“Pak Ervin.”
“Ck! Kok aku kesel ya setiap denger kamu manggil aku pake embel-embel ‘Pak’ padahal nggak ada orang lain di ruangan ini.”
Lily terbahak mendengar gerutuan Ervin. Mereka tidak bersahabat, tidak sedekat itu. Tapi seringnya intensitas orang tua mereka berkumpul, membuat Lily kenal dengan semua anak di keluarga Candra. Hubungan mereka lebih seperti adik dan kakak.
“Kata Om Naren, biar kamu inget umur dan tanggung jawab. Makanya titel ‘Pak’ layak disematkan di depan namamu.”
“Nurut banget sama papaku? Yang nanti ngasih rekomendasi hasil magangmu aku loh, bukan Papa.”
Lily mencibir ucapan Ervin. “Kalau kamu nggak mau ngeluarin, aku yakin Om Naren mau ngeluarin selembar sertifikat magang buat aku, dan sertifikat magang dari Candra Group lebih mentereng daripada sertifikat dari anak perusahaan Candra Group.”
Sialan! Apa yang dikatakan Lily memang benar. Ervin hanya bekerja di salah satu anak perusahaan Candra Group. Tentu saja ia hanya remahan rempeyek dibanding papanya yang menjadi Direktur Utama Candra Group—sebuah holding company dengan puluhan anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor, salah satunya perusahaan retail tempat Ervin bekerja sebagai Direktur Pemasaran.
Catat! Direktur Pemasaran.
Bukan Direktur Utama.
Itu pun setelah Ervin berjuang pontang-panting menjadi marketing strategist selama tiga tahun.
“Jadwalku apa hari ini?”
“Ke AB Department Store cabang Pondok Indah. Penjualan di sana menurun drastis.”
Senyum Ervin mengembang seketika dan Lily yang melihat senyum Ervin itu langsung mendengkus kasar. Dia tahu Ervin sedang mendekati Priscilia—Manager Store di sana.
“Ayo, berangkat sekarang,” ajak Ervin yang langsung berdiri dan merapikan kemejanya. Ia tidak suka tampil formil layaknya direktur yang lain. Baginya kemeja lengan panjang dan celana bahan sudah cukup, kecuali ia harus menghadiri meeting resmi.
Bukan hanya itu alasan sebenarnya. Di dalam hatinya ia juga tahu, lengan kemeja panjang yang digulung hingga sesiku adalah imajinasi para wanita.
Perkara pakaian ini penting, karena Ervin tidak mau mangsanya lari. Mengenakan pakaian berdasi dengan jas bukan hal yang bagus untuk menarik hati wanita di usia dua puluhan. Mereka bisa-bisa lari tunggang langgang karena mengira didekati om-om girang.
“Nanti yang presentasi Priscilia langsung kan?” tanya Ervin begitu mereka masuk ke dalam mobil.
“Iya. Semangatnya bisa biasa aja nggak?”
“Aku selalu serius sama kerjaanku, Lil. Jadi kalo pas kamu lagi ngobrol sama papaku, tolong sampaikan itu.”
“Sama kerjaan serius, sama cewek kapan seriusnya?”
Ervin mengedikkan bahu.
“Apa enaknya sih, Vin? Nggak ada gitu di antara mereka yang bikin kamu jatuh cinta?”
“Nggak.”
“Terus kamu deketin mereka dasarnya apa kalo bukan cinta?”
“Tertarik aja. Bedakan tertarik sama jatuh cinta, Lil.”
Lily tidak ragu untuk menunjukkan rasa bingungnya. Selama ini mangsa Ervin memang beragam. Bukan seseorang yang memiliki ciri fisik tertentu. Cantik pasti, tapi selain itu, benar-benar random. “Syarat untuk bikin kamu tertarik apa?”
“Nggak tau. Ya … cuma tertarik aja. Kamu ngerti nggak sih Lil, kayak ada yang bikin aku pengen noleh terus ke dia gitu.”
“Dasar, playboy!” Lily masih menggerutu saking kesalnya. Kalau saja ia tidak mengenal Ervin sejak dulu, mungkin sekarang ia bisa melemparkan apa pun di tangannya ke arah laki-laki itu. Tapi Lily tahu, di balik sikap Ervin itu, Ervin adalah laki-laki yang berani berdiri di garda terdepan kalau keluarganya disakiti. Itu saja kebaikan Ervin yang perlu diingat-ingat Lily untuk meredam emosinya.
***
“Pagi, Pak,” sapa Priscilia, ketika Ervin tiba di lantai 3 departmen store—yang merupakan kantor kecil untuk beberapa orang yang memegang jabatan strategis di sana.
Tidak ada ruang yang dikhususkan untuk rapat, jadi Ervin memilih duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.
Priscilia memerintahkan seseorang menyiapkan minum untuk Ervin.
Sementara Ervin mengulas senyum lebar meskipun ia tahu kedatangannya ke sana untuk meninjau kinerja cabang departmen store itu yang mendadak turun drastis. Akan tetapi senyum Priscilia mampu membuat Ervin menekan rasa kesalnya atas kinerja mereka.
Priscilia masih menjadi salah satu kandidat pacar berikutnya, karena itu Ervin berusaha membantu memecahkan masalah yang terjadi di cabang itu sukarela, walau harusnya hal seperti itu bisa diselesaikan oleh manager store.
Usai meeting singkat, Ervin mengajak Priscilia untuk makan siang bersama.
“Mbak Lily ikut?” tanya Priscilia saat melihat Lily masih mengekori mereka berdua.
Lily tersenyum canggung. Ia masih belum bisa mencerna nada suara Priscilia, sekadar bertanya atau sebenarnya menyindir.
Ervin menatap Lily sesaat, tidak tega kalau harus meminta Lily pergi. Tapi Lily pasti menghancurkan makan siangnya kalau diajak berbagi meja. “Lily ikut aja nggak apa-apa kan, soalnya tadi berangkat ke sini satu mobil,” putus Ervin akhirnya.
Senyum Priscilia menyusut beberapa mili. “It’s ok.”
‘Cih! Siapa juga yang mau nonton Ervin pedekate. Yang ada kubocorin kalo dia juga lagi ngedeketin beberapa cewek lain.’
“Saya nanti pisah meja aja, Pak, Bu.” Lily masuk ke dalam mobil yang dikendarai Ervin. Kalau saat berangkat tadi ia duduk di samping pengemudi, sekarang Lily memilih duduk di kursi penumpang belakang.
“Maaf ya, Vin. Aku sampe bikin kamu repot-repot dateng ke sini.”
Ervin tersenyum simpul. “Masalah sepele sih, Cil. Tapi memang harus cepet diselesaikan. Aku mau lihat progress-nya bulan depan ya. Soalnya bulan depan bakal ada rapat gabungan dewan direksi sama dewan komisaris. Kamu nggak mau kan aku dimaki-maki di rapat itu?”
‘Waaah! Smooth abis. Pantesan pada klepek-klepek.’ Lily merutuki aksi Ervin yang sebenarnya sedang menekan kinerja Priscilia dengan cara se-smooth itu, sampai-sampai Priscilia memamerkan senyuman lebarnya.
“Kamu mau makan apa? Ke mall biasanya aja kan?”
Priscilia mengangguk. “Sushi gimana?”
“Boleh.”
“Vin, aku kan—” Lily menegur ervin begitu Ervin mengiakan ajakan Priscilia untuk makan sushi.
Ervin baru ingat kalau Lily tidak suka sushi dan alergi pada ikan mentah. “Eh, sorry, Cil. Lily nggak bisa makan sushi.”
Priscilia mengerucutkan bibirnya.
“Lily ini anak sahabat papaku. Kalau alerginya kambuh pas lagi sama aku, yang berakhir di rumah sakit bukannya Lily, tapi aku. Makan yang lain aja ya.”
“Ok, kalo gitu terserah kamu aja, aku bisa makan apa pun kok.”
Ketiganya berjalan bersama menuju tempat makan ramen yang memiliki franchise hampir di setiap mall besar.
Tiba-tiba Lily menarik lengan Ervin sambil berbisik dan menunjuk ke arah lain dengan dagunya. “Vin, code blue.”
Ervin tahu code blue adalah kode yang biasa dipakai di dunia medis untuk menunjukkan keadaan emergency. Ervin berjengit kaget saat tatapannya mengikuti ke mana arah yang ditunjuk Lily, dan menemukan seorang perempuan tengah menatap ke etalase salah satu toko.
Sejujurnya Lily ingin terbahak melihat tingkah Ervin. Tapi salah satu tugasnya sebagai sekretaris Ervin adalah seperti ini, memperingatkan Ervin keadaan genting. Dan menurut Lily ini adalah salah satu keadaan genting, di mana dua wanita yang sedang didekati Ervin secara bersamaan berada dalam jarak sedekat ini.
‘Kenapa ada Arla di sini?’
Bahaya! Tidak mungkin ia bertemu dengan Arla selagi ada Priscilia di sampingnya. Bisa gagal dua-duanya, padahal ia sudah sejauh ini melakukan pendekatan dengan Priscilia. Dan ia tidak mungkin mengabaikan Arla begitu saja. Wanita itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Tolong lupakan sebentar Ema, Luna, dan Rista (kandidat yang lain) karena keadaannya sedang genting.
‘Shit! Shit! Shit! Mikir, Vin!’
“Do something, Lil!” bisik Ervin.Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?“Bastian—”“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”“Gue suka lihat matanya.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lil
“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu."Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda. Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai."Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantark
“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.“Arla? Ngapain di sini?”“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi
Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.“Kamu
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
Diam-diam Ervin mengedarkan pandangan ke arah unit apartemen yang baru saja dimasukinya.Unit apartemen itu memiliki dua kamar, satu kamar mandi, ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang televisi, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur."Silakan duduk." Alice memilih duduk di ujung sofa dengan sisi lebih pendek, membiarkan Ervin dan Arla duduk di bagian sofa yang panjang karena sofa itu berbentuk letter L.Alice sengaja diam, sejak tadi ia belum mendengar nama lelaki yang duduk di samping adiknya itu.“Ca n'avait rien à voir avec lui.” (Ini semua nggak ada hubungannya sama dia).Ervin refleks menoleh ke arah Arla begitu mendengar Arla berbicara bahasa Perancis kepada kakaknya dengan lancar.“Kamu … bisa bahasa Perancis, La?”Alice menahan tawanya saat melihat ekspresi bingung lelaki itu.“Saya boleh tau nama kamu? Biar gampang saya manggilnya.”Ervin kemudian beralih menatap Alice dan tiba-tiba salah tingkah saat sadar ia belum memperkenalkan diri. “Saya Ervin, Kak.”“Panggil Alice
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal