"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya.
"Oh, ya sudah. Hati-hati, ya."
"Iya."
Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya.
"Kenapa?" Rani menatapku lekat.
"Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit."
"Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala.
"Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?"
"Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh.
"Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.
Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin.
"Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. Anak-anak kotor, dekil. Kadang malah aku yang membantu pekerjaan istriku itu." Tari menyimak, wajahnya terlihat penuh empati.
"Makanya, Mama suka kasian. Katanya lebih baik cari istri yang bisa mengurus rumah. Kasian akunya."
Rani menyesap jus didepannya perlahan.
"Kenapa kalian ga mencari pembantu aja sih? anak kamu tiga kan?"
"Tari nya ga mau. Katanya, hanya mengurangi pahala dia sebagai seorang istri." Rani menggeleng-gelengkan kepala. Terpaksa aku memberikan alasan seperti itu, kalau aku bilang yang sebenarnya, pasti Rani pun akan ilfeel padaku.
"Bagus sih alasannya. Tapi, ga logis. Secara dia aja keteteran. Dicarikan pembantu malah nolak. Aneh istri kamu itu!"
"Iya begitu lah. Aku terpaksa sabar, tapi sampai kapan? kamu lihatkan, aku sendiri udah seharian di kantor. Kalau harus bekerja lagi dirumah, capeknya dobel."
Rani meraih tanganku. Matanya juga menatap dalam mataku. Tak kusangka gadis ini begitu percaya dengan cerita yang kukarang dadakan itu. Namanya juga lagi nyari simpati kan?
"Kamu sabar, ya. Aku janji akan menjadi istri yang sempurna untuk kamu nanti."
Yees!!
***
Hari demi hari kedekatan ku dengan Rani makin intens. Setiap hari Rani mengajak ketemuan selepas jam kantor. Dihari libur dia selalu datang ke rumah Mama. Membawa kue yang katanya dibeli dari toko Lestari Jingga itu. Penasaran sih. Tapi masih belum ada waktu untuk kesana. Tari sendiri sibuk mengurus Ibunya. Tak masalah justru itu menguntungkanku.
Sudah hampir dua Minggu tari dan anak-anak menginap dirumah Ibunya. Sangat jarang perempuan itu menghubungiku. Jika, tidak aku yang menelepon maka dia tak akan ingat padaku. Keterlaluan.
"Dek, Ibu belum sembuh?" sore ini entah kenapa ada perasaan rindu pada Tari dan anak-anak.
"Belum." seperti biasa jawabnya singkat.
"Kan ada Mas Fatan? Kamu kan masih punya tanggung jawab mengurus suami?" bantahku.
"Iya, aku tahu. Tapi, saat ini ibu benar-benar tak bisa ditinggal." jawabnya biasa. Aku menghela nafas panjang.
"Anak-anak sehat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sehat."
"Aku pulang kerja ke rumah Ibu, ya?" aku sengaja memancing tanggapan Tari.
"Jangan ... Ga usah. Kamu langsung pulang ke rumah aja. Ibu kalau habis Maghrib udah harus istirahat. Aku takut Ibu terganggu."
"Kamu ga kangen sama aku, Dek?"
"Mas, udah ya. Abrar bangun." sambungan terputus. Si4l. Tari kenapa berubah begitu sekarang. Apa dia benar-benar sudah bisa hidup tanpa suami? buktinya kemarin aku gajian, dia bahkan ga meminta uang padaku. Bagus sih, tapi aneh aja.
Malam ini baru ada rasa sepi. Tak ada Tari dan anak-anak sepi juga ternyata. Dari pada bengong. Aku menghubungi Rani. Hampir sejam aku ngobrol. padahal, tadi sore kami juga sudah bertemu. Tapi tetap candu. Malam ini aku berharap bisa tidur dan memimpikan punya istri sesempurna Rani. Semoga.
Keesokan harinya.
"Mama seneng liat hubungan kalian makin dekat. Sebentar lagi mama bakal punya mantu baru." seru Mama begitu melihatku datang. Aku membuka helm dan menaruh di atas motor.
"Mama, Arsen baru datang udah ngomongin Rani aja." sungutku pura-pura jengkel padahal seneng.
"Mama ga sabar." Mama berjalan di depanku langsung menuju meja makan. Mama tau aku belum sarapan.
"Tari mana mengijinkan, Ma. Arsen takut nanti malah mengecewakan Rani. Tapi, sejujurnya Arsen masih cinta sama dia." aku menyendok makanan ke dalam piring.
"Halah, ga usah mikirin Tari. Dia kan anak orang susah. Mana mungkin mau berpisah. Paling dia yang akan mengemis-ngemis biar kamu ga menceraikan dia."
"Iya juga sih, Ma. Bulan depan ada pemilihan manager baru. Arsen pasti menang. Dan kalau benar menang, Arsen akan segera melamar Rani."
"Terus kalau kalah?" aku menatap Mama.
"Kalau kalah tetap nikah lagi juga. Mau gimana lagi, Arsen sudah nyaman sama Rani."
Mama tertawa kencang. "Dasar kamu ih!"
Sesampainya di kantor. Remon menepuk pundakku kencang.
"Seneng banget romannya Bro?" aku tertawa kecil.
"Biasa aja, Bro."
"Eh, istri lu hebat juga, ya?"
"Hebat apaan?" aku mengernyitkan kening.
Remon memang teman yang paling dekat denganku juga Tari. Dia sering kerumah apalagi saat kelahiran anak-anakku, dia selalu yang pertama datang membawakan kado.
"Tulisannya viral. Buku-bukunya pasti laris manis."
"Tulisan? Buku? apaan sih lu! Tari ga nulis. Dia sibuk ngurus anak!" aku tertawa kencang. Mana mungkin Tari sehebat itu. Mana punya waktu dia
"Lah, masih merendah. Istri gw ngefans tuh sama. istri lu. Kapan lu open house? gw mau ajak Istri gw ketemu istri lu!"
"Jangan becanda, Mon!" sentakku. Tapi, Remon hanya menggelengkan kepala lalu tertawa terbahak-bahak
"Masa lu ga percaya sama gw. Pernah ga gw bohong?"
Aku terdiam. Kemarin Rani yang bilang Tari punya toko kue. sekarang malah Remon. Apakah keduanya sengaja nge-prank aku
?
Lagian, mustahil, mustahil Wei, Tari sehebat itu. Dia kalah jauh sama Rani. Istri yang hanya bisa mengeluh.
"Ngapain kamu kesini?" Kedatanganku disambut tatapan tak bersahabat dari Mas Fatan. Aku mengulurkan tangan. Namun, Mas Fatan buang pandang seakan tak sudi berjabat denganku. Aku pun menurunkan kembali tangan yang menggantung di udara."Maaf, Mas. Tari dan anak-anak kemana, ya?" Tanyaku sembari melihat ke dalam rumah yang sepi."Tari ga ada!" Cetusnya."Kemana, Mas?" Buruku menahan rasa penasaran. Jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Kemana Tari selarut ini? "Yang pasti tidak sedang mengubar aib ataupun mengadu pada orang lain atas lelahnya dia menjadi istri yang dituntut kuat dan tak boleh mengeluh!"Degh!Apa maksudnya? Belum sempat otakku mencerna ucapan Mas Fatan. Laki-laki itu masuk ke dalam tanpa berkata sepatah katapun padaku, pintu pun di tutup kasar. Aku terduduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumah itu. Tak menyangka kedatanganku justru membuat sakit hati begini [Dek, kamu dimana? Aku ada dirumah, Ibu! Cepat pulang!] Aku mengirim pesan setelah beberapa kali pan
"Papa ..." Alif dan Ammar meninggalkan mainan dan berlari ke arahku. Anak tampak begitu rindu. Hampir sebulan tak bertemu, wajar saja. Kami berpelukan. Tari berdiri sambil mengulas senyum. Ada yang beda, Tari kini terlihat lebih bersih dan cantik."Kamu sudah pulang, sayang?" Sapaku, Tari menyambut tanganku yang terulur padanya. Perempuan itu mengangguk. Matanya berbinar."Maafkan aku, Mas. Aku salah selama ini. Sekarang aku sadar, kamu benar. Mulai hari ini aku akan berubah. Dan aku punya kabar bahagia untuk kamu." Aku gemetar mendengar ucapan tari yang terlihat bersemangat. Tapi, dia juga harus tau kabar bahagia yang akan aku sampaikan. Mungkin bahagia untukku tak tau untuknya."Nanti kita ngobrol ya, Dek. Mas bersih bersih dulu." Tari mengangguk. Alif dan Ammar masih memegang kedua tanganku. Kami beriringan masuk ke dalam. Rumah rapi, wangi dan benar benar berubah 180 derjat. Semua hal itu makin membuat suasana hati membaik."Kamu pasti capek ya, seharian membereskan rumah?" ujark
"Tari sudah tau jika Arsen mau menikahi Rani, Ma." Ujarku di telpon pada Mama."Wah, bagus dong! Kamu bisa segera melamar Rani. Mama akan persiapkan semuanya. Kamu mau acara besar-besaran atau gimana?" Tanya Mama. Aku terdiam. Di kantor ini ada larangan karyawannya punya istri lebih dari satu. Jika aku membuat acara dan mengundang teman-teman di sini nyari ma_ti namanya."Acara biasa aja, Ma. Takut nanti ketauan sama orang kantor.""Oke lah. Kamu siapkan dananya biar Mama yang bereskan." "Makasih, ya, Ma.""Iya. Yang penting anak Mama bahagia. Ga capek melihat rumah yang selalu berantakan. Kamu ga salah pilih. Rani memang sudah sangat yang terbaik." Aku tersenyum. Meski ada bisikin yang mengatakan jika apa yang aku lakukan sekarang akan menjadi penyesalan yang teramat dalam nanti. Tapi, itu hanya felling saja. Tak mungkin terjadi. Pilihanku ini pasti benar.Jam sudah menunjukkan angka lima. Aku bergegas hendak pulang."Buru buru amat lu!" Sentak Remon."Iya, ada janji." Sahutku sing
Aku menghela nafas panjang lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Bersih bersih lalu keluar meninggalkan Rani yang masih dalam posisi yang sama."Arsen, itu saudara-saudara Rani kok masih pada disini sih?" bisik Mama begitu aku keluar kamar. Mataku langsung tertuju pada orang-orang yang masih pada tidur diruang tamu beralaskan karpet. Sebagian duduk diluar sambil membakar ro kok dengan santainya."Sabar, Ma. Hanya sebentar, nanti mereka pasti pulang." "Tapi, ga ada yang mau bantuin Mama. Lihat cucian piring menumpuk dan rumah berantakan, ya ampun!" Mama mengaruk kepalanya kasar."Rani belum bangun, ya?" tanya nya lagi. Aku menggeleng."Kamu ga bisa bilang sama mereka, yang muda muda itu lho. Bantuin Mama di dapur. Mama kan juga capek habis pesta kemarin." ujar mama memelas. Aku menoleh sekilas pada saudara-saudara Rani yang masih tidur pulas. Mereka terpaksa menumpang disini karena rumah Ibunya Rani tak muat. Rani pun sudah tidak ngekost lantaran mau tinggal dirumah Mama katanya.
Sekitar sejam aku sampai. Dengan modal bertanya-tanya pada perawat aku sampai diruangan dimana Abrar di rawat. Ruang VIP, gila! Tari, siapa yang mau bayar tagihannya? awas aja kalau sampai meminta padaku. Siapa suruh memesan ruangan mahal begitu. Aku mana punya uang? udah habis untuk pesta kemarin."Dek?" langkahku terhenti begitu melihat sepasang anak manusia berjalan bersisian di depanku. Aku tau persis siapa perempuan yang memakai dress biru selutut dengan rambut sepunggung dan bergelung itu, pasti Tari. Perempuan yang sedang ngobrol laki-laki berjas putih itu menoleh. Begitu juga dengan lelaki disebelahnya. Benar itu Tari. Wajahnya langsung berubah."Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa kabari aku segera, ya." laki-laki yang kutebak adalah dokter yang menangani Abrar itu melempar senyum pada Tari. Tari membalas senyum itu sambil mengangguk. Hatiku kenapa terasa panas begini?Setelah dokter itu pergi, Tari dengan cuek melanjutkan langkah membuatku sedikit berlari mengejar."Kenapa kamu
"Ma, kita ke rumah baru aja. Alif ga mau disini, ga enak!" seru Alif, yang kutangkap. Aku masih belum memberanikan diri masuk, duduk di kursi teras, berharap Tari menghampiri dan menanyakan kabarku juga."Sabar ya, Sayang. Dedek baru sembuh. Nanti kalau dedek Abrar udah pulih, kita ke rumah baru lagi." bujuk Tari."Hore, sama Om Dokter juga ya, Ma. Alif mau main ke timezone lagi, sama Om dokter. Seru!" pekik Alif.Degh! pergi sama Om Dokter. Jangan-jangan benar laki-laki tadi itu selingkuhan Tari? lalu perempuan itu dibelikan mobil dan digratiskan bayar pengobatan Abrar?Rahangku mengeras. Kurang aj*r Tari! tanganku mengepal kuat. Tapi, tak berani masuk karena ada Mas Fatan, Ibu juga seorang perempuan yang kutebak adalah calon istri Mas Fatan."Iya dong, sama Om dokter. Kan Om dokter sekarang yang jagain Alif, Ammar, Abrar dan Mama Tari? ya kan, Tari?" kini suara Mas Fatan terdengar nyaring. Jelas dia sedang memanas-manasiku. Si*l!Dengan api cemburu yang masih sangat membara aku bang
"Selamat, ya!" Ucap Pak Hari begitu aku duduk di depannya. Aku mengernyitkan kening."Selamat untuk apa, Pak?" Tanyaku meski dada ini sudah berdebar kencang. Firasatku mengatakan hal yang buruk akan terjadi. Keringat dingin mulai mengucur dari dalam pori-pori."Selamat untuk kinerja Anda!" Pak Hari tersenyum. Aku menghela napas lega."Anda baru sembuh kan?" Aku mengangguk cepat. "Ini buktinya, Pak. Surat keterangan dari dokter." Aku menyerahkan amplop berisi keterangan bahwa aku memang sakit beberapa hari ini. Pak Hari menerima dengan senyum yang tak biasa. "Oh, diare." Lirihnya setelah membaca surat itu sambil mengangguk-anggukkan kepala."Iya betul, Pak." Sahutku. Ternyata tadi hanya sekedar ketakutan saja karena aku berbohong."Ini surat keterangan dari perusahaan. Silahkan anda buka sendiri. Semoga ga makin ber ak-ber ak, ya." Aku menerima amplop coklat yang diserahkan Pak Hari dengan bingung.."Maksudnya saya dikeluarkan, Pak?" Tanyaku setelah membuka dan membaca isi surat dal
"Lho, kok gitu?""Kata mereka pernikahan dengan polemik poligami itu rawan kegaduhan yang akan menganggu kinerja karyawannya.""Astaghfirullah, trus gimana, Ar? Gimana dengan kita setelah ini? Kuliah adikmu juga gimana?" Tanya Mama panik. Tentu saja aku juga sama paniknya. Mau cari kemana uang 10juta sebulan untuk biaya Mama juga adikku. Belum lagi biaya untuk Tari dan anak-anak. Sekarang ditambah dengan adanya Rani. Duh, Tuhan. Kenapa setelah melaksanakan Sunnah nabi, hidupku jadi kacau begini."Eh, tutup botol! Elu bukan melaksanakan Sunnah Nabi, tapi memuaskan hawa na*su! Sunnah Nabi tidak mendzolimi makhluk Allah yang lain. Tapi, nyatanya elu, menyakiti Tari dan juga anak-anak lu. Kebayang ga betapa terlukanya dia. Dan lu ga mikir, gimana perasaan mertua lu? Saat anak perempuannya disakiti seperti itu. Mikir lu!!" Sentak Remon tadi sebelum berlalu. Aku mengusap wajahku kasar."Mas, aku habis cek out nih si shop*, tranf*rin dong!" Rani datang dengan ponsel ditangannya."Rani, Arsen
Sudah sebulan berlalu sejak malam penuh darah dan ledakan di pelabuhan itu. Nama Arsen akhirnya hanya menjadi baris kecil di koran: “Mantan Narapidana Tewas dalam Baku Tembak dengan Polisi di Sumatera.” Tak ada yang tahu siapa Tari, siapa keluarga yang menjadi saksi hidup kisah kelam itu. Dan memang begitu seharusnya.Tari kini hidup dalam keheningan yang damai.Ia duduk di taman kecil di belakang rumah barunya. Bunga kertas merah jambu tumbuh liar di pagar, sementara burung-burung kecil beterbangan riang di atasnya. Tak ada suara tembakan. Tak ada teriakan. Hanya napasnya sendiri, yang kini tak lagi berat.Ia menuliskan kata terakhir di buku yang sudah ia isi berbulan-bulan:"Aku pernah mengeluh. Tapi dari keluhanku, aku belajar mengenal diriku sendiri. Dan dari rasa sakitku, aku belajar... bahwa aku tak harus jadi sempurna, cukup jadi kuat. Cukup jadi aku."Pena ditutup. Buku itu disimpan.Alisa datang menghampirinya sambil membawa dua gelas es teh. “Bunda... kelihatan cantik banget
Suara tembakan menggema.Arsen terhuyung.Dari belakangnya, Ammar berdiri dengan pistol yang baru saja ditembakkan. Matanya berair, tubuhnya gemetar.“Kau… sentuh ibu kami lagi… aku bunuh kau,” desisnya.Arsen tersenyum samar… lalu jatuh ke lantai.Tim medis langsung masuk. Semua siaga. Bom ditemukan… dan berhasil dijinakkan dalam detik-detik terakhir.**Pagi itu, matahari akhirnya terbit di rumah itu dengan damai.Tari duduk di teras, menatap langit. “Sudah selesai?” tanyanya pelan.Kellan mengangguk. “Sudah. Arsen tewas. Semua alat peledaknya sudah diambil. Tidak akan ada ancaman lagi.”Tari menarik napas panjang, lalu menatap anak-anaknya yang tertidur di sofa.“Sekarang… kami bisa hidup lagi.”"Iya. Sisanya serahkan pada kami. Kalian tenang lah..bahaya sudah berakhir."Akhirnya semua komplotan penjahat yang berkumpul didaerah sumatera juga ikut di tangkap. Ketua geng yang merupakan orang terkaya pun turut di giring ke penjara.***Pagi itu berbeda. Tak ada jeritan, tak ada sirene
Hari-hari setelah kepulangan Tari dipenuhi keheningan yang aneh. Rumah itu perlahan kembali menemukan ritmenya, namun trauma masih berdiam di setiap sudut. Tari masih belum bisa tidur nyenyak, dan anak-anaknya mulai melindungi ibu mereka dengan cara yang berbeda—lebih waspada, lebih posesif.Namun, mereka semua tahu satu hal: Arsen belum meninggal. Dia masih memulihkan badan untuk kembali menganggu kehidupan sang mantan.**Di sebuah fasilitas bawah tanah yang tersembunyi di tengah kota pelabuhan, Arsen berdiri di hadapan cermin. Separuh wajahnya masih cacat, namun sorot matanya bahkan lebih tajam dari sebelumnya. Luka itu hanya membuatnya lebih berbahaya. Di belakangnya, layar besar menampilkan wajah-wajah: Nadhif. Tari. Anak-anak mereka. Bahkan Kellan.“Operasi terakhir,” gumamnya.Sebuah pintu baja terbuka. Seorang pria berpakaian militer masuk dan menyodorkan tas hitam berisi alat peledak dan senjata. “Ini misi bunuh diri, Bung. Tapi bayarannya besar.”Arsen tersenyum bengis. “Aku
Tari memejamkan mata. Ada luka di dalam hatinya yang masih sulit dijelaskan. Tapi satu hal yang pasti… ia tidak akan lagi jadi korban.“Terima kasih,” ucapnya pelan.“Belum selesai,” kata Kellan sambil menatap ke arah luar tenda. “Masih ada yang harus kita bersihkan.”Di kejauhan, di balik reruntuhan bunker, sebuah tangan muncul dari bawah puing-puing yang hangus. Pelan-pelan, seseorang bangkit dengan napas berat, mata merah membara.Arsen… masih hidup.***Sisa malam di perbukitan Sialang masih beraroma mesiu. Asap tipis naik dari reruntuhan bunker yang kini hanya menyisakan kawah hangus di tengah hutan. Namun, di balik kabut itu, kehidupan yang tak seharusnya selamat perlahan merangkak keluar.Arsen.Tubuhnya berlumuran darah dan debu, napasnya berat dan tak beraturan. Separuh wajahnya terbakar, tapi matanya—mata itu tetap sama. Penuh obsesi. Penuh dendam.“Ini belum akhir…” bisiknya pelan sambil menatap ke arah bulan.**Di tenda medis darurat, Tari masih duduk diam, mencoba memuli
Langit malam di atas perbukitan Sialang kini dipenuhi suara baling-baling helikopter yang memecah keheningan. Cahaya sorot terang dari udara perlahan mengarah ke gudang tua tempat Arsen menyekap Tari. Di dalam, suasana menjadi kacau. Pria-pria bersenjata mulai siaga, radio mereka memancarkan suara-suara panik.“Helikopter tak dikenal mendekat dari utara! Kita diserang!” teriak salah satu penjaga.Arsen mencengkeram lengan Tari, matanya menyipit tajam. “Cepat! Kita pindah sekarang!”Tari ditarik paksa melewati lorong gudang, namun pikirannya kini tidak lagi sekadar ketakutan. Kata-kata Kellan terus terngiang di benaknya: “Bertahan. Kita bisa jatuhkan mereka semua.”Di luar, pasukan tak dikenal mulai turun dengan tali dari helikopter, mengenakan seragam hitam tanpa identitas jelas. Mereka bergerak cepat dan senyap, seperti bayangan malam. Di antara mereka, Kellan muncul, kini dalam pakaian lengkap dengan emblem merah samar di bahunya.“Target visual. Arsen dan perempuan bersama. Bergera
"Sial! Mereka datang lebih cepat dari yang kita duga!" maki salah satu pria bersenjata.Tanpa membuang waktu, mereka segera menyeret Arsen keluar. Tari mencoba mundur, berharap bisa menghindari kekacauan ini, tetapi tangan Arsen dengan sigap menangkap pergelangan tangannya."Jangan berpikir untuk lari. Kau ikut denganku," ucapnya tegas.Tari memberontak, namun cengkeraman Arsen terlalu kuat. "Lepaskan aku! Aku tidak mau ikut denganmu!"Namun, Arsen tidak peduli. Ia menarik Tari ke luar pos keamanan, tepat saat suara tembakan kembali menggema. Petugas yang tersisa mulai membalas tembakan para penyerang. Tari menutup telinganya, napasnya memburu. Ini bukan sekadar penculikan—ini medan perang.Salah seorang pria berbadan besar membuka pintu sebuah mobil hitam yang telah menunggu tak jauh dari pelabuhan. "Masuk!"Arsen menarik Tari masuk ke dalam mobil bersamanya, sementara anak buahnya menembakkan beberapa peluru terakhir sebelum mereka ikut melompat ke dalam kendaraan.Dengan suara mera
Sementara itu, di sebuah lokasi rahasia di Sumatra, seorang pria bertubuh besar duduk di kursi kayu dengan wajah dingin. Dia adalah salah satu ketua geng besar di sana, seorang pria yang telah menaruh harapan besar pada Arsen untuk menjalankan bisnisnya."Apa maksudnya Arsen tertahan di pelabuhan?" suaranya bergetar marah.Seorang anak buahnya menunduk, tampak enggan memberikan laporan. "Sepertinya dia tertangkap oleh petugas saat hendak menyeberang dengan seorang wanita."Pria itu mendengus. "Ah, perempuan! Selalu masalahnya itu pada pertemuan. NORAK! Aku sudah menyiapkan segalanya untuknya di sini. Dia tidak boleh gagal. Kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?"Anak buahnya mengangguk. "Ya, Bos. Kami akan bertindak cepat."Di pelabuhan, Tari belum menyadari bahwa rencana penyelamatan bagi Arsen sudah dimulai. Beberapa pria berpakaian preman mulai bergerak ke arah pos keamanan, membawa sesuatu di balik jaket mereka.Tari merasa ada yang tidak beres. Perasaan tidak enak menyelimutinya
Kesempatan ini terlalu berharga untuk disia-siakan.Tari menarik napas dalam-dalam, lalu tiba-tiba—BRUKK!Dia menendang tulang kering Arsen sekuat tenaga dan berlari secepat mungkin ke arah kerumunan!"TARI!" suara Arsen menggelegar di belakangnya, tapi Tari tidak peduli. Dia berlari menuju petugas berseragam yang berdiri tak jauh darinya."Tolong! Saya diculik!" teriaknya putus asa.Petugas itu menoleh, matanya membesar saat melihat Tari yang berlari ketakutan.Namun, sebelum Tari sempat mencapai mereka, Arsen berhasil menangkap lengannya dan menariknya kembali dengan kasar. Tari menjerit."Jangan buat masalah, Tari!" desis Arsen marah. Dia menarik Tari lebih erat, hampir menyeretnya."Ada apa ini?!" salah satu petugas akhirnya bergerak mendekat.Arsen dengan cepat mengubah ekspresi dan tersenyum. "Ini istri saya, Pak. Dia hanya sedikit panik karena perjalanan jauh.""Tidak! Saya diculik! Tolong saya!" Tari meronta dengan panik.Petugas itu menatap Arsen dengan curiga. "Istri Anda b
Fajar baru saja menyingsing ketika Tari dipaksa bangun oleh Arsen. Mata pria itu tajam, ekspresinya dingin tanpa kompromi. Jelas ada rasa takut jika Tari kabur dari sisinya. Lelaki itu seperti bukan dirinya lagi. Kegagalan berumah tangga dimasa lalu membuatnya terobsesi untuk mengulang kembali dengan perempuan yang sama. Namun, dia tidak menghitung konsekuensi atas tindakannya itu. Masa sudah berganti, kehidupan kian berlalu. Beralih ke masa depan yang seharusnya tidak ada dia disana."Bangun, Dek. Kita pergi sekarang," perintahnya singkat.Tari menggigit bibir. Dia tahu, usahanya kabur semalam membuat Arsen semakin waspada. Jika dia mencoba sesuatu lagi, risikonya lebih besar."Ke mana?" tanyanya, berusaha terdengar tenang.Arsen menarik napas dalam. "Sumatera aku punya saudara disana. Kita tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Terlalu berisiko."Jantung Tari berdegup kencang. Sumatra? Itu berarti dia akan dibawa lebih jauh dari keluarganya, dari anak-anaknya. Jika dia tidak bertind