Wow, wow, Naura.... bahaya nihhh
Reval merangkak naik. Ia menautkan jemarinya pada jemari Naura, menggenggamnya erat. Ia membimbing tangan Naura ke atas, lalu merentangkannya perlahan ke sisi kanan dan kiri, seolah ingin membuat Naura benar-benar berserah pada momen itu. “Percayakan semua padaku,” bisik Reval dengan nada rendah yang menggetarkan. Tatapannya penuh dengan kehangatan, namun tetap menunjukkan kendali. Naura menatapnya, jantungnya berdetak semakin cepat. Ia merasa dirinya seperti lukisan kosong yang tengah diwarnai oleh sentuhan dan perhatian Reval. Ia tidak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu menuruti setiap gerakan lembut pria itu. Reval mengecup tangan Naura yang terentang, menciptakan jejak kehangatan yang tak terlupakan di kulitnya. Jemarinya perlahan melonggarkan genggaman, tetapi tetap tidak membiarkan Naura terlepas dari dirinya. “Malam ini ... kamu milikku,” ucapnya lirih, namun penuh makna. Naura tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaan itu m
Keesokan paginya, Naura tersentak dari tidurnya. Ia menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan pagi. “Ibu ....” Naura benar-benar merasa bodoh. Seharusnya pagi ini ia sudah berada di rumah sakit. Naura segera mengenakan pakaiannya. Ia turun dari ranjang dan tanpa sadar Naura justru mendekati jendela besar di sisi kamar. Tirai tersingkap, memperlihatkan pemandangan kota yang begitu memukau. Lampu-lampu gedung masih terlihat samar di kejauhan, perlahan pudar berganti dengan cahaya matahari pagi yang mulai menyinari kota. Langit biru yang cerah terasa kontras dengan awan gelap di hatinya. Naura memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang karena kembali teringat dengan nasib ibu mertuanya. Apakah Dion memperlakukannya dengan baik? Wanita itu bahkan meragukan suaminya sendiri. ‘Ibu ... maaf ....’ Perasaan bersalah itu menyeruak lebih dalam. Ia bisa membayangkan wajah ibu mertuanya yang pucat, duduk di kursi roda, dengan senyum tipis yang selalu ia berikan meskip
‘Astaga! Apa-apaan ini. Pak Reval benar-benar gila’ batin Naura berteriak kesal. Meskipun begitu ia merasa seperti pengantin baru di dalam sebuah novel. Ya, itu karena Dion tidak pernah memperlakukannya seperti itu. Naura merasa sedih ketika mengingat Dion kembali. ‘Apakah mungkin Mas Dion tidak pernah mencintaiku? Lalu untuk apa dia menikahiku?’ Naura tersentak dari lamunannya ketika merasakan tubuhnya terendam air hangat. Air itu begitu nyaman, melingkupi kulitnya, sementara aroma sabun yang lembut memenuhi ruangan. Namun, kenyamanan tersebut segera terganggu oleh kehadiran Reval. Lelaki di dekatnya ini sedang mengawasi dengan tatapan yang sulit diartikan. Hati Naura mencelos saat pria itu perlahan menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Stop Pak Reval! Jangan melewati batas!” seru Naura, mencoba menjaga nada suaranya tetap tegas meski ada nada ketakutan yang sulit disembunyikan. Sungguh ucapan yang sangat konyol. Padahal tadi malam Reval telah menjamah seluruh bagian
[Jangan lupa rapat hari ini Ibu Naura yang paling cantik.] Naura memutar bola matanya. Namun, ia sedikit tersenyum karena selalu mendapatkan perhatian dari Dinda. Sahabat yang selalu peduli kepadanya. Setelah itu, Naura meletakkan ponselnya dan menarik napas dalam. Pikirannya langsung kembali ke presentasi yang akan ia lakukan hari ini. Sebagai manajer proyek khusus, tanggung jawabnya tidak main-main. Ide yang akan ia paparkan telah ia persiapkan selama berminggu-minggu. Namun, ia tahu, meyakinkan tim eksekutif, terutama Reval, tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ruangan rapat dipenuhi dengan orang-orang berpengaruh. Para direktur dan manajer lainnya berbicara pelan, saling bertukar pendapat sebelum rapat dimulai. Naura masuk dengan langkah percaya diri, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya. Ia memandang Dinda yang duduk di ujung ruangan dan mendapatkan anggukan penyemangat darinya. Seketika, ruangan menjadi sunyi ketika Reval masuk. Pria itu memba
“Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan
Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana
Reval tidak menggubrisnya. “Kamu terluka. Jangan memaksakan diri,” ucap Reval dingin, tetapi tangannya tetap kokoh memegang Naura. Ia membawanya menuju mobil hitamnya yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura merasa malu dan tidak nyaman. “Pak, saya bisa naik taksi saja. Tidak perlu repot-repot,” ucapnya sambil mencoba melepaskan dirinya. Reval menatapnya tajam, lalu membuka pintu mobil. “Masuk.” Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan. Naura tidak punya pilihan lain selain menuruti. Ia duduk di samping Reval. “Jalan!” Mobil meluncur dengan cepat. --- Di dalam mobil, suasana hening. Naura mencoba menenangkan dirinya, meski rasa sakit di pergelangan kakinya masih terasa. Ia melirik Reval dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius. “Pak Reval, saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat, itu saja.” Naura mencoba membuka pembicaraan, meskipun nadanya ragu. Reval mendengkus pelan. “Istirahat t
Tiba-tiba, Reval mendekatkan wajahnya tanpa memberikan waktu bagi Naura untuk bereaksi. Dengan gerakan pasti, ia menangkup wajah Naura. Sebelum Naura sempat berkata apa-apa, bibirnya menyentuh bibir Naura dengan lembut, tetapi menuntut. Naura tersentak, tubuhnya menegang di bawah kendali Reval. Bibir Reval yang hangat melumat bibirnya dengan gerakan yang teratur, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuhnya. Ciuman panas itu cukup untuk membuat perasaan Naura berantakan. Ciuman itu penuh kendali, membuatnya seolah-olah kehilangan gravitasi. Tangannya, yang tadinya berada di pangkuan, mengepal erat untuk menahan gelombang sensasi yang menyusup ke setiap sarafnya. Naura masih terdiam, tubuhnya kaku. Otaknya berusaha keras memahami apa yang baru saja terjadi, namun respons tubuhnya jauh lebih lambat. Ia tidak melawan, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Reval memperdalam ciumannya, menggerakkan bibirnya dengan intensitas yang mengguncang ketenangan Naura. Seolah-olah wa
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te
Naura menggeleng cepat. “Tidak. Saya sudah ganti baju yang lebih nyaman. Masa Bapak tetap dengan pakaian basah seperti itu? Saya tidak bisa membiarkan itu.” Reval menatapnya lama, menyadari bahwa wanita di depannya ini benar-benar keras kepala. “Jadi kalau aku tidak ganti baju, kamu tidak mau makan?” tanya Reval sekali lagi untuk memastikan. Naura mengangguk mantap. Reval mendesah panjang. “Baiklah,” ujar Reval pasrah. Naura tersenyum puas. “Ayo kita cari baju untuk Bapak.” Mereka kembali berkeliling dan kali ini, Naura yang mengambil alih pencarian. Ia dengan serius memilihkan pakaian untuk Reval, membandingkan warna dan bahan dengan ekspresi sangat fokus, seolah sedang mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Reval hanya bisa mengamati dari belakang, tersenyum kecil melihat keseriusan Naura. “Bagaimana dengan ini?” Naura mengangkat sebuah kaus berwarna hitam dengan gambar kelapa dan tulisan besar Life’s a Beach. Reval melirik kaus itu, lalu menaikkan satu alisnya. “Aku t
Reval masih menatap Naura setelah ciuman panjang mereka terhenti. Napas keduanya masih tersengal, dan mata mereka tetap terkunci dalam keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata. Perlahan, Reval mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Naura dengan ujung jemarinya. Jari-jarinya menyusuri pipi halus itu dengan penuh kelembutan, lalu bergerak menyelipkan helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Naura. “Aku mencintaimu, Naura.” Suaranya rendah, dalam, namun tegas. Tidak ada keraguan di sana. Naura membeku. Bibirnya sedikit terbuka, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Kata-kata Reval begitu tiba-tiba, begitu nyata, hingga Naura tidak siap untuk menghadapinya. Reval memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi Naura yang kebingungan. “Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” tanyanya lagi, suaranya lebih lembut kali ini. Naura menunduk. Jemarinya saling meremas di atas pangkuannya. Jantungnya berdegup begitu cepat hingga ia
Ekspresi Reval mengeras. “Itu bukan urusan kita, Naura.” “Tapi dia masih tak sadarkan diri—” “Dia akan baik-baik saja. Ada dokter dan perawat di sini. Naura, kamu tidak perlu merasa bertanggung jawab atas seseorang yang tidak pernah memikirkan perasaanmu.” Naura terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Reval yang membuat hatinya bergetar. Seakan pria itu bukan hanya berbicara tentang Callista, tetapi juga tentang Dion. Ia tahu Reval benar. Callista bukan tanggung jawabnya. Dion juga bukan. Namun, rasa iba itu tetap ada, menggantung di sudut hatinya. “Saya tidak ingin pergi dalam keadaan seperti ini,” gumamnya. Reval menghembuskan napas panjang. “Naura.” Ia meraih bahu gadis itu, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, apa yang akan berubah?” Naura menggigit bibir. Ia tidak bisa menjawab. “Kamu hanya akan terus terjebak dalam rasa sakit dan keraguan.” Suara Reval melembut. Kini Naura merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti perasaannya. Reval berbicara dengan n
Sebuah tepuk tangan nyaring terdengar di ruangan itu. “Jadi ini semua perbuatan Mama?” ujar Reval, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. Wanita paruh baya yang masih duduk itu tersentak. Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi keterkejutan. “Reval! Ka–kamu ...” “Kenapa, Ma?” Reval melangkah maju, ekspresinya dingin. “Terkejut karena aku dan Naura mendengar pembicaraan kalian?” Di belakang Reval, Naura berdiri dengan tubuh menegang. Jantungnya berdetak kencang, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata dokter dan mama Reval masih terngiang di telinganya. Dion dan Callista memang berselingkuh. Bukan jebakan. Mereka benar-benar mengkhianati dirinya. Mama Reval hanya berusaha menutupi fakta itu dengan kebohongan lain. Ruangan itu terasa semakin menyempit. Napas Naura tersengal, seakan udara mendadak menipis. Dadanya berdenyut, bukan hanya karena kekecewaan, tetapi juga karena rasa bodoh yang terus menyergap. “Jadi ...” Suara Naura bergetar. “Tidak ada yang menj
Naura tertawa kecil, getir. Matanya kembali menatap Dion. “Bukankah saya bodoh?” Suaranya bergetar. “Saya berusaha percaya bahwa dia pria yang baik, bahwa dia adalah orang yang bisa saya cintai tanpa takut dikhianati lagi. Tapi lihat sekarang ... ternyata saya tidak lebih dari seorang wanita bodoh yang terus saja berharap pada sesuatu yang sia-sia.” Suara Naura pecah di akhir kalimat. Dan saat itu, pertahanannya runtuh. Tangannya menutup wajahnya, tubuhnya bergetar hebat menahan isakan. Reval tak bisa lagi hanya diam. Tanpa ragu, ia menarik Naura ke dalam pelukannya. Naura semula memberontak, kedua tangannya mendorong dada Reval, tetapi pria itu tak goyah. “Lepaskan,” ucapnya lirih, suaranya teredam di dada Reval. “Tangismu tidak akan membuat semua ini berubah, Naura.” Reval semakin mengeratkan pelukannya. Naura kembali mencoba melawan, tetapi kekuatannya sudah habis. Ia akhirnya menyerah. Tangannya mengepal di dada Reval, lalu tanpa bisa ditahan lagi, ia menangis sejadi-jad
Koper milik Naura tergeletak begitu saja. Wanita itu tidak lagi peduli. Tangannya gemetar saat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, napasnya tersengal. Ia baru saja menerima sebuah kabar yang menghantamnya lebih keras dari apa pun. Dion. Ditemukan di kamar hotel. Bersama seorang wanita. Tak sadarkan diri. Keadaannya … tak berbusana. Perut Naura terasa seperti dipukul keras. Otaknya berusaha mencerna, tapi semuanya terasa begitu absurd, begitu menyakitkan. Tangannya melambai, menghentikan taksi yang melintas. Tanpa ragu, ia masuk dan menyebutkan satu tujuan. Rumah sakit. Sepanjang perjalanan, bayangan Dion berputar di pikirannya. Pria yang selama ini menjadi harapan terakhirnya, tempatnya berpulang setelah semua yang terjadi dengan Reval. Namun sekarang, seolah takdir kembali menertawakannya. Air mata sudah berlinang di pipinya. Ia tak peduli. Taksi berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Naura bergegas keluar, hampir tersandung karena langkahnya yang terbu
Jantung Naura berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menegakkan duduknya, menatap wajah wanita paruh baya itu dengan perasaan tak menentu. “Ada apa dengan Mas Dion, Bu?” tanyanya hati-hati. Ibu Lastri menghela napas. Tangannya saling bertaut, pertanda bahwa ia sedang berusaha menyusun kata-kata. “Tadi Dion sempat menghubungi Ibu. Katanya dia sangat sibuk dengan pekerjaan, jadi tidak bisa menjemputmu.” Naura mengerutkan kening. “Kenapa Mas Dion nggak bilang langsung kepadaku, Bu? Dihubungi juga susah.” Ibu Lastri terdiam sesaat. “Em, itu….” Naura menangkap kegugupan di raut wajah wanita itu. Matanya yang biasanya lembut kini seperti menyimpan sesuatu. “Ada apa, Bu?” desaknya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. Ibu Lastri tersenyum tipis, tapi senyumnya terasa tidak natural. “Mungkin sinyalnya sedang buruk, Nak.” Naura terdiam, berusaha mencerna jawaban itu. Tapi sesuatu dalam dirinya berteriak bahwa ada yang janggal. Ia menatap wajah wanita itu le