Arsen membentak Tari istrinya karena setiap dia pulang kerja, Tari selalu mengeluh. Bahkan, Tari meminta seorang pembantu untuk membantu dia mengerjakan tugas rumah dan menjaga 3 anaknya. Mendengar hal itu Arsen makin meradang. Walau sebenarnya dia punya uang untuk itu. Tari yang selalu kena marah suaminya perlahan mulai berubah. Arsen bukannya sadar malah makin bertingkah dengan mulai menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Lebih mirisnya Arsen sampai menikahi perempuan itu. Tari yang sudah tahu sebenarnya hanya bisa diam. Tapi, dibalik diamnya Tari bisa menghasilkan uang banyak yang membuat Arsen menyesal.
Lihat lebih banyak"Ngapain kamu kesini?" Kedatanganku disambut tatapan tak bersahabat dari Mas Fatan. Aku mengulurkan tangan. Namun, Mas Fatan buang pandang seakan tak sudi berjabat denganku. Aku pun menurunkan kembali tangan yang menggantung di udara."Maaf, Mas. Tari dan anak-anak kemana, ya?" Tanyaku sembari melihat ke dalam rumah yang sepi."Tari ga ada!" Cetusnya."Kemana, Mas?" Buruku menahan rasa penasaran. Jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Kemana Tari selarut ini? "Yang pasti tidak sedang mengubar aib ataupun mengadu pada orang lain atas lelahnya dia menjadi istri yang dituntut kuat dan tak boleh mengeluh!"Degh!Apa maksudnya? Belum sempat otakku mencerna ucapan Mas Fatan. Laki-laki itu masuk ke dalam tanpa berkata sepatah katapun padaku, pintu pun di tutup kasar. Aku terduduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumah itu. Tak menyangka kedatanganku justru membuat sakit hati begini [Dek, kamu dimana? Aku ada dirumah, Ibu! Cepat pulang!] Aku mengirim pesan setelah beberapa kali pan
"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya."Oh, ya sudah. Hati-hati, ya." "Iya."Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya."Kenapa?" Rani menatapku lekat."Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit.""Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala."Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?""Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh."Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin."Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. A
Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, ak
Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada yang membukakan seperti biasa. Akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa.Begitu pintu terbuka, rumah yang biasa berantakan kini terlihat begitu rapi. Tak ada satu mainan pun yang berserakan di lantai."Dek ..." aku berjalan ke kamar. Kamar utama pun bersih. Selimut dan bantal tertata di pojok. Tak ada Tari disini. Aku keluar dan masuk ke kamar anak-anak. Kondisinya sama. Ruangan yang biasanya seperti kapal pecah kini begitu sedap di pandang mata."Astaga, kemana sih perempuan itu!" sungutku sambil merongoh ponsel di saku celana.Dua panggilan berlalu tanpa sahutan. Hingga yang ketiga kalinya suara tari terdengar di seberang sana."Kamu dimana sih? rumah kosong begini!" hardikku begitu suara Tari terdengar."Lho, kamu pulang, Mas? Bukankah mau menginap di rumah Mama?" sahutnya santai."Dek, kamu dimana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya."Aku sedang di rumah Ibuku. Aku rasa aku butuh me time untuk mewaraskan piki
[Mas, nanti kalau pulang tolong beliin beras sama minyak, ya. Stok di rumah habis.] Tak lama pesan dari Tari masuk ke ponselku. Aku menghela nafas berat. Baru awal bulan aku membeli beras dalam kemasan lima kilo, baru pertengahan bulan, sudah habis. Begitu juga minyak, aku telah menyetok seliter minyak goreng kemasan untuk bulan ini. Tapi, sudah habis aja.[Kamu jangan boros-boros dong, Dek. Masa tanggal segini sudah habis?] Balasku dengan hati kesal.[Yang makan di rumah ini kan banyak, Mas. Aku juga masak sewajarnya.]Balas Tari. Perempuan itu mulai pandai melawan. Aku menaruh ponsel dia atas meja. Malas menanggapi Tari yang kerjaannya hanya mengeluh tiap hari.***Usai jam kantor berakhir aku segera memacu kuda besiku membelah jalanan kota. Kali ini niatku tidak pulang apalagi membeli beras atau minyak untuk Tari. Biar dia berusaha sendiri mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dia kira mencari uang itu gampang.Maghrib menjelang, aku sampai pada sebuah toko buah. Mampir sejenak membel
"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari."Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian.""Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu." Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam."Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar."Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham."Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepa
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen