“Betul,” jawab Reval tanpa ragu. “Kamu akan menangani semua yang berhubungan denganku. Termasuk jadwal, dokumen, bahkan minuman kopiku.” Naura merasa dadanya sesak. Ia sudah bekerja keras membangun reputasi sebagai manajer proyek khusus, dan kini ia harus mundur untuk menjadi asisten pribadi? Apa ini hukuman? Apa ada kesalahan yang ia buat tanpa ia sadari? “Tapi, Pak—” Naura mencoba memprotes. Reval mengangkat tangannya, memotong ucapannya dengan sikap yang tidak bisa diganggu gugat. “Ini perintah. Jika kamu tidak suka, kamu tahu di mana letak pintu keluar.” Perut Naura seperti dipukul keras. Ia mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak. Tetapi ia tahu, tidak ada gunanya melawan Reval saat ini. Pria itu memegang kendali penuh, dan ia tidak bisa mengambil risiko kehilangan pekerjaannya. “Kamu bisa menjadi asisten tanpa meninggalkan status kamu sebagai manajer,” sambung Reval. Reval mengetuk meja dengan ujung jarinya, seolah sedan
Naura mengikuti langkah Reval ke luar gedung, merasa resah karena banyak mata yang menatap mereka. Firasat aneh muncul di hatinya, tetapi dia tidak berani bertanya. Pria di dekatnya ini berjalan dengan penuh percaya diri menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan, seorang sopir menunggu di balik kemudi. “Masuk,” perintah Reval sambil membuka pintu mobil untuknya. Naura menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Begitu ia duduk di kursi penumpang belakang, Reval menyusul masuk, menutup pintu dengan tenang. Sopir segera menyalakan mesin dan membawa mereka menuju tempat tujuan. *** Naura menyesuaikan posisi duduknya, merasa canggung di restoran mewah dengan lampu gantung kristal dan meja berlapis linen putih. Mereka duduk di sudut ruangan, agak tersembunyi dari pengunjung lain. “Apa yang ingin Bapak bahas?” tanya Naura sambil membuka menu, berusaha fokus pada daftar makanan. Reval menatapnya tanpa berkedip. “Bukan hanya pekerjaan. Aku ingin tahu, bagaimana
Reval tidak menggubrisnya. “Kamu terluka. Jangan memaksakan diri,” ucap Reval dingin, tetapi tangannya tetap kokoh memegang Naura. Ia membawanya menuju mobil hitamnya yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Naura merasa malu dan tidak nyaman. “Pak, saya bisa naik taksi saja. Tidak perlu repot-repot,” ucapnya sambil mencoba melepaskan dirinya. Reval menatapnya tajam, lalu membuka pintu mobil. “Masuk.” Itu lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan. Naura tidak punya pilihan lain selain menuruti. Ia duduk di samping Reval. “Jalan!” Mobil meluncur dengan cepat. --- Di dalam mobil, suasana hening. Naura mencoba menenangkan dirinya, meski rasa sakit di pergelangan kakinya masih terasa. Ia melirik Reval dari sudut matanya. Wajah pria itu terlihat serius. “Pak Reval, saya benar-benar tidak apa-apa. Saya hanya butuh sedikit waktu untuk istirahat, itu saja.” Naura mencoba membuka pembicaraan, meskipun nadanya ragu. Reval mendengkus pelan. “Istirahat t
Tiba-tiba, Reval mendekatkan wajahnya tanpa memberikan waktu bagi Naura untuk bereaksi. Dengan gerakan pasti, ia menangkup wajah Naura. Sebelum Naura sempat berkata apa-apa, bibirnya menyentuh bibir Naura dengan lembut, tetapi menuntut. Naura tersentak, tubuhnya menegang di bawah kendali Reval. Bibir Reval yang hangat melumat bibirnya dengan gerakan yang teratur, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuhnya. Ciuman panas itu cukup untuk membuat perasaan Naura berantakan. Ciuman itu penuh kendali, membuatnya seolah-olah kehilangan gravitasi. Tangannya, yang tadinya berada di pangkuan, mengepal erat untuk menahan gelombang sensasi yang menyusup ke setiap sarafnya. Naura masih terdiam, tubuhnya kaku. Otaknya berusaha keras memahami apa yang baru saja terjadi, namun respons tubuhnya jauh lebih lambat. Ia tidak melawan, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Reval memperdalam ciumannya, menggerakkan bibirnya dengan intensitas yang mengguncang ketenangan Naura. Seolah-olah wa
Reval terkejut sejenak, tubuhnya membeku saat bibir Callista menyentuh pipinya. Namun, hanya sejenak. Seketika, rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah dingin seperti es. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh, menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dan Callista. “Singkirkan tanganmu,” ucapnya dengan nada rendah, tapi tegas, mengandung ancaman terselubung. Matanya yang tajam seperti belati menatap Callista yang masih tersenyum percaya diri, seolah tidak menyadari kemarahan yang sedang membara. Callista tertawa kecil, mengabaikan ketegangan di wajah Reval. Ia mengalihkan pandangannya ke Adelia, menggamit lengannya dengan gaya manja yang membuat Reval semakin muak. “Tante, lihatlah. Reval bahkan tidak menghargai keberadaanku di sini. Padahal aku sudah berusaha keras untuk membuat hubungan kami lebih baik,” ujarnya dengan suara yang sengaja dilembutkan, seolah dirinya adalah korban. Adelia menghela napas panjang, ekspresi lelah terpancar di wajahnya. Ia menatap Reval dengan ma
Naura menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Ia memikirkan tuduhannya, emosi yang tadi meluap begitu saja. Namun, yang lebih menghantuinya adalah kenyataan yang disembunyikan dari Dion. Sebuah kebenaran yang tidak berani ia akui, bahkan kepada dirinya sendiri. Bahwa ia yang telah mengkhianati Dion. Dion memperhatikan Naura yang terlihat tidak seperti biasanya. Wajah yang biasanya ceria kini tampak lesu, dengan sorot mata yang tidak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia menghela napas panjang, mengusap tengkuknya sebelum berbicara lagi. “Nau, aku tahu akhir-akhir ini kamu banyak pikiran,” ucap Dion. “Tapi, coba kita bicarakan baik-baik. Jangan asal tuduh. Aku ini suamimu, bukan musuh.” Kata-kata itu terasa menusuk telinga Naura. Suara Dion yang mencoba memulihkan suasana justru semakin membebani pikirannya. Matanya tetap menatap lantai, mencoba menghindari kontak mata. “Mas Dion,” ia memulai dengan suara yang hampir tidak terdengar, “maaf ....” “Bukan soal maaf, N
Naura berbalik dengan cepat. Dion berdiri di ambang pintu dapur, alisnya berkerut dalam. Wajahnya penuh tanya, matanya langsung terarah pada Naura dan Mirna yang tampak bersalah. “Mas Dion ....” Naura tergagap, mencari alasan. Suaranya serak, seperti tertahan oleh beban yang semakin berat. Ia takut jika Dion mendengar semuanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Dion lagi. Naura merasa seluruh tubuhnya kaku. Tangannya yang basah karena keringat menyeka ujung meja dapur. Tentu saja, ia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. “Kami hanya membicarakan tentang kesehatan Ibu Lastri, Pak Dion,” jawab Mirna dengan nada tenang. Dion mengerutkan alis, semakin curiga. “Oh, jadi seperti itu?” Naura melirik Mirna dengan panik. Perasaan takut yang menghantui sejak tadi semakin menekan dadanya. Apa yang harus ia katakan? Ia tahu Dion bukan tipe orang yang mudah dibohongi. “Naura, apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?” Dion mendekatkan wajahnya. Suaranya tegas, tetapi tidak
“Ibu sudah sarapan, Nyonya,” jawab Bi Mirna sambil tersenyum. “Ini bibi mau antarkan jus buat Ibu Lastri.” Naura mengangguk pelan. “Terima kasih ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan juga,” katanya dengan tulus. “Sama-sama, Nyonya. Bibi mau ke kamar Ibu Lastri dulu,” ujar Bi Mirna sebelum melangkah pergi membawa nampan berisi jus jeruk itu. Setelah Bi Mirna pergi, Naura kembali duduk di meja makan. Ia melanjutkan makan paginya, tetapi pikiran tentang Dion tidak bisa diabaikannya begitu saja. Ia mengingat-ingat semalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Dion harus pergi pagi-pagi sekali. Semuanya terasa normal. Naura menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dion mungkin hanya lupa memberitahu. Namun, rasa gelisah tetap menyelinap di hatinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, memeriksa apakah ada pesan dari Dion. Tidak ada. “Dia terlalu sibuk,” pikir Naura, mencoba memberikan alasan. Tetapi alasan itu tidak membuat hatinya lega. Ia memandang piring nasi goreng d
Naura menelan ludah. Ia kemudian menyesap teh perlahan, membiarkan rasa hangat mengalir di tenggorokannya, menenangkan seluruh syaraf yang tegang. Dalam diam, ia berusaha menyembunyikan hatinya yang begitu terpengaruh oleh kehadiran Reval juga oleh cara lelaki itu merawatnya dengan perhatian yang tak pernah ia duga.“Apa kamu merasa lebih baik?” suara Reval memecah keheningan.Naura mengangguk pelan, meskipun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa rasa nyaman ini berbahaya. “Terima kasih,” bisiknya. “Untuk tehnya ... dan untuk semuanya.”Reval hanya tersenyum samar. “Apakah kamu merasa lapar?” tanya Reval sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Naura yang masih memegang cangkir teh hangat di tangannya.Naura terdiam sejenak, mengalihkan pandangan ke jendela hotel yang mulai basah oleh hujan di luar. Suara derasnya menambah kesan sunyi di dalam ruangan. Perutnya sebenarnya sudah lama meronta, tetapi ia terlalu terbiasa mengabaikan kebutuhannya sendiri. “Sedikit,” jawab Nau
Hatinya melompat mendengar kata-kata itu, tetapi ia segera menutupinya dengan senyum tipis yang sinis. “Penting? Untuk apa? Agar Bapak bisa bermain dengan emosi saya setiap kali Anda bosan?” “Tidak.” Reval menggeleng pelan, seolah jawaban itu sudah lama ia pikirkan. “Aku tidak bermain-main. Aku tidak pernah menganggap kamu sebagai mainan, Naura.” “Lalu kenapa? Kenapa Pak Reval terus membuat saya bingung seperti ini?” Naura mendesak, matanya mulai terasa panas. Ia benci kelemahannya sendiri, benci betapa mudahnya lelaki ini memengaruhinya. Reval terdiam sejenak, mengamati wajah Naura seakan mencari sesuatu yang tak terucapkan. “Karena aku tidak bisa berhenti.” Naura mengerutkan kening, hatinya semakin kacau. “Berhenti apa?” “Berhenti peduli.” Reval menghela napas, seolah ucapan itu membawa beban yang lama ia pendam. “Berhenti memikirkan kamu setiap saat. Berhenti ingin selalu berada di dekatmu.” Sunyi menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Kata-kata
Naura terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Sebagian dari dirinya merasa bahwa Reval benar, ia terlalu sensitif. Tapi di sisi lain, ia juga merasa bahwa Reval sering kali bersikap terlalu dingin dan mendominasi. “Saya tidak berniat mencari masalah,” gumam Naura akhirnya. “Saya hanya ingin diperlakukan dengan sedikit lebih baik.” Reval menatapnya selama beberapa detik, lalu menghela napas lagi. Ia memutar kemudi dan melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa-apa lagi. Setibanya di hotel, Naura langsung membuka pintu mobil dan keluar tanpa menunggu Reval. Ia berjalan cepat menuju lobi, berusaha mengabaikan tatapan beberapa tamu yang kebetulan lewat. “Naura,” panggil Reval dari belakang. Ia berhenti, tetapi tidak menoleh. “Apa lagi, Pak?” Reval berjalan mendekat, hingga berdiri di sampingnya. “Kita belum selesai membicarakan ini.” Naura menatapnya dengan tajam. “Kita bisa membahasnya besok. Lagipula tadi Bapak juga bilang jika Bapak lelah.” “Tidak, sekarang
Tubuh Naura membeku sesaat, matanya menatap muatan besar yang bergerak semakin cepat ke bawah. Sebelum ia sempat berpikir untuk melarikan diri, seseorang menarik tangannya dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang dan jatuh di atas tanah berdebu. Debum keras terdengar, membuat tanah bergetar. Naura terengah-engah, menyadari betapa dekatnya ia dengan bahaya tadi. Ia mendongak dan mendapati Reval berlutut di sampingnya, napasnya terdengar berat. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dengan nada yang lebih lembut daripada biasanya. Naura hanya mengangguk, masih belum bisa berkata-kata. Reval segera berdiri dan mengulurkan tangannya pada Naura. “Kamu harus lebih berhati-hati. Proyek ini bukan tempat untuk melamun.” Naura menerima uluran tangan itu, merasa pipinya memanas karena merasa bodoh. “Maaf, Pak. Saya tidak menyadari—” “Simpan penjelasanmu,” potong Reval. “Yang penting kamu selamat.” Nada suaranya terdengar dingin, tetapi sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain
Setelah makan siang yang penuh ketegangan terselubung, Reval memutar kunci mobilnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memegang ponsel. Ia tampak serius, berbicara dengan seseorang di ujung sana dengan nada tegas. Naura duduk diam di kursi penumpang, mencoba mengalihkan perhatian dari suara Reval dengan menatap jalanan yang mulai dipadati kendaraan. Perutnya masih terasa kenyang, tetapi pikirannya tidak tenang. Sikap Reval yang samar atau tidak jelas, membuatnya kesulitan menebak apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan darinya. “Baik, aku akan sampai dalam lima belas menit,” ujar Reval sebelum menutup panggilannya. Ia melirik Naura sekilas, lalu mengarahkan mobil kembali ke arah proyek. “Pak, apakah kita kembali ke lokasi proyek?” tanya Naura, mencoba memecah keheningan. Reval mengangguk. “Ada yang perlu aku cek lagi. Kamu ikut.” Naura mendesah pelan, merasa tidak memiliki pilihan. Ia menyandarkan tubuhnya pada kursi, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya p
Reval mendekat, menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan. “Naura, dengarkan aku baik-baik. Apa yang terjadi di luar sana, apa yang orang lain lakukan, tidak pernah memengaruhi bagaimana aku bekerja atau bagaimana aku melihat situasi ini. Clara tidak berarti apa-apa.” Naura merasa wajahnya memanas mendengar penegasan itu. Tetapi sebelum ia bisa merespons, Reval melanjutkan. “Dan satu hal lagi,” kata Reval, suaranya menjadi lebih lembut. “Kamu tidak perlu merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu. Fokuslah pada pekerjaan kita. Itu yang penting.” Naura mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi rasa tidak nyaman. Wanita itu menggenggam tangan, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin, ia hanya terlalu sensitif. “Naura.” Wanita itu menoleh, melihat wajah Reval yang begitu dekat dengannya. “Jangan lupa, besok pagi kita masih banyak kegiatan. Jangan tidur terlalu larut.” Reval mengecup singkat kening Naura. Membuat wanita itu terdiam kaku di tempatnya. Kecupan singka
Naura merasa wajahnya memanas. Ia hanya mengangguk singkat dan melangkah keluar. Di dalam lift, mereka berdiri berdampingan, tetapi tidak ada yang berbicara. Naura mencuri pandang ke arah Reval, mencoba membaca ekspresinya, tetapi seperti biasa, ia tidak menunjukkan apa-apa. Ketika mereka hendak turun dari mobil, Reval membukakan pintu untuknya. “Kamu sudah melakukannya dengan baik hari ini,” ucap Reval singkat, tetapi ada nada tulus dalam suaranya. Naura terkejut mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi.” Reval mengangguk, lalu berjalan pergi. Naura berdiri di sana sejenak, merenungkan kata-kata pria itu. Meski hanya sederhana, pujian itu memberinya semangat baru untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Namun, ketika ia melangkah masuk ruangan, di sana sudah ada dua orang yang menunggu. Mereka akhirnya duduk bersama dua klien di meja bundar yang dikelilingi kursi empuk. Percakapan mengalir dengan santai, sesekali dipenuhi suara gelas yang berad
Suasana mendadak begitu sunyi. Kehangatan yang ditinggalkan lelaki itu seolah terserap oleh dinding-dinding kamar yang kini terasa dingin dan luas. Naura menghela napas panjang, kemudian berbalik menatap kamarnya yang luas dan elegan. Kamar hotel itu begitu mewah dengan perabotan kayu berkilap, seprai putih bersih yang tertata rapi, dan balkon besar yang menghadap ke taman di luar. Namun, bukannya merasa nyaman, Naura justru merasa asing. Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. Langit oranye membentang di atas pohon-pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Di kejauhan, burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Betapa damainya dunia di luar sana. Berbeda jauh dengan badai kecil yang mengisi hatinya saat ini. Naura menyandarkan dahinya ke kaca yang dingin. Ingatan tentang kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Sentuhan Reval di tangannya, ciuman yang terasa terlalu hangat, terlalu nyata. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis
Naura meliriknya sekilas dari sudut matanya. “Apa maksud Pak Reval?” “Pak Handoko. Dia mengira kita pasangan,” jawab Reval sambil menyetir dengan fokus. “Kamu bisa saja menjelaskan kalau itu hanya kesalahpahaman.” Naura menghela napas pelan, menahan emosi yang mulai menggelegak. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa membuat suasana semakin aneh. Lagipula, itu kesalahan Bapak.” Reval tersenyum tipis, meskipun matanya tetap tertuju ke jalan. “Kesalahanku?” “Ya,” jawab Naura tegas. “Bapak yang memegang tangan saya di bawah meja. Saya tidak mungkin menjelaskannya di depan semua orang tanpa membuat mereka curiga.” Reval mengangguk pelan, seolah memahami maksudnya. “Baiklah, aku akui itu salahku. Tapi kamu terlalu memikirkannya. Pak Handoko hanya bercanda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Naura menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Percakapan itu seharusnya selesai, tetapi ada sesuatu tentang sikap Reval yang membuatnya gelisah. Lelaki itu sering kali