Narumi mengira telah menemukan kebahagiaan abadi bersama Ghali, suami yang ia cintai sepenuh jiwa. Namun takdir menorehkan luka terdalam ketika pengakuan menggetarkan datang dari sahabatnya sendiri, Karin. Sebuah pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan, bahkan seluruh dunianya runtuh saat suaminya dengan lantang mengakui janin dalam rahim sahabatnya itu adalah darah dagingnya. Di tengah kepingan hati yang berserakan, Narumi memilih pulang dalam pelukan sang ayah. Tapi kepulangan itu datang dengan harga yang harus dibayar—sebuah syarat yang akan mengubah seluruh alur hidupnya. Kini Narumi berdiri di persimpangan, haruskah ia membiarkan luka masa lalu menenggelamkannya, atau bangkit dan menantang arus takdir yang mempermainkannya? penasaran? Cus baca hingga selesai. Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru! ©2024, B.E.B.Y
Lihat lebih banyak“Mama ingin bertemu.” Tangannya sedikit gemetar, ada keraguan yang menghantuinya. Tapi di sisi lain, ada dorongan kuat untuk memenuhi panggilan tersebut.{Iya, Kak. Kami akan menunggumu di restoran,} suara Liyou terngiang di pikirannya sebelum panggilan itu diputus secara sepihak.Narumi menghela napas panjang, kegugupannya semakin menjadi. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Na, ayo kita sarapan,” suara Ardiaz terdengar dari balik pintu. Suara itu terdengar santai, tapi Narumi tahu betul pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.Ia menggigit bibirnya, ragu untuk merespons. Ardiaz selalu tahu bagaimana caranya menembus pertahanan dirinya, meskipun ia sudah berusaha menghindar.“Aku tidak akan sarapan,” katanya akhirnya dengan nada datar. “Sarapanlah lebih dulu.”Narumi mendengar langkah kaki Ardiaz menjauh dari pintu, dan ia menghela
“Mas Ghali, kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, tangannya mencengkeram tirai dengan kuat.Keributan di luar villa semakin memuncak. Suara teriakan, bentakan, dan benda yang jatuh memecah keheningan pagi. Narumi masih berdiri diam di dekat jendela, matanya terpaku pada sosok Ghali yang berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. Di sampingnya, Karin tampak memegang lengannya, dengan ekspresi kepura-puraan khawatir dan provokasi halus.“Narumi! Aku tahu kamu di sana! Keluar sekarang!” teriak Ghali, suaranya begitu menggelegar.Narumi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, situasi ini terlalu melelahkan untuk dihadapi begitu saja.Sebelum Narumi sempat bergerak, suara tenang namun penuh ancaman terdengar dari arah ruang tamu.“Berhenti membuat keributan,” kata Ardiaz dengan nada rendah, tapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk berteriak-teriak seperti orang hutan.”Narumi meno
Di sudut sebuah kafe kecil di tepi jalan, Narumi duduk diam, memandangi secangkir teh hangat di hadapannya. Udara malam itu cukup dingin, namun hangatnya suasana dalam kafe berhasil sedikit meredakan pikirannya yang berkecamuk. Di depannya, Liyou duduk sambil menatap Narumi yang memegang kain kompres. Mata Narumi masih bengkak setelah tangis panjang yang tak terbendung sebelumnya.“Bagaimana kabar Kakak?” suara Liyou memecah keheningan, terdengar hati-hati tapi penuh perhatian.Narumi menghela napas panjang, lalu meletakkan kain kompres itu di atas meja. Matanya menatap wajah Liyou, menelusuri setiap detail wajah adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. “Tidak begitu baik,” jawabnya dengan nada lelah.Tapi di balik kelelahannya, ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Liyou, adiknya yang dulu kecil dan rapuh, kini duduk di hadapannya, terlihat kuat dan dewasa. Ia hampir lupa bahwa waktu terus berjalan, dan Liyou bukan lagi anak sepuluh tahun yang dulu sering ia ajak bermain.N
Narumi berdiri mematung, matanya menatap lekat pada Ardiaz yang kini hanya diam di tempat. Tatapan pria itu sulit diartikan. Entah itu rasa bersalah, kebingungan, atau mungkin campuran dari semuanya.“Kenapa kamu melakukan ini?” Narumi mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tajam. Ia tidak peduli dengan ketegangan yang terlihat di wajah Ardiaz. Tangannya terangkat, mencengkeram lengan pria itu dengan erat, sampai tubuh Ardiaz sedikit bergoyang karena dorongan emosinya.“Apa kamu sengaja ingin menyakitiku?”Tubuh Ardiaz menegang seketika. Matanya melebar, seolah pertanyaan itu seperti pukulan yang menghantam dadanya. Tapi ia tidak segera menjawab. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh tekad, Ardiaz membuka mulutnya. “Tidak, Na,” katanya, suaranya serak. “Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia dan kuat dalam menghadapi semua ini.”Narumi mengernyit
Narumi memaksakan senyumnya sambil melirik ke arah Ardiaz, yang menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya. Tapi kali ini, perhatian Narumi tidak bisa teralihkan. Matanya tetap terkunci pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka—ibunya.Sepuluh tahun.Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Jarak waktu yang panjang, dipenuhi kenangan yang dingin dan penuh luka.Narumi meneguk ludah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi yang diciptakan pikirannya. Tapi tatapan tajam wanita itu cukup untuk menyadarkannya bahwa ini nyata."Maaf, Nona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" suara lembut namun asing itu terdengar, disampaikan dalam bahasa Spanyol.Jantung Narumi berdebar keras. Ibunya… tidak mengenalinya.Bagaimana mungkin?Narumi menggigit bibirnya. Mungkin riasan tebal di wajahnya membuatnya tampak berbeda, atau… mungkin memang sejak dulu ibunya tidak pernah benar-benar peduli."Tidak," Narumi akhirnya menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Ha
Karin menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Ia tahu, jika ia terlihat terlalu penasaran, Ghali pasti akan menyadarinya.Namun, di dalam hati, ia merasa gelisah. Apa hubungan Narumi dengan Prajogo?Semakin lama, teka-teki ini terasa semakin membuatnya pusing. Jika benar Narumi berada di pulau pribadi milik Prayogo, maka jelas wanita itu memiliki sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Narumi… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?Karin menatap Ghali yang kini tampak frustrasi, menekan layar ponselnya dengan gusar.Aku harus bergerak cepat.Karin merapatkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke Ghali, mencoba mencari tahu apa yang membuat pria itu tampak gelisah sejak tadi. Matanya menelisik wajah Ghali yang dingin dan terfokus pada ponselnya.“Mas, ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.Ghali melirik sekilas, matanya menyiratkan kejengkelan yang ia coba tahan. Ia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat. Namun, tak lama kemudian, Ghali bangkit
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l
“Na, aku hamil. Kata dokter, usia kandunganku sudah 8 minggu.” Ucapan wanita di depannya menghentikan tangan Narumi yang hendak menyesap teh. Jantungnya berdebar kencang dengan perasaan campur aduk. Jadi, inilah alasan sahabatnya itu bersikeras untuk datang ke rumahnya di pagi hari. Sepersekian detik, wajah Narumi diam tanpa ekspresi. Ia bingung, apakah harus memberikan ucapan selamat, atau menunjukkan rasa irinya? Bagaimana tidak, selama ini, Narumi lah yang selalu mendambakan kehamilan. Pernikahannya yang telah berjalan selama 3 tahun bersama sang suami tetap tak membuahkan anak. Tapi tiba-tiba, justru Karin lah yang mengandung terlebih dahulu. “Kamu hamil?” Suhita, ibu mertua Narumi tiba-tiba memecah keheningan, suaranya melengking gembira. “Karin, ini sungguh berita yang luar biasa!” Ia lantas bangkit, memeluk Karin erat. Tak menggubris Narumi yang masih terkejut dengan berita yang baru didengarnya. Selama ini, Karin memang dekat dengan keluarga suaminya, karena Narumi,...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen