Bab 3
"Ibu, tolong percaya pada Aini. Aini tidak mungkin melakukan hal keji itu. Janin ini darah daging Aini dengan Mas Hisyam." Aini meraih pergelangan kaki Bu Laras. Ia berharap hati Bu Laras luluh dan mau memaafkan serta memberinya kesempatan sekali lagi.
Tidak ada yang dimiliki oleh Aini selain keluarga dari suaminya. Ia yang berasal dari panti asuhan merasa memiliki keluarga sempurna saat menjalin hubungan dengan Hisyam. Lelaki baik yang mau menerima keadaannya sebagai gadis yatim piatu. Sayangnya laki-laki itu mudah dihasut akan kabar yang belum jelas kebenarannya.
Namun kini, bayangan kisah hidupnya yang malang tengah mengancam masa depan janin yang dikandungnya. Aini tidak mau anaknya merasakan hal yang sama seperti dirinya.
Bu Laras terdiam melihat Aini yang terus memohon padanya. Hati dan pikirannya sedang berperang untuk menolong menantu yang sudah disayangi layaknya anaknya sendiri.
"Maafkan Aini, Bu," lirih Aini lagi.
"Maafkan Ibu, Aini. Ibu hanya bisa memberimu kesempatan sampai bayimu lahir untuk tes DNA agar bisa melihat apakah dia memang darah daging Hisyam atau bukan. Jika memang dia bukan darah daging Hisyam, Ibu minta maaf, terpaksa semuanya Ibu serahkan pada Hisyam," jawab Bu Laras tegas.
"Tidak, Bu. Hisyam tidak mau menampung wanita yang berkhianat," sergah Hisyam lantang. Kilatan amarah tercipta di dalam sorot matanya yang tajam menatap wajah Aini.
"Benar, Mas. Jangan lagi dikasih hati, nanti ngelunjak!" desis Zahra tak terima. Ia bak bahan bakar emosi yang terus saja menyulut amarah laki-laki satu-satunya di ruangan itu.
"Bagaimana pun dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ngga mungkin asal mengusirnya sebelum benar-benar jelas siapa bapak dari janin yang dikandung Aini." Bu Laras menyela. Ia tak mau dikuasai oleh amarah. Usia yang matang membuatnya lebih bisa mengendalikan gejolak dalam hatinya.
Bu Laras mendekat ke badan Aini. Ia meraih tubuh yang lemas itu, lalu membantunya berdiri dan memapahnya ke dalam kamar.
Aini menurut. Sedikit saja ia merasa bahwa dirinya masih diharapkan di keluarga ini. Sikap Bu Laras yang sedikit lunak dan memberinya kesempatan untuk tetap tinggal membuatnya sedikit lega. Minimal ia memiliki waktu yang cukup untuk mencari bukti bahwa dirinya tidak berselingkuh.
Hisyam memukul tembok dengan tangan yang mengepal. Ia tak rela jika menunggu terlalu lama dengan hidup seatap bersama sang istri yang dituduhnya memiliki selingkuhan. Ucapan Zahra benar-benar membuatnya terbalut sangkaan buruk yang menyebabkan hancurnya kepercayaan terhadap sang istri.
"Makasih ya, Bu," lirih Aini dalam rangkulan Bu Laras.
"Sama-sama. Bukan Ibu tidak marah soal tuduhan perselingkuhan yang kamu lakukan, hanya saja, sebagai wanita Ibu tak mungkin membiarkanmu pergi begitu saja. Sebab tanggung jawab atas dirimu masih ada pada pundak putra Ibu."
"Aini tidak bersalah, Bu. Aini tidak selingkuh."
"Benar atau tidak, kita buktikan setelah bayimu lahir," jawab Bu Laras cepat. Tak ada keramahan dalam wajahnya, ia enggan menatap wajah sendu sang menantu yang sedang memohon ampunan.
Aini menunduk. Tidak ada keraguan dalam hatinya soal janin tersebut. Sikap Bu Laras yang lunak itu membuatnya sedikit lega, minimal ada satu anggota keluarga yang bersikap baik padanya. Meskipun ucapannya sedikit terdengar tidak ramah ditelinga tapi minimal ia mau membuka tangan untuk menerima Aini di rumahnya sampai terbukti bahwa anak itu adalah darah dagingnya.
"Kamu istirahat dulu," ujar Bu Laras setelah membantu Aini duduk di ranjangnya.
Aini mengangguk. Ia meraih badan Bu Laras untuk dipeluknya sebelum membiarkan wanita yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri itu pergi dari kamarnya.
"Makasih ya, Bu, Ibu sudah mau menerima Aini." Mata Aini dipenuhi serpihan air yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Sebagai seorang Ibu, aku tidak mungkin membiarkanmu terlunta-lunta dijalanan dalam kondisi sedang hamil. Apalagi janin itu yang telah lama dinantikan dikeluarga ini, terlepas dari benar atau tidak itu anak hasil selingkuh atau bukan." Bu Laras mengusap punggung Aini. Bagaimana pun, ia sudah menganggap Aini layaknya anak sendiri. Dan kabar ini tidak serta merta ditelan mentah-mentah begitu saja. Harus ada bukti yang memang menjelaskan bahwa Aini memang melakukannya.
Aini terdiam. Ia tak mampu menjawab ucapan mertuanya. Meskipun lunak, tetap saja wajah itu tidak menyiratkan keramahan seperti biasanya.
"Ibu pergi dulu," pamit Bu Laras. Ia berjalan menuju pintu kamar yang tidak ditutup.
Namun baru beberapa langkah, kaki Bu Laras kembali berhenti dan bibirnya mengaduh. Seperti ada yang terasa sakit di kepalanya.
"Bu," panggil Aini saat melihat Bu Laras berdiri sambil memegang kepalanya.
"Ibu kenapa?" tanya Aini lagi. Ia berjalan dengan tergesa mendekati badan mertuanya di ambang pintu.
"Ngga apa-apa. Kamu istirahat saja. Ibu pergi dulu." Bu Laras mengusap lengan Aini sebagai isyarat bahwa dirinya baik-baik saja.
"Baiklah." Aini menjawab dengan ragu. Terbersit rasa khawatir dalam diri Aini saat melihat mertuanya tiba-tiba mengeluh. Tetapi ucapan Bu Laras membuat Aini terpaksa membiarkannya pergi begitu saja.
Mata Aini pun mengikuti gerak mertuanya keluar dari kamar. Hatinya bersyukur Bu Laras masih bersedia memberinya izin untuk tetap tinggal. Sebab ia yakin setelah janinnya lahir, kondisi rumah tangganya akan kembali seperti sedia kala.
Untuk sesaat, Aini lupa akan video yang dikirim oleh Aisha. Ia terlalu larut akan tuduhan sang suami terhadapnya yang tidak pernah ia lakukan.
"Jahat sekali kamu Zahra," ucap Aini kesal. Ia meletakkan kepalanya di sandaran ranjang sambil memejamkan matanya mengenang segala keindahan yang selama ini terjadi. Tetapi, keindahan itu kini berakhir dengan sebuah perselingkuhan.
Sebuah suara kencang terdengar dari luar ruangan dan seketika membuyarkan isi kepala Aini. Ia pun segera berlari keluar untuk melihat apa yang sedang terjatuh itu.
Mata Aini membelalak saat melihat wanita yang disayanginya tergeletak di dalam kamar mandi.
"Ibu!" teriak Aini keras.
Bab 4"Ibu kenapa?" tanya Aini panik saat melihat tubuh Bu Laras sudah tak sadarkan diri.Hisyam dan Zahra pun turut berlarian menghampiri sumber suara itu."Ibu kenapa, Dek?" Suara Hisyam membuat Aini yang sudah berada di depan Bu Laras segera menoleh. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang teramat."Ngga tau, Mas. Ibu jatuh sendiri," balas Aini sambil berusaha mengangkat lehernya hendak dipeluk."Tunggu, jangan dipeluk begitu. Biarkan saja tergeletak." Hisyam berjalan mendekati tubuh ibunya. Ia memeriksa denyut nadi di lengan dan lehernya. "Telepon rumah sakit aja, Mas," ucap Zahra yang turut mengikuti langkah Hisyam masuk ke dalam rumahnya."Ah ya, kamu benar. Cepat ambil ponselnya!" titah Hisyam. Ia lantas dibantu Aini membawa tubuh Bu Laras ke dalam kamar sambil menunggu ambulan datang.Tubuh Bu Laras yang sudah tak sadarkan diri itu dibaringkan di atas tempat tidur di kamar Bu Laras. Hisyam berjalan mondar-mandir sambil melipat tangannya di pinggang sambil menunggu datangnya
Bab 5 Suasana rumah sakit mendadak sunyi saat dokter mengabarkan kondisi Bu Laras makin memburuk. Operasi yang dilakukan tidak membuat kondisinya makin baik, tetapi malah makin membuat kondisi pasien drop. Hisyam berjalan mondar mandir di depan ruang ICU. Hati dan pikirannya sedang kacau. Bagaimana tidak, nasib rumah tangganya sedang diujung tanduk sementara ibunya tiba-tiba mendapatkan musibah. Wanita yang ia sayangi, yang seharusnya menjadi penguat saat dirinya sedang terombang-ambing masalah malah turut menderita seperti ini. Hisyam bak kehilangan satu sayapnya untuk terbang mengarungi samudera kehidupan. Aini duduk di kursi tunggu sambil menunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah karena sedikit banyak musibah ini terjadi setelah dirinya bertengkar dengan Hisyam. Bahkan untuk duduk di dekat suaminya saja Aini tak punya nyali. "Maafkan aku, Mas," lirih Aini. Linangan air matanya tak membuat Hisyam menoleh sedikitpun. "Memberimu maaf pun tak membuat Ibu kembali seperti sedia kala.
Bab 6"Rasain," ucap Zahra setelah Hisyam berlalu dari hadapan Aini. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum miring menatap Aini yang sedang dirundung luka."Kamu!" geram Aini. Ia kemudian berlari menghampiri Hisyam yang tengah berjalan menjauhinya. Wanita hamil itu tak bisa diam begitu saja."Mas tunggu!" ucap Aini sambil menarik lengan Hisyam. Ia tak terima dengan ucapan Hisyam yang tanpa dipikir matang-matang. Pernikahan itu bukan mainan yang bisa seenaknya saja melontarkan kata talak."Apalagi? Kamu sudah selingkuh, masalah ini membuat ibu jatuh dan meninggal. Apalagi yang bisa kujadikan alasan untuk mempertahankan kamu di sisiku?"Kepala Aini terasa berputar mendengar ucapan Hisyam. Kecelakaan yang menimpa Bu laras bukan salahnya. Itu murni kecelakaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Selingkuh? Apalagi itu. Aini tidak bisa diam saja. Perlahan ia mengatur ritme napasnya agar bisa berbicara dengan jelas."Mas, aku sedang hamil. Apa tidak ada sedikit
"Aisha?" pekik Aini kaget. Ia tak menyangka jika bertemu dengan Aisha di pinggir jalan raya seperti sekarang ini."Kamu ngapain di sini? Aku habis dari rumahmu tapi kata perempuan itu kamu sedang keluar. Tapi kok kamu di sini? Ngapain bawa tas segala?" tanya Aisha penasaran. Ia memegang tas di depan Aini untuk memastikan isinya.Aini menatap nanar wajah Aisha. Ia pun lantas menceritakan semua yang terjadi. Urut dan runut. Hingga Aisha turut geram akan sikap Hisyam dan juga Zahra itu."Lalu sekarang kamu mau gimana?""Aku ngga tau, Sha. Aku bingung. Aku juga lagi hamil," jawab Aini pasrah. Tangannya mengusap perut yang masih rata itu. Aisha terdiam. Ia tampak berpikir. Hari mulai larut, tak mungkin ia membiarkan sahabatnya terlunta-lunta di jalan raya seperti ini."Ngekos di tempatku aja gimana?" tawar Aisha."Memangnya ada kamar kosong?""Kayaknya ada. Coba nanti kita tanya ibu kos dulu, kalau ngga ada kamu bisa tidur di kamarku sementara.""Kamu beneran?""Beneran lah. Kapan aku boh
Bab 8"Sha," panggil Khalid saat Aisha sedang mengambil barang di dalam gudang.Urung membawa barang tersebut, Aisha menoleh ke arah Khalid. Ia berjalan dengan tergesa, khawatir atasannya itu membutuhkan sesuatu yang urgen."Iya, Pak?" Aisha berujar setelah memangkas jarak. "Saya boleh tanya sama kamu?" tanya Khalid ragu. "Soal?""Aini."Aisha tersenyum kecil. Ia berjalan untuk lebih dekat dengan Khalid yang sedang duduk di sudut ruangan. Sebuah tumpukan kardus menjadi sasarannya untuk meletakkan berat tubuhnya yang ringan itu."Ada masalah apa dengan Aini?" tanya Khalid langsung. Ia tak mau basa-basi sebab takut Aisha akan seperti Aini tadi. Laki-laki yang di name tag nya bertuliskan Khalid Aditya itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang datang dengan tidak sengaja."Bapak kok tiba-tiba tanya begitu?""Kemarin saya bertemu dengan Aini di rumah sakit. Tampaknya sebuah pertengkaran terjadi dan suaminya menunjuk ke arah saya dengan penuh amarah. Saya jadi merasa tidak enak. Khawatir
Bab 9"Ai, jangan murung aja dong. Jalan aja yuk?" ajak Aisha sore itu. Sepulang kerja, Aini lebih banyak murung di dalam kamarnya. Ia meringkuk di atas kasur sambil menikmati kesedihannya sendiri."Enggak, ah. Aku tidur aja." Aini menjawab usai mengubah posisi tidurnta menjadi berhadapan dengan Aisha. Melihat wajah Aini yang memberenggut membuat dahi Aisha mengernyit penuh tanya."Eh bumil ngga boleh sedih loh! Ini anak yang kamu idamkan sejak dulu kan? Jadi jangan membuat usahamu sia-sia hanya karena meraka tidak menghargai usaha kamu untuk mendapatkan anak ini. Percaya deh, suatu saat Mas Hisyam akan bertekuk lutut memohon ampunan kamu untuk bisa kembali menjadi ayah anak ini kembali.""Kamu ngomong apa! Mana ada!" Aini melengos, meskipun sebenarnya ia juga memiliki harapan yang sama."Beneran! Percaya aku deh! Nyesel tuh pasti dia nanti. Tuduhan dia ngga beralasan soalnya. Asal aja main percaya omongan perempuan itu.""Tapi sebenarnya sudah lama aku merasakan ada yang tidak beres
Bab 10"Waah, sebuah kebetulan yang menyenangkan bisa bertemu kamu di sini," ucap pemilik pantulan di cermin itu. Aini melengos. Hendak pergi, tapi ia sudah terlanjur basah bertemu di sini. Dengan sangat terpaksa Aini meladeni sapaan perempuan yang telah berhasil memporak-porandakan rumah tangganya."Sudah move on rupanya. Senang sekali bisa berjumpa denganmu di sini," sambung perempuan itu lagi sambil menatap Aini dengan senyuman meremehkan."Move on dong. Buat apa bersedih kehilangan orang yang tidak bisa menghargai darah dagingnya sendiri," sahut Aini cepat. Tanpa menunggu jawabannya, Aini pergi dari ruangan toilet khusus perempuan.Aini berjalan tergesa menuju meja tempat Aisha duduk. Ia membanting badannya dengan keras di kursinya."Kenapa sih?" tanya Aisha kaget melihat perubahan ekspresi Aini. Saat sebelum pergi, wajahnya biasa saja tetapi setelah kembali wajah ayu itu berubah murung."Aku ketemu Zahra di toilet.""Zahra? Sama siapa?" tanya Aisha sambil melirik kanan dan kirin
Bab 11"Bodoh!" desis Aisha sambil berdiri dari tempatnya duduk. Ia mengambil tasnya dan menggenggam tali tas itu. Urung melangkah, Aisha tak mau kehilangan kesempatan yang pas untuk mengeluarkan segala kesal dalam hatinya pada lelaki yang menyakiti hati sahabatnya.Ucapan Aisha itu makin menambah kobaran emosi dalam dada Hisyam. Ia tak terima disebut bodoh oleh sahabat istrinya itu."Jaga mulutmu!" pekik Hisyam tak terima. Kobaran amarah terpancar jelas dari dua bola matanya."Yang harusnya dijaga itu sikapmu! Sudah dapat istri baik hati yang lagi hamil anak kamu malah kamu selingkuhin!" cecar Aisha tak mau kalah. Ia seolah mendapatkan kesempatan untuk meluapkan kekesalannya selama ini."Tutup mulutmu!" desis Hisyam lagi. Wajahnya sudah merah padam mendengar celoteh Aisha yang makin tak karuan."Apa?!! Demi wanita macam begini kamu korbanin istri yang baik hati! Menyesal baru tau rasa kamu!" sengit Aisha tak mau kalah. Kemudian ia pergi dari hadapan Hisyam. Kakinya sedikit berlari un
"Akhirnya kamu beneran jadi milikku," ucap Zain sambil memeluk Aini dalam dekapannya. Keduanya sedang berdiri menghadap jendela kaca yang ada di kamar utama, kamar yang sudah disiapkan Zain untuk Aini.Aini menyambut pelukan Zain dengan menggenggam erat jemari kekar yang terselip di sela-sela jarinya. Ia sedang menikmati hangat tubuh lelaki yang telah lama memiliki hatinya yang hampa."Makasih ya, kamu sudah bersedia menjadi pendamping hidupku setelah ini.""Sama-sama, Mas. Aku juga makasih Mas mau menjadi ayah sambung untuk Adzania.""Sudah lama Mas menganggapnya sebagai anak Mas sendiri."Aini mengurai pelukannya, lalu membalikkan badannya berhadapan dengan laki-laki yang sejak tadi memeluknya. Ia menatap wajah yang sedang penuh dengan gairah itu dengan tatapan sendu. Sebuah rasa yang sama yang selama ini ia tutupi rapat di dalam diri.Jari Zain terulur ke arah dagu milik wanita yang ada di depannya, lalu mengangkatnya sedikit hingga pandangan keduanya beradu. Wajahnya mendekat, men
"Aini pulang dulu ya, Bu?" pamit Aini pada Bu Fatimah. Ia meraih tangan yang tak lagi mulus itu untuk dicium takdzim."Hati-hati, Nak. Sering-seringlah main ke sini, biar Ibu ngga perlu nahan rindu." Bu Fatimah menahan tangan Aini untuk tidak menjauh. Mata yang sudah dipenuhi garis penuaan itu tampak sendu menatap wanita berkerudung di depannya."Insya Allah Ibu. Punya suami berasal dari desa yang sama, insyaallah lebih mudah untuk kami datang berkunjung karena memiliki rindu yang sama di kampung ini. Terutama rindu pada Ibu.""Kita bikin jadwal kunjungan rutin aja ya?" celetuk Zain. Ia yang juga menganggap Bu Fatimah sebagai orang tuanya sendiri turut merasakan kasih sayang yang diberi Bu Fatimah pada istri dan anaknya."Boleh, Mas. Biar kita bisa datang teratur. Ngga kayak sekarang, suka molor gini.""Boleh, nanti Mas kosongkan waktu tiap weekend atau hari lainnya untuk datang berkunjung."Aini mengangguk senang. Betapa bahagianya bisa bertemu orang tua yang sudah membesarnya disela
Aini bersama dengan Zain kembali ke rumah tanpa Aisha. Keduanya turut berbahagia karena Aisha akhirnya memilih untuk melanjutkan perjodohan itu."Semoga Aisha beneran cocok ya sama laki-laki itu. Siapa namanya?""Rizal. Ganteng ya dia?""Ganteng mana sama aku?" Zain melirik Aini sekilas. Bibirnya merekah manakala mendapati Aini tengah menatapnya tak berkedip."Ganteng Rizal," balas Aini dengan ekor mata tak lepas dari wajah yang tengah mengemudi di sebelahnya.Zain membelalakkan matanya. Wajahnya cemberut seketika."Tapi banyakan Mas," lanjut Aini lagi. Ia terkekeh setelahnya.Senyum di wajah Zain makin melebar. Satu tangannya mengusap punggung tangan Aini yang sejak tadi ia letakkan di atas pangkuannya."Kita ke Ibu?" tawar Zain. Ia rindu kampung halamannya. Rindunya pada makam sang ibunda sudah menggunung karena akhir-akhir ini ia disibukkan dengan urusan kafe."Boleh. Kemarin Ara kasih kabar, kalau ibu mau adain syukuran di rumah. Sekalian kita ke sana aja, gimana?""Boleh. Ibu pas
Aini menyambut Zain dan Adza yang sedang berjalan dengan senyum sumringah. Keduanya bergandengan tangan layaknya bapak dan anak yang baru selesai me time berdua."Mama," sapa Adza dengan semangat. Ia menghambur ke pelukan mamanya."Bahagia banget, habis dari mana aja tadi?" balas Aini setelah mengurai pelukannya. Ia memandang wajah putrinya yang tampak berseri-seri."Habis dari mall, Ma. Tadi Ayah ajak aku jalan-jalan terus kita mampir beli makanan. Ayah juga ajak aku ke toko buku, beli banyak buku cerita," papar Adza menggebu.Aini memicingkan matanya. Ada ribuan tanya dalam benaknya yang belum mendapatkan jawaban."Ayah?" ucap Aini sambil menatap Zain dan Adza bergantian.Adza menoleh ke arah Zain. Ia tersenyum sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "Iya, ayah."Aini mengarahkan pandangannya ke wajah Zain yang sedang menikmati kebingungannya. "Mas, apa ini artinya ...." Aini tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Bahagia mulai tumbuh memenuhi relung hatinya yang sejak tadi cemas
Pandangan mata Hisyam tertuju pada Aini dan Zain. Laki-laki yang duduk di samping Aini tampak tenang, berbeda dengan Aini yang kelihatannya salah tingkah. Ia sadar ucapannya itu membuat laki-laki yang sedang mematung itu seketika merasa tidak baik-baik saja."Saya hanya mau ambil tasnya Adza," ujar Hisyam setelah mengerjapkan matanya, membuyarkan segala sesak di dada atas apa yang baru saja ia dengar dengan telinganya sendiri.Aini berdiri dari tempatnya duduk, berusaha menata hati untuk tetap terlihat biasa dan masa bodoh akan dampak dari ucapannya. Ia mengambil tas bergambar Hello Kitty yang ada di dekat komputer di atas meja, lalu menyerahkannya kepada Hisyam yang tidak melangkah sedikitpun."Ini, jangan lama-lama. Dua jam cukup, setelah itu Adza waktunya istirahat," ucap Aini tegas pada laki-laki itu. Tas itu ia pakaikan di punggung Adza."Baik. Aku minta maaf atas segala yang pernah terjadi," ucap Hisyam reflek. Perasaan bersalah kembali menari-nari dalam kepalanya. Keinginannya
"Adza makin dekat ya dengan bapaknya?" tanya Zain pada Aini saat keduanya sedang menikmati sarapan pagi buah tangan Zain.Hisyam sudah pergi dengan Adza setelah kedatangan Zain ke dalam toko. Ia tak mau mengganggu Aini yang sepertinya sedang dekat dengan laki-laki lain."Iya. Sebenarnya aku ngga mau, aku ngga kasih izin Adza untuk dekat dengan bapaknya, tapi Aisha tak terima. Benci boleh, tapi menutupi siapa bapaknya juga ngga mungkin aku lakukan. Kebetulan pas Mas Hisyam kasih kabar kalau habis kirim uang jajan Adza, aku sampaikan kalau dia boleh ketemu.""Bagus dong?" ujar Zain setelah makanan dalam mulutnya telah masuk ke tenggorokan."Enggak. Sebenarnya aku khawatir kalau dengan memberi kesempatan seperti ini, malah membuat Mas Hisyam mengira kalau aku juga memberi kesempatan untuk dia kembali dekat denganku.""Mengapa berpikir begitu?""Mas Hisyam ngga lelah buat sok perhatian atau sok dekat denganku setelah aku memberi kesempatan untuk bertemu Adza. Dia bahkan terang-terangan ng
Hisyam tersenyum kecil. Matanya mengamati wanita yang baru datang bersama seorang laki-laki yang pernah menghajarnya saat itu.Perubahan penampilan dan rona bahagia yang terpancar dari raut wanita di depannya itu membuat rasa bersalahnya sedikit berkurang."Apa kabar?" sapa Hisyam mencoba mengendalikan perasaannya. Ia mengajak laki-laki yang menggandeng perempuan itu untuk bersalaman."Baik." Laki-laki itu menjawab dengan pias, tidak ada keramahan sedikitpun di wajahnya kala bersitatap dengan Hisyam."Dari mana, Za? Tumben mampir ke gerai?" Wisnu mulai bersuara. Ya, perempuan dan laki-laki itu adalah Zahra dan Angga."Dari rumah, Mas. Aku lagi pengen makan yang seger-seger." Zahra menjawab sambil menatap deretan buah yang ditata rapi di dalam showcase. "Ngidam?" Wisnu kembali bersuara."Alhamdulillah," sahut Angga. Bibir itu baru tersenyum ketika menjawab pertanyaan Wisnu."Selamat ya?" ucap Hisyam turut menyahut seraya menatap wajah Zahra ragu-ragu."Makasih. Oh iya, aku juga mau bi
"Kamu menyindirku?" tegas Hisyam. Dalam sinar matanya terdapat amarah yang berkobar."Mas tersindir? Aku hanya bicara sesuai dengan fakta. Kalau Mas merasa ya, syukurlah." Bibir Aini tersungging miring. Ia melengos menghindari sorot mata Hisyam yang tampak menyakitkan matanya."Sayangnya aku tidak merasa. Justru kamu yang harusnya tahu diri. Belum lama suamimu meninggal tapi kamu sudah jalan dengan laki-laki lain," ucap Hisyam masih dengan hati yang bergejolak. Ia gagal menjaga lisannya untuk tidak berkata kasar pada Aini.Aini membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Hisyam akan bicara soal itu. "Jalan dengan siapapun itu bukan lagi urusan Mas. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Bukannya aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun ketika statusku jelas bahwa aku seorang single mother? Bagaimana dengan Mas yang menjalin hubungan ketika masih bergelar suami sah? Tidakkah Mas merasa bahwa sampai kapanpun itu akan tetap membekas di kepalaku, yang notabene adalah sebagai istr
Dalam perjalanan pulang, Aini lebih banyak diam. Ia mengingat kembali apa yang diucapkan oleh Bu Airin."Ayo makan dulu, Ibu tadi baru selesai masak," ajak Bu Airin. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja.Di atas meja itu ada pepes ikan patin dan sayur bening. Tampak nasi di dalam bakul berwarna silver itu masih penuh, seperti belum tersentuh sama sekali."Aini sudah makan, Bu. Kalau Ibu belum makan biar Aini temani."Bu Airin diam, kemudian mengangguk lemah.Aini bangkit dari duduknya untuk mengambil piring makan yang ada di atas rak piring. Ia melayani Bu Airin dengan senyum yang terkembang di wajahnya."Wangi makanannya enak, Bu," ucap Aini ketika membuka daun pembungkus ikan tersebut. Aroma bumbu yang membalut ikan itu menguar menyelinap masuk ke dalam indera penciuman Aini. "Iya, itu makanan kesukaan Khalid. Kalau kamu mau nanti bisa kamu bawa pulang.""Dulu Mas Khalid sering minta dibuatkan seperti ini, tapi setelah tahu bagaimana prosesnya, beliau sudah jarang minta lag