Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.
[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]
Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.
[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.
Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.
[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]
Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.
[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, aku sih masih menunggu. Sulit melupakan orang yang pernah mengisi hati ini.] terkirim.
Aku menunggu balasan, tapi pesan itu hanya dibaca. Mungkin, Rani sedang sibuk. Dia kan seorang perawat. Aku menyimpan kembali ponsel di dalam saku dan melanjutkan pekerjaan. Seharian mood-ku membaik. Apalagi Tari juga tak mengirim pesan atau menghubungiku. Tak apalah, aku juga muak mendengar keluhannya itu.
***
Dua hari kemudian, Tari kembali. Aku yang baru pulang kantor menatap heran dengan rumah yang tak seperti kemarin. Dari ujung ke ujung sangat rapi. Anak-anak juga anteng bermain di kamar. Meski disana tak ada celah yang tak bertaburan mainan. Setidaknya, ruang tamu dan kamar tidur lebih sedap dipandang mata.
"Kamu sudah pulang?" sapaku pada Tari yang rebahan sambil memainkan ponselnya. Perempuan itu tampak kaget. Bangkit lalu menaruh benda pipih itu dan menyalamiku.
"Sudah!" jawabnya singkat. Kemudian berlalu keluar. Aku mendekati Abrar yang tampak pulas, bayi tiga bulanan itu terlihat bersih, aroma minyak telon menguar dari tubuhnya.
Tak lama Tari masuk dengan secangkir teh hangat ditangan. Perempuan itu masih dengan penampilan yang sama baju daster dengan warna mulai pudar dan rambut yang tergelung asal. Membosankan.
Aku menerima teh itu dan menyesapnya pelan. Suasana mendadak canggung. Tari sendiri kembali meraih ponsel dan bersikap acuh.
"Mas Fatan masih dirumah?" tanyaku basa-basi. Apa peduliku sebenarnya dengan Abang ipar yang sombong itu. Entah apa pekerjaannya, bertahun-tahun tak pulang. Jarang juga berkirim uang. Sehingga, Ibunya yang sudah tak muda lagi itu harus berdagang di pasar demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Masih." jawabnya tanpa menoleh padaku. Aku jenggah. Setelah mengganti pakaian, aku keluar dari kamar dan duduk diruang tamu memainkan ponselku. Lebih baik melanjutkan kisah yang pernah kandas dulu biar ga bete.
Entah sudah berapa lama aku sibuk berbalas pesan dengan Rani, hingga tak sadar hari sudah larut. Aku kembali masuk ke kamar. Tari sudah tertidur memeluk bayi kami. Wajahnya terlihat lelah. Kasian. Tapi, emang itu lah resiko menjadi seorang istri, iya kan?
Kembali keluar dan melihat ke kamar sebelah. Alif dan Ammar pun sudah tidur. Tadi, sempat rame teriakan mereka minta makan. Tapi, aku tak hiraukan. Terlalu sayang meninggalkan ruang chat bersama Rani. Akhirnya aku terpaksa makan sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Tak berani membangunkan Tari yang terlihat berbeda dari biasanya.
Keesokan paginya, suasana kembali berisik seperti biasa. Tari sibuk di dapur sambil mengendong Abrar yang rewel.
"Ma, tas Abang mana?" teriakan Alif dari kamar.
Belum lagi tangisan Ammar yang maunya mandi dengan mamanya. "Sebentar sayang, Mama lagi nanggung nih!" jerit Tari tanpa menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng dalam wajan.
"Dek, liat kemeja putih lengan pendek Mas ga?" tanyaku. Aku ingin memakai kemeja yang baru beberapa minggu lalu kubeli itu. Hari ini aku sudah janji sama Rani. Baju putih itu pasti terlihat elegan dan berwibawa.
"Ada di lemari itu, Mas. Coba cari lagi!" perempuan itu kembali menjerit tanpa mendatangiku.
"Ga ada! kalau ada aku ga nanya!" sentakku kesal.
Tak lama Tari datang. Abrar dalam gendongannya menatapku lalu menangis ingin ikut. Aku cuek. Kalau harus menggendong anak dulu, kapan ke kantornya. Hanya beberapa detik, kemeja yang dimaksud sudah ada ditangan Tari lalu menyerahkan padaku tanpa kata.
"Makasih, Sayang." Tari tak menjawab. Dasar! liat aja kalau aku bawa Rani kesini, baru sadar jika aku tak patut untuk diabaikan.
Sarapan sudah tersedia diatas meja. Abrar sudah tidur dan kembali ke kamar. Tari bukannya menemaniku sarapan malah sibuk dengan anak-anaknya dikamar mandi. Dengan kesal aku bangkit.l meninggalkan nasi yang baru separuh aku makan.
"Tari, aku berangkat dulu!" teriakku.
"Ya!" sahutnya. Si4l, bukannya berlari mengantarkan suami berangkat kerja malah dicuekin begini. Aku pun melajukan kuda besiku setelah meyakinkan jika Tari benar-benar tak nonggol. Keterlaluan.
Seharian perempuan itu juga tak lagi meneleponku. Syukurlah, dia kena mental setelah kunasehati dan dimarahi mama.
"Gimana istrimu, Sen?" tanya Mama dari seberang sana.
"Aman Ma, dia udah berhenti mengeluh. Ga bikin bete lagi!" sahutku.
"Bagus lah! emang harus tegas sama istri. Jangan sampai kamu disepelekan sama dia. Trus Rani gimana?" goda Mama.
"Ah, Mama. Arsen sama Rani hanya temenan kok. Nanti siang kami berjanji bertemu."
"Nah, gitu dong. Mama pengen punya menantu seperti Rani. Pasti, bahagia sekali mama akan diperhatikan. Setelah kakakmu menikah, Mama kesepian dirumah."
"Ga mungkin rasanya untuk menikah, Ma. Tari gimana?"
"Halah, itu ga usah jadi penghalang. Orang kalau punya istri kayak Tari juga ga akan ada yang betah."
Benar juga Mama. Mana tahan mendengar keluhannya, melihat rumahnya yang tak pernah bersih. Baru sekarang aja, rumah terlihat seperti rumah. Biasanya seperti kandang.
Jam kerja usai. Aku segera keluar. Tak sabar mau bertemu Rani.Hanya tiga puluh menit, aku sampai di sebuah kafe. Di ujung ruangan itu terlihat seorang wanita dengan pakaian yang begitu sek si melambai padaku. Wah, parah ni. Dadaku berdebar kencang. Dan ada sesuatu yang tak biasa begitu jarakku sudah begitu dekat. Rani berdiri sambil mengulurkan tangannya.
"Kamu makin ganteng aja, Sen." pujinya ketika tangan halus itu menggenggam tanganku.
"Kamu juga makin cantik, Ran. Awet muda. anakmu udah berapa?" tanyaku jelas hanya basa basi busuk. karena aku tau Rani belum menikah.
"Anakku masih bersama kamu kayaknya, Sen?" sahutnya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Ah kamu bisa aja."
Wajahku bersemu. Rani masih sangat asik seperti dulu. jadi kangen. Obrolan seru itu terhenti ketika ponselku berbunyi.
Tari?
mau apa dia? mau ngeluh lagi?
"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya."Oh, ya sudah. Hati-hati, ya." "Iya."Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya."Kenapa?" Rani menatapku lekat."Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit.""Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala."Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?""Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh."Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin."Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. A
"Ngapain kamu kesini?" Kedatanganku disambut tatapan tak bersahabat dari Mas Fatan. Aku mengulurkan tangan. Namun, Mas Fatan buang pandang seakan tak sudi berjabat denganku. Aku pun menurunkan kembali tangan yang menggantung di udara."Maaf, Mas. Tari dan anak-anak kemana, ya?" Tanyaku sembari melihat ke dalam rumah yang sepi."Tari ga ada!" Cetusnya."Kemana, Mas?" Buruku menahan rasa penasaran. Jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Kemana Tari selarut ini? "Yang pasti tidak sedang mengubar aib ataupun mengadu pada orang lain atas lelahnya dia menjadi istri yang dituntut kuat dan tak boleh mengeluh!"Degh!Apa maksudnya? Belum sempat otakku mencerna ucapan Mas Fatan. Laki-laki itu masuk ke dalam tanpa berkata sepatah katapun padaku, pintu pun di tutup kasar. Aku terduduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumah itu. Tak menyangka kedatanganku justru membuat sakit hati begini [Dek, kamu dimana? Aku ada dirumah, Ibu! Cepat pulang!] Aku mengirim pesan setelah beberapa kali pan
"Papa ..." Alif dan Ammar meninggalkan mainan dan berlari ke arahku. Anak tampak begitu rindu. Hampir sebulan tak bertemu, wajar saja. Kami berpelukan. Tari berdiri sambil mengulas senyum. Ada yang beda, Tari kini terlihat lebih bersih dan cantik."Kamu sudah pulang, sayang?" Sapaku, Tari menyambut tanganku yang terulur padanya. Perempuan itu mengangguk. Matanya berbinar."Maafkan aku, Mas. Aku salah selama ini. Sekarang aku sadar, kamu benar. Mulai hari ini aku akan berubah. Dan aku punya kabar bahagia untuk kamu." Aku gemetar mendengar ucapan tari yang terlihat bersemangat. Tapi, dia juga harus tau kabar bahagia yang akan aku sampaikan. Mungkin bahagia untukku tak tau untuknya."Nanti kita ngobrol ya, Dek. Mas bersih bersih dulu." Tari mengangguk. Alif dan Ammar masih memegang kedua tanganku. Kami beriringan masuk ke dalam. Rumah rapi, wangi dan benar benar berubah 180 derjat. Semua hal itu makin membuat suasana hati membaik."Kamu pasti capek ya, seharian membereskan rumah?" ujark
"Tari sudah tau jika Arsen mau menikahi Rani, Ma." Ujarku di telpon pada Mama."Wah, bagus dong! Kamu bisa segera melamar Rani. Mama akan persiapkan semuanya. Kamu mau acara besar-besaran atau gimana?" Tanya Mama. Aku terdiam. Di kantor ini ada larangan karyawannya punya istri lebih dari satu. Jika aku membuat acara dan mengundang teman-teman di sini nyari ma_ti namanya."Acara biasa aja, Ma. Takut nanti ketauan sama orang kantor.""Oke lah. Kamu siapkan dananya biar Mama yang bereskan." "Makasih, ya, Ma.""Iya. Yang penting anak Mama bahagia. Ga capek melihat rumah yang selalu berantakan. Kamu ga salah pilih. Rani memang sudah sangat yang terbaik." Aku tersenyum. Meski ada bisikin yang mengatakan jika apa yang aku lakukan sekarang akan menjadi penyesalan yang teramat dalam nanti. Tapi, itu hanya felling saja. Tak mungkin terjadi. Pilihanku ini pasti benar.Jam sudah menunjukkan angka lima. Aku bergegas hendak pulang."Buru buru amat lu!" Sentak Remon."Iya, ada janji." Sahutku sing
Aku menghela nafas panjang lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Bersih bersih lalu keluar meninggalkan Rani yang masih dalam posisi yang sama."Arsen, itu saudara-saudara Rani kok masih pada disini sih?" bisik Mama begitu aku keluar kamar. Mataku langsung tertuju pada orang-orang yang masih pada tidur diruang tamu beralaskan karpet. Sebagian duduk diluar sambil membakar ro kok dengan santainya."Sabar, Ma. Hanya sebentar, nanti mereka pasti pulang." "Tapi, ga ada yang mau bantuin Mama. Lihat cucian piring menumpuk dan rumah berantakan, ya ampun!" Mama mengaruk kepalanya kasar."Rani belum bangun, ya?" tanya nya lagi. Aku menggeleng."Kamu ga bisa bilang sama mereka, yang muda muda itu lho. Bantuin Mama di dapur. Mama kan juga capek habis pesta kemarin." ujar mama memelas. Aku menoleh sekilas pada saudara-saudara Rani yang masih tidur pulas. Mereka terpaksa menumpang disini karena rumah Ibunya Rani tak muat. Rani pun sudah tidak ngekost lantaran mau tinggal dirumah Mama katanya.
Sekitar sejam aku sampai. Dengan modal bertanya-tanya pada perawat aku sampai diruangan dimana Abrar di rawat. Ruang VIP, gila! Tari, siapa yang mau bayar tagihannya? awas aja kalau sampai meminta padaku. Siapa suruh memesan ruangan mahal begitu. Aku mana punya uang? udah habis untuk pesta kemarin."Dek?" langkahku terhenti begitu melihat sepasang anak manusia berjalan bersisian di depanku. Aku tau persis siapa perempuan yang memakai dress biru selutut dengan rambut sepunggung dan bergelung itu, pasti Tari. Perempuan yang sedang ngobrol laki-laki berjas putih itu menoleh. Begitu juga dengan lelaki disebelahnya. Benar itu Tari. Wajahnya langsung berubah."Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa kabari aku segera, ya." laki-laki yang kutebak adalah dokter yang menangani Abrar itu melempar senyum pada Tari. Tari membalas senyum itu sambil mengangguk. Hatiku kenapa terasa panas begini?Setelah dokter itu pergi, Tari dengan cuek melanjutkan langkah membuatku sedikit berlari mengejar."Kenapa kamu
"Ma, kita ke rumah baru aja. Alif ga mau disini, ga enak!" seru Alif, yang kutangkap. Aku masih belum memberanikan diri masuk, duduk di kursi teras, berharap Tari menghampiri dan menanyakan kabarku juga."Sabar ya, Sayang. Dedek baru sembuh. Nanti kalau dedek Abrar udah pulih, kita ke rumah baru lagi." bujuk Tari."Hore, sama Om Dokter juga ya, Ma. Alif mau main ke timezone lagi, sama Om dokter. Seru!" pekik Alif.Degh! pergi sama Om Dokter. Jangan-jangan benar laki-laki tadi itu selingkuhan Tari? lalu perempuan itu dibelikan mobil dan digratiskan bayar pengobatan Abrar?Rahangku mengeras. Kurang aj*r Tari! tanganku mengepal kuat. Tapi, tak berani masuk karena ada Mas Fatan, Ibu juga seorang perempuan yang kutebak adalah calon istri Mas Fatan."Iya dong, sama Om dokter. Kan Om dokter sekarang yang jagain Alif, Ammar, Abrar dan Mama Tari? ya kan, Tari?" kini suara Mas Fatan terdengar nyaring. Jelas dia sedang memanas-manasiku. Si*l!Dengan api cemburu yang masih sangat membara aku bang
"Selamat, ya!" Ucap Pak Hari begitu aku duduk di depannya. Aku mengernyitkan kening."Selamat untuk apa, Pak?" Tanyaku meski dada ini sudah berdebar kencang. Firasatku mengatakan hal yang buruk akan terjadi. Keringat dingin mulai mengucur dari dalam pori-pori."Selamat untuk kinerja Anda!" Pak Hari tersenyum. Aku menghela napas lega."Anda baru sembuh kan?" Aku mengangguk cepat. "Ini buktinya, Pak. Surat keterangan dari dokter." Aku menyerahkan amplop berisi keterangan bahwa aku memang sakit beberapa hari ini. Pak Hari menerima dengan senyum yang tak biasa. "Oh, diare." Lirihnya setelah membaca surat itu sambil mengangguk-anggukkan kepala."Iya betul, Pak." Sahutku. Ternyata tadi hanya sekedar ketakutan saja karena aku berbohong."Ini surat keterangan dari perusahaan. Silahkan anda buka sendiri. Semoga ga makin ber ak-ber ak, ya." Aku menerima amplop coklat yang diserahkan Pak Hari dengan bingung.."Maksudnya saya dikeluarkan, Pak?" Tanyaku setelah membuka dan membaca isi surat dal
Bayu menatapnya tajam. "Jangan pikir aku bakal ceraiin kamu! Kamu milik aku, Rina!""Aku mau cerai!" Rina berteriak histeris.Bayu mendekat dengan gerakan mengancam, tapi kali ini Alif dan Ammar langsung berdiri di depan Rina, menghalangi pria itu."Kamu coba sentuh dia lagi, aku nggak bakal tinggal diam," suara Alif dingin. Meski sedikit kesal pada tantenya itu, tapi mereka tak terima Bayu menyakiti perempuan yang tak berdaya.Bayu menatap Alif dan Ammar dengan marah, tapi dia sadar dirinya kalah jumlah.Rina menangis tersedu-sedu di sofa.Di sisi lain, Nadhif menunduk. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa dia terjebak di antara rasa bersalah dan kebodohannya sendiri.Dan di tengah semua kekacauan itu…Tari masih belum ditemukan.***Di sudut lain kota, di sebuah tempat yang gelap dan dingin, Tari duduk di lantai dengan tangan terikat di belakang.Mulutnya dibekap, matanya sembab.Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan itu, mendeng
Panik melanda rumah itu. Nadhif berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang, sementara anak-anaknya berkumpul di sekelilingnya. Mereka semua sudah mencoba menghubungi Tari, tapi ponselnya masih tergeletak di kamar."Ayah, ini nggak wajar. Bunda nggak mungkin pergi begitu aja," suara Alisa bergetar.Alif yang baru tiba dari luar kota langsung bertanya, "Udah cari ke rumah sakit? Kantor polisi?""Belum, ayah pikir bundamu cuma butuh waktu sendiri," kata Nadhif pelan."Tapi sekarang udah dua hari, Yah!" Ammar menekan nada suaranya, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.Baru saja mereka hendak mengambil langkah serius untuk mencari Tari, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari depan rumah.BRAK!Pintu pagar didobrak kasar.Mereka semua menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri seorang pria berusia empat puluhan, berperawakan tinggi besar dengan wajah sangar dan kumis tebal. Matanya merah, rambutnya berantakan, dan pakaiannya terlihat kusut.Itu Bayu.Suami Rina."Rina!!" suaranya menggel
"Masih banyak cara lain selain terus-menerus ngasih uang! Apa Mas nggak sadar kalau Mbak Rina itu memanfaatkan Mas?!"Nadhif menegang. "Jangan ngomong gitu, Tari. Mbak Rina bukan orang lain.""Justru karena dia bukan orang lain, seharusnya dia tahu diri!" suara Tari meninggi.Nadhif diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Aku nggak mau bertengkar soal ini, Tari. Aku cuma ingin membantu kakakku."Tari mengepalkan tangannya. "Baik. Kalau Mas tetap mau memenuhi semua permintaan Mbak Rina tanpa peduli sama perasaan aku dan anak-anak, silakan. Tapi jangan salahkan aku kalau aku nggak bisa lagi bersikap baik."Setelah mengucapkan itu, Tari keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk—kesal, marah, dan kecewa.Sementara itu, di luar kamar, Rina sedang duduk santai di ruang tamu, seolah tidak terjadi apa-apa.Dan Tari semakin yakin…Kakak iparnya ini tidak akan pergi dalam waktu dekat.Hari-hari berikutnya, suasana di rumah semakin tegang. Tari mulai menjaga jarak dari Nadhif. Dia lebih se
Hari-hari pertama, Tari masih mencoba bersabar dengan kehadiran Rina di rumah mereka. Tapi semakin lama, sikap kakak iparnya itu benar-benar menguji batas kesabarannya.Rina memperlakukan rumah Tari seolah miliknya sendiri.Pagi itu, Tari yang baru turun dari kamar langsung mengernyit saat melihat ruang tamunya berantakan.Baju-baju berserakan di sofa, beberapa wadah makanan kosong tergeletak begitu saja di meja, dan yang lebih parah, Rina sedang duduk santai di depan televisi sambil mengenakan daster Tari.Tari menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. "Mbak Rina, ini baju aku, kan?"Rina menoleh sekilas, lalu terkekeh. "Iya, Tari. Maaf ya, tadi Mbak kedinginan. Aku lihat bajumu di lemari, jadi kupakai sebentar. Eh, enak banget bahannya!"Tari mengepalkan tangannya erat, mencoba tetap tersenyum. "Kalau Mbak butuh baju, bilang aja. Aku bisa kasih baju lain.""Ah, nggak usah repot-repot! Ini aja enak kok." Rina kembali fokus menonton sinetron di televisi, sama sekali tidak merasa
Jadi ini alasan sebenarnya Rina datang?—Keesokan harinya…Tari sedang duduk di ruang makan bersama anak-anaknya ketika suara bel rumah berbunyi keras.Dari dapur, Rina langsung berseru, "Ah, pasti paket pesanan aku nih!"Namun, saat Tari membuka pintu…Jantungnya langsung mencelos.Seorang pria bertubuh besar dengan wajah garang berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, sorotannya mengancam.Bayu.Suami Rina."Mana istri saya?" suaranya berat dan dingin.Tari terdiam. Ketakutan yang baru saja mereda…Kini muncul lagi. Tari merasa dirinya trauma setelah kejadian kemarin itu.Belum sempat Tari menjawab, suara Rina langsung terdengar dari dalam rumah."Astaghfirullah! Ngapain kamu ke sini, Bayu?!"Rina muncul dari dapur dengan wajah ketakutan, tapi juga marah. Tari melihat ekspresi kakak iparnya berubah drastis—dari sebelumnya yang santai, kini penuh ketegangan.Bayu langsung masuk ke dalam rumah tanpa diundang, langkahnya kasar. Tari refleks mundur, sementara Nadhif yang baru saja kelua
Tari menelan ludah, hatinya mendadak tak enak."Mbak Rina dengar dari siapa?" tanyanya hati-hati.Mbak Rina mengibaskan tangan santai. "Ya, ada lah. Namanya juga kampung, semua orang suka ngomongin urusan orang lain," katanya sambil terkekeh.Nadhif menghela napas, jelas tak nyaman dengan pembicaraan ini."Apa yang mereka bilang?"Rina langsung menaruh tasnya di sofa lalu duduk dengan santai. "Katanya, ada yang meneror kalian? Ada urusan sama orang yang pernah kalian musuhi? Waduh, Ndif… kok hidup kamu jadi kayak sinetron sih?"Tari dan Nadhif saling bertukar pandang. Mereka belum berniat membicarakan masalah ini dengan orang luar, bahkan dengan keluarga sendiri.Tapi Mbak Rina memang selalu begitu. Kepo dan tak bisa menahan rasa ingin tahunya."Udah lah, Mbak. Jangan bahas itu," ujar Nadhif akhirnya.Rina mendengus. "Lho, aku ini kakak kamu! Masa aku nggak boleh tahu masalah keluarga sendiri?"Tari mencoba tersenyum, berusaha menenangkan situasi. "Bukan begitu, Mbak. Masalah ini cuku
Tiba-tiba…Tok… Tok… Tok…Ketukan pelan terdengar dari jendela kamar.Tari menahan napas, jantungnya berdegup kencang.Matanya langsung tertuju pada jendela, tapi yang terlihat hanyalah bayangan hitam di balik tirai.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Nadhif yang tidur di kamar sebelah."Mas… Ada seseorang di luar," bisiknya.Tak sampai satu menit, pintu kamar Tari terbuka, dan Nadhif masuk dengan wajah serius. Ia melangkah cepat menuju jendela, lalu membuka tirai dengan gerakan cepat.Tidak ada siapa-siapa.Namun, sesuatu di lantai luar jendela membuat Tari bergidik ngeri.Sebuah boneka lusuh tergeletak di sana.Dan di dadanya…Terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan yang tidak rapi."Apa kamu takut, Tari?"Tari menggigit bibirnya, napasnya tersengal saat menatap boneka lusuh itu. Tulisan di kertas kecil yang terselip di dadanya membuat bulu kuduknya meremang.Nadhif menatap boneka itu dengan ekspresi gelap. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. Ia segera
Tari menelan ludah, tangannya mulai gemetar.Seolah memahami ada yang tidak beres, Nadhif yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampiri Tari. “Ada apa?”Tari menunjukkan ponselnya.Nadhif membaca pesan itu. Rahangnya mengeras.“Aku akan cari tahu siapa yang mengirim ini.”Tapi Tari tahu… perasaan mencekam yang menyelimutinya tidak akan hilang begitu saja.Ketakutan itu kembali.Kedamaian yang baru saja mereka rasakan…Telah direnggut lagi. Siapa lagi pelakunya? Rio lagi? Apa Elzio? Tak mungkin mereka keluar dari penjara secepat itu?***Malam di vila itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin pantai yang bertiup lembut seharusnya membawa ketenangan, tapi di dalam kamar, Tari justru merasakan hawa yang menyesakkan. Pesan singkat di ponselnya masih terpampang di layar, membuat dadanya semakin berdebar.Siapa pun yang mengirim pesan itu tahu persis bagaimana menghancurkan ketenangannya.Tari menoleh ke arah Nadhif, yang masih berdiri di dekat jendela dengan ekspresi serius. Ia
Keduanya kembali terdiam, hingga akhirnya rasa lelah mengalahkan ketakutan mereka. Perlahan, Alisa pun terlelap dalam genggaman saudari kembarnya.DI TEMPAT YANG BERBEDA…Di dalam ruang tahanan sementara, Rio duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyiratkan kemarahan. Bahunya yang terluka sudah diperban, tapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik.Seorang pria duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi datar.“Kau benar-benar kacau, anak muda.”Rio menoleh, menatap pria itu dengan tajam. “Siapa kau?”Pria itu menyeringai tipis. “Seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya dikhianati.”Rio memicingkan mata. “Apa maksudmu?”Pria itu menyandarkan kepalanya ke dinding. “Hanya saja… aku tertarik padamu. Aku bisa membantumu, jika kau mau.”Rio menyipitkan mata, curiga. “Bantu apa?”Pria itu tertawa kecil. “Balas dendam, tentu saja.”Rio terdiam. Lalu perlahan, sebuah senyum miring terukir di wajahnya.Mungkin… ini kesempatannya. Rasa sakit hati pad