Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.
[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]
Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.
[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.
Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.
[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]
Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.
[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, aku sih masih menunggu. Sulit melupakan orang yang pernah mengisi hati ini.] terkirim.
Aku menunggu balasan, tapi pesan itu hanya dibaca. Mungkin, Rani sedang sibuk. Dia kan seorang perawat. Aku menyimpan kembali ponsel di dalam saku dan melanjutkan pekerjaan. Seharian mood-ku membaik. Apalagi Tari juga tak mengirim pesan atau menghubungiku. Tak apalah, aku juga muak mendengar keluhannya itu.
***
Dua hari kemudian, Tari kembali. Aku yang baru pulang kantor menatap heran dengan rumah yang tak seperti kemarin. Dari ujung ke ujung sangat rapi. Anak-anak juga anteng bermain di kamar. Meski disana tak ada celah yang tak bertaburan mainan. Setidaknya, ruang tamu dan kamar tidur lebih sedap dipandang mata.
"Kamu sudah pulang?" sapaku pada Tari yang rebahan sambil memainkan ponselnya. Perempuan itu tampak kaget. Bangkit lalu menaruh benda pipih itu dan menyalamiku.
"Sudah!" jawabnya singkat. Kemudian berlalu keluar. Aku mendekati Abrar yang tampak pulas, bayi tiga bulanan itu terlihat bersih, aroma minyak telon menguar dari tubuhnya.
Tak lama Tari masuk dengan secangkir teh hangat ditangan. Perempuan itu masih dengan penampilan yang sama baju daster dengan warna mulai pudar dan rambut yang tergelung asal. Membosankan.
Aku menerima teh itu dan menyesapnya pelan. Suasana mendadak canggung. Tari sendiri kembali meraih ponsel dan bersikap acuh.
"Mas Fatan masih dirumah?" tanyaku basa-basi. Apa peduliku sebenarnya dengan Abang ipar yang sombong itu. Entah apa pekerjaannya, bertahun-tahun tak pulang. Jarang juga berkirim uang. Sehingga, Ibunya yang sudah tak muda lagi itu harus berdagang di pasar demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Masih." jawabnya tanpa menoleh padaku. Aku jenggah. Setelah mengganti pakaian, aku keluar dari kamar dan duduk diruang tamu memainkan ponselku. Lebih baik melanjutkan kisah yang pernah kandas dulu biar ga bete.
Entah sudah berapa lama aku sibuk berbalas pesan dengan Rani, hingga tak sadar hari sudah larut. Aku kembali masuk ke kamar. Tari sudah tertidur memeluk bayi kami. Wajahnya terlihat lelah. Kasian. Tapi, emang itu lah resiko menjadi seorang istri, iya kan?
Kembali keluar dan melihat ke kamar sebelah. Alif dan Ammar pun sudah tidur. Tadi, sempat rame teriakan mereka minta makan. Tapi, aku tak hiraukan. Terlalu sayang meninggalkan ruang chat bersama Rani. Akhirnya aku terpaksa makan sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Tak berani membangunkan Tari yang terlihat berbeda dari biasanya.
Keesokan paginya, suasana kembali berisik seperti biasa. Tari sibuk di dapur sambil mengendong Abrar yang rewel.
"Ma, tas Abang mana?" teriakan Alif dari kamar.
Belum lagi tangisan Ammar yang maunya mandi dengan mamanya. "Sebentar sayang, Mama lagi nanggung nih!" jerit Tari tanpa menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng dalam wajan.
"Dek, liat kemeja putih lengan pendek Mas ga?" tanyaku. Aku ingin memakai kemeja yang baru beberapa minggu lalu kubeli itu. Hari ini aku sudah janji sama Rani. Baju putih itu pasti terlihat elegan dan berwibawa.
"Ada di lemari itu, Mas. Coba cari lagi!" perempuan itu kembali menjerit tanpa mendatangiku.
"Ga ada! kalau ada aku ga nanya!" sentakku kesal.
Tak lama Tari datang. Abrar dalam gendongannya menatapku lalu menangis ingin ikut. Aku cuek. Kalau harus menggendong anak dulu, kapan ke kantornya. Hanya beberapa detik, kemeja yang dimaksud sudah ada ditangan Tari lalu menyerahkan padaku tanpa kata.
"Makasih, Sayang." Tari tak menjawab. Dasar! liat aja kalau aku bawa Rani kesini, baru sadar jika aku tak patut untuk diabaikan.
Sarapan sudah tersedia diatas meja. Abrar sudah tidur dan kembali ke kamar. Tari bukannya menemaniku sarapan malah sibuk dengan anak-anaknya dikamar mandi. Dengan kesal aku bangkit.l meninggalkan nasi yang baru separuh aku makan.
"Tari, aku berangkat dulu!" teriakku.
"Ya!" sahutnya. Si4l, bukannya berlari mengantarkan suami berangkat kerja malah dicuekin begini. Aku pun melajukan kuda besiku setelah meyakinkan jika Tari benar-benar tak nonggol. Keterlaluan.
Seharian perempuan itu juga tak lagi meneleponku. Syukurlah, dia kena mental setelah kunasehati dan dimarahi mama.
"Gimana istrimu, Sen?" tanya Mama dari seberang sana.
"Aman Ma, dia udah berhenti mengeluh. Ga bikin bete lagi!" sahutku.
"Bagus lah! emang harus tegas sama istri. Jangan sampai kamu disepelekan sama dia. Trus Rani gimana?" goda Mama.
"Ah, Mama. Arsen sama Rani hanya temenan kok. Nanti siang kami berjanji bertemu."
"Nah, gitu dong. Mama pengen punya menantu seperti Rani. Pasti, bahagia sekali mama akan diperhatikan. Setelah kakakmu menikah, Mama kesepian dirumah."
"Ga mungkin rasanya untuk menikah, Ma. Tari gimana?"
"Halah, itu ga usah jadi penghalang. Orang kalau punya istri kayak Tari juga ga akan ada yang betah."
Benar juga Mama. Mana tahan mendengar keluhannya, melihat rumahnya yang tak pernah bersih. Baru sekarang aja, rumah terlihat seperti rumah. Biasanya seperti kandang.
Jam kerja usai. Aku segera keluar. Tak sabar mau bertemu Rani.Hanya tiga puluh menit, aku sampai di sebuah kafe. Di ujung ruangan itu terlihat seorang wanita dengan pakaian yang begitu sek si melambai padaku. Wah, parah ni. Dadaku berdebar kencang. Dan ada sesuatu yang tak biasa begitu jarakku sudah begitu dekat. Rani berdiri sambil mengulurkan tangannya.
"Kamu makin ganteng aja, Sen." pujinya ketika tangan halus itu menggenggam tanganku.
"Kamu juga makin cantik, Ran. Awet muda. anakmu udah berapa?" tanyaku jelas hanya basa basi busuk. karena aku tau Rani belum menikah.
"Anakku masih bersama kamu kayaknya, Sen?" sahutnya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Ah kamu bisa aja."
Wajahku bersemu. Rani masih sangat asik seperti dulu. jadi kangen. Obrolan seru itu terhenti ketika ponselku berbunyi.
Tari?
mau apa dia? mau ngeluh lagi?
"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya."Oh, ya sudah. Hati-hati, ya." "Iya."Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya."Kenapa?" Rani menatapku lekat."Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit.""Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala."Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?""Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh."Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin."Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. A
"Ngapain kamu kesini?" Kedatanganku disambut tatapan tak bersahabat dari Mas Fatan. Aku mengulurkan tangan. Namun, Mas Fatan buang pandang seakan tak sudi berjabat denganku. Aku pun menurunkan kembali tangan yang menggantung di udara."Maaf, Mas. Tari dan anak-anak kemana, ya?" Tanyaku sembari melihat ke dalam rumah yang sepi."Tari ga ada!" Cetusnya."Kemana, Mas?" Buruku menahan rasa penasaran. Jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Kemana Tari selarut ini? "Yang pasti tidak sedang mengubar aib ataupun mengadu pada orang lain atas lelahnya dia menjadi istri yang dituntut kuat dan tak boleh mengeluh!"Degh!Apa maksudnya? Belum sempat otakku mencerna ucapan Mas Fatan. Laki-laki itu masuk ke dalam tanpa berkata sepatah katapun padaku, pintu pun di tutup kasar. Aku terduduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumah itu. Tak menyangka kedatanganku justru membuat sakit hati begini [Dek, kamu dimana? Aku ada dirumah, Ibu! Cepat pulang!] Aku mengirim pesan setelah beberapa kali pan
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du
"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari."Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian.""Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu." Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam."Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar."Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham."Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepa
[Mas, nanti kalau pulang tolong beliin beras sama minyak, ya. Stok di rumah habis.] Tak lama pesan dari Tari masuk ke ponselku. Aku menghela nafas berat. Baru awal bulan aku membeli beras dalam kemasan lima kilo, baru pertengahan bulan, sudah habis. Begitu juga minyak, aku telah menyetok seliter minyak goreng kemasan untuk bulan ini. Tapi, sudah habis aja.[Kamu jangan boros-boros dong, Dek. Masa tanggal segini sudah habis?] Balasku dengan hati kesal.[Yang makan di rumah ini kan banyak, Mas. Aku juga masak sewajarnya.]Balas Tari. Perempuan itu mulai pandai melawan. Aku menaruh ponsel dia atas meja. Malas menanggapi Tari yang kerjaannya hanya mengeluh tiap hari.***Usai jam kantor berakhir aku segera memacu kuda besiku membelah jalanan kota. Kali ini niatku tidak pulang apalagi membeli beras atau minyak untuk Tari. Biar dia berusaha sendiri mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dia kira mencari uang itu gampang.Maghrib menjelang, aku sampai pada sebuah toko buah. Mampir sejenak membel
Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada yang membukakan seperti biasa. Akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa.Begitu pintu terbuka, rumah yang biasa berantakan kini terlihat begitu rapi. Tak ada satu mainan pun yang berserakan di lantai."Dek ..." aku berjalan ke kamar. Kamar utama pun bersih. Selimut dan bantal tertata di pojok. Tak ada Tari disini. Aku keluar dan masuk ke kamar anak-anak. Kondisinya sama. Ruangan yang biasanya seperti kapal pecah kini begitu sedap di pandang mata."Astaga, kemana sih perempuan itu!" sungutku sambil merongoh ponsel di saku celana.Dua panggilan berlalu tanpa sahutan. Hingga yang ketiga kalinya suara tari terdengar di seberang sana."Kamu dimana sih? rumah kosong begini!" hardikku begitu suara Tari terdengar."Lho, kamu pulang, Mas? Bukankah mau menginap di rumah Mama?" sahutnya santai."Dek, kamu dimana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya."Aku sedang di rumah Ibuku. Aku rasa aku butuh me time untuk mewaraskan piki
"Ngapain kamu kesini?" Kedatanganku disambut tatapan tak bersahabat dari Mas Fatan. Aku mengulurkan tangan. Namun, Mas Fatan buang pandang seakan tak sudi berjabat denganku. Aku pun menurunkan kembali tangan yang menggantung di udara."Maaf, Mas. Tari dan anak-anak kemana, ya?" Tanyaku sembari melihat ke dalam rumah yang sepi."Tari ga ada!" Cetusnya."Kemana, Mas?" Buruku menahan rasa penasaran. Jam sudah menunjukkan angka delapan malam. Kemana Tari selarut ini? "Yang pasti tidak sedang mengubar aib ataupun mengadu pada orang lain atas lelahnya dia menjadi istri yang dituntut kuat dan tak boleh mengeluh!"Degh!Apa maksudnya? Belum sempat otakku mencerna ucapan Mas Fatan. Laki-laki itu masuk ke dalam tanpa berkata sepatah katapun padaku, pintu pun di tutup kasar. Aku terduduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumah itu. Tak menyangka kedatanganku justru membuat sakit hati begini [Dek, kamu dimana? Aku ada dirumah, Ibu! Cepat pulang!] Aku mengirim pesan setelah beberapa kali pan
"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya."Oh, ya sudah. Hati-hati, ya." "Iya."Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya."Kenapa?" Rani menatapku lekat."Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit.""Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala."Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?""Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh."Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin."Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. A
Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, ak
Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada yang membukakan seperti biasa. Akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa.Begitu pintu terbuka, rumah yang biasa berantakan kini terlihat begitu rapi. Tak ada satu mainan pun yang berserakan di lantai."Dek ..." aku berjalan ke kamar. Kamar utama pun bersih. Selimut dan bantal tertata di pojok. Tak ada Tari disini. Aku keluar dan masuk ke kamar anak-anak. Kondisinya sama. Ruangan yang biasanya seperti kapal pecah kini begitu sedap di pandang mata."Astaga, kemana sih perempuan itu!" sungutku sambil merongoh ponsel di saku celana.Dua panggilan berlalu tanpa sahutan. Hingga yang ketiga kalinya suara tari terdengar di seberang sana."Kamu dimana sih? rumah kosong begini!" hardikku begitu suara Tari terdengar."Lho, kamu pulang, Mas? Bukankah mau menginap di rumah Mama?" sahutnya santai."Dek, kamu dimana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya."Aku sedang di rumah Ibuku. Aku rasa aku butuh me time untuk mewaraskan piki
[Mas, nanti kalau pulang tolong beliin beras sama minyak, ya. Stok di rumah habis.] Tak lama pesan dari Tari masuk ke ponselku. Aku menghela nafas berat. Baru awal bulan aku membeli beras dalam kemasan lima kilo, baru pertengahan bulan, sudah habis. Begitu juga minyak, aku telah menyetok seliter minyak goreng kemasan untuk bulan ini. Tapi, sudah habis aja.[Kamu jangan boros-boros dong, Dek. Masa tanggal segini sudah habis?] Balasku dengan hati kesal.[Yang makan di rumah ini kan banyak, Mas. Aku juga masak sewajarnya.]Balas Tari. Perempuan itu mulai pandai melawan. Aku menaruh ponsel dia atas meja. Malas menanggapi Tari yang kerjaannya hanya mengeluh tiap hari.***Usai jam kantor berakhir aku segera memacu kuda besiku membelah jalanan kota. Kali ini niatku tidak pulang apalagi membeli beras atau minyak untuk Tari. Biar dia berusaha sendiri mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dia kira mencari uang itu gampang.Maghrib menjelang, aku sampai pada sebuah toko buah. Mampir sejenak membel
"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari."Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian.""Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu." Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam."Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar."Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham."Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepa
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du