Arsen membentak Tari istrinya karena setiap dia pulang kerja, Tari selalu mengeluh. Bahkan, Tari meminta seorang pembantu untuk membantu dia mengerjakan tugas rumah dan menjaga 3 anaknya. Mendengar hal itu Arsen makin meradang. Walau sebenarnya dia punya uang untuk itu. Tari yang selalu kena marah suaminya perlahan mulai berubah. Arsen bukannya sadar malah makin bertingkah dengan mulai menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Lebih mirisnya Arsen sampai menikahi perempuan itu. Tari yang sudah tahu sebenarnya hanya bisa diam. Tapi, dibalik diamnya Tari bisa menghasilkan uang banyak yang membuat Arsen menyesal.
View MoreBayu menatapnya tajam. "Jangan pikir aku bakal ceraiin kamu! Kamu milik aku, Rina!""Aku mau cerai!" Rina berteriak histeris.Bayu mendekat dengan gerakan mengancam, tapi kali ini Alif dan Ammar langsung berdiri di depan Rina, menghalangi pria itu."Kamu coba sentuh dia lagi, aku nggak bakal tinggal diam," suara Alif dingin. Meski sedikit kesal pada tantenya itu, tapi mereka tak terima Bayu menyakiti perempuan yang tak berdaya.Bayu menatap Alif dan Ammar dengan marah, tapi dia sadar dirinya kalah jumlah.Rina menangis tersedu-sedu di sofa.Di sisi lain, Nadhif menunduk. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa dia terjebak di antara rasa bersalah dan kebodohannya sendiri.Dan di tengah semua kekacauan itu…Tari masih belum ditemukan.***Di sudut lain kota, di sebuah tempat yang gelap dan dingin, Tari duduk di lantai dengan tangan terikat di belakang.Mulutnya dibekap, matanya sembab.Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan itu, mendeng
Panik melanda rumah itu. Nadhif berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang, sementara anak-anaknya berkumpul di sekelilingnya. Mereka semua sudah mencoba menghubungi Tari, tapi ponselnya masih tergeletak di kamar."Ayah, ini nggak wajar. Bunda nggak mungkin pergi begitu aja," suara Alisa bergetar.Alif yang baru tiba dari luar kota langsung bertanya, "Udah cari ke rumah sakit? Kantor polisi?""Belum, ayah pikir bundamu cuma butuh waktu sendiri," kata Nadhif pelan."Tapi sekarang udah dua hari, Yah!" Ammar menekan nada suaranya, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.Baru saja mereka hendak mengambil langkah serius untuk mencari Tari, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari depan rumah.BRAK!Pintu pagar didobrak kasar.Mereka semua menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri seorang pria berusia empat puluhan, berperawakan tinggi besar dengan wajah sangar dan kumis tebal. Matanya merah, rambutnya berantakan, dan pakaiannya terlihat kusut.Itu Bayu.Suami Rina."Rina!!" suaranya menggel
"Masih banyak cara lain selain terus-menerus ngasih uang! Apa Mas nggak sadar kalau Mbak Rina itu memanfaatkan Mas?!"Nadhif menegang. "Jangan ngomong gitu, Tari. Mbak Rina bukan orang lain.""Justru karena dia bukan orang lain, seharusnya dia tahu diri!" suara Tari meninggi.Nadhif diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Aku nggak mau bertengkar soal ini, Tari. Aku cuma ingin membantu kakakku."Tari mengepalkan tangannya. "Baik. Kalau Mas tetap mau memenuhi semua permintaan Mbak Rina tanpa peduli sama perasaan aku dan anak-anak, silakan. Tapi jangan salahkan aku kalau aku nggak bisa lagi bersikap baik."Setelah mengucapkan itu, Tari keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk—kesal, marah, dan kecewa.Sementara itu, di luar kamar, Rina sedang duduk santai di ruang tamu, seolah tidak terjadi apa-apa.Dan Tari semakin yakin…Kakak iparnya ini tidak akan pergi dalam waktu dekat.Hari-hari berikutnya, suasana di rumah semakin tegang. Tari mulai menjaga jarak dari Nadhif. Dia lebih se
Hari-hari pertama, Tari masih mencoba bersabar dengan kehadiran Rina di rumah mereka. Tapi semakin lama, sikap kakak iparnya itu benar-benar menguji batas kesabarannya.Rina memperlakukan rumah Tari seolah miliknya sendiri.Pagi itu, Tari yang baru turun dari kamar langsung mengernyit saat melihat ruang tamunya berantakan.Baju-baju berserakan di sofa, beberapa wadah makanan kosong tergeletak begitu saja di meja, dan yang lebih parah, Rina sedang duduk santai di depan televisi sambil mengenakan daster Tari.Tari menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. "Mbak Rina, ini baju aku, kan?"Rina menoleh sekilas, lalu terkekeh. "Iya, Tari. Maaf ya, tadi Mbak kedinginan. Aku lihat bajumu di lemari, jadi kupakai sebentar. Eh, enak banget bahannya!"Tari mengepalkan tangannya erat, mencoba tetap tersenyum. "Kalau Mbak butuh baju, bilang aja. Aku bisa kasih baju lain.""Ah, nggak usah repot-repot! Ini aja enak kok." Rina kembali fokus menonton sinetron di televisi, sama sekali tidak merasa
Jadi ini alasan sebenarnya Rina datang?—Keesokan harinya…Tari sedang duduk di ruang makan bersama anak-anaknya ketika suara bel rumah berbunyi keras.Dari dapur, Rina langsung berseru, "Ah, pasti paket pesanan aku nih!"Namun, saat Tari membuka pintu…Jantungnya langsung mencelos.Seorang pria bertubuh besar dengan wajah garang berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, sorotannya mengancam.Bayu.Suami Rina."Mana istri saya?" suaranya berat dan dingin.Tari terdiam. Ketakutan yang baru saja mereda…Kini muncul lagi. Tari merasa dirinya trauma setelah kejadian kemarin itu.Belum sempat Tari menjawab, suara Rina langsung terdengar dari dalam rumah."Astaghfirullah! Ngapain kamu ke sini, Bayu?!"Rina muncul dari dapur dengan wajah ketakutan, tapi juga marah. Tari melihat ekspresi kakak iparnya berubah drastis—dari sebelumnya yang santai, kini penuh ketegangan.Bayu langsung masuk ke dalam rumah tanpa diundang, langkahnya kasar. Tari refleks mundur, sementara Nadhif yang baru saja kelua
Tari menelan ludah, hatinya mendadak tak enak."Mbak Rina dengar dari siapa?" tanyanya hati-hati.Mbak Rina mengibaskan tangan santai. "Ya, ada lah. Namanya juga kampung, semua orang suka ngomongin urusan orang lain," katanya sambil terkekeh.Nadhif menghela napas, jelas tak nyaman dengan pembicaraan ini."Apa yang mereka bilang?"Rina langsung menaruh tasnya di sofa lalu duduk dengan santai. "Katanya, ada yang meneror kalian? Ada urusan sama orang yang pernah kalian musuhi? Waduh, Ndif… kok hidup kamu jadi kayak sinetron sih?"Tari dan Nadhif saling bertukar pandang. Mereka belum berniat membicarakan masalah ini dengan orang luar, bahkan dengan keluarga sendiri.Tapi Mbak Rina memang selalu begitu. Kepo dan tak bisa menahan rasa ingin tahunya."Udah lah, Mbak. Jangan bahas itu," ujar Nadhif akhirnya.Rina mendengus. "Lho, aku ini kakak kamu! Masa aku nggak boleh tahu masalah keluarga sendiri?"Tari mencoba tersenyum, berusaha menenangkan situasi. "Bukan begitu, Mbak. Masalah ini cuku
Tiba-tiba…Tok… Tok… Tok…Ketukan pelan terdengar dari jendela kamar.Tari menahan napas, jantungnya berdegup kencang.Matanya langsung tertuju pada jendela, tapi yang terlihat hanyalah bayangan hitam di balik tirai.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Nadhif yang tidur di kamar sebelah."Mas… Ada seseorang di luar," bisiknya.Tak sampai satu menit, pintu kamar Tari terbuka, dan Nadhif masuk dengan wajah serius. Ia melangkah cepat menuju jendela, lalu membuka tirai dengan gerakan cepat.Tidak ada siapa-siapa.Namun, sesuatu di lantai luar jendela membuat Tari bergidik ngeri.Sebuah boneka lusuh tergeletak di sana.Dan di dadanya…Terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan yang tidak rapi."Apa kamu takut, Tari?"Tari menggigit bibirnya, napasnya tersengal saat menatap boneka lusuh itu. Tulisan di kertas kecil yang terselip di dadanya membuat bulu kuduknya meremang.Nadhif menatap boneka itu dengan ekspresi gelap. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. Ia segera
Tari menelan ludah, tangannya mulai gemetar.Seolah memahami ada yang tidak beres, Nadhif yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampiri Tari. “Ada apa?”Tari menunjukkan ponselnya.Nadhif membaca pesan itu. Rahangnya mengeras.“Aku akan cari tahu siapa yang mengirim ini.”Tapi Tari tahu… perasaan mencekam yang menyelimutinya tidak akan hilang begitu saja.Ketakutan itu kembali.Kedamaian yang baru saja mereka rasakan…Telah direnggut lagi. Siapa lagi pelakunya? Rio lagi? Apa Elzio? Tak mungkin mereka keluar dari penjara secepat itu?***Malam di vila itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin pantai yang bertiup lembut seharusnya membawa ketenangan, tapi di dalam kamar, Tari justru merasakan hawa yang menyesakkan. Pesan singkat di ponselnya masih terpampang di layar, membuat dadanya semakin berdebar.Siapa pun yang mengirim pesan itu tahu persis bagaimana menghancurkan ketenangannya.Tari menoleh ke arah Nadhif, yang masih berdiri di dekat jendela dengan ekspresi serius. Ia
Keduanya kembali terdiam, hingga akhirnya rasa lelah mengalahkan ketakutan mereka. Perlahan, Alisa pun terlelap dalam genggaman saudari kembarnya.DI TEMPAT YANG BERBEDA…Di dalam ruang tahanan sementara, Rio duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyiratkan kemarahan. Bahunya yang terluka sudah diperban, tapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik.Seorang pria duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi datar.“Kau benar-benar kacau, anak muda.”Rio menoleh, menatap pria itu dengan tajam. “Siapa kau?”Pria itu menyeringai tipis. “Seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya dikhianati.”Rio memicingkan mata. “Apa maksudmu?”Pria itu menyandarkan kepalanya ke dinding. “Hanya saja… aku tertarik padamu. Aku bisa membantumu, jika kau mau.”Rio menyipitkan mata, curiga. “Bantu apa?”Pria itu tertawa kecil. “Balas dendam, tentu saja.”Rio terdiam. Lalu perlahan, sebuah senyum miring terukir di wajahnya.Mungkin… ini kesempatannya. Rasa sakit hati pad
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments