πππ
"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton.
"Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokter Ida masih terngiang di telingaku. Untuk beberapa detik aku diam tanpa kata saat itu.
Kehamilan pertama membuatku sedikit trauma, jahitan di punggung dan di atas pusar Anton nyata membekas di ingatan. Bagaimana lelahnya berjuang dengan sekuat tenaga untuk melahirkan.
Bagaimana senyum bahagia kami tiba-tiba hilang, menjadi wajah penuh iba karena Anton kecil lahir dengan luka. Betapa menyedihkan mendengar bayi kecil itu menangis tanpa henti karena kesakitan.
Juga jumlah biaya yang tak sedikit, yang harus kami keluarkan untuk membayar bidan juga pada pihak Rumah sakit untuk operasi menjahit luka Anton. Untung hanya semalam menginap di rumah sakit saat itu.
Sanggupkah aku merawat dua orang balita sekaligus, sambil tetap bekerja? Duh Gusti, berilah kekuatan padaku untuk tetap kuat menjalani hari demi anak-anakku nanti.
"Dah sampai, Dek!" Suara Mas Harto membuyarkan lamunanku. Kulepas tangan yang melingkar di pinggangnya, lalu segera turun dari boncengan. Membuka pintu, kemudian berjalan menuju kamar, akan mengganti seragam kerja.
"Kamu beneran hamil lagi, Dek?" Tanya Mas Harto yang membuntuti langkahku dari belakang. Nada suaranya antara tak percaya juga senang mendengar berita ini.
"Iya, Mas," jawabku pelan, tanpa memandang wajahnya. Ada rasa yang entah di dalam dada, sulit untuk kujelaskan.
"Aku mau ambil Anton di tempat Simbok dulu," pamitku pada Mas Harto, setelah selesai berganti baju.
Kutinggalkan Mas Harto yang masih duduk di pinggir ranjang. Rasa pusing yang kurasakan sedari pagi hilang, setelah pergi berobat ke Dokter Ida. Hasil pemeriksaan yang membuatku kaget, ternyata hamil lagi, sungguh tak kusangka.
Ah, Tuhan kenapa Engkau sebaik ini padaku. Memberi rezeki yang tak dapat kutolak. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? Dengan dua balita sekaligus Simbok akan kewalahan untuk mengurusnya. Mengurus Anton yang sedang aktif-aktifnya saja membuat dia kelelahan.
"Ning, ngapain duduk disitu? kok udah pulang kerja?" Suara Simbok membuyarkan lamunanku, segera aku berdiri melangkah masuk menuju dapur.
"A-anu, Ning tadi izin setengah hari kerja. Sakit, kepala rasanya pusing, badan lemas. Sekalian langsung periksa ke dokter, ternyata β¦."
Aku menghentikan kata-kata, memindai wajah penuh guratan itu. Uban tumbuh merata di rambutnya. Di usia yang sudah renta, haruskah aku menambah bebannya? Tapi jika aku berhenti bekerja, bagaimana masa depan anak-anakku nanti?
Cukupkah pendapatan Mas Harto untuk memenuhi kehidupan kami, jika ia jarang bekerja, masih bersikap seperti anak muda yang doyan kumpul dan mabuk-mabukkan.
"Sakit apa kata dokter tadi?" tanya Simbok.
"Ning, hamil lagi β¦," lirih kuberucap, kepalaku menunduk. Tak tega menatap sorot tanya Simbok.
"Alhamdulilah, itu rezeki harus disyukuri. Kok mukamu malah kelihatan sedih gitu?" kata Simbok.
"Ning sungkan, gak enak sama Mbok. Menyusahkan terus," jelasku padanya. Panas menjalar di mataku, ada sesuatu yang akan meleleh tumpah.
"Maaf, ya, Mbok β¦," tambahku kemudian.
Perempuan yang melahirkanku itu memandangku haru, lalu ia tersenyum.
"Hust, kamu ini ngomong apa? Mbok senang bisa membantu merawat anakmu. Anakmu berarti cucu, darah daging Mbok juga," Ia berkata sambil memasukkan botol susu, dan perkakas Anton lainnya ke dalam tas perlengkapan khusus saat dititipkan.
"Makasih ya, Mbok," ucapku dengan seulas senyuman. Aku berjanji di dalam hati, akan membahagiakan Simbok sebisa mungkin. Menukar keikhlasannya merawat Anton, dengan kerja kerasku nanti. Amiin, semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan umur panjang padanya untuk selalu menemaniku.
πππ
Usia bukanlah patokan kedewasaan seseorang, seiring berjalannya waktu sifat seseorang akan berubah, semakin baik atau sebaliknya. Bagaimana kita menghabiskan masa muda akan menentukan keadaan kita di hari tua dan keadaan kita menjelang ajal nanti.
Hatiku terasa sangat sedih, melihat kepala keluarga, imam yang seharusnya menuntun keluarganya, malah sering dituntun orang untuk pulang.
Mas Harto terkulai tak sadarkan diri di tepi jalan, seorang tetangga berbaik hati mengantarnya pulang hari ini. Entah ada apa dengannya? Apa yang sedang dipikirkannya hingga mabuk, tak sadarkan diri seperti itu.
"Ning β¦ Ning β¦." Ia meracau tak jelas memanggil namaku. Bau alkohol tercium dari mulutnya.
Seharusnya ia berusaha lebih giat mencari uang, mempersiapkan dana untuk kelahiran anak kedua kami nanti. Bukan semakin sering mabuk-mabukan seperti ini.
Lingkungan yang tak baik, juga ikut mempengaruhi sifat seseorang. Dulu sifat pemabuknya tak separah ini, tapi belakangan semakin menjadi. Dalam sebulan bisa dua kali ia pulang tak sadarkan diri.
"Gak enak sama teman," jawabnya ketika aku bertanya kenapa ia minum kala itu.
Ia pergi menghadiri suatu hajatan di desa sebelah, lalu pulang dalam keadaan mabuk.
Walaupun jarang menghadiri tausiyah di masjid, aku sering mendengarkannya lewat siaran televisi, meresapi makna yang terkandung. Pernah kudengar suatu hadis mengatakan.
Dari Abu Musa radhiyallahu βanhu, bahwa Nabi shallallahu βalaihi wasallam bersabda:
βPerumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.β (HR. Bukhori & Muslim).
Berteman dengan orang baik, kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Sebaliknya berteman dengan orang yang tidak baik, walaupun tidak menjadi pribadi sejelek mereka, namun tetap saja orang memandang kita dengan buruk karena berteman dengan orang yang tidak baik.
Memilih teman juga berarti memilih jalan hidup kita. Karena seorang teman mencerminkan kepribadian kita.
πππ
Saat kita mencintai seseorang, semua salah bahkan kekurangannya tampak sempurna. Aku tak tahu seberapa dalam rasa cinta ini, namun yang kutahu ia adalah bapak dari anak-anakku. Orang yang akan menemaniku hingga akhir usia.
"Mas, bangun sudah subuh." Kutepuk pelan pipinya.
"Hemm β¦, " jawabnya. Matanya masih terpejam.
"Ning, berangkat kerja dulu. Nasi sudah matang, cucian tinggal dijemur. Jangan lupa antar Anton ke rumah Simbok, kalau Mas, mau keluar nanti," pamitku padanya tak lupa mengecup pipinya. Entah ia merasakannya atau tidak.
Aku berjalan perlahan, agar Anton tak terbangun. Perutku makin membesar, seragam sudah tak muat kupakai lagi. Beruntung perusahaan memberikan izin untuk memakai baju rumah di masa kehamilan akhir ini.
Bismillah, aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan. Berikan kelancaran dan kesehatan selama aku bekerja, demi kedua buah hatiku ini, amiin.
Bersambungβ¦
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
πππAnton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan."Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto."Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian."Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela
πππRoda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya."Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi."Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan mengg
πππMalam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya.Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan."Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari b
Bab : 14Judul Bab : Maling Dalam SelimutπππKepalaku semakin terasa berdenyut, pusing menjalar di seluruh bagian kepala. Kenapa semua masalah datang bertubi-tubi di waktu yang sama. Sebegitu sayangkah Tuhan padaku, hingga ia terus mengujiku?Uang pensiun yang kutitipkan pada Mbakyu Widuri, hilang segepok. Segepok uang itu ada empat juta rupiah, aku ingat betul terakhir memasukkan uang pesangon yang diberikan oleh pihak pabrik ada delapan gepok, sudah terpakai untuk banyak hal. Hanya tersisa lima gepok uang.
πππAku tak sabar menanti sidang ke tiga hari ini, pada sidang sebelumnya Mas Harto telah mengatakan jawabannya secara lisan bahwa ia bersedia berpisah.Hari ini adalah tanggal 16 Juni 2020, acara sidang ke tiga, semoga semuanya berjalan dengan lancar, perceraianku segera selesai, dan aku tak perlu bolak balik ke Pengadilan Agama lagi. Sungguh melelahkan rasanya.Kuawali pagi dengan mengambil air wudhu, membasuh segarnya air pada telapak tangan, berkumur tiga kali lalu membasuh pada bagian tubuh lainnya. Kemudian kukenakan mukena putih dengan hiasan brokat di tepiannya. Kuangkat kedua tangan setinggi telinga, m
πππAku sedang duduk berdua dengan Mas Harto di sebuah taman, taman yang indah banyak bunga bermekaran juga beberapa kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya anggun, terbang kesana kemari. Sesekali hinggap pada bunga menghisap madunya.Senyum kami selalu merekah, menatap indah pemandangan sekeliling. Betapa bahagia bisa menikmati pemandangan indah ini berdua dengan suami tercinta.Tiba-tiba seorang perempuan datang mendekat, ia tersenyum menyeringai menampakkan taring tajam, lalu menarik paksa tangan Mas Harto."Mas β¦ Mas β¦ jangan bawa sua
πππ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
πππTut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
πππ"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
πππ"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
πππTakdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
πππAini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan
πππHidup itu terlalu singkat, untuk digunakan membenci. Jangan menghabiskan energi dengan membenci orang-orang yang telah menyakiti, karena kita diturunkan dari langit sana, sekedar turun minum. Saat dahaga hilang, kita akan terbang melayang kembali pulang. Sesaat yang terasa lama.Setiap manusia hanya menunggu giliran untuk kembali, boleh jadi sekarang giliran mereka, besok bisa jadi giliran Hening dan lusa adalah giliranmu. Setidaknya lebih baik pergi lebih dulu. Agar tak perlu menangisi orang yang belum tentu kehilanganmu.Hening ingin segera pergi, raganya sudah tak kuat menanggung rasa sakit, berkali ia menyebut nama Tuhan, lalu
πππSayup-sayup suara sirine mobil, telah berhenti. Tak berapa lama Suara pintu mobil dibuka, lalu ranjangku diturunkan dari dalam mobil.Aku hanya terbaring lemas menahan rasa sakit di sekitar panggul. Lemah dan tak berdaya hanya pasrah menurut kemana ranjang dibawa.Ranjang bergerak dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, nyata atau hanya ilusi kulihat Mas Harto tetap menggenggam jemariku mengikuti arah kemana ranjang menggelinding.Seperti adegan-adegan drama di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton. Dimana pemeran protogo
πππ"A-air β¦," desisku. Betapa aku sangat merasa kehausan. Kerongkongan terasa kering. Entah kapan terakhir kali aku minum.Lilik yang tanggap langsung mengambilkan segelas air putih di atas nakas, kemudian menyangga kepalaku agar bisa minum.Pelan kunikmati air putih itu, seteguk dua teguk, tak terasa air dalam gelas tandas kuminum."Ini, dimana?" gumamku."Ini klinik Dokter Bobby mbak," jawab Lilik menjelaskan.