Share

2 Sang Playgirl

"Arla!"

Arla menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara teriakan dari seberang telepon yang membuat telinganya berdengung.

"La. Makan di luar yuk."

"Hmmm. Ok. Tapi aku yang milih tempat ya. Ada cafe yang mau kudatengin. Gimana?"

"Ok, see you at lobby. Aku lagi jalan ke kantormu."

Risma—sahabat Arla itu bekerja di kantor notaris yang jaraknya hanya dua gedung dari tempat Arla bekerja. Sudah hampir dua tahun ini mereka menyewa apartemen berdua, hubungan mereka sudah lebih dari sekadar sahabat. Teman satu atap lebih tepatnya.

Arla tergesa membereskan barangnya. Setelah itu, ia langsung menuju lobby, dan menemukan Risma yang sudah menunggunya di dekat pintu lobby.

"Yuk."

"Cafe baru, La?"

"Nggak tau juga sih baru atau nggaknya. Aku udah ke sana tadi siang. Makanannya enak. Tapi karena aku kenyang, jadi nggak bisa nyobain semuanya. Makanya pengen balik lagi."

Risma hanya mengangguk-angguk saja, mengekori Arla menuju ke mobilnya yang terparkir di barisan paling dekat dengan jalan raya.

Arla mengulum senyumnya sepanjang perjalanan. 'Kalau bisa ketemu lagi, berarti takdir.'

***

"Maaf, Kak. Non smoking areanya penuh."

"Yaaah." Arla mendesah kecewa. Hampir satu jam ia bergelut dengan padatnya jalanan ibu kota di saat rush hour, dan sekarang ia harus menerima kenyataan dengan tidak tersedianya tempat di cafe itu.

"Ya udah, La. Cari tempat lain."

"Don. Ada satu meja kosong di rooftop," ujar salah satu pramusaji yang baru turun dari tangga.

"Oh, ternyata ada yang kosong, Kak. Tapi di rooftop itu smooking area."

Arla dan Risma saling tatap, mempertimbangkan segala hal. Mereka memang tidak terlalu suka berada di smoking area, bau asap rokok itu mengganggu pernapasan mereka ditambah sisa asapnya yang pasti melekat di seluruh tubuh. Tapi perjalanan mereka sudah terlalu panjang untuk sampai ke café itu.

“Ya udahlah, kita tahan-tahan aja bentar. Karena di rooftop, moga-moga dapet meja yang arah anginnya nggak ke kita.”

Setelah Risma memberikan persetujuannya, barulah Arla mengangguk kepada pramusaji di depannya itu. Ia tidak menyangka kondisi café akan sangat ramai di malam hari. Ia kira kondisinya akan seperti siang hari—yang padat tapi masih selalu tersisa meja kosong karena banyak pelanggan makan terburu demi kembali menghadapi dunia kerja.

Keduanya menaiki tangga yang terletak di sudut café. Rooftop café itu terletak di lantai 3, dan saat melewati lantai 2, Arla mengedarkan pandangannya. Semua meja memang terisi penuh dan tidak ada orang yang dicarinya.

“Silakan, di sini, Kak,” ucap pramusaji yang mengantar mereka. “Untung cuma ada teman-teman bos, mereka nggak ngerokok, kalau ada yang ngerokok biasanya minggir di tempat yang agak jauh,” terang pramusaji itu yang membuat Risma mengangguk-angguk.

Namun tidak dengan Arla yang matanya sudah tertuju pada satu titik. Tidak sia-sia siang tadi ia mengorek informasi dari kasir di café itu.

Tadi siang, saat ia membayar makanan yang dipesannya dan dipesan Rista ke kasir, kasir itu dengan sopan mengatakan kalau makanan mereka ‘nanti’ akan dibayar oleh Ervin yang keluar dari tempat itu satu jam lebih dulu dibanding Arla. Arla sempat mengernyit bingung mendengar kata ‘nanti’ yang diucapkan kasir itu. Artinya Ervin benar-benar pelanggan reguler kalau sampai kasir pun percaya padanya.

Dan dengan kemampuan Arla berbicara—yang dia sendiri bingung didapatkannya dari mana—kasir itu mengeluarkan satu informasi penting untuk Arla, bahwa Ervin adalah sahabat dari pemilik café itu, yang hampir setiap hari dan setiap malam datang ke café.

“Kamu pesen apa, La?” tanya Risma yang sudah menentukan pilihan pesanannya dan menyampaikannya kepada pramusaji.

“Aglio olio.” Arla menimbang sesaat. Oh no, mulutnya akan bau bawang kalau nanti ia berkesempatan untuk bicara dengan Ervin. “Eh, nggak jadi, jangan aglio olio. Hmm … nasi daun jeruk aja sama lime ice.”

“Mata dikondisikan, Arla!” Risma bukannya tidak tahu kalau mata Arla sejak tadi tertuju pada sekumpulan lelaki muda bergaya eksmud yang duduk di dekat pagar rooftop.

Arla memutus pandangannya yang sejak tadi sedang mengamati sosok Ervin dan langsung beralih pada Risma. “Diiih posesif deh.”

“Ada yang kamu incer?”

Tawa renyah keluar dari mulut Arla. Ia memang tidak bisa menutupi apa pun dari temannya yang satu ini. Bagaimana pun juga hidup di dalam unit apartemen yang sama membuat kedekatan mereka layaknya kakak adik atau sahabat yang super duper dekat.

“Tapi yang satu ini kayaknya player deh, kalo dapet yang gini agak malesin sih sebenernya. Udahlah ngomongin yang lain aja.” Arla berusaha mengalihkan pembicaraan karena kalau mereka tetap pada pembahasan itu, kepala Arla tidak tahan untuk menoleh ke arah Ervin.

“Bentar, aku ke toilet dulu ya.”

***

“Rame terus ya café lu, Bas,” seru Adit yang memperhatikan dua wanita tiba di area rooftop.

“Thanks loh, kehadiran kalian juga berpengaruh banyak.” Bastian tergelak. Kapan lagi dia bisa memanfaatkan tampang teman-temannya kan.

Ervin ikut terbahak dan saat ia menoleh, sosok wanita—yang siang tadi menantangnya—muncul lagi.

“Damn it!” maki Ervin.

“Apa sih?” tanya Bas.

“Hah? Nggak, nggak.” Ervin menggeleng-geleng.

Shit! Dia belum sempat mencari nama panjang Arla. Siapa pula yang menyangka kalau pertemuan kedua mereka secepat ini.

Tapi kenapa Arla kembali lagi ke café itu? Apa Arla sengaja? Tapi dari mana Arla tahu kalau dirinya sering berkumpul bersama teman-temannya di café itu?

***

“Arla.” Ervin mengejar Arla yang sepertinya menuju toilet di lantai 1. Astaga! Gara-gara Arla ia harus naik turun tangga beberapa kali.

Ervin mengacak rambutnya dengan frustasi. ‘Kalo sampe gue nggak bisa deketin dia ….’

Arla sempat terkejut karena mendengar suara yang memanggilnya berasal dari ujung koridor di lantai 2. Ada sebuah pintu kayu bercat coklat gelap di sana. Sepertinya Ervin baru keluar dari ruangan itu.

“Hai, Vin. Ke sini lagi?” tanya Arla basa-basi. Kapan Ervin turun dari rooftop? Kenapa dia tidak menyadarinya?

“Kamu juga, ke sini lagi?”

“Makanannya enak, tadi siang kekenyangan mau nyoba menu yang lain, jadi ke sini lagi pas malem buat nyaba menu lain. Kamu?” pancing Arla.

“Ini café temenku sih. Aku sama temen-temen jadi sering ngumpul di sini sejak café ini buka.”

Arla mengangguk singkat, walau ia sudah tahu kenyataan itu. “Aku ke toilet dulu ya.”

Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, sambil berkaca dan merapikan diri, Arla tersenyum geli. ‘Dia pasti belum tau nama panjangku, makanya cuma ngajak ngobrol dan nggak berani lagi minta nomor hp. Lagian dia mau dapet dari mana nama panjangku? Kelurahan?’

Arla masih mempertahankan senyum gelinya saat keluar dari toilet, hingga senyuman itu luntur dengan sendirinya. Ervin bersandar di tembok, seperti sengaja menunggunya keluar dari toilet.

“Kamu—”

“Iya, aku nunggu kamu.”

Smooth! Arla semakin yakin kalau lelaki di hadapannya ini pro player, bukan dalam artian gamer—walaupun Arla juga tidak tahu, siapa tahu Ervin memang benar-benar pro player sebuah game—tapi yang ada di pikiran Arla adalah pro player untuk menaklukkan wanita.

“Ada apa? Oooh iya, aku belum ganti makan siang yang tadi kamu bayarin.”

Ervin terkekeh kecil. Apalah arti mentraktir mangsanya untuk makan siang di café milik Bastian. “Nggak usah. Kan aku yang nraktir.”

“Aku nggak ada alasan untuk nerima traktiranmu.”

Jual mahal! Ok!

“Sebagai permintaan maafku udah numpahin minuman ke rok kamu, Arlanda Aksara.”

Arla meneguk ludahnya dengan susah payah, sementara Ervin menyeringai sambil menyodorkan ponselnya ke arah Arla.

“Your number, please.”

‘What the hell! Apa laki-laki ini punya teman di dukcapil, kelurahan, atau kepolisian, sampai bisa tau nama panjangku dalam hitungan jam?’

“Da … dari mana kamu tau nama panjangku?”

“You don’t need to know, just give me your number.”

***

Risma menepuk-nepuk perutnya yang terlihat lebih buncit setelah mereka berdua berada di dalam mobil. “Kenyang banget, La. Emang enak banget makanannya, pantes cafénya rame.”

“Iya kan. Worth it lah ya ngabisin hampir sejam di jalan.”

Risma mengangguk-angguk antusias. “Pemandangannya juga cakep.”

Ganti Arla yang mengernyit bingung. “Perasaan kita tadi nggak deket pager rooftop deh. Kan yg deket pager rooftop ditempatin cowok-cowok.”

“Justru itu, pemandangannya cakep.”

Arla terbahak begitu menyadari apa yang tersirat di balik ucapan sahabatnya.

“Lengkap kan, makanan enak, pemandangan cakep, ada undian berhadiahnya lagi.

“Undian berhadiah?”

“Iya, tapi pas aku ke toilet, ada pegawai café yang ngasih aku lembaran survey buat diisi gitu. Nanti diundi di akhir bulan, hadiahnya macem-macem katanya.”

“Oh ya? Kok aku nggak diminta ngisi? Tadi siang juga nggak.”

“Punyamu kuisiin tadi. Orang pertanyaannya cuma suka atau nggak aja sama makanan yang dipesen, dan kulihat matamu sampe merem melek gitu pas makan, artinya suka kan, yaudah kuiisiin aja.”

“Oooh.” Arla menganguk-angguk paham, sampai … sesuatu menyadarkannya. “Survey-nya anonim?”

“Ya nggak lah, Arlaaa. Kan nanti ada undian berhadiahnya. Ya diminta ngisi nama lengkap sama nomor telepon.”

“Damn it! Pantes aja dia tau namaku. Trus kalo udah dapet nomor teleponku juga ngapain pake nanya lagi? Dasar player! Pasti mau show off doang.”

“Hah, siapa yang tau namamu? Siapa yang player?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status