Setelah kejadian di balai desa, tak ada yang ganjil dengan sikap Mas Harto. Dia juga memperlakukanku seperti biasa. Namun, kebiasaan begadangnya tak berhenti. Di dalam rumah pun ia kerap tidur larut malam di depan TV yang menyala.
Pagi itu, kulihat ada beberapa pesan masuk pada aplikasi W******p di gawai Mas Harto. Ia sedang berada di kamar mandi. Penasaran, kucoba untuk membuka dan memeriksanya. Tertera nama pengirimnya hanya diberi inisial “S”.
[Mas aku kangen!] pesan pertama yang kubaca.
[Mas kapan kita ketemu lagi!]
Jiwa detektif seorang istri menuntunku untuk mencari tahu lebih banyak lagi. Kubuka percakapan mereka satu persatu. Betapa terkejutnya, saat kuperiksa percakapan mereka dua hari yang lalu.
Ternyata, perempuan gatal itu mengirim sebuah video, yang berisi dirinya tanpa sehelai benang pun tengah berpose tidak senonoh. Ekspresi wajahnya menunjukkan seperti orang yang sedang ingin bercinta.
Kubuka semua percakapan mereka, ternyata hubungan mereka lebih dari yang kukira. Ada sebuah foto mereka tersenyum sambil berpelukan tanpa busana dalam satu ruangan. Menjijikkan!
Seketika, tanganku terasa lemas dan lunglai. Telepon genggam suamiku terjatuh. Kuambil perlahan sembari melihat ke arah kamar mandi, takut jika Mas Harto memergoki.
Aku berdiri dan menghampiri cermin usang yang berada di dalam kamar. Teringat kembali, bagaimana suamiku memelas dan memohon ibaku untuk tidak melaporkannya pada polisi dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Namun, apa yang dilakukannya di belakangku? ia tetap berhubungan dengan wanita itu.
Prank!
Aku memukul cermin usang itu hingga pecah dan tak berbentuk. Melampiaskan amarah dan kekecewaan di dada. Badanku gemetar dan tanganku mengepal erat. Aku tidak merasakan sakit sedikit pun meski cucuran darah mulai mengalir di tangan. Dengan sisa kesadaran yang ada, aku berjalan menjauh dari rumah.
“Ni ... Aini ….” Aku berlari sambil memanggil keponakanku. Rumah adikku berselang dua rumah ke arah selatan, cukup dekat. “Ni ….”
Keponakanku pun langsung ke luar rumah dan menghampiriku. “Ada apa, Bude?”
“Lihat ini! Ini video apa?” Dengan nada bergetar, kuberikan telepon genggam milik Mas Harto.
“Astaghfirullah, De! Ini video gak bener! Ini Siti, perempuan yang kemarin kena masalah sama Pakde.”
Langitku runtuh, dunia seakan gelap. Tak ada sinar. Tuhan, inikah balasan atas kesetiaan dan pengorbananku selama ini? Tidakkah dia masih mencintaiku? Rumah tangga yang sudah kubangun hingga berpuluh tahun, apakah cuma panggung sandiwara baginya? batinku.
Aku berjalan terhuyung sembari membawa telepon genggam Mas Harto menuju ke rumah Pak RT, akan kuadukan perbuatannya agar dunia tahu ia telah ingkar dengan janjinya.
Dulu, sifatnya yang temperamental saat mabuk, membuatku takut untuk berpisah darinya.
Namun, kini tekadku sudah bulat. Aku tidak dapat memaafkannya lagi. Kali ini, ia tak akan bisa berkutik karena banyak bukti dan saksi yang mendukung.
“Ya, Allah …,” ratapku, mengiba pada siapa saja yang mendengar. Mencoba mengeluarkan rasa sesak di dada.
Dalam kebingungan, air mataku tak henti berderai. Ternyata, sudah sejauh ini yang ia lakukan dengan perempuan lain. Ada tangisan yang lebih menyayat tapi tak bersuara, sakit tapi tak berdarah. Hatiku!
Kupercepat langkah, beberapa kali kutengok belakang. Kawatir jika Mas Harto, mengetahui gawainya tidak ada dan mencoba mencariku.
Saat sebuah janji diingkari, dan kata maaf hanya tinggal kata tanpa pembuktian. Masihkah kita rela bertahan?Sudikah hati memaklumi?
Bukan untuk sekali ini, hatiku tersakiti. Namun baru kali ini, mataku benar-benar menjadi saksi. Namamu tinggi kuagungkan, namun teganya kau jatuhkan aku, hingga remuk redam ke lembah paling dalam.
Seperti orang kebingungan, aku mengetuk pintu rumah Pak RT dengan keras dan cepat. Beberapa kali mengucap salam dengan nada tinggi. Tak berapa lama seorang lelaki membuka pintu dan mempersilakan aku masuk untuk duduk. Tak kurasa darah yang masih menetes di tangan.
Melihat tangan yang berlumuran darah, pria bersarung motif kotak-kotak ini memanggil istrinya.
"Bu, ambilkan perban dan obat merah sekalian." Setengah berteriak ia memanggil istrinya yang berada di dalam rumah.
"Bagaimana, Mbak Hening, apa yang bisa saya bantu?"
Pikiranku sungguh kalut, bibirku terasa berat digerakkan. Bingung harus dari mana aku memulai berbicara. Hanya air mata yang menetes.
"Mbak Hening …?" Lagi suara berat pria muda di depanku memanggil.
"To-tolong, sa-saya ingin pisah saja. Saya gak kuat lagi!" kataku terbata, derai air mata kian deras mengalir.
Erna, --istri Pak RT-- duduk di sampingku. Ia menyodorkan segelas air putih. Kemudian mengambil tanganku yang terluka, perlahan melumurinya dengan obat merah. Lalu membalut dengan kasa tipis. Tangannya mengelus-ngelus pundak. Mencoba menenangkan.
"Diminum dulu, mbak!" ucapnya pelan.
Kuraih segelas air putih itu, lalu menenggaknya hingga habis tak bersisa. Berjalan ke rumah Pak RT sambil menangis membuat tenggorokanku kering, kehausan.
Kupandang gawai Mas Harto di genggaman, jika aku membeberkan bukti-bukti foto serta video perselingkuhan mereka, aku dengan mudah dapat bercerai. Namun, di sisi lain aku membuka aib suamiku sendiri. Ada rasa kasihan, yang timbul seketika. Ada rasa berdosa karena mengumbar aib suamiku.
Namun, semua orang juga sudah tahu peristiwa penggerebekan itu. Beritanya sudah menyebar dengan cepat sampai ke desa lain. Buat apa aku mengasihaninya, jika ia terang-terangan tega berselingkuh.
Benarkah ini akhirnya? Yakinkah aku dengan keputusan yang kubuat saat emosi? Sudah sejauh ini, aku bertahan. Haruskah, memaklumi dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sedang hati porak poranda.
Kutaruh gawai Mas Harto, di atas meja kaca. Kudorong lebih mendekat pada Pak RT.
"Tolong ... bantu dan lindungi saya. Anda pasti tahu Mas Harto, seorang pemabuk dan tempramental. Ia juga tidak segan bertindak kasar saat mabuk. Saya takut, keputusan sepihak bercerai ini membuatnya kalap dan mengamuk!" kataku mengiba pada Pak Rt, berharap ia mengerti dan mau menolong.
"Tenang saja, Mbak. Sebenarnya saat di Balai desa pun, Mas Harto sudah mengakui kesalahannya dan juga sudah menandatangani surat perjanjian, bersedia menceraikan, Mbak jika mengulangi perbuatannya," jelas Pak RT, yang juga hadir di Balai Desa saat itu.
"Benarkah, Pak? Kok dia tidak bilang apa-apa dan saya juga tidak menemukan surat perjanjian itu?" tanyaku memburu.
"Saya tidak tahu masalah itu, mungkin kertasnya dibuang atau disembunyikan, Pak Harto," jawabnya kemudian.
"Bagaimana kalau besok, Pak Harto saya undang ke rumah Bapak Kepala Desa, disana Mbak Hening, silahkan memberi keputusan. Dengan adanya banyak orang yang menjadi saksi, semoga Pak Harto bisa menerima keputusan Mbak Hening untuk berpisah," usul Pak RT lagi.
Aku mengangguk tanda setuju. Semoga rencana Pak RT berjalan lancar besok.
💔💔💔
"Sudahlah, Ning, jangan dipikirkan lagi. Sana tidur, pasti badanmu lelah menghadapi masalah bertubi-tubi seperti ini."
Aku menolehnya sekilas, lalu menatap langit-langit kamar. Lilik -- Adik perempuanku-- menyerahkan selimut.
Ada air mata yang akan luruh jika tak cepat-cepat kualihkan pandangan ke langit-langit kamar, berharap air mata ini tak menetes.
Malam ini, aku tak pulang ke rumah. Kuputuskan untuk menginap di rumah adikku.
"Apa di dalam hatinya sudah tidak ada cinta lagi untukku? Sekian lama berumah tangga, kenapa ia tega menduakanku?
"Ya Allah, sakit, rasanya sakit sekali," ratapku dengan air mata berderai.
"Sabar … sabar!" Lilik menepuk-nepuk pundakku.
"Sa-sakit sekali rasanya!" jawabku dengan nada bergetar.
"Hukum karma itu ada, walaupun bukan sekarang. Pasti akan dibalas setiap perbuatan kita. Bersabarlah!" Sambil memelukku, ia melanjutkan kata-katanya.
Tak ada seorang wanita pun yang bercita-cita menjadi janda. Namun jika bertahan akan terus tersakiti, maka berpisah dan hidup sendiri adalah jalan yang akan diambil para wanita.
Sekalipun kami makhluk lemah, kami tak akan gentar menghadapi masalah.
Bersambung ...
Jarum pendek benda pipih di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan aku masih terjaga. Meskipun kucoba memejamkan mata, namun pikiranku tak henti bekerja. Ia memutar semua kejadian hari ini, dan hati mengingatkan tentang rasa sakitnya.Tuhan, aku ingin mengamuk, menjelma badai memporak porandakan dunia. Jika boleh meminta, aku ingin hilang ingatan melupakan semua yang menyakitkan dan berharap segalanya baik-baik saja.'Tuhan … tolong aku.'"Bude, ndak tidur." Aini bertanya sambil menggosok-gosok matanya, yang masih mengantuk. Wajah remaja itu terlihat iba dan kawatir.
💞💞💞"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu."Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah."Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang
💔💔💔Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis.Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan.Tiba
Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam.Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup."Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat.Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah
Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi."Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku."Ning, bangun ning!"Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.
💖💖💖"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton."Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokt
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
💔💔💔 Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
💔💔💔Tut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
💔💔💔"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
💔💔💔"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
💔💔💔Takdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
💔💔💔Aini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan
💔💔💔Hidup itu terlalu singkat, untuk digunakan membenci. Jangan menghabiskan energi dengan membenci orang-orang yang telah menyakiti, karena kita diturunkan dari langit sana, sekedar turun minum. Saat dahaga hilang, kita akan terbang melayang kembali pulang. Sesaat yang terasa lama.Setiap manusia hanya menunggu giliran untuk kembali, boleh jadi sekarang giliran mereka, besok bisa jadi giliran Hening dan lusa adalah giliranmu. Setidaknya lebih baik pergi lebih dulu. Agar tak perlu menangisi orang yang belum tentu kehilanganmu.Hening ingin segera pergi, raganya sudah tak kuat menanggung rasa sakit, berkali ia menyebut nama Tuhan, lalu
💔💔💔Sayup-sayup suara sirine mobil, telah berhenti. Tak berapa lama Suara pintu mobil dibuka, lalu ranjangku diturunkan dari dalam mobil.Aku hanya terbaring lemas menahan rasa sakit di sekitar panggul. Lemah dan tak berdaya hanya pasrah menurut kemana ranjang dibawa.Ranjang bergerak dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, nyata atau hanya ilusi kulihat Mas Harto tetap menggenggam jemariku mengikuti arah kemana ranjang menggelinding.Seperti adegan-adegan drama di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton. Dimana pemeran protogo
💔💔💔"A-air …," desisku. Betapa aku sangat merasa kehausan. Kerongkongan terasa kering. Entah kapan terakhir kali aku minum.Lilik yang tanggap langsung mengambilkan segelas air putih di atas nakas, kemudian menyangga kepalaku agar bisa minum.Pelan kunikmati air putih itu, seteguk dua teguk, tak terasa air dalam gelas tandas kuminum."Ini, dimana?" gumamku."Ini klinik Dokter Bobby mbak," jawab Lilik menjelaskan.