Berjalan tergesa, Arla memasuki Artco café yang siang itu tampak cukup ramai karena mendekati jam makan siang. Hampir semua meja telah terisi, tapi ia menemukan sebuah meja kosong yang berada di sudut café.
Arla hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapati pesan dari calon rekanan tempatnya bekerja yang menyampaikan kalau mereka akan sedikit telat karena terjebak kemacetan.
Setelah memesan minum, Arla mengedarkan pandangan ke sekitar. Menemukan hampir semua meja diisi oleh orang-orang kantoran yang menyempatkan diri untuk me-refresh otak dengan makan siang di café. Matanya kemudian tanpa sengaja bertatapan dengan seorang pria yang juga memandang ke arahnya.
Beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya. Sudah biasa bukan dirinya ditatap penasaran oleh orang lain karena sepintas lewat ia terlihat berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Darah Prancis yang masih ada di dalam dirinya adalah penyebab utama. Tanpa menggunakan soft lens, manik matanya sudah berwarna hazel alami. Tanpa perlu cat rambut, rambutnya sudah berwarna coklat gelap.
***
"Vin, arah jam lima dari tempat lo."
Dengan radar yang dimilikinya, Ervin tahu siapa yang dimaksud Bastian dengan 'arah jam lima'.
Ervin terkekeh geli, menertawakan temannya yang sepertinya sudah hapal dengan seleranya. Bahkan kini temannya itu yang lebih antusias menjaring mangsa untuknya, sementara dirinya tinggal melaksanakan eksekusi.
"She's so damn hot, Bro. Lo kenal gue banget ya."
"Kenal selera lo lebih tepatnya."
Ervin melirik ke arah sasarannya. But holy shit, wanita itu juga sedang menatapnya.
Wanita itu bertubuh ramping proporsional. Dari posisi duduknya, terlihat kalau tingginya lebih dari normalnya wanita Indonesia. Rambut coklat gelap sebahu membuatnya sekilas tampak seperti orang asing, warna kulitnya pun bukan putih ala wanita Indonesia, lebih seperti kulit wanita Eropa. Tapi Ervin yakin dia orang Indonesia ketika wanita itu tadi tersenyum kepada seorang pramusaji.
Ervin terbahak sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekati mangsanya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju meja yang ditempati perempuan itu, dan ketika ia sudah mencapai sisi meja, tangannya diayunkan 'seolah-olah' tak sengaja menyenggol gelas minuman yang ada di atas meja perempuan itu.
Klasik!
Namun caranya terbukti berhasil menjebak puluhan wanita.
Ervin Adinata Candra, si playboy cap kadal buntung, tidak pernah gagal mendapatkan wanita yang diinginkannya. Dengan fisik rupawan, otak cerdas, dan kekayaan keluarganya, rasanya hampir semua wanita rela menjadi mangsanya.
Tak terkecuali yang satu ini.
Wanita yang bagian bawah roknya basah akibat terkena tumpahan dari jus yang disenggol Ervin itu bergegas berdiri. Kemarahannya lenyap saat melihat sosok Ervin yang berdiri dengan rasa bersalah di depannya sambil mengulurkan saputangan branded dari sakunya.
Wanita itu mengucapkan terima kasih, lalu dengan sungkan menerima saputangan yang disodorkan kepadanya. Dia bukannya tidak tahu merk. Selembar saputangan itu ditaksirnya berharga tiga jutaan.
"Kamu setelah ini ada acara?" tanya Ervin sambil tetap menunjukkan raut bersalah.
"Ada sih. Nggak apa-apa kok, kayaknya bentar lagi juga kering."
"Aduh, gimana ya? Kamu di sini masih lama nggak?"
"Mungkin. Soalnya aku lagi nunggu seseorang dan orang yang aku tunggu sampai sekarang belum dateng."
Ervin menahan seringainya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padanya.
"Kalo gitu tunggu sebentar ya." Ervin menyingkir sedikit ke samping, menghubungi sekretarisnya. Usai memutus panggilan teleponnya, dia kembali ke meja perempuan itu. "Boleh aku duduk di sini? Anggep aja nemenin kamu sampai temanmu datang. Sekalian ada yang harus aku pertanggungjawabkan."
Meskipun bingung, wanita itu mengangguk, membiarkan lelaki yang baru ditemuinya duduk satu meja dengannya. Ia tidak perlu khawatir kan? Saat ini ia berada di tempat umum dan rasanya lelaki seganteng itu tidak akan melakukan hal buruk padanya.
"Kita belum kenalan." Lugas Ervin mangatakannya. Entah berapa lusin wanita yang sudah mendengar ucapan semacam ini darinya. "Aku Ervin."
Wanita itu menyambut tangan Ervin, "Arla."
"Arla." Ervin mengulang memanggil nama Arla. "Namamu bagus. Boleh tau nama panjangmu?"
Arla tak tahan lagi dan kelepasan menertawakan permintaan Ervin. "Buat apa? Aku khawatir dipelet. Meskipun jaman udah semaju ini, tapi masih ada loh yang begitu."
Ervin hampir menampar mulutnya sendiri. Untuk apa ia menanyakan nama lengkap wanita itu. Toh Mawar, Sari, Dina, atau siapa pun itu hanya akan menambah daftar kontak di ponselnya. Kalau bertemu orangnya lagi, Ervin pasti tidak ingat. Untuk yang satu ini, ia benar-benar mirip papanya, tidak ingat deretan mantan pacarnya.
"Sorry, aku cuma ngerasa namamu unik."
"Oh ya?" Arla mengernyit tidak percaya.
"Hmm. Aku belum pernah punya cew ... eh maksudku temen dengan nama Arla."
"Then now you have one."
"Nggak ada temen yang nggak saling nyimpen nomor hp."
Sial! Arla terjebak. Ingin rasanya Arla memberikan standing ovation untuk Ervin yang bisa dengan mulusnya melancarkan trik. Padahal saat Ervin menumpahkan minuman di atas mejanya, seribu persen Arla yakin bahwa hal itu adalah sebuah kesengajaan. Trik klasik untuk mengajak berkenalan lawan jenis.
Tapi Ervin salah kalau mengira bisa mendapatkan nomor ponsel Arla semudah itu.
Hey! Ini seorang Arla, yang jumlah pacarnya bisa untuk diajak melakukan demo massa.
"Let's make a deal!" tawar Arla. "Kalau di pertemuan kita berikutnya, kamu bisa tau nama lengkapku, aku bakal ngasih nomor hpku."
"Dari mana kamu tau kita bakal ketemu lagi?"
"Justru itu. Serahkan ke takdir. Mungkin kita bisa ketemu lagi, mungkin juga nggak."
Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. ‘Takdir mungkin untuk masalah jodoh, Babe. Tapi masalah pertemuan, aku bisa menjadikannya takdir.’
"Aku pesenin minum lagi ya. Mau yang sama atau ganti?"
"Nggak usah repot-repot."
"Nggak repot kok, kan cuma manggil pramusaji."
Ok, kali ini harus Arla akui kalau Ervin menarik. Point plus untuknya karena Ervin menyebut istilah yang biasa disebut orang 'pelayan' dengan 'pramusaji'. Itu menunjukkan kalau Ervin menghargai orang lain.
Keduanya mengobrol santai selama beberapa saat. Acara mengobrol santai itu berubah menjadi makan siang bersama manakala orang yang ditunggu Arla dan sekretaris yang ditunggu Ervin belum juga tiba.
“Setelah ini kamu ada acara, La?”
Arla mengecek jam di layar ponselnya. “Karena aku bukan bos besar … ya aku harus balik ke kantor.”
Ervin terkekeh mendengarnya. “Bos besar bahkan biasanya nggak sempet keluar makan siang,” timpal Ervin.
“Oh ya? Emang kamu nggak biasa keluar makan siang?”
“Aku? Aku kan bukan bos besar. Jelas aku masih sempet keluar makan siang.”
“But your style—"
Ervin menggeleng cepat. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Arla itu, seorang wanita yang mengenakan wrap dress berwarna beige datang tergopoh dan berhenti tepat di samping Ervin.
Wanita itu membenarkan letak kacamatanya sebelum berbicara kepada bosnya yang juga adalah anak sahabat papanya. “Siang, Pak Ervin. Ini yang tadi Pak Ervin minta,” tukas Lily sambil menyerahkan sebuah paper bag ke arah Ervin.
“Thanks, Lil.”
Lily hanya bisa menahan geraman kesalnya. Andai tidak ada orang lain di tempat itu, ia pasti sudah menoyor kepala Ervin yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Tapi salahnya juga yang memilih untuk magang di kantor Ervin, walaupun sebenarnya ia bisa magang di kantor mamanya.
“Pak Ervin kembali ke kantor? Saya bawa mobil sendiri, barangkali Bapak mau nebeng sama saya.”
Harusnya Ervin sadar tatapan Lily menyiratkan sebuah ancaman, ‘Balik ke kantor sekarang, atau kulaporkan ke papamu!’
Namun, bukannya takut, Ervin justru tergelak. “Aku bawa mobil sendiri, Lil. Lagian aku masih ada urusan bentar. Nggak perlu lapor Papa, ok? Sebelum jam dua aku pastiin aku udah sampe kantor.”
“Ok.” Lily lantas berlalu setelah mengangguk dan tersenyum singkat pada wanita yang duduk di seberang Ervin. ‘Erviiin, bener-bener nggak ada kapoknya. Mangsa yang ke berapa ini? Perasaan tadi pagi udah dapet mangsa di coffee shop deket kantor.’
“Sorry, La. Itu tadi sekretarisku, anak sahabatnya papaku. Dia cuma sok formal aja karena lagi magang di kantorku. Padahal keluarganya punya perusahaan sendiri. Oh ya, ini, kamu ganti baju dulu ya. Kan nggak enak kamu pakai baju basah untuk ketemu orang.” Ervin menggeser paper bag di depannya ke arah Arla.
“Aku jadi nggak enak banget kalo gini, Vin. Beneran nggak apa-apa padahal. Bentar lagi juga kering.”
“Jangan nolak, please. Senggaknya, kamu kasihan sama Lily yang udah kuminta nyariin baju ganti buat kamu.”
Menghela napas pasrah, Arla meraih paper bag di hadapannya, melongok sebentar ke dalam paper bag dan berakhir dengan menahan napasnya ketika melihat merk yang ada di dalamnya. “Aku … ganti baju sebentar kalau gitu,” pamit Arla yang kini melangkah ke toilet dengan senyum mengembang.
“It’s easy!” Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. Satu lagi perempuan berhasil ia jerat.
***
Sesaat kemudian Arla kembali dengan penampilan barunya. Square G check tweed dress dari salah satu brand ternama menempel pas di tubuhnya.
Ervin terkesiap beberapa detik. Mata hazel dan rambut coklat tua milik Arla benar-benar serasi dengan pakaiannya saat ini.
“You look good.”
“Thank you.” Arla baru akan menggeser kursi untuk didudukinya saat layar ponsel Ervin yang diletakkan di tengah-tengah meja tiba-tiba saja menyala, dan terkutuklah matanya yang menangkap pop up notification di layar ponsel lelaki itu.
-Mia-
-Sandra-
-Rena-
Semua pesan berisikan hal serupa, ucapan kangen dan ajakan bertemu. For the God’s sake, Arla baru sadar kalau lelaki di dekatnya itu memang luar biasa tampan dan terlihat kaya, pantas saja laris manis.
Ervin membalik ponselnya setelah Arla duduk dengan nyaman di kursi, mencoba untuk tidak salah tingkah karena ia yakin Arla menangkap pop up notification di ponselnya. “Kayaknya udah waktunya aku balik. Next time, aku jamin bisa dapat nomor hpmu.”
Arla tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin sekarang giliran Ervin menemui wanitanya yang lain. ‘He’s a player, indeed.’
"Arla!"Arla menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara teriakan dari seberang telepon yang membuat telinganya berdengung."La. Makan di luar yuk.""Hmmm. Ok. Tapi aku yang milih tempat ya. Ada cafe yang mau kudatengin. Gimana?""Ok, see you at lobby. Aku lagi jalan ke kantormu."Risma—sahabat Arla itu bekerja di kantor notaris yang jaraknya hanya dua gedung dari tempat Arla bekerja. Sudah hampir dua tahun ini mereka menyewa apartemen berdua, hubungan mereka sudah lebih dari sekadar sahabat. Teman satu atap lebih tepatnya.Arla tergesa membereskan barangnya. Setelah itu, ia langsung menuju lobby, dan menemukan Risma yang sudah menunggunya di dekat pintu lobby."Yuk.""Cafe baru, La?""Nggak tau juga sih baru atau nggaknya. Aku udah ke sana tadi siang. Makanannya enak. Tapi karena aku kenyang, jadi nggak bisa nyobain semuanya. Makanya pengen balik lagi."Risma hanya mengangguk-angguk saja, mengekori Arla menuju ke mobilnya yang terparkir di barisan paling dekat dengan jalan raya.A
“Pak Ervin.”“Ck! Kok aku kesel ya setiap denger kamu manggil aku pake embel-embel ‘Pak’ padahal nggak ada orang lain di ruangan ini.”Lily terbahak mendengar gerutuan Ervin. Mereka tidak bersahabat, tidak sedekat itu. Tapi seringnya intensitas orang tua mereka berkumpul, membuat Lily kenal dengan semua anak di keluarga Candra. Hubungan mereka lebih seperti adik dan kakak.“Kata Om Naren, biar kamu inget umur dan tanggung jawab. Makanya titel ‘Pak’ layak disematkan di depan namamu.”“Nurut banget sama papaku? Yang nanti ngasih rekomendasi hasil magangmu aku loh, bukan Papa.”Lily mencibir ucapan Ervin. “Kalau kamu nggak mau ngeluarin, aku yakin Om Naren mau ngeluarin selembar sertifikat magang buat aku, dan sertifikat magang dari Candra Group lebih mentereng daripada sertifikat dari anak perusahaan Candra Group.”Sialan! Apa yang dikatakan Lily memang benar. Ervin hanya bekerja di salah satu anak perusahaan Candra Group. Tentu saja ia hanya remahan rempeyek dibanding papanya yang menj
“Do something, Lil!” bisik Ervin.Untung saja perhatian Priscilia sedang teralihkan ke etalasa sebuah toko jam tangan, hingga kasak-kusuk yang terjadi antara Ervin dan Lily luput dari perhatiannya.“Aku juga?” Lily mendelik kesal pada Ervin. Job desk sekretarisnya semakin melebar ke mana-mana. Selain kerjaan kantor, sekarang ia juga bertugas membelikan baju untuk bakal calon pacarnya, mengingatkan Ervin jadwal bertemu dengan mereka agar tidak bentrok, mencarikan hadiah kalau salah satu wanitanya itu berulang tahun, dan sekarang ia juga harus memutar otak untuk membuat Arla tidak bertemu dengan Priscilia?“Bastian—”“Sialan lo!” Lily tahu ke mana arah pembicaraan Ervin kalau sudah menyebutkan nama Bastian. Itu tanda ancaman untuknya.“Ajak Arla ke atas, makan apa kek. Aku sama Priscilia di lantai ini. Nanti aku ke atas juga buat nemuin Arla.”“Lah, ngapain sih? Ribet amat.”“Gue suka lihat matanya.”Lily memutar kedua bola matanya dengan malas.Ervin mengulum senyumnya saat melihat Lil
“Arla. Gimana? Udah dapet kabar dari supplier pastry-nya?"Arla yang tengah mengecek laporan triwulanan yang dikirimkan dari cabang menatap bingung ke arah bosnya yang baru datang ke kantor sore itu."Loh kok Ibu masuk? Bukannya kata Ibu hari ini mau di rumah aja?"Wanita berusia lima puluhan yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya itu berdiri anggun di hadapan Arla. "Bosen saya di rumah." Wanita itu tergelak. Beberapa pegawai yang melewatinya mengangguk singkat. Kehadiran bos besar di sore hari, dekat dengan jam pulang kantor, biasanya menjadi hal yang tidak menyenangkan, tapi bos mereka ini berbeda. Work life balance-nya benar-benar dijaga. Jadi mereka tidak perlu khawatir kalau tetap ingin pulang tepat waktu selama pekerjaan mereka sudah selesai."Eh, jadi gimana, mereka sanggup buat jadi supplier pastry kita?"Arla jadi mengingat Rista—yang merupakan perwakilan dari salah satu home catering cake dan pastry—yang saat itu ditemuinya di sebuah café, yang mengantark
“Ervin?” Panggilan Arla itu membuat Ervin mendongak dari layar ponselnya.Arla berhasil menyelinap dari balik punggung Ardi, sambil menunduk berjalan menuju toilet yang ada di sudut ruangan dan kemudian berjalan menghampiri Ervin seakan-akan dia hanya pelanggan biasa di coffee shop itu yang baru kembali dari toilet.“Arla? Ngapain di sini?”“Biasa, urusan kerjaan.” Arla melemparkan senyuman terbaiknya. Untuk yang satu ini ia tidak bohong kan? Ia benar-benar berada di gedung itu karena urusan kerjaan, literally dia memang bekerja di situ, hanya saja fakta itu tidak diungkapkannya. “Kamu?”“Kebetulan lewat trus pengen ngopi.”Arla mengangguk-angguk. “Mau langsung balik atau—”“Kamu ada waktu buat ngobrol dulu sama aku?” tanya Ervin yang tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan sebagus ini. Hanya doa yang dipanjatkannya, semoga pekerjaan mamanya agak lebih lama selesainya. Papanya pasti akan mengumpat kalau tahu ia berdoa seperti ini.“Bisa, bisa. Kamu udah pesen?” Arla hanya berbasa-basi
Arla mendongak, kemudian menghela napas lelah. “Ya lagi makan lah. Pake nanya.” Dengan nada sinis, Arla menjawab pertanyaan lelaki itu.“Galak banget sih, Yang.” Lelaki itu hampir mengusapi puncak kepala Arla lagi sebelum Arla memiringkan kepalanya, berusaha memberi jarak lebih jauh.Ervin masih menahan diri. Sejak tadi ia hanya memperhatikan interaksi keduanya. Kalau ia boleh jujur, harga dirinya lagi-lagi terluka. Setelah Arla menolak dijemput, sekarang ada lelaki lain yang terang-terangan menunjukkan Public Displays of Affection (PDA) di hadapannya.Apa lelaki itu tidak punya mata? Arla sedang bersama dirinya. Berani-beraninya laki-laki itu mendekati Arla. Arla adalah targetnya!“Hei, Arla kayaknya nggak suka kamu sentuh!”Lelaki itu tidak menjawab, hanya menunjukkan seringainya kepada Ervin.“Than, please! Aku ke sini sama … pacarku. Hargai pacarku dong.”Untung saja Ervin sedang tidak mengunyah sesuatu, karena bisa dipastikan ia akan tersedak setelah mendengar ucapan Arla.“Kamu
"Hai.” Ervin menyapa Ema yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.See? Harusnya semudah ini untuk mendapatkan alamat rumah atau kantor dari seorang wanita. Memang hanya Arla yang jual mahalnya kemahalan.“Hai, Vin.” Ema yang berprofesi sebagai influencer itu melemparkan senyum dan segera memasang seat belt-nya. Mungkin dari semua lelaki yang pernah mendekatinya, Ervin adalah yang paling tinggi levelnya, dari segi fisik maupun kekayaan.“So, kita mau ke mana? Kamu mau makan apa?” tanya Ervin.“Hmm … terserah deh.”Ervin menahan helaan napas beratnya yang hampir keluar. Untung sudah ada sebuah tempat di dalam pikirannya. Selalu seperti itu. Ervin pasti akan memikirkan sebuah tempat kalau-kalau wanita yang dibawanya menjawab dengan kata ‘terserah’.“Di PIK ada café yang lagi happening, mau ke sana?”“Boleh, aku ngikut aja.”Salenco, café dua lantai yang mengusung konsep healthy food itu ternyata dari luar lebih terlihat seperti rumah dua lantai dibanding sebuah café.Ema sedikit mengernyi
0821 4545 xxxx: ArlaDahi Arla mengernyit heran. Baru jam 6 pagi. Terlalu pagi rasanya seorang penipu mengirim chat padanya. Tapi ia belum menyimpan nomor orang yang baru saja menghubunginya via chat room.Lalu sesaat kemudian, nomor yang sama mengiriminya pesan lagi.0821 4545 xxxx: It’s me0821 4545 xxxx: Raihan0821 4545 xxxx: Bisa ketemu La?0821 4545 xxxx: Aku udah balik dari AussieAh, Raihan. Mantannya dua tahun lalu. Arla masih ingat, saat itu mereka putus karena Raihan sibuk mengurus persiapan kuliah S3-nya di luar negeri. Kemudian Raihan memintanya untuk serius dengannya dan melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan sebelum Raihan berangkat ke Australia.Hell no! Kata ‘pernikahan’ tidak ada dalam kamus Arla. Maka beberapa detik setelah Raihan memintanya untuk lanjut ke jenjang pernikahan, Arla malah meminta putus dari Raihan.Untuk apa Raihan ingin bertemu dengannya lagi? Apa dia mau meminta maaf karena akhir hubungan mereka yang kurang mengenakkan?Harus Arla akui,
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal