Hmmm, ada apa nih??? Siapa dia???
Reval terkejut sejenak, tubuhnya membeku saat bibir Callista menyentuh pipinya. Namun, hanya sejenak. Seketika, rahangnya mengeras, dan tatapannya berubah dingin seperti es. Ia menarik tubuhnya sedikit menjauh, menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dan Callista. “Singkirkan tanganmu,” ucapnya dengan nada rendah, tapi tegas, mengandung ancaman terselubung. Matanya yang tajam seperti belati menatap Callista yang masih tersenyum percaya diri, seolah tidak menyadari kemarahan yang sedang membara. Callista tertawa kecil, mengabaikan ketegangan di wajah Reval. Ia mengalihkan pandangannya ke Adelia, menggamit lengannya dengan gaya manja yang membuat Reval semakin muak. “Tante, lihatlah. Reval bahkan tidak menghargai keberadaanku di sini. Padahal aku sudah berusaha keras untuk membuat hubungan kami lebih baik,” ujarnya dengan suara yang sengaja dilembutkan, seolah dirinya adalah korban. Adelia menghela napas panjang, ekspresi lelah terpancar di wajahnya. Ia menatap Reval dengan ma
Naura menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Ia memikirkan tuduhannya, emosi yang tadi meluap begitu saja. Namun, yang lebih menghantuinya adalah kenyataan yang disembunyikan dari Dion. Sebuah kebenaran yang tidak berani ia akui, bahkan kepada dirinya sendiri. Bahwa ia yang telah mengkhianati Dion. Dion memperhatikan Naura yang terlihat tidak seperti biasanya. Wajah yang biasanya ceria kini tampak lesu, dengan sorot mata yang tidak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia menghela napas panjang, mengusap tengkuknya sebelum berbicara lagi. “Nau, aku tahu akhir-akhir ini kamu banyak pikiran,” ucap Dion. “Tapi, coba kita bicarakan baik-baik. Jangan asal tuduh. Aku ini suamimu, bukan musuh.” Kata-kata itu terasa menusuk telinga Naura. Suara Dion yang mencoba memulihkan suasana justru semakin membebani pikirannya. Matanya tetap menatap lantai, mencoba menghindari kontak mata. “Mas Dion,” ia memulai dengan suara yang hampir tidak terdengar, “maaf ....” “Bukan soal maaf, N
Naura berbalik dengan cepat. Dion berdiri di ambang pintu dapur, alisnya berkerut dalam. Wajahnya penuh tanya, matanya langsung terarah pada Naura dan Mirna yang tampak bersalah. “Mas Dion ....” Naura tergagap, mencari alasan. Suaranya serak, seperti tertahan oleh beban yang semakin berat. Ia takut jika Dion mendengar semuanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Dion lagi. Naura merasa seluruh tubuhnya kaku. Tangannya yang basah karena keringat menyeka ujung meja dapur. Tentu saja, ia tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. “Kami hanya membicarakan tentang kesehatan Ibu Lastri, Pak Dion,” jawab Mirna dengan nada tenang. Dion mengerutkan alis, semakin curiga. “Oh, jadi seperti itu?” Naura melirik Mirna dengan panik. Perasaan takut yang menghantui sejak tadi semakin menekan dadanya. Apa yang harus ia katakan? Ia tahu Dion bukan tipe orang yang mudah dibohongi. “Naura, apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?” Dion mendekatkan wajahnya. Suaranya tegas, tetapi tidak
“Ibu sudah sarapan, Nyonya,” jawab Bi Mirna sambil tersenyum. “Ini bibi mau antarkan jus buat Ibu Lastri.” Naura mengangguk pelan. “Terima kasih ya, Bi. Sudah dibuatkan sarapan juga,” katanya dengan tulus. “Sama-sama, Nyonya. Bibi mau ke kamar Ibu Lastri dulu,” ujar Bi Mirna sebelum melangkah pergi membawa nampan berisi jus jeruk itu. Setelah Bi Mirna pergi, Naura kembali duduk di meja makan. Ia melanjutkan makan paginya, tetapi pikiran tentang Dion tidak bisa diabaikannya begitu saja. Ia mengingat-ingat semalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Dion harus pergi pagi-pagi sekali. Semuanya terasa normal. Naura menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Dion mungkin hanya lupa memberitahu. Namun, rasa gelisah tetap menyelinap di hatinya. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, memeriksa apakah ada pesan dari Dion. Tidak ada. “Dia terlalu sibuk,” pikir Naura, mencoba memberikan alasan. Tetapi alasan itu tidak membuat hatinya lega. Ia memandang piring nasi goreng d
Naura membeku. Ia tak menyangka situasinya akan seperti ini. “Saya … maaf, saya tidak tahu kalau Bapak sedang sibuk.” Naura berdiri dengan gelisah di dekat pintu, tatapannya tertunduk. Ia menyesal telah menerobos masuk tanpa izin. Suasana di ruangan itu begitu mencekam, membuatnya merasa seperti seorang siswa yang sedang dimarahi guru. Ia menelan ludah saat Reval berbicara. “Saya minta maaf. Saya benar-benar tidak tahu,” kata Naura dengan suara pelan, sambil menunduk dalam-dalam. Ia melirik Ervan yang masih berdiri tidak jauh dari meja Reval. Tatapan pria itu sulit ditebak. Seperti campuran antara bingung dan penasaran. Naura menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk segera keluar dari situasi canggung ini. “Kalau begitu saya permisi, Pak,” lanjut Naura, suaranya hampir bergetar. Ia melangkah mundur, bersiap meninggalkan ruangan. Namun, suara Reval yang tegas menghentikan langkahnya. “Tidak perlu.” Naura membeku. Ia mendongak perlahan, menatap Reval yang kini m
Kalimat itu menghantam Naura seperti gelombang besar yang menghancurkan ketenangannya. Ia membuka matanya perlahan, menatap Reval dengan campuran ketakutan dan kemarahan. Jantung Naura berdetak begitu kencang hingga ia merasa tubuhnya gemetar. “Anda salah,” balas Naura, mencoba menegaskan dirinya meskipun suara itu hampir tidak terdengar. “Apa yang Anda pikirkan tidak benar. Saya tidak pernah ...” Reval mengangkat alis, memotong kalimat Naura dengan tatapan yang penuh dominasi. “Tidak pernah apa? Menginginkanku?” ia bertanya, nadanya seperti ejekan yang menggores harga diri Naura. Naura merasa wajahnya semakin memanas, tetapi kali ini bukan karena malu. Itu karena amarah. “Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, Pak,” ujar Naura dengan suara yang sedikit lebih tegas. “Dan apa pun yang Anda pikirkan tentang saya, itu salah.” Ruangan itu hening sejenak. Suasana mencekam yang melingkupi mereka seperti menekan seluruh udara keluar dari paru-paru Naura. Ia ingin pergi, men
“Tidak mungkinkan Pak Reval yang melakukannya?” Naura terduduk lemas di kursinya. Merasa menyesal karena menghabiskan makanan tanpa mencari tahu terlebih dahulu siapa pengirimnya. “Biarlah. Siapa suruh makanan itu ada di meja kerjaku.” Pukul lima sore, Naura merasakan sedikit bosan. Tubuhnya terasa begitu lelah. “Mungkin membuat secangkir kopi bisa menenangkan pikiran.” Dengan sisa tenaga yang ada, Naura memilih untuk pergi ke pantry. Langkah-langkah sepatu hak rendah Naura terdengar pelan di sepanjang koridor kantor. Ia membawa minuman favoritnya, berniat untuk sedikit bersantai di pantry sebelum kembali menghadapi tumpukan laporan. Saat memasuki pantry, ia melihat Andi, rekan kerjanya yang ramah, sedang menuangkan air panas ke dalam gelas berisi teh celup. “Hai, Mbak Naura!” sapa Andi sambil tersenyum lebar. “Lagi nyari inspirasi juga di sini?” Naura tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Istirahat sebentar dari angka-angka yang nggak habis-habis.” Andi mengangguk s
Suara detak jam dinding samar-samar terdengar dalam ruangan yang sunyi itu. Naura berdiri di depan meja besar milik Reval dengan tatapan ragu. Pandangannya sesekali teralihkan ke arah pintu, berharap ada alasan untuk pergi, namun kenyataannya tidak semudah itu. Reval menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam dengan tenang, tetapi matanya menyimpan sorot tajam yang membuat Naura merasa terintimidasi. Wajahnya seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ia ucapkan. “Kamu pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” Suara Reval terdengar rendah namun tegas, memecah keheningan. Naura mencoba menenangkan dirinya. Napasnya pelan namun terasa berat. “Saya mengerti, Pak. Saya harus siap kapan pun Bapak membutuhkan saya. Termasuk ...” Kata-katanya menggantung di udara. Tenggorokannya terasa kering, sulit baginya untuk melanjutkan kalimat. Ia tahu apa yang diinginkan Reval, namun menyatakannya dengan suara lantang adalah tantangan besar. Sejujurnya, Naura bersyukur karena Reval sempat membiar
Naura duduk di sudut ruangan, kepalanya bersandar pada dinding kayu yang mulai lapuk. Tangannya masih terikat, tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Pikirannya terus berputar mencari celah. Ia harus keluar dari sini sebelum Dion benar-benar menghancurkan segalanya. Dari luar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, dan pria bertopeng yang tadi datang kembali, kali ini tanpa nampan makanan. “Hari ini kau akan dipindahkan,” katanya singkat. Naura menelan ludah. Dipindahkan? Ke mana? Pria itu berjalan mendekat, menarik tali yang mengikat tangannya, lalu menyeretnya berdiri. “Ayo.” Naura tahu ia tak bisa melawan dalam kondisi seperti ini. Tapi, jika dia dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, peluangnya untuk selamat akan semakin kecil. ‘Tuhan, bantu aku…’ Saat mereka melewati lorong sempit yang gelap, Naura memperhatikan sekelilingnya. Matanya menangkap sebilah pisau kecil tergeletak di atas meja kayu di sudut ruangan. Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan tubuhnya
“Paman Riko?” Reval merasakan amarah membakar seluruh tubuhnya. Ia mengepalkan tangan, nyaris melayangkan pukulan ke wajah Dion, tetapi pria itu dengan santai menjauh, mengangkat ponselnya lebih tinggi. “Tenang, Reval. Kalau kau menyentuhku, aku bisa saja menyuruh Riko melakukan sesuatu yang lebih buruk pada Naura,” katanya dengan seringai puas. Reval mengertakkan giginya. “Apa yang kau inginkan?” Dion menoleh ke Callista dan tertawa kecil. “Gampang. Akui bahwa anak dalam kandungan Callista adalah milikmu, nikahi dia, dan aku akan melepaskan Naura,” katanya santai. Reval mencibir. “Mimpi.” Callista mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. “Reval, kau tahu kau tidak punya pilihan, kan?” ujarnya manja, tangannya berusaha menyentuh dada Reval. Reval menepisnya kasar. “Kalian pikir aku bisa percaya pada kalian? Bahkan jika aku menuruti permintaan kalian, tidak ada jaminan Naura akan selamat.” Dion terkekeh. “Tentu saja ada jaminannya. Tapi kalau kau membangkang…” Ia memutar vide
“Sebenarnya ... ini bukan hal yang penting.” Naura tidak tahu harus menjawab apa. “Naura, ada apa? Apapun itu, aku akan mendengarkannya.” Naura menatap Reval, lalu mengambil secarik kertas. “Surat cerai saya sudah resmi. Saya dan Mas Dion … bukan suami-istri lagi.” Reval menatap surat itu. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadanya. Ia merasa lega dan informasi itu adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. Bagaimana mungkin Naura mengatakan bahwa itu tidak penting? Namun, ekspresi Naura masih terlihat berat dan seolah sedang dilanda gelisah yang mendalam. “Ada apa lagi?” tanya Reval lembut. Naura menggigit bibirnya. “Saya mendengar sesuatu dari Bu Lastri belakangan ini.” Reval mengernyit. “Apa?” Naura menghela napas, lalu menatap Reval dalam-dalam. “Callista. Sebenarnya dia tidak benar-benar tinggal di rumah Mas Dion. Waktu itu dia hanya kebetulan ada di sana saat saya mengajukan cerai dan dia sengaja memanas-manasi saya.” Reval menegang. “Dan
Reval berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Firasat buruk terus menghantui pikirannya. Ponselnya di saku bergetar. Dengan malas, ia meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar. Dahi Reval mengernyit. Setelah beberapa detik ragu, ia akhirnya masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ia melihat Callista duduk di atas ranjang dengan wajah pucat. Mata wanita itu tampak merah seolah habis menangis. Reval menutup pintu dan berjalan mendekat. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu yang ada di sini?” Callista menundukkan kepalanya, menggenggam ujung selimut dengan erat. “Aku … aku hamil, Reval.” Jantung Reval seperti berhenti berdetak sejenak. Ia menatap Callista dengan tatapan tajam. “Apa hubungannya denganku? Lalu di mana Naura? Aku ingin bertemu dengannya.” “Tentu saja ada hubungannya denganmu, Reval.” Callista mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata penuh harap. “Ini adalah anakmu.” Reval m
Ruang tamu dipenuhi keheningan yang menegangkan. Adelia duduk di sofa dengan tatapan dingin, sementara Reval berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh ketegasan. “Apa kamu bilang?” suara Adelia meninggi, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Reval menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. “Aku ingin mama meminta maaf kepada Naura.” Adelia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. “Kenapa tiba-tiba kamu meminta hal itu, Reval? Mama tidak merasa punya urusan dengan perempuan itu.” Reval mengepalkan tangan, berusaha tetap tenang. “Karena mama telah menyakitinya.” Adelia menyipitkan mata. “Jangan membesar-besarkan masalah, Reval. Lagipula, perempuan itu bukan siapa-siapa bagi mama.” Reval mendekat, menatap ibunya dengan tajam. “Bukan siapa-siapa? Dia adalah wanita yang sedang mengandung anakku, Ma!” Adelia terdiam sesaat. Matanya membulat, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa sinis. “Jadi, itu alasan kamu membelanya mati-matian
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dion, meninggalkan jejak kemerahan yang jelas. Kepala pria itu sedikit tergeleng, namun bukan karena sakitnya tamparan itu, melainkan karena keterkejutannya. Callista berdiri di hadapannya dengan mata membelalak, napasnya memburu penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu, Dion!” suara Callista menggema di seluruh ruangan. Dion mengusap pipinya yang perih, ekspresinya berubah dingin. “Kenapa kamu menamparku, Callista? Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.” Callista mendengkus kasar. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seakan merasa jijik dengan situasi yang sedang terjadi. “Sial! Aku hanya ingin bersenang-senang, bukan mendapatkan ini!” Suaranya bergetar, dan matanya menatap Dion dengan kebencian. Dion menyipitkan mata. “Maksudmu?” “Aku hamil, Dion! Aku mengandung anak sialan ini gara-gara kamu!” Callista berteriak frustrasi, tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dion terdiam sejenak. Pikirannya berputar cepat, menc
Beberapa minggu telah berlalu. Naura berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia tinggali sebagai istri Dion. Pintu rumah itu masih sama seperti terakhir kali Naura melihatnya. Cat cokelat tua yang mulai memudar, gagang pintu berwarna perak yang kini tampak lebih kusam. Namun, bagi Naura, rumah ini sudah kehilangan maknanya sejak lama. Tangannya menggenggam erat amplop cokelat berisi surat cerai. Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menyelesaikan semuanya. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan di dalam pernikahan yang telah hancur sejak lama. Dengan napas panjang, Naura mengetuk pintu. Dadanya berdebar, bukan karena ragu, tetapi karena ia ingin semua ini segera berakhir. Tak butuh waktu lama, suara langkah kaki terdengar dari dalam, lalu pintu terbuka. “Naura!” Suara itu begitu akrab. Hangat. Seakan tidak ada luka yang pernah mengisi kehidupan mereka. Bu Lastri berdiri di ambang pintu dengan mata berbinar, seolah-olah kehadiran Naura adalah sesuatu yang ia rindukan sejak la
Reval menghela napas, lalu menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu, Naura,” ucapnya serius. “Aku tidak akan menikahimu hanya karena tanggung jawab. Aku ingin bersamamu karena aku memang menginginkannya. Lebih dari apapun.” Naura menatap mata Reval, mencari kepastian di sana. Dan ia menemukannya. Kejujuran. Ketulusan. Tapi tetap saja... “Tidak semudah itu, Pak Reval,” bisiknya. “Ada banyak hal yang harus saya pikirkan.” Reval melepaskan tangannya dari wajah Naura, kemudian menghela napas panjang. “Lalu berapa lama lagi kamu mau berpikir?” tanya Reval dengan nada frustrasi. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. “Apa kamu takut?” tanya Reval lagi. Naura mengangkat wajahnya, menatap Reval dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Ya,” jawabnya jujur. Reval terdiam. Naura menghela napas berat, suaranya lirih ketika berkata, “Saya takut mengambil keputusan yang salah. Takut jika perasaan ini hanya sesaat. Takut jika nanti saya justru menyakiti B
Naura mengangguk cepat. Reval mendesah, lalu melambai pada pelayan. “Pesan satu es krim cokelat.” “Tunggu, Pak Reval! Saya maunya yang stroberi.” Reval terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Oke, stroberi.” Tak butuh waktu lama, es krim datang. Naura langsung menyendoknya dengan bahagia, tapi tiba-tiba ia mengernyit. Reval memperhatikan ekspresinya dengan waspada. “Kenapa lagi?” Naura menggigit bibirnya. “Sepertinya saya ingin yang cokelat.” Reval menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa lepas. Naura menatapnya kesal. “Bapak kenapa tertawa?” “Kamu mulai bertingkah seperti ibu hamil pada umumnya.” Naura mendelik. “Saya memang hamil, kan?” Reval mengangkat bahu dengan senyum lebar. “Ya, tapi sekarang kamu benar-benar kelihatan seperti bumil yang sering ngidam aneh-aneh.” Naura mendengkus, tapi diam-diam pipinya merona. Reval memperhatikannya, lalu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Naura di atas meja. “Apa?” tanya Naura bingung. Reval te