku kian membulat sempurna menangkap sosok perempuan itu, tepat di atasku sekitar tiga meter melayang-layang perempuan yang semakin lama semakin jelas dengan wajah mengerikan.Setan perempuan dengan rambut panjang terjuntai hampir mengenai wajahku. Matanya semerah darah, wajahnya penuh luka dan nanah.Mengerikan, sungguh wajah yang mengerikan. Tawanya terdengar melengking dan nyaring. Andai bisa kututup mata ini agar tak meliha
πππ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
πππTut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
πππ"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
πππ"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
πππTakdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
πππAini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan
πππHidup itu terlalu singkat, untuk digunakan membenci. Jangan menghabiskan energi dengan membenci orang-orang yang telah menyakiti, karena kita diturunkan dari langit sana, sekedar turun minum. Saat dahaga hilang, kita akan terbang melayang kembali pulang. Sesaat yang terasa lama.Setiap manusia hanya menunggu giliran untuk kembali, boleh jadi sekarang giliran mereka, besok bisa jadi giliran Hening dan lusa adalah giliranmu. Setidaknya lebih baik pergi lebih dulu. Agar tak perlu menangisi orang yang belum tentu kehilanganmu.Hening ingin segera pergi, raganya sudah tak kuat menanggung rasa sakit, berkali ia menyebut nama Tuhan, lalu
πππSayup-sayup suara sirine mobil, telah berhenti. Tak berapa lama Suara pintu mobil dibuka, lalu ranjangku diturunkan dari dalam mobil.Aku hanya terbaring lemas menahan rasa sakit di sekitar panggul. Lemah dan tak berdaya hanya pasrah menurut kemana ranjang dibawa.Ranjang bergerak dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, nyata atau hanya ilusi kulihat Mas Harto tetap menggenggam jemariku mengikuti arah kemana ranjang menggelinding.Seperti adegan-adegan drama di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton. Dimana pemeran protogo
πππ"A-air β¦," desisku. Betapa aku sangat merasa kehausan. Kerongkongan terasa kering. Entah kapan terakhir kali aku minum.Lilik yang tanggap langsung mengambilkan segelas air putih di atas nakas, kemudian menyangga kepalaku agar bisa minum.Pelan kunikmati air putih itu, seteguk dua teguk, tak terasa air dalam gelas tandas kuminum."Ini, dimana?" gumamku."Ini klinik Dokter Bobby mbak," jawab Lilik menjelaskan.