Demi membantu biaya operasi ibu mertua dan sang suami yang memiliki banyak utang, Naura dipaksa menjalin hubungan dengan bosnya di tempat kerja. Tak disangka, Reval—CEO sekaligus pemilik Perusahaan RevTech Solutions menginginkan Naura dengan penuh gairah dan memperlakukan Naura bak ratu di sisinya. Hal itu tidak pernah dilakukan oleh Dion—suami Naura yang hanya manis saat ada maunya dan keji ketika tidak dituruti. Setiap perhatian Reval membuat Naura semakin sulit untuk menjauh. Namun, ia sadar bahwa dirinya telah jatuh ke dalam cinta terlarang. Mungkinkah Naura bisa bertahan dari pesona Reval? Atau ia justru menyerah pada perasaan yang tidak seharusnya dia miliki? Untuk visual, bisa kepoin IG nya author ya ;-D @richmama23_
View More“Tentu saja.” Naura balas berbisik, matanya mencari-cari di dalam tatapan Reval. “Saya bebas melakukan apa yang saya mau, bukan?” “Tidak Naura!” jawab Reval tegas, tetapi tangan kanannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, seolah ia sedang bertarung dengan dorongan dalam dirinya sendiri. “Jangan bermain dengan api.” Naura melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga napas mereka berdua saling beradu. “Mungkin saat ini, saya sedang suka bermain dengan api,” gumam Naura, hampir tak terdengar. Matanya menyala dengan keberanian yang bercampur dengan luka batin yang selama ini ia pendam. “Karena api itulah yang membuat saya merasa hidup.” Reval mengangkat tangannya, jemarinya berhenti tepat di dekat pipi Naura, tetapi ia tidak menyentuhnya. Jemarinya bergetar, seperti seorang pria yang berada di tepi jurang. “Kamu ... kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan,” suaranya serak, penuh perasaan yang terpendam. “Lalu ...,” bisik Naura, tantangan itu terucap dengan bibir yang gemetar. Dala
Hening menyelimuti ruangan. Detik-detik berlalu, namun pikiran Reval terus berputar-putar, mencoba menemukan jawaban yang sepertinya mustahil didapatkan. Setelah beberapa menit berlalu, ia membuka matanya dan menghela napas panjang. Tanpa berpikir lagi, Reval berdiri dan mulai membuka kancing kemejanya. Setiap gerakan terasa lambat, seperti tubuhnya menolak untuk bekerja sama dengan pikirannya yang lelah. Ia melepaskan bajunya, menyisakan tubuh bagian atas yang telanjang, otot-ototnya yang kencang memamerkan jejak ketegangan. Kamar mandi dipenuhi uap panas ketika Reval menyalakan shower. Air hangat mulai mengalir, menghantam lantai marmer dan menciptakan suara gemericik yang seolah menyanyikan lagu penghiburan. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di atas kepalanya, membasahi rambut hitam pekatnya yang kini menempel ke kulit kepala. Air hangat membelai wajahnya, turun ke leher dan dadanya, menghapus rasa lelah yang tertanam dalam otot-ototnya. Ia memutar bahu, membiarkan
Dengan hati-hati, ia melangkah ke arah pintu, membuka sedikit untuk melihat siapa yang ada di luar. Seorang petugas pengantar berdiri dengan senyum ramah, memegang sebuah tas kecil di tangannya. “Permisi, ini titipan untuk Anda, Nyonya,” kata pria itu, menyerahkan tas tersebut. Naura mengerutkan kening, mengambil tas itu dengan rasa penasaran yang memuncak. Ia mengucapkan terima kasih sebelum menutup pintu kembali. Tas itu berisi setumpuk pakaian baru. Pakaian sederhana namun nyaman, yang jelas-jelas disiapkan dengan penuh perhatian. Di atas tumpukan itu, sebuah catatan kecil terlipat rapi. [Kamu boleh memakai manapun yang kamu suka. Jangan lupa makan. Dan jangan berpikir terlalu keras hari ini.] Naura tersenyum kecil tanpa sadar. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat, seperti baru saja menerima hadiah paling istimewa yang pernah ia dapatkan. Di kepalanya, bayangan wajah Reval terus muncul, seolah pria itu ada di setiap sudut ruangan, di setiap desahan napasnya. Tetapi bersama
Reval membalas pelukan itu, memeluknya seolah dunia di sekeliling mereka bisa lenyap dan tidak ada yang tersisa selain mereka berdua. “Kamu tidak sendiri,” kata Reval dengan nada yang penuh keyakinan. “Aku di sini.” Isakan Naura membesar, tangisnya pecah dalam pelukannya. Setiap air mata yang jatuh membawa rasa sakit yang perlahan-lahan menghilang. Rasa takut, kesepian, dan kehancuran yang selama ini menjeratnya mulai mencair di bawah kehangatan sentuhan yang penuh kasih. “Kalau kamu ingin menangis lagi, menangislah. Aku tidak akan pergi,” kata Reval dengan lembut. Dan seperti tanggul yang runtuh, Naura menangis lagi. Tangisnya mengguncang tubuhnya yang kecil, tetapi kali ini ia tidak sendirian. Kali ini, Reval ada di sana, duduk di sisinya. Malam itu, waktu seolah berhenti. Hujan di luar jendela terus mengguyur, tetapi kehangatan di dalam ruangan itu lebih dari cukup untuk menghalau semua dingin yang tersisa. Naura akhirnya terlelap dalam dekapan Reval, dengan air mata yang ma
Dengan tangan yang gemetar, bukan karena ragu, tetapi lebih karena emosi yang membanjiri hatinya, Reval berlutut di depan Naura. Ia menarik ujung handuk dengan lembut, melepaskannya dari bahu Naura. Pakaian yang basah menggantung berat di tubuhnya, membuat dinginnya semakin nyata. “Ini mungkin akan sedikit kebesaran, tapi …” Reval berhenti sejenak, tangannya bergerak pelan, membuka kancing-kancing kemeja Naura satu per satu. Jemarinya menyentuh kulit yang dingin, membuat hatinya mencelos penuh rasa peduli yang hampir meluap. Naura memejamkan mata, air matanya jatuh perlahan lagi, tetapi ia tidak menolak. Ketika akhirnya kemeja itu terlepas sepenuhnya, Reval menyisihkan rasa gelisah di dadanya. Ia mengambil kaus yang telah disiapkan dan menyelubungkannya ke tubuh Naura, gerakannya penuh perhatian dan tanpa sedikit pun rasa tergesa. Kaus itu terlampau besar, menggantung longgar di bahunya, lengan yang terlalu panjang nyaris menutupi ujung jari-jarinya. Namun, ada sesuatu yang hanga
“Aku tidak akan pergi.” Reval semakin mendekat, langkahnya tetap terukur, penuh kehati-hatian. “Aku di sini, Naura. Aku di sini untukmu.” “Tidak ada yang bisa membantuku.” Suaranya pecah, getir dan penuh rasa sakit. “Semua sudah berakhir.” “Belum.” Reval berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. “Selama aku ada di sini, tidak ada yang akan berakhir. Lihat aku, Naura. Tolong, lihat aku.” Naura terdiam sejenak, tangannya mulai gemetar. Ia ingin mempercayai kata-katanya, tetapi hatinya terlalu remuk untuk merasakan apa pun selain kehancuran. “Mas Dion tidak peduli,” lirihnya. “Tidak ada yang peduli.” Reval mengepalkan tangan, menahan dorongan untuk mengatakan sesuatu tentang Dion. Ini bukan saatnya untuk membicarakan lelaki itu. “Aku peduli.” Suaranya rendah dan penuh ketulusan. “Tidak,” Naura tertawa kecil, getir. “Kamu hanya merasa kasihan.” “Aku peduli,” ulang Reval dengan suara yang lebih tegas. “Dan aku di sini. Kamu tidak sendirian.” Ia bergerak perlahan, mendekatinya
Tanpa berkata apa-apa lagi, Reval melangkah cepat menuju kamar yang ditempati Dion. Wajahnya mengeras, matanya menyala penuh kemarahan. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti ledakan bom waktu, siap menghancurkan siapa pun yang berani melukai Naura. Saat ia membuka pintu dengan kasar, pemandangan Dion yang baru saja mengenakan kemejanya membuat darah Reval mendidih. Dion bahkan tidak tampak terganggu, melainkan berdiri dengan senyum sinis, seolah semuanya hanyalah lelucon. Reval berjalan cepat, mencengkeram kerah kemeja Dion dan membantingnya ke dinding. Tangan Reval yang kuat mencengkeram leher Dion, membuat pria itu terbatuk, mencoba menarik napas. “Apa yang kau lakukan padanya?” geram Reval, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. “Kau pikir aku akan membiarkanmu menghancurkan hidup Naura begitu saja?” Dion tertawa kecil, meski napasnya terengah. “Hidupnya? Kau terlalu terlambat, Reval. Naura sudah hancur sejak lama.” Reval mempererat cengkeramannya, matanya menyipi
“Terima kasih,” kata Reval, suaranya tetap tenang tetapi penuh penghargaan. “Kami tidak akan membuat keributan.” Naura, yang mendengarkan percakapan itu dengan jantung berdebar-debar, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Matanya memandang Reval dengan penuh rasa campur aduk. Antara kekaguman dan kebingungan yang sulit dijelaskan. Ketika mereka berbalik menuju lift, Reval menempatkan tangan di punggung Naura, membimbingnya dengan tenang tetapi mantap. “Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Naura. Tetapi di dalam hatinya, badai mulai mengamuk. Langkah Naura semakin cepat saat ia menuju kamar 307. Derap sepatunya menggema di lorong yang sepi, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat. Jantungnya berdetak seperti genderang perang, menghantam keras di dalam dadanya, menciptakan denyut rasa sakit yang tak tertahankan. Ketika sampai di depan pintu kamar, tangannya yang gemetar terulur, hend
Reval mendesah kasar, meninju setir dengan frustrasi. Lampu lalu lintas berubah hijau, klakson dari kendaraan di belakang mulai berbunyi keras, memaksa mobil untuk bergerak. Dengan gerakan tajam, ia menepikan mobil ke sisi jalan, memutar balik secepat mungkin sebelum kehilangan jejak Naura. Sementara itu, langkah Naura terasa seperti berlomba dengan detak jantungnya. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring rasa takut dan harapan yang bercampur aduk di benaknya. Matanya terus mencari-cari sosok yang tadi dilihatnya. “Mas Dion ... itu pasti dia. Aku tidak mungkin salah.” Pintu hotel berputar dengan halus ketika ia mendorongnya masuk. Udara di dalam terasa hangat dan penuh dengan aroma parfum mahal. Lantai marmer memantulkan cahaya lampu gantung yang megah di atasnya, tetapi semua kemewahan itu tidak berarti apa-apa baginya. Naura hanya melihat satu hal. Punggung tegap dengan jas hitam yang kini berbelok di ujung lorong bersama seorang wanita cantik. Ia mempercepat langkah
“Saya … ingin mengajukan pinjaman, Pak.” Naura berdiri beberapa langkah dari meja, meremas jemarinya yang basah oleh keringat. Suaranya sedikit bergetar. Ucapan Naura membuat Reval menghentikan gerakan tangannya yang sedari tadi sibuk menandatangani berkas-berkas. Tatapannya langsung tertuju pada Naura, tatapan yang sulit diartikan. CEO duda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tak berubah. “Berapa yang kamu butuhkan?” “Dua miliar, Pak.” Ruangan itu mendadak hening, seolah waktu berhenti. Naura menggigit bibir, menunggu reaksi yang tidak kunjung datang. Reval akhirnya tertawa kecil, suara yang tidak membawa kehangatan. “Kamu sadar betapa besar angka itu, kan?” “Saya sadar, Pak. Tapi saya tidak punya pilihan lain,” jawab Naura, nadanya memohon. Reval mengangguk pelan, lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke arah jendela besar di belakang meja, melihat pemandangan kota yang sibuk. “Kamu tahu, Naura, perusahaan tidak seperti lembaga amal. Kami tidak member...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments