Tuduhan Hisyam tidak akan membuat status janin dalam rahim Aini lepas darinya. Namun, Aini tetap memilih pergi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan bantuan Khalid yang telah memendam lama perasaannya. Tetapi siapa sangka jika ditempatnya yang baru, ia malah bertemu dengan Zain, lelaki dari masa lalu yang telah ia pendam dalam hati. Akankah Aini berpaling dari usahanya untuk menerima Khalid demi Zain? atau ia lebih memilih kembali kepada Hisyam setelah menyadari semua kesalahannya? Lantas bagaimana dengan Khalid?
View MoreBab 1
"Mas Hisyam," lirih Aini tak percaya. Dadanya tiba-tiba saja berdenyut nyeri saat melihat gambar dalam layar ponsel yang ada di sebelah wadah kecil berisi urine miliknya.
Benda pipih hasil tes kehamilan itu jatuh ke lantai saat mata Aini makin jelas mengamati sebuah rekaman video singkat yang dikirim oleh seseorang. Uluran tangan Hisyam menyentuh ujung bibir perempuan di depannya dalam video tersebut membuat dadanya bak dihantam palu godam. Udara yang bebas dalam ruangan kamar yang lumayan besar itu tiba-tiba terasa sulit untuk dihirup oleh hidungnya.
"Tak mungkin begini," lirih Aini. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pikiran baik masih terus menusuk-nusuk pikirannya karena tak mau percaya dengan video tersebut.
"Ngga mungkin! Mas Hisyam ngga mungkin selingkuh!" gumam Aini lagi. Ia segera mengetik pesan balasan untuk pengirim video tersebut.
Aini
Aku ngga percaya. Ini pasti cuma temenan aja.
Aisha
Ngga percaya ya sudah, kamu boleh datang untuk memastikannya sendiri. Aku sudah mendapatkan info jelas dan dari sumber terpercaya jika dia datang beberapa kali ke tempat itu bersama orang yang sama. Selalu saja bermesraan di sudut kafe yang tak banyak dijangkau oleh pengunjung lain.
Benda pintar itu segera diletakkannya ke atas nakas. Ia harus bersiap ke kafe tersebut dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan kabar baik yang harusnya segera disampaikan harus rela ia tutupi untuk sementara waktu.
"Mau kemana, Ain?" tanya Bu Laras, mertuanya. Ia melihat Aini tergesa-gesa keluar, seperti ada sesuatu yang tidak beres.
"Em mau ...." Aini berhenti berucap. Ia ragu hendak mengatakan apa yang baru saja didapatkannya. Sebab ia belum memastikan sendiri.
"Kok diem?"
"Em anu, Bu. Ada masalah di toko. Saya harus turut bantu teman-teman." Aini berbohong. Kejadian yang belum jelas dilihat oleh mata kepalanya sendiri tak pantas diumbar ke orang lain.
"Oalah. Ya sudah. Hati-hati."
Aini pun melesat pergi meninggalkan rumah. Ia mengendarai motor maticnya menuju alamat yang diberikan oleh Aisha tadi.
Lantunan dzikir terus terukir di bibir Aini yang polos tanpa lipstik. Kepalanya masih enggan menerima kabar tersebut, tapi melihat jam pulang kerja suaminya yang sedikit berubah beberapa hari ini membuat Aini merasa tak biasa dan ia harus mencari tahu soal ini.
Betapa terkejutnya hati Aini saat melihat suaminya sedang bercanda mesra dengan wanita lain di tempat yang ditunjukkan oleh temannya itu. Keduanya sedang berjalan keluar dari kafe sambil berangkulan mesra layaknya sepasang suami istri yang sedang berbahagia.
Dengan langkah cepat, Aini segera menghampiri dua sejoli itu untuk mendapatkan penjelasan.
"Bahagia sekali ya," sindir Aini tiba-tiba di depan mereka. Ia melipat tangannya di depan dada sambil berdiri dengan anggunnya. Rasa tak percaya yang sejak tadi terus bergelayut dalam hatinya harus ia paksa untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Bahkan ia harus berpura-pura baik untuk mendapatkan kejelasan dari apa yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Sayang? Ini ngga seperti yang kamu lihat," lirih Hisyam kaget. Ia langsung mengurai pelukannya di pinggang perempuan cantik di sebelahnya itu.
"Kenapa? Kaget? Pamitnya sedang keluar bersama teman-teman, nyatanya," ujar Aini sengaja menggantung ucapannya sambil melirik perempuan di depannya itu dengan sinis.
"Kami cuma-"
"Kami cuma sedang makan saja. Salah?" sahut perempuan itu cepat. Ia tak mau disalahkan. Tangannya yang mulus kembali merangkul pinggang Hisyam dengan santainya.
Tangan kekar Hisyam itu menepis tangan Zahra, perempuan yang ada di sebelahnya.
"Jangan begini dong, Mas. Kan sejak tadi juga kita mesra-mesraan." Zahra terus mendekati badan Hisyam.
"Bahkan dihari libur ini, aku rela membiarkannya pergi dengan alasan berjumpa teman-temannya untuk memberinya kebebasan. Tapi ternyata kebaikanku disalahgunakan."
"Disalahgunakan gimana sih? Kamu salah paham. Aku cuma bantu Zahra aja, ngga lebih," Hisyam tak mau disalahkan.
"Cuma makan apa harus di tempat yang sepi dari pengunjung lainnya? Apa harus Mas yang mengusap sisa makanan di sudut mulutnya? Cuma makan? Apa cuma sedang kencan?" pekik Aini keras. Bola-bola amarah terbit dari mata beningnya.
"Kenapa memangnya kalau kencan? Ngga apa-apalah, relakan saja suamimu menikah denganku, toh sudah lama menikah tapi kalian tak juga punya keturunan," sindir perempuan itu dengan senyuman miring seolah merendahkan.
"Jaga mulutmu!" sengit Aini tak terima. Tetapi pikiran yang sadar akan hal yang terjadi ini membuat bibirnya kian menahan kabar baik yang sedang ia dapatkan.
"Kamu apa-apaan, sih," ucap Hisyam keras pada Zahra. Ia bingung dengan apa yang terjadi di depannya ini. Semua ini tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan.
"Aku bicara fakta, kan? Harusnya kamu sadar diri kalau ngga bisa kasih keturunan buat Mas Hisyam," lanjut Zahra lagi.
"Ra, kamu bicara apa sih!" pekik Hisyam sambil menatap wajah Zahra dengan keras.
"Sayang, jangan percaya! Ini ngga seperti yang kamu lihat!" Hisyam mencoba mendekati Aini.
Dada Aini seketika sesak. Disindir soal kehamilan membuatnya lemah seketika. Meskipun kini ia telah mengandung tapi ucapan Zahra cukup membuat kenangan soal perjuangannya mendapatkan garis dua kembali berputar dalam kepalanya.
Aini terjatuh di pavingan dekat parkiran mobil. Ia tak percaya dengan apa yang ia dengarkan dengan telinga sendiri ini. Ucapan Zahra itu menyinggungnya.
"Bahkan aku sudah hamil, tapi Mas tega menduakan aku seperti ini," lirih Aini. Ia tak lagi sanggup menahan perihnya hati jika membahas soal keturunan. Usaha yang dilakukan beberapa bulan ini telah membuahkan hasil tetapi kabar perselingkuhan ini membuat Aini hancur diwaktu yang bersamaan.
"Kamu hamil, Sayang? Sungguh?" ucap Hisyam tak percaya. Ia terduduk di depan Aini seraya memegang bahunya. Tatapan nanar tak lepas dari mata bening milik Hisyam saat melihat luka di mata Aini.
"Wah, rupanya rencana kalian berhasil. Perselingkuhan yang kamu lakukan sudah berjalan sesuai dengan apa yang kamu harapkan kan?" ujar Zahra sambil membuka layar ponselnya. Ia mencari sebuah gambar yang ia simpan beberapa waktu lalu.
"Bicara apa kamu!" pekik Aini tertahan. Mata yang penuh luka itu menatap wajah Zahra dengan penuh kobaran api yang menyala-nyala.
"Lihatlah, Mas," ujar Zahra setelah menemukan foto yang ia maksud.
Dahi Hisyam mengernyit. Matanya menyipit untuk melihat dengan jelas gambar yang ditunjukkan Zahra di depannya.
Perlahan Hisyam bangkit dari duduknya. Tangannya terulur meraih benda yang ditunjukkan oleh Zahra itu. Lipatan makin banyak di dahi Hisyam dengan diiringi gemuruh dalam hatinya. Bahagia yang baru saja dirasakan, berubah menjadi amarah seketika itu.
"Siapa ini? Mengapa kalian bisa bersama? Di lorong yang tampak seperti hotel ini," ujar Hisyam pada Aini. Ia menunjukkan gambar itu di depan Aini.
Aini terperanjat. Dua alisnya hampir bertaut saat matanya mengamati sosok yang ada dalam gambar tersebut.
"Aku tak menyangka jika kamu sebejat ini selama kita menikah! Diam-diam kamu menjalin hubungan dengan laki-laki lain," cecar Hisyam dengan mata yang penuh dengan api.
"Mas, ngga seperti itu! Itu bukan selingkuhan!" sanggah Aini tak terima.
"Setiap orang yang berselingkuh pasti mengatakan hal seperti itu," sahut Zahra dengan penuh penekanan.
"Diam kamu!" teriak Aini lantang. "Aku datang untuk memastikan perselingkuhan kalian, mengapa sekarang kalian ganti yang menuduhku seperti ini?!"
"Kami tidak berselingkuh!" teriak Hisyam lantang. "Aku hanya membantu Zahra saja!"
"Membantu apa? Membantu menemaninya makan? Mengusap sisa makanan di sudut bibirnya?"sengit Aini mantap. Bukti yang ia lihat membuatnya mampu berucap dengan yakin.
"Jangan membalik keadaan! Kamu yang jelas-jelas selingkuh! Ngga usah nuduh yang bukan-bukan! Sedang apa kamu di hotel bersama laki-laki itu? Hah?!!" teriak Hisyam murka.
Mata Aini membelalak mendapati bentakan Hisyam itu. Laki-laki yang selama ini dihormatinya dan tidak pernah berkata kasar, kini mampu mencecarnya dengan begitu kerasnya.
Zahra tersenyum penuh kemenangan. Rencananya berjalan dengan sempurna.
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments