πππ
Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis.
Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.
Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan.
Tiba di depan sebuah pintu, perawat tadi berhenti sebentar. Seperti menungguku berjalan, karena tertinggal dua meter di belakang mereka. Keringat yang menetes di pelipis, rasa sakit dan perih di selangkangan tak kuhiraukan. Anakku lebih merasa sakit sekarang, aku harus menemaninya.
Saat langkah berhenti di samping suami dan bayiku. Anis--Wanita berbaju putih dengan jilbab senada-- menatapku sejenak. Seolah ia ingin memastikan keadaanku. Baru kemudian meraih gagang pada pintu, lalu membukanya.
Pintu terbuka, aroma obat-obatan menguar. Ada beberapa buku yang ditumpuk rapi di atas meja. Peralatan kesehatan lainnya ada di rak sebelah meja. Berjarak dua jengkal tangan di sebelah buku-buku tadi terdapat papan nama bertuliskan Ahmad Khoirudin.
"Silakan, ada yang bisa saya bantu?" Ucap pria paruh baya berkacamata dan memakai jas putih itu .
Kami melangkah masuk, duduk pada kursi di depan mejanya, lalu mulai membeberkan keadaan bayi kami. Bayi yang belum sempat kami beri nama. Ia terus menangis merasakan dua buah luka di bagian punggung dan di atas pusarnya.
Pak dokter mengulurkan tangan, memegang kening bayi di gendongan Mas Harto. Lalu mencoba membuka perban yang telah terpasang di bagian pundak kiri atas. Dahinya mengernyit, sambil meraba kulit sekitar luka.
"Jika anda siap, dan bersedia sekitar pukul sepuluh nanti dokter ahli masalah bayi ada di tempat. Bayi anda bisa langsung dijahit lukanya, agar tidak infeksi dan terus merembes mengeluarkan darah," ucap Pak Dokter memberi penjelasan.
Aku dan suamiku saling pandang sesaat, tatapan mata kami bertemu, kemudian mengangguk. Menyetujui saran Pak Dokter.
πππ
Kami duduk pada kursi tunggu di koridor, menunggu operasi yang sedang berlangsung. Tangan Mas Harto selalu merangkul pundakku.
"Semoga semuanya berjalan lancar, ya, Dek?" ujar suamiku.
"Amiin, Mas, semoga bayi kita kuat dan segera sehat nantinya," kataku menimpali doa dari Mas Harto.
"Kamu ndak apa-apa, dek?" tanyanya lagi.
"Gak apa-apa, Mas. Kesehatan bayi kita jauh lebih penting dari apa yang kurasa," jawabku.
Semua rasa sakit, dan lelah di badan tak sedikitpun kurasa. Rasa cemas, dan kawatir menjalar di pikiran. Berharap operasi penjahitan berhasil, dan bayiku sehat, tak kesakitan lagi.
Dari kejauhan, kulihat Simbok berjalan perlahan menuju kami ditemani Lilik, adikku. Tangan kanan Lilik menenteng sebuah tas.
"Tadi, Mbok dan aku pergi ke rumah Bu Bidan. Membawakan baju ganti dan beberapa peralatan persalinan lainnya seperti yang kamu minta. Kata Bu Bidan bayimu di rujuk ke rumah sakit ini," jelas Lilik saat sudah sampai di tempat duduk kami.
"Si Kecil mana?" tanya Lilik kemudian.
"Sedang di dalam, operasi." Mas Harto memandang kamar di belakang kami.
"Kamu, ndak apa-apa, Ning?"
Simbok mendekatiku, dan bertanya bagaimana keadaanku. Ada raut iba dan cemas di wajahnya.
"Ning, ndak apa-apa mbok. Bayi kami yang sedang kesakitan di dalam!" Tembok tegar yang kubangun runtuh, bulir bening menetes membayangkan bayiku sedang di operasi di dalam sana.
Mas Harto, merangkul pundakku. Seakan ia tahu betapa aku sedih dan kawatir akan keadaan bayi kecil itu.
"Sabar, Dek. Dia pasti kuat," ucap suamiku memberi semangat.
πππ
Kami duduk mengelilingi ranjang aku, Simbok, Lilik dan juga Mas Harto. Di ujung ranjang tertulis bayi nyonya Hening.
Nyonya? Tak terasa aku sekarang bergelar nyonya, seorang ibu. Ah, waktu bergulir secepat itu.
Malaikat kecil itu terpejam, dia tak lagi menangis. Mungkin sedang terbuai mimpi indah. Atau obat pereda rasa sakit, menghilangkan rasa sakit itu. Selang infus terpasang di pergelangan tangan kirinya.
Kubelai kulit putihnya yang halus, dan lembut dia terlihat tampan. Garis di bibirku terangkat naik tanpa sadar.
"Dia ganteng seperti kamu, Mas!" Sambil menoleh pada lelaki yang duduk disampingku, aku berkata.
"Anakku, yo jelas to." Lelaki di sebelahku tersenyum bangga.
"Makanya, besok-besok kalo lagi hamil jangan berbuat yang aneh-aneh. Apalagi berhubungan sama binatang, Ning!" kata Simbok.
Simbok mengingatkan tentang kejadian itu lagi, ketika aku sedang membersihkan ikan di sumur. Tubuh ikan kubalik beberapa kali, menghilangkan sisik dan kotoran yang menempel dengan pisau.
"Ah, Mbok β¦ itu cuma mitos!" sergahku.
"Lha itu, lihatlah sendiri bagaimana keadaan bayimu. Mirip seperti ikan yang habis dibersihkan sisiknya, depan-belakang!" timpalnya lagi.
Sebenarnya omongan Simbok ada benarnya, mungkin sakit yang diderita bayiku ada hubungannya dengan yang kulakukan saat hamil dulu.
Saat Mas Harto pulang membawa sekantong plastik ikan, yang kupikirkan hanya segera membersihkan dan memasaknya. Agar suami senang, hasil pancingannya bisa jadi lauk makan hari itu. Aku lupa, sedang berbadan dua. Dan orang hamil, pamali melakukan pekerjaan seperti menyiksa binatang.
Ketika ditegur Simbok, kata-katanya terus terngiang dalam pikiran. Ada rasa takut, jika omongan Simbok jadi kenyataan. Ketakutan-ketakutan itu yang membentuk pola pikir negatif, akhirnya menjadi nyata.
Nasib sudah menjadi bubur, lacur tak dapat ditolak. Bayiku terlahir dengan dua buah luka seperti sayatan. Rasa menyesal terkadang datang. Berawal dari lupa, anakku yang menerima akibatnya. Andai tak kulakukan, mungkin anakku tidak seperti ini sekarang.
"Ah, itu semua hanyalah mitos. Sebenarnya tidak ada hubungan diantaranya, namun pola pikir kita yang membuat hal itu menjadi nyata, anggep aja lagi sial." Lilik mencoba membelaku.
Kupandang lagi bayi yang tertidur pulas itu, ada perban putih menutup dua bekas jahitan di tubuhnya. Perawat menidurkannya dengan posisi miring.
"Mau dikasih nama siapa anak kita, Dek?" Mas Harto bertanya padaku.
Kutatap malaikat kecil di depanku. Jagoan tampan, wajahnya mirip seperti bapaknya. Namanya harus menggambarkan siapa dia. Prasetyo, artinya setia.
"Beri dia nama belakang yang sama denganmu, Mas, Prasetyo!"
"Lalu nama depannya? Bagaimana kalau kita beri nama, Anton?" Usul suamiku.
"Anton Aji Prasetyo," sambungku kemudian.
"Nama yang bagus," ucap Lilik.
Seorang perawat, menghampiri ranjang jagoan kecilku, ia membawa buku dan alat tulis.
"Kata Pak dokter, Besok bayinya sudah boleh dibawa pulang," ucapnya dengan seulas senyum di bibir.
"Alhamdulilah, makasih ya mbak!" Aku mengucap syukur penuh kelegaan.
Perawat itu berlalu, melanjutkan tugasnya. menuju ranjang lainnya. Memeriksa lalu menulis sesuatu pada buku di tangannya.
Simbok, Lilik, juga suamiku tersenyum senang. Akhirnya jagoan kami bisa dibawa pulang ke rumah. Sebuah rumah sederhana, menjadi tempat berteduh kala panas dan hujan.
Ada banyak hal yang harus kami persiapkan saat tiba di rumah nanti. Walaupun terlihat sederhana, rumah yang dibangunkan Simbok telah membuatku belajar hidup mandiri dan tidak menyusahkan orangtua.
Bersambung ...
Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam.Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup."Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat.Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah
Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi."Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku."Ning, bangun ning!"Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.
πππ"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton."Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokt
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
πππAnton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan."Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto."Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian."Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela
πππRoda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya."Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi."Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan mengg
πππMalam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya.Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan."Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari b
πππ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
πππTut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
πππ"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
πππ"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
πππTakdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
πππAini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan
πππHidup itu terlalu singkat, untuk digunakan membenci. Jangan menghabiskan energi dengan membenci orang-orang yang telah menyakiti, karena kita diturunkan dari langit sana, sekedar turun minum. Saat dahaga hilang, kita akan terbang melayang kembali pulang. Sesaat yang terasa lama.Setiap manusia hanya menunggu giliran untuk kembali, boleh jadi sekarang giliran mereka, besok bisa jadi giliran Hening dan lusa adalah giliranmu. Setidaknya lebih baik pergi lebih dulu. Agar tak perlu menangisi orang yang belum tentu kehilanganmu.Hening ingin segera pergi, raganya sudah tak kuat menanggung rasa sakit, berkali ia menyebut nama Tuhan, lalu
πππSayup-sayup suara sirine mobil, telah berhenti. Tak berapa lama Suara pintu mobil dibuka, lalu ranjangku diturunkan dari dalam mobil.Aku hanya terbaring lemas menahan rasa sakit di sekitar panggul. Lemah dan tak berdaya hanya pasrah menurut kemana ranjang dibawa.Ranjang bergerak dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit, nyata atau hanya ilusi kulihat Mas Harto tetap menggenggam jemariku mengikuti arah kemana ranjang menggelinding.Seperti adegan-adegan drama di salah satu stasiun televisi yang sering kutonton. Dimana pemeran protogo
πππ"A-air β¦," desisku. Betapa aku sangat merasa kehausan. Kerongkongan terasa kering. Entah kapan terakhir kali aku minum.Lilik yang tanggap langsung mengambilkan segelas air putih di atas nakas, kemudian menyangga kepalaku agar bisa minum.Pelan kunikmati air putih itu, seteguk dua teguk, tak terasa air dalam gelas tandas kuminum."Ini, dimana?" gumamku."Ini klinik Dokter Bobby mbak," jawab Lilik menjelaskan.