"Arla!"
Arla menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara teriakan dari seberang telepon yang membuat telinganya berdengung.
"La. Makan di luar yuk."
"Hmmm. Ok. Tapi aku yang milih tempat ya. Ada cafe yang mau kudatengin. Gimana?"
"Ok, see you at lobby. Aku lagi jalan ke kantormu."
Risma—sahabat Arla itu bekerja di kantor notaris yang jaraknya hanya dua gedung dari tempat Arla bekerja. Sudah hampir dua tahun ini mereka menyewa apartemen berdua, hubungan mereka sudah lebih dari sekadar sahabat. Teman satu atap lebih tepatnya.
Arla tergesa membereskan barangnya. Setelah itu, ia langsung menuju lobby, dan menemukan Risma yang sudah menunggunya di dekat pintu lobby.
"Yuk."
"Cafe baru, La?"
"Nggak tau juga sih baru atau nggaknya. Aku udah ke sana tadi siang. Makanannya enak. Tapi karena aku kenyang, jadi nggak bisa nyobain semuanya. Makanya pengen balik lagi."
Risma hanya mengangguk-angguk saja, mengekori Arla menuju ke mobilnya yang terparkir di barisan paling dekat dengan jalan raya.
Arla mengulum senyumnya sepanjang perjalanan. 'Kalau bisa ketemu lagi, berarti takdir.'
***
"Maaf, Kak. Non smoking areanya penuh."
"Yaaah." Arla mendesah kecewa. Hampir satu jam ia bergelut dengan padatnya jalanan ibu kota di saat rush hour, dan sekarang ia harus menerima kenyataan dengan tidak tersedianya tempat di cafe itu.
"Ya udah, La. Cari tempat lain."
"Don. Ada satu meja kosong di rooftop," ujar salah satu pramusaji yang baru turun dari tangga.
"Oh, ternyata ada yang kosong, Kak. Tapi di rooftop itu smooking area."
Arla dan Risma saling tatap, mempertimbangkan segala hal. Mereka memang tidak terlalu suka berada di smoking area, bau asap rokok itu mengganggu pernapasan mereka ditambah sisa asapnya yang pasti melekat di seluruh tubuh. Tapi perjalanan mereka sudah terlalu panjang untuk sampai ke café itu.
“Ya udahlah, kita tahan-tahan aja bentar. Karena di rooftop, moga-moga dapet meja yang arah anginnya nggak ke kita.”
Setelah Risma memberikan persetujuannya, barulah Arla mengangguk kepada pramusaji di depannya itu. Ia tidak menyangka kondisi café akan sangat ramai di malam hari. Ia kira kondisinya akan seperti siang hari—yang padat tapi masih selalu tersisa meja kosong karena banyak pelanggan makan terburu demi kembali menghadapi dunia kerja.
Keduanya menaiki tangga yang terletak di sudut café. Rooftop café itu terletak di lantai 3, dan saat melewati lantai 2, Arla mengedarkan pandangannya. Semua meja memang terisi penuh dan tidak ada orang yang dicarinya.
“Silakan, di sini, Kak,” ucap pramusaji yang mengantar mereka. “Untung cuma ada teman-teman bos, mereka nggak ngerokok, kalau ada yang ngerokok biasanya minggir di tempat yang agak jauh,” terang pramusaji itu yang membuat Risma mengangguk-angguk.
Namun tidak dengan Arla yang matanya sudah tertuju pada satu titik. Tidak sia-sia siang tadi ia mengorek informasi dari kasir di café itu.
Tadi siang, saat ia membayar makanan yang dipesannya dan dipesan Rista ke kasir, kasir itu dengan sopan mengatakan kalau makanan mereka ‘nanti’ akan dibayar oleh Ervin yang keluar dari tempat itu satu jam lebih dulu dibanding Arla. Arla sempat mengernyit bingung mendengar kata ‘nanti’ yang diucapkan kasir itu. Artinya Ervin benar-benar pelanggan reguler kalau sampai kasir pun percaya padanya.
Dan dengan kemampuan Arla berbicara—yang dia sendiri bingung didapatkannya dari mana—kasir itu mengeluarkan satu informasi penting untuk Arla, bahwa Ervin adalah sahabat dari pemilik café itu, yang hampir setiap hari dan setiap malam datang ke café.
“Kamu pesen apa, La?” tanya Risma yang sudah menentukan pilihan pesanannya dan menyampaikannya kepada pramusaji.
“Aglio olio.” Arla menimbang sesaat. Oh no, mulutnya akan bau bawang kalau nanti ia berkesempatan untuk bicara dengan Ervin. “Eh, nggak jadi, jangan aglio olio. Hmm … nasi daun jeruk aja sama lime ice.”
“Mata dikondisikan, Arla!” Risma bukannya tidak tahu kalau mata Arla sejak tadi tertuju pada sekumpulan lelaki muda bergaya eksmud yang duduk di dekat pagar rooftop.
Arla memutus pandangannya yang sejak tadi sedang mengamati sosok Ervin dan langsung beralih pada Risma. “Diiih posesif deh.”
“Ada yang kamu incer?”
Tawa renyah keluar dari mulut Arla. Ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari temannya yang satu ini. Bagaimana pun juga hidup di dalam unit apartemen yang sama membuat kedekatan mereka layaknya kakak adik atau sahabat yang super duper dekat.
“Tapi yang satu ini kayaknya player deh, kalo dapet yang gini agak malesin sih sebenernya. Udahlah ngomongin yang lain aja.” Arla berusaha mengalihkan pembicaraan karena kalau mereka tetap pada pembahasan itu, kepala Arla tidak tahan untuk menoleh ke arah Ervin.
“Bentar, aku ke toilet dulu ya.”
***
“Rame terus ya café lu, Bas,” seru Adit yang memperhatikan dua wanita tiba di area rooftop.
“Thanks loh, kehadiran kalian juga berpengaruh banyak.” Bastian tergelak. Kapan lagi dia bisa memanfaatkan tampang teman-temannya kan.
Ervin ikut terbahak dan saat ia menoleh, sosok wanita—yang siang tadi menantangnya—muncul lagi.
“Damn it!” maki Ervin.
“Apa sih?” tanya Bas.
“Hah? Nggak, nggak.” Ervin menggeleng-geleng.
Shit! Dia belum sempat mencari nama panjang Arla. Siapa pula yang menyangka kalau pertemuan kedua mereka secepat ini.
Tapi kenapa Arla kembali lagi ke café itu? Apa Arla sengaja? Tapi dari mana Arla tahu kalau dirinya sering berkumpul bersama teman-temannya di café itu?
***
“Arla.” Ervin mengejar Arla yang sepertinya menuju toilet di lantai 1. Astaga! Gara-gara Arla ia harus naik turun tangga beberapa kali.
Ervin mengacak rambutnya dengan frustasi. ‘Kalo sampe gue nggak bisa deketin dia ….’
Arla sempat terkejut karena mendengar suara yang memanggilnya berasal dari ujung koridor di lantai 2. Ada sebuah pintu kayu bercat coklat gelap di sana. Sepertinya Ervin baru keluar dari ruangan itu.
“Hai, Vin. Ke sini lagi?” tanya Arla basa-basi. Kapan Ervin turun dari rooftop? Kenapa dia tidak menyadarinya?
“Kamu juga, ke sini lagi?”
“Makanannya enak, tadi siang kekenyangan mau nyoba menu yang lain, jadi ke sini lagi pas malem buat nyaba menu lain. Kamu?” pancing Arla.
“Ini café temenku sih. Aku sama temen-temen jadi sering ngumpul di sini sejak café ini buka.”
Arla mengangguk singkat, walau ia sudah tahu kenyataan itu. “Aku ke toilet dulu ya.”
Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, sambil berkaca dan merapikan diri, Arla tersenyum geli. ‘Dia pasti belum tau nama panjangku, makanya cuma ngajak ngobrol dan nggak berani lagi minta nomor hp. Lagian dia mau dapet dari mana nama panjangku? Kelurahan?’
Arla masih mempertahankan senyum gelinya saat keluar dari toilet, hingga senyuman itu luntur dengan sendirinya. Ervin bersandar di tembok, seperti sengaja menunggunya keluar dari toilet.
“Kamu—”
“Iya, aku nunggu kamu.”
Smooth! Arla semakin yakin kalau lelaki di hadapannya ini pro player, bukan dalam artian gamer—walaupun Arla juga tidak tahu, siapa tahu Ervin memang benar-benar pro player sebuah game—tapi yang ada di pikiran Arla adalah pro player untuk menaklukkan wanita.
“Ada apa? Oooh iya, aku belum ganti makan siang yang tadi kamu bayarin.”
Ervin terkekeh kecil. Apalah arti mentraktir mangsanya untuk makan siang di café milik Bastian. “Nggak usah. Kan aku yang nraktir.”
“Aku nggak ada alasan untuk nerima traktiranmu.”
Jual mahal! Ok!
“Sebagai permintaan maafku udah numpahin minuman ke rok kamu, Arlanda Aksara.”
Arla meneguk ludahnya dengan susah payah, sementara Ervin menyeringai sambil menyodorkan ponselnya ke arah Arla.
“Your number, please.”
‘What the hell! Apa laki-laki ini punya teman di dukcapil, kelurahan, atau kepolisian, sampai bisa tau nama panjangku dalam hitungan jam?’
“Da … dari mana kamu tau nama panjangku?”
“You don’t need to know, just give me your number.”
***
Risma menepuk-nepuk perutnya yang terlihat lebih buncit setelah mereka berdua berada di dalam mobil. “Kenyang banget, La. Emang enak banget makanannya, pantes cafénya rame.”
“Iya kan. Worth it lah ya ngabisin hampir sejam di jalan.”
Risma mengangguk-angguk antusias. “Pemandangannya juga cakep.”
Ganti Arla yang mengernyit bingung. “Perasaan kita tadi nggak deket pager rooftop deh. Kan yg deket pager rooftop ditempatin cowok-cowok.”
“Justru itu, pemandangannya cakep.”
Arla terbahak begitu menyadari apa yang tersirat di balik ucapan sahabatnya.
“Lengkap kan, makanan enak, pemandangan cakep, ada undian berhadiahnya lagi.
“Undian berhadiah?”
“Iya, tapi pas aku ke toilet, ada pegawai café yang ngasih aku lembaran survey buat diisi gitu. Nanti diundi di akhir bulan, hadiahnya macem-macem katanya.”
“Oh ya? Kok aku nggak diminta ngisi? Tadi siang juga nggak.”
“Punyamu kuisiin tadi. Orang pertanyaannya cuma suka atau nggak aja sama makanan yang dipesen, dan kulihat matamu sampe merem melek gitu pas makan, artinya suka kan, yaudah kuiisiin aja.”
“Oooh.” Arla menganguk-angguk paham, sampai … sesuatu menyadarkannya. “Survey-nya anonim?”
“Ya nggak lah, Arlaaa. Kan nanti ada undian berhadiahnya. Ya diminta ngisi nama lengkap sama nomor telepon.”
“Damn it! Pantes aja dia tau namaku. Trus kalo udah dapet nomor teleponku juga ngapain pake nanya lagi? Dasar player! Pasti mau show off doang.”
“Hah, siapa yang tau namamu? Siapa yang player?”
“Pak Ervin.”“Ck! Kok aku kesel ya setiap denger kamu manggil aku pake embel-embel ‘Pak’ padahal nggak ada orang lain di ruangan ini.”Lily terbahak mendengar gerutuan Ervin. Mereka tidak bersahabat, tidak sedekat itu. Tapi seringnya intensitas orang tua mereka berkumpul, membuat Lily kenal dengan semua anak di keluarga Candra. Hubungan mereka lebih seperti adik dan kakak.“Kata Om Naren, biar kamu inget umur dan tanggung jawab. Makanya titel ‘Pak’ layak disematkan di depan namamu.”“Nurut banget sama papaku? Yang nanti ngasih rekomendasi hasil magangmu aku loh, bukan Papa.”Lily mencibir ucapan Ervin. “Kalau kamu nggak mau ngeluarin, aku yakin Om Naren mau ngeluarin selembar sertifikat magang buat aku, dan sertifikat magang dari Candra Group lebih mentereng daripada sertifikat dari anak perusahaan Candra Group.”Sialan! Apa yang dikatakan Lily memang benar. Ervin hanya bekerja di salah satu anak perusahaan Candra Group. Tentu saja ia hanya remahan rempeyek dibanding papanya yang menj
“Do something, Lil!” bisik Ervin.Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?“Bastian—”“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”“Gue suka lihat matanya.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lil
“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu."Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda. Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai."Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantark
“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.“Arla? Ngapain di sini?”“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi
Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.“Kamu
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
Arla menoleh ke ujung tangga, menyaksikan seorang laki-laki yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati, kini melangkah tergesa ke arahnya dan membantunya berdiri.Ervin hanya menatap lelaki yang berdiri sekitar dua meter di dekat Arla dengan tatapan membunuh. Mungkin ia memang beberapa kali menyakiti hati perempuan, tapi tidak sekalipun ia pernah menyakiti perempuan secara fisik. Ervin dengan pemikirannya yang sempit. Padahal sakit hati tetaplah terasa sakit, mungkin lebih sakit daripada sekadar kaki yang keseleo.“Kamu nggak apa-apa, La?”Akhirnya dengan bantuan dari Ervin, Arla bisa berdiri lagi, meski kini hanya menopangkan berat tubuhnya pada kaki kirinya yang masih bisa berdiri tegak, sementara kaki kanannya sepertinya terkilir.“Ini yang baru, La?” Raihan menunjuk Ervin dengan dagunya.Arla tidak suka dibentak, apalagi dikasari. Buatnya, lelaki seperti itu harus ditenggelamkan ke dasar bumi. Lebih baik tidak hidup sama sekali demi membuat bumi ini damai.“Urus aja ur
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal