Jarum pendek benda pipih di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan aku masih terjaga. Meskipun kucoba memejamkan mata, namun pikiranku tak henti bekerja. Ia memutar semua kejadian hari ini, dan hati mengingatkan tentang rasa sakitnya.
Tuhan, aku ingin mengamuk, menjelma badai memporak porandakan dunia. Jika boleh meminta, aku ingin hilang ingatan melupakan semua yang menyakitkan dan berharap segalanya baik-baik saja.
'Tuhan β¦ tolong aku.'
"Bude, ndak tidur." Aini bertanya sambil menggosok-gosok matanya, yang masih mengantuk. Wajah remaja itu terlihat iba dan kawatir.
Cepat-cepat kuseka air mata yang sedari tadi luruh. Meski tak ingin menangis, air mata tetap turun tanpa kusuruh.
"Bude, kebangun denger suara motor lewat tadi," jawabku berbohong.
"Sabar, ya, De!" Suaranya pelan menguatkan. Ada raut iba di wajah cantik Aini.
Malam ini kami tidur bertiga menggelar kasur di ruang tamu. Ibu Aini--adikku-- sudah tertidur, seharian tadi ia pergi ke sawah. Pada musim menanam padi seperti ini, tenaganya sering dipakai para pemilik sawah. Sudah kuceritakan semua kejadian hari ini padanya. Ia begitu emosi mendengar ceritaku.
"Wong (orang) udah tertangkap basah, kena grebek. Dikasih maaf dan kesempatan kok masih diulangi lagi," kata adikku, penuh penekanan pada kata-kata terakhirnya.
Aku tak ingin pulang ke rumah. Ada rasa muak, benci juga amarah jika bertemu suamiku disana. Entah apa yang akan terjadi. Sementara untuk malam ini aku menginap disini.
Besok akan ada pertemuan kedua, antara aku, suamiku dan beberapa orang lagi. Selesai berbicara di rumah Pak RT tadi pagi, ia berbaik hati mengantarkanku pulang, lalu menemui Mas Harto dan menyampaikan perihal pertemuan di rumah Pak Kepala Desa besok.
πππ
Ditemani Lilik, Mbak Widuri, Aini, juga Pak RT aku menunggu suamiku datang di ruang tamu Pak Kades. Membicarakan keputusan yang telah kuambil. Ada keberanian menjalar di diri ini, didukung banyak orang.
Lama menunggu, akhirnya ia datang. Wajahnya terlihat lebih kusut dari kali terakhir aku pergi dari rumah. Mengenakan celana jeans biru tua, dan kemeja batik berwarna putih kesukaannya.
Tanpa mengucap salam ia langsung mengambil kursi kosong. Sejenak ia mengedarkan pandang pada semua yang hadir, melirikku sekilas lalu menarik kursi, dan duduk menghadapku.
"Baiklah, langsung saja. Pak Harto, kami mewakili istri bapak disini ingin menyampaikan bahwasanya istri Bapak, ingin berpisah, cerai, karena sudah tidak kuat menjalani hidup berumah tangga dengan anda."
Pak kepala desa, mengawali pembicaraan. Suara baritonenya tegas juga penuh wibawa kurasakan. Disodorkannya gawai Mas Harto.
"Ibu Hening, telah melihat semua percakapan dengan wanita selingkuhan anda di dalam aplikasi Whatssap ini." Pak RT melanjutkan pembicaraan lalu mengambil jeda sejenak saat berbicara, kemudian menatapku.
Suamiku hanya diam, sesekali menunduk. Tingkahnya sam seperti seorang maling yang tertangkap basah saat mencuri.
"Untuk sementara mohon Bapak, meninggalkan rumah sampai proses perceraian berakhir," Pak RT melanjutkan kata-katanya.
πππ
"Iya nduk, amiin ... doain semuanya lancar."
Kututup panggilan telepon dari anakku, Nur Laila begitu kawatir akan keadaanku. Hampir setiap hari ia menelpon, atau sekedar mengirim pesan bertanya bagaimana keadaanku.
Ada sedikit kelegaan di hati. Banyak orang yang mendukung dan membantu menyelesaikan masalah rumah tanggaku. Perangkat desa telah mempermudah langkah untuk melengkapi berkas perceraian.
Kunaikkan selimut sampai dada, mencari kehangatan. Semoga semua berjalan dengan benar dan lancar. Kemarin aku tak terpejam sedetik pun, terlalu banyak pikiran. Hari ini aku begitu lelah, ingin segera tidur.
Belum lama mataku terpejam tiba-tiba, suara motor di gas dengar keras lalu menabrak sesuatu terdengar dari arah pintu dapur. Lampu motor yang terang menyala masuk lewat celah pintu. Jantungku berdetak tak karuan, keringat dingin menetes di kening.
'Ya Tuhan, apa lagi sekarang?'
'Apa itu?' batinku dalam hati. Debaran jantungku berdegup keras karena kaget.
Untung saja aku tak lupa mengunci semua pintu ketika akan tidur. Setidaknya itu mengulur waktu, si pembuat onar tak dapat masuk ke dalam rumah.
Segera aku menyelinap berlari menuju pintu depan. Kubuka gagang pintu, lalu menguncinya. Berjalan mengendap-endap menuju rumah adikku yang hanya berjarak beberapa meter.
Kugedor dengan cepat pintu berwarna coklat dari kayu jati itu.
"Ni, Aini β¦ buka pintunya!" Pintu segera terbuka, ternyata mereka juga terbangun mendengar suara gaduh diluar!
"Ni, Aini, Liik ... Lilik, tolong buka pintunya!"
"Masuk Bude!" Aini yang membuka pintu, langsung menarik tanganku untuk masuk. Menggiringku menuju dapur mereka.
Ternyata sedari tadi mereka juga mengintip kegaduhan itu dari jendela dapurnya.
"Lihat itu," Lilik, ibu Aini, menunjuk arah rumahku.
"Keluar kamu, Ning," teriak seorang laki-laki dengan suara yang begitu kuhapal.
Postur tubuh, suara dan saat kuperhatikan laki-laki itu mengenakan kemeja berwarna putih. Dia Mas Harto!
Benarkah itu Mas Harto?
Benar, itu Mas harto! Sepertinya ia sedang mabuk, mengendarai motor dengan ugal-ugalan karena setengah sadar. Motor ditabrakkan pada pintu, dan dinding rumah, beberapa kali ia terlihat oleng dan jatuh. Namun mencoba berdiri dan menaiki motor lagi. Terus seperti itu selama beberapa kali.
"Hening, keluar kamu!"
Tetangga berdatangan karena terganggu akan kegaduhan yang diciptakan suamiku, mereka melihat dari agak jauh. Mengintip di sela pohon pisang, beberapa orang berani mendekat dan menontonnya. Aku terus menyaksikan kekacauan di tengah malam ini di balik tirai jendela.
"Keluar kamu, Ning!" ia berteriak semakin keras.
''Ya allah,'' ratapku ketakutan. Bagaimana ia bisa menjadi sejahat itu padaku.
Adikku memegang jemari tangan. Seolah ia tahu aku sedang ketakutan.
"Sabar," hanya kata itu yang terucap dari bibirnya.
Pak RT, yang terlihat datang mencoba lebih mendekat. Kini Pak RT berjarak dua meter di belakang suamiku.
"Pak, udah malam pak, jangan mengganggu ketenangan warga yang lain," tegurnya.
"Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku." Ia turun dari motor yang masih menyala, berjalan sempoyongan dan berteriak ke arah warga yang menonton.
"Kalian yang pergi, Ning, istriku!"
Beberapa orang yang menonton mundur karena takut. Sambil berteriak Mas Harto mengepalkan tangan menggerakkannya ke sana ke mari tak tentu arah. Meninju angin.
"Ning β¦ Ning β¦." Ia terus berteriak- teriak memanggil namaku. Sebentar raut wajahnya seakan-akan menangis. Sebentar kemudian penuh amarah. Gila!
"Ning, keluar kamu sekarang. Urusan kita belum selesai!"
Mas Harto menggedor-gedor pintu rumah dengan keras. Berteriak seperti prang kesetanan.
Bukankah aku sudah memberinya kesempatan, berulang kali. Tapi sifatnya tak berubah malah semakin menjadi.
Seharusnya aku yang mengamuk, marah dan meluapkan rasa sakit di hati.
Saat bertemu di rumah pak Kepala Desa tadi siang. Ia terlihat hanya diam, lebih banyak menunduk. Entah karena takut ada banyak orang atau malu di sidang untuk ke dua kalinya, tapi sekarang pada tengah malam seperti ini Mas Harto datang dengan keadaan mabuk, lalu berteriak-teriak tidak jelas.
Apa maumu, Mas? Bukankah ini yang kau inginkan? Jika sudah tak mencintaiku jujurlah, jika sudah bosan denganku katakanlah tak perlu kau berulang kali mendua berganti-ganti wanita.
Sakitkah hatimu, Mas, mendengar aku ingin berpisah?
Cobalah jadi aku sebentar saja, rasakan betapa sakitnya dikhianati berulang kali.
Cobalah jadi aku sekejap saja, bayangkan selalu mengalah dan merendah untuk tetap bisa bersama denganmu.
Maafkan aku, yang kini telah lelah mencoba bersabar.
Maaf, Mas ... aku pergi.
Bersambung β¦.
πππ"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu."Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah."Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang
πππBerjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis.Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan.Tiba
Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam.Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup."Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat.Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah
Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi."Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku."Ning, bangun ning!"Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.
πππ"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton."Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokt
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
πππAnton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan."Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto."Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian."Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela
πππ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
πππTut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
πππ"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
πππ"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
πππTakdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
πππAini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan
πππHidup itu terlalu singkat, untuk digunakan membenci. Jangan menghabiskan energi dengan membenci orang-orang yang telah menyakiti, karena kita diturunkan dari langit sana, sekedar turun minum. Saat dahaga hilang, kita akan terbang melayang kembali pulang. Sesaat yang terasa lama.Setiap manusia hanya menunggu giliran untuk kembali, boleh jadi sekarang giliran mereka, besok bisa jadi giliran Hening dan lusa adalah giliranmu. Setidaknya lebih baik pergi lebih dulu. Agar tak perlu menangisi orang yang belum tentu kehilanganmu.Hening ingin segera pergi, raganya sudah tak kuat menanggung rasa sakit, berkali ia menyebut nama Tuhan, lalu
πππSayup-sayup suara sirine mobil, telah berhenti. Tak berapa lama Suara pintu mobil dibuka, lalu ranjangku diturunkan dari dalam mobil.Aku hanya terbaring lemas menahan rasa sakit di sekitar panggul. Lemah dan tak berdaya hanya pasrah menurut kemana ranjang dibawa.Ranjang bergerak dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, nyata atau hanya ilusi kulihat Mas Harto tetap menggenggam jemariku mengikuti arah kemana ranjang menggelinding.Seperti adegan-adegan drama di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton. Dimana pemeran protogo
πππ"A-air β¦," desisku. Betapa aku sangat merasa kehausan. Kerongkongan terasa kering. Entah kapan terakhir kali aku minum.Lilik yang tanggap langsung mengambilkan segelas air putih di atas nakas, kemudian menyangga kepalaku agar bisa minum.Pelan kunikmati air putih itu, seteguk dua teguk, tak terasa air dalam gelas tandas kuminum."Ini, dimana?" gumamku."Ini klinik Dokter Bobby mbak," jawab Lilik menjelaskan.