Share

PLAYER
PLAYER
Penulis: Ans18

1  Sang Playboy

Berjalan tergesa, Arla memasuki Artco café yang siang itu tampak cukup ramai karena mendekati jam makan siang. Hampir semua meja telah terisi, tapi ia menemukan sebuah meja kosong yang berada di sudut café.

Arla hanya bisa menghela napas pasrah ketika mendapati pesan dari calon rekanan tempatnya bekerja yang menyampaikan kalau mereka akan sedikit telat karena terjebak kemacetan.

Setelah memesan minum, Arla mengedarkan pandangan ke sekitar. Menemukan hampir semua meja diisi oleh orang-orang kantoran yang menyempatkan diri untuk me-refresh otak dengan makan siang di café. Matanya kemudian tanpa sengaja bertatapan dengan seorang pria yang juga memandang ke arahnya.

Beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya. Sudah biasa bukan dirinya ditatap penasaran oleh orang lain karena sepintas lewat ia terlihat berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Darah Prancis yang masih ada di dalam dirinya adalah penyebab utama. Tanpa menggunakan soft lens, manik matanya sudah berwarna hazel alami. Tanpa perlu cat rambut, rambutnya sudah berwarna coklat gelap.

***

"Vin, arah jam lima dari tempat lo."

Dengan radar yang dimilikinya, Ervin tahu siapa yang dimaksud Bastian dengan 'arah jam lima'.

Ervin terkekeh geli, menertawakan temannya yang sepertinya sudah hapal dengan seleranya. Bahkan kini temannya itu yang lebih antusias menjaring mangsa untuknya, sementara dirinya tinggal melaksanakan eksekusi.

"She's so damn hot, Bro. Lo kenal gue banget ya."

"Kenal selera lo lebih tepatnya."

Ervin melirik ke arah sasarannya. But holy shit, wanita itu juga sedang menatapnya.

Wanita itu bertubuh ramping proporsional. Dari posisi duduknya, terlihat kalau tingginya lebih dari normalnya wanita Indonesia. Rambut coklat gelap sebahu membuatnya sekilas tampak seperti orang asing, warna kulitnya pun bukan putih ala wanita Indonesia, lebih seperti kulit wanita Eropa. Tapi Ervin yakin dia orang Indonesia ketika wanita itu tadi tersenyum kepada seorang pramusaji.

Ervin terbahak sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekati mangsanya. Ia berjalan dengan langkah tegap menuju meja yang ditempati perempuan itu, dan ketika ia sudah mencapai sisi meja, tangannya diayunkan 'seolah-olah' tak sengaja menyenggol gelas minuman yang ada di atas meja perempuan itu.

Klasik!

Namun caranya terbukti berhasil menjebak puluhan wanita.

Ervin Adinata Candra, si playboy cap kadal buntung, tidak pernah gagal mendapatkan wanita yang diinginkannya. Dengan fisik rupawan, otak cerdas, dan kekayaan keluarganya, rasanya hampir semua wanita rela menjadi mangsanya.

Tak terkecuali yang satu ini.

Wanita yang bagian bawah roknya basah akibat terkena tumpahan dari jus yang disenggol Ervin itu bergegas berdiri. Kemarahannya lenyap saat melihat sosok Ervin yang berdiri dengan rasa bersalah di depannya sambil mengulurkan saputangan branded dari sakunya.

Wanita itu mengucapkan terima kasih, lalu dengan sungkan menerima saputangan yang disodorkan kepadanya. Dia bukannya tidak tahu merk. Selembar saputangan itu ditaksirnya berharga tiga jutaan.

"Kamu setelah ini ada acara?" tanya Ervin sambil tetap menunjukkan raut bersalah.

"Ada sih. Nggak apa-apa kok, kayaknya bentar lagi juga kering."

"Aduh, gimana ya? Kamu di sini masih lama nggak?"

"Mungkin. Soalnya aku lagi nunggu seseorang dan orang yang aku tunggu sampai sekarang belum dateng."

Ervin menahan seringainya. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padanya.

"Kalo gitu tunggu sebentar ya." Ervin menyingkir sedikit ke samping, menghubungi sekretarisnya. Usai memutus panggilan teleponnya, dia kembali ke meja perempuan itu. "Boleh aku duduk di sini? Anggep aja nemenin kamu sampai temanmu datang. Sekalian ada yang harus aku pertanggungjawabkan."

Meskipun bingung, wanita itu mengangguk, membiarkan lelaki yang baru ditemuinya duduk satu meja dengannya. Ia tidak perlu khawatir kan? Saat ini ia berada di tempat umum dan rasanya lelaki seganteng itu tidak akan melakukan hal buruk padanya.

"Kita belum kenalan." Lugas Ervin mangatakannya. Entah berapa lusin wanita yang sudah mendengar ucapan semacam ini darinya. "Aku Ervin."

Wanita itu menyambut tangan Ervin, "Arla."

"Arla." Ervin mengulang memanggil nama Arla. "Namamu bagus. Boleh tau nama panjangmu?"

Arla tak tahan lagi dan kelepasan menertawakan permintaan Ervin. "Buat apa? Aku khawatir dipelet.  Meskipun jaman udah semaju ini, tapi masih ada loh yang begitu."

Ervin hampir menampar mulutnya sendiri. Untuk apa ia menanyakan nama lengkap wanita itu. Toh Mawar, Sari, Dina, atau siapa pun itu hanya akan menambah daftar kontak di ponselnya. Kalau bertemu orangnya lagi, Ervin pasti tidak ingat. Untuk yang satu ini, ia benar-benar mirip papanya, tidak ingat deretan mantan pacarnya.

"Sorry, aku cuma ngerasa namamu unik."

"Oh ya?" Arla mengernyit tidak percaya.

"Hmm. Aku belum pernah punya cew ... eh maksudku temen dengan nama Arla."

"Then now you have one."

"Nggak ada temen yang nggak saling nyimpen nomor hp."

Sial! Arla terjebak. Ingin rasanya Arla memberikan standing ovation untuk Ervin yang bisa dengan mulusnya melancarkan trik. Padahal saat Ervin menumpahkan minuman di atas mejanya, seribu persen Arla yakin bahwa hal itu adalah sebuah kesengajaan. Trik klasik untuk mengajak berkenalan lawan jenis.

Tapi Ervin salah kalau mengira bisa mendapatkan nomor ponsel Arla semudah itu.

Hey! Ini seorang Arla, yang jumlah pacarnya bisa untuk diajak melakukan demo massa.

"Let's make a deal!" tawar Arla. "Kalau di pertemuan kita berikutnya, kamu bisa tau nama lengkapku, aku bakal ngasih nomor hpku."

"Dari mana kamu tau kita bakal ketemu lagi?"

"Justru itu. Serahkan ke takdir. Mungkin kita bisa ketemu lagi, mungkin juga nggak."

Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. ‘Takdir mungkin untuk masalah jodoh, Babe. Tapi masalah pertemuan, aku bisa menjadikannya takdir.’

"Aku pesenin minum lagi ya. Mau yang sama atau ganti?"

"Nggak usah repot-repot."

"Nggak repot kok, kan cuma manggil pramusaji."

Ok, kali ini harus Arla akui kalau Ervin menarik. Point plus untuknya karena Ervin menyebut istilah yang biasa disebut orang 'pelayan' dengan 'pramusaji'. Itu menunjukkan kalau Ervin menghargai orang lain.

Keduanya mengobrol santai selama beberapa saat. Acara mengobrol santai itu berubah menjadi makan siang bersama manakala orang yang ditunggu Arla dan sekretaris yang ditunggu Ervin belum juga tiba.

“Setelah ini kamu ada acara, La?”

Arla mengecek jam di layar ponselnya. “Karena aku bukan bos besar … ya aku harus balik ke kantor.”

Ervin terkekeh mendengarnya. “Bos besar bahkan biasanya nggak sempet keluar makan siang,” timpal Ervin.

“Oh ya? Emang kamu nggak biasa keluar makan siang?”

“Aku? Aku kan bukan bos besar. Jelas aku masih sempet keluar makan siang.”

“But your style—"

Ervin menggeleng cepat. Belum sempat ia menjawab pertanyaan Arla itu, seorang wanita yang mengenakan wrap dress berwarna beige datang tergopoh dan berhenti tepat di samping Ervin.

Wanita itu membenarkan letak kacamatanya sebelum berbicara kepada bosnya yang juga adalah anak sahabat papanya. “Siang, Pak Ervin. Ini yang tadi Pak Ervin minta,” tukas Lily sambil menyerahkan sebuah paper bag ke arah Ervin.

“Thanks, Lil.”

Lily hanya bisa menahan geraman kesalnya. Andai tidak ada orang lain di tempat itu, ia pasti sudah menoyor kepala Ervin yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Tapi salahnya juga yang memilih untuk magang di kantor Ervin, walaupun sebenarnya ia bisa magang di kantor mamanya.

“Pak Ervin kembali ke kantor? Saya bawa mobil sendiri, barangkali Bapak mau nebeng sama saya.”

Harusnya Ervin sadar tatapan Lily menyiratkan sebuah ancaman, ‘Balik ke kantor sekarang, atau kulaporkan ke papamu!’

Namun, bukannya takut, Ervin justru tergelak. “Aku bawa mobil sendiri, Lil. Lagian aku masih ada urusan bentar. Nggak perlu lapor Papa, ok? Sebelum jam dua aku pastiin aku udah sampe kantor.”

“Ok.” Lily lantas berlalu setelah mengangguk dan tersenyum singkat pada wanita yang duduk di seberang Ervin. ‘Erviiin, bener-bener nggak ada kapoknya. Mangsa yang ke berapa ini? Perasaan tadi pagi udah dapet mangsa di coffee shop deket kantor.’

“Sorry, La. Itu tadi sekretarisku, anak sahabatnya papaku. Dia cuma sok formal aja karena lagi magang di kantorku. Padahal keluarganya punya perusahaan sendiri. Oh ya, ini, kamu ganti baju dulu ya. Kan nggak enak kamu pakai baju basah untuk ketemu orang.” Ervin menggeser paper bag di depannya ke arah Arla.

“Aku jadi nggak enak banget kalo gini, Vin. Beneran nggak apa-apa padahal. Bentar lagi juga kering.”

“Jangan nolak, please. Senggaknya, kamu kasihan sama Lily yang udah kuminta nyariin baju ganti buat kamu.”

Menghela napas pasrah, Arla meraih paper bag di hadapannya, melongok sebentar ke dalam paper bag dan berakhir dengan menahan napasnya ketika melihat merk yang ada di dalamnya. “Aku … ganti baju sebentar kalau gitu,” pamit Arla yang kini melangkah ke toilet dengan senyum mengembang.

“It’s easy!” Ervin mengangkat satu sudut bibirnya. Satu lagi perempuan berhasil ia jerat.

***

Sesaat kemudian Arla kembali dengan penampilan barunya. Square G check tweed dress dari salah satu brand ternama menempel pas di tubuhnya.

Ervin terkesiap beberapa detik. Mata hazel dan rambut coklat tua milik Arla benar-benar serasi dengan pakaiannya saat ini.

“You look good.”

“Thank you.” Arla baru akan menggeser kursi untuk didudukinya saat layar ponsel Ervin yang diletakkan di tengah-tengah meja tiba-tiba saja menyala, dan terkutuklah matanya yang menangkap pop up notification di layar ponsel lelaki itu.

-Mia-

-Sandra-

-Rena-

Semua pesan berisikan hal serupa, ucapan kangen dan ajakan bertemu. For the God’s sake, Arla baru sadar kalau lelaki di dekatnya itu memang luar biasa tampan dan terlihat kaya, pantas saja laris manis.

Ervin membalik ponselnya setelah Arla duduk dengan nyaman di kursi, mencoba untuk tidak salah tingkah karena ia yakin Arla menangkap pop up notification di ponselnya. “Kayaknya udah waktunya aku balik. Next time, aku jamin bisa dapat nomor hpmu.”

Arla tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin sekarang giliran Ervin menemui wanitanya yang lain. ‘He’s a player, indeed.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status