Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .
“Ada apa?” Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya. “Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel. Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri dengar percakapan Ardiaz di seberang—taman kecil di halaman rumahnya. Suara pria itu rendah, namun cukup jelas untuk ditangkap oleh telinga yang terbiasa peka. “Gambarnya aneh. Kirimkan ke tim untuk diselidiki,” ujar Ardiaz sebelum diam, mendengarkan respons dari lawan bicara di seberang telepon. Narumi berhenti memindai layar, keningnya berkerut. Kenapa Ardiaz juga membahas gambar aneh? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh karena sebuah pesan baru masuk di ponselnya. [Sorry Na, aku salah kirim.] Narumi membaca pesan itu sekilas, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tangannya menurunkan ponsel dan kembali menatap ayahnya. “Salah kirim rupanya,” ucapnya santai, nada suaranya berusaha terdengar ringan. “Siska terlalu sibuk sampai jadi human error.” Bramastyo hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. “Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam,” matanya mengamati wajah Narumi dengan saksama. “Kamu pasti lelah.” Senyuman di bibir Narumi perlahan memudar. Ia tahu arah pembicaraan ini. Kalimat sederhana itu terlalu sarat dengan maksud tersembunyi. Sebuah pengingat halus tentang kejadian yang tak bisa ia hapus dari pikirannya, momen memalukan di depan Ghali, dan semua yang menyaksikan. Narumi menarik napas perlahan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. Namun, matanya tak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah. “Sudah berapa lama Papa... mengawasiku?” tanyanya hati-hati. Bramastyo mengangkat alis sedikit, seolah pertanyaan Narumi bukan hal yang mengejutkan. “Semenjak kamu keluar dari rumah Papa,” katanya dengan lembut, tangannya perlahan meraih tangan putrinya. Genggaman itu tidak kuat, tetapi penuh kehangatan. Narumi hanya terpaku. Mata cokelatnya membulat dengan bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi gagal menemukan kata-kata yang pas. tiba-tiba saja, dadanya gemuruh, terharu. Ayahnya itu, punya cara sendiri untuk mengawasinya dari kejauhan. “Pa—” Suaranya bergetar, nyaris pecah oleh emosi, tetapi ia tak sempat melanjutkan. Sebuah suara dari belakang menyela, memecah momen yang seharusnya menjadi miliknya dan ayahnya. “Maaf, Om,” ujar Ardiaz yang muncul dengan langkah mantap. Suaranya tenang, tetapi cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di sana. “Sepertinya aku harus kembali. Ada pekerjaan mendesak yang perlu kuselesaikan.” Bramastyo menatap Ardiaz dengan alis sedikit mengerut, tetapi ia segera mengangguk kecil. “Oh, sangat disayangkan,” katanya, suaranya penuh nada kecewa. “Padahal Om ingin berbicara lebih lama dengan kalian. Ada satu hal penting yang ingin Om bahas, masalah pertunangan kalian.” Narumi tetap diam. Ia hanya memperhatikan percakapan itu dengan hati yang masih berdebar. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari Ardiaz. Ada sesuatu di balik sorot mata keemasan pria itu, seberkas kegelisahan yang tidak selaras dengan senyumnya. “Lusa,” kata Ardiaz dengan wajah kembali ramah, seperti topeng yang dipasang dengan sempurna. “Kita bisa makan malam bersama. Sekalian Papa dan Mama juga ingin bertemu dengan calon istriku.” Tatapannya bergeser ke arah Narumi, pandangan yang hangat namun sulit untuk dibaca. Bramastyo menyambutnya dengan senyuman lebar. “Oho, ternyata teman lama Om sudah di Indonesia rupanya,” ujarnya dengan nada bahagia. “Baiklah, kalau begitu. Om tidak sabar bertemu dengan Papa dan Mamamu.” Ardiaz mengangguk, ekspresinya tetap tenang. “Kalau begitu, aku pamit dulu, Om.” Tatapannya kembali pada Narumi, kali ini lebih tajam, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum. “Bisa aku meminta nomor WA-mu?” Narumi menatap ponsel yang disodorkan Ardiaz. Ia tak segera meraih ponsel itu, seolah-olah benda kecil tersebut membawa beban yang lebih berat dari yang seharusnya. Di dalam hatinya, keraguan menyelinap perlahan, menciptakan rasa tak nyaman yang tak ia pahami. Namun, suara deham ayahnya yang tegas, meski tak keras membuyarkan pikirannya. Bramastyo menatapnya, sebuah isyarat halus yang tak bisa Narumi abaikan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan Ardiaz. Jari-jarinya nyaris menyentuh layar ponsel saat sebuah notifikasi melintas di atas layar. Mata Narumi seketika menyipit, mencoba membaca tulisan singkat itu. Sebuah nama muncul, terasa begitu akrab hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Siska. Narumi membeku sejenak, otaknya berputar menghubungkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Tapi sebelum ia sempat membaca lebih jauh, Ardiaz dengan gerakan cepat menggeser notifikasi itu ke atas, Hal ini membuat Narumi langsung menatap wajah Ardiaz. “Nomormu,” ujarnya dengan senyum yang tampak kaku. Narumi mengalihkan pandangannya dari wajah Ardiaz yang menyimpan banyak teka-teki. Ia menatap layar ponsel, kemudian helaan napas meluncur sebelum mengetikkan nomor ponselnya. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran liar yang mulai muncul di kepalanya, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan, nama yang sama, tak lebih dari itu. Saat Narumi selesai memasukkan nomornya, Ardiaz menarik kembali ponselnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu bergegas pergi. Langkah-langkahnya terdengar tergesa, seolah ada sesuatu yang dikejarnya. Narumi menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap hingga suara ayahnya memecah keheningan. “Dia anak yang baik,” ujar Bramastyo, suaranya penuh keyakinan. “Papa yakin kamu akan bahagia bersamanya.” Narumi mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, mencoba mencari ketulusan dalam ucapan tersebut, sampai ia tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya, namun sudut bibirnya terangkat, meski ia diam seribu bahasa. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan menggantung tanpa jawaban. Apakah benar ia bisa menggantungkan kebahagiaannya pada pria yang baru beberapa jam ia temui? Atau, seperti pesan yang melintas di layar tadi, ada lebih banyak hal tentang Ardiaz yang masih tersembunyi? Di sisi lain, mobil Ardiaz meluncur cepat, menembus keramaian ibukota yang padat. Langit kekuningan tampak indah itu, tak cukup mengusir pikirannya yang kusut. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, tanda kegelisahan yang sulit disembunyikan. Nada dering yang nyaring memecah kesunyian di dalam mobil. Dengan gerakan cepat, Ardiaz menekan tombol panggil di ponsel yang terhubung ke speaker mobil. “Apa kamu sudah menyelidiki gambar itu?” Suaranya terdengar tajam ketika ia berbicara, {Sudah, Bos. Sepertinya nona itu salah kirim. Dia baru saja mengonfirmasi.} Alis Ardiaz bertaut, menimbulkan kerutan di dahinya yang semakin dalam. “Salah kirim? Kamu yakin? Bagaimana dengan rekaman CCTV?” {Aspek itu aman, Bos.} Suara penuh keyakinan itu tak cukup membuat Ardiaz merasa lega. Matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya sibuk berputar, mencari celah yang mungkin terlewat. “Apa kamu benar yakin? Firasatku begitu buruk tentang hal ini.” Nada suaranya merendah, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. {Yakin seratus persen, Bos,} Ardiaz mengembuskan napas panjang atas keyakinan orang kepercayaannya itu. Otot-otot di wajahnya yang tadi tegang perlahan melunak, meskipun bayangan buruk masih membayangi pikirannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, suara dalam itu kembali tenang. “Aku akan ke tempatmu sekarang.” Dengan satu gerakan, ia menekan tombol untuk mengakhiri panggilan, dan mobil mewah itu melesat lebih cepat, secepat detak jantung Karin yang kini berhadapan dengan ayahnya, Mahendra Pramudya. pria paruh baya itu berdiri seperti gunung berapi yang siap meletus, matanya menyala tajam dengan napas berat. “Gugurkan janin haram itu!”Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Perasaan tak percaya menghantam Ardiaz, mengguncang setiap serat jiwanya. Ini bukan yang ia inginkan. Ia datang dengan harapan membawa jawaban atas kekhawatirannya, namun justru kematian yang menyambutnya. “Mengapa seperti ini?” tanyanya pada ruangan yang sepi, seakan menuntut jawaban dari sosok yang tak bernyawa. Ketika kesadaran perlahan merayap, tubuh Ardiaz bergerak seperti boneka tanpa kendali, melangkah mendekati Siska. Jemarinya gemetar saat menyentuh kaki sang wanita yang kini membeku. Tidak ada lagi kehangatan di sana, hanya rasa dingin yang menusuk, menggambarkan realita kejam jika Siska sudah beberapa jam meninggalkan dunia ini, meninggalkan dirinya dalam kehampaan yang tak terbayangkan. Air mata Ardiaz terus tumpah tanpa henti, rasa sesak di dadanya kian menekan, seakan ingin mencabik habis sisa-sisa kehidupannya. “Bodoh...” gumamnya lirih, suaranya bergetar penuh penyesalan. “Maafkan aku... Aku datang terlambat.” Kesadaran Ardiaz pulih dengan cepat, kesedihan t
“Mama ingin bertemu.” Tangannya sedikit gemetar, ada keraguan yang menghantuinya. Tapi di sisi lain, ada dorongan kuat untuk memenuhi panggilan tersebut.{Iya, Kak. Kami akan menunggumu di restoran,} suara Liyou terngiang di pikirannya sebelum panggilan itu diputus secara sepihak.Narumi menghela napas panjang, kegugupannya semakin menjadi. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Na, ayo kita sarapan,” suara Ardiaz terdengar dari balik pintu. Suara itu terdengar santai, tapi Narumi tahu betul pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.Ia menggigit bibirnya, ragu untuk merespons. Ardiaz selalu tahu bagaimana caranya menembus pertahanan dirinya, meskipun ia sudah berusaha menghindar.“Aku tidak akan sarapan,” katanya akhirnya dengan nada datar. “Sarapanlah lebih dulu.”Narumi mendengar langkah kaki Ardiaz menjauh dari pintu, dan ia menghela
“Mas Ghali, kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, tangannya mencengkeram tirai dengan kuat.Keributan di luar villa semakin memuncak. Suara teriakan, bentakan, dan benda yang jatuh memecah keheningan pagi. Narumi masih berdiri diam di dekat jendela, matanya terpaku pada sosok Ghali yang berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. Di sampingnya, Karin tampak memegang lengannya, dengan ekspresi kepura-puraan khawatir dan provokasi halus.“Narumi! Aku tahu kamu di sana! Keluar sekarang!” teriak Ghali, suaranya begitu menggelegar.Narumi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, situasi ini terlalu melelahkan untuk dihadapi begitu saja.Sebelum Narumi sempat bergerak, suara tenang namun penuh ancaman terdengar dari arah ruang tamu.“Berhenti membuat keributan,” kata Ardiaz dengan nada rendah, tapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk berteriak-teriak seperti orang hutan.”Narumi meno
Di sudut sebuah kafe kecil di tepi jalan, Narumi duduk diam, memandangi secangkir teh hangat di hadapannya. Udara malam itu cukup dingin, namun hangatnya suasana dalam kafe berhasil sedikit meredakan pikirannya yang berkecamuk. Di depannya, Liyou duduk sambil menatap Narumi yang memegang kain kompres. Mata Narumi masih bengkak setelah tangis panjang yang tak terbendung sebelumnya.“Bagaimana kabar Kakak?” suara Liyou memecah keheningan, terdengar hati-hati tapi penuh perhatian.Narumi menghela napas panjang, lalu meletakkan kain kompres itu di atas meja. Matanya menatap wajah Liyou, menelusuri setiap detail wajah adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. “Tidak begitu baik,” jawabnya dengan nada lelah.Tapi di balik kelelahannya, ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Liyou, adiknya yang dulu kecil dan rapuh, kini duduk di hadapannya, terlihat kuat dan dewasa. Ia hampir lupa bahwa waktu terus berjalan, dan Liyou bukan lagi anak sepuluh tahun yang dulu sering ia ajak bermain.N
Narumi berdiri mematung, matanya menatap lekat pada Ardiaz yang kini hanya diam di tempat. Tatapan pria itu sulit diartikan. Entah itu rasa bersalah, kebingungan, atau mungkin campuran dari semuanya.“Kenapa kamu melakukan ini?” Narumi mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tajam. Ia tidak peduli dengan ketegangan yang terlihat di wajah Ardiaz. Tangannya terangkat, mencengkeram lengan pria itu dengan erat, sampai tubuh Ardiaz sedikit bergoyang karena dorongan emosinya.“Apa kamu sengaja ingin menyakitiku?”Tubuh Ardiaz menegang seketika. Matanya melebar, seolah pertanyaan itu seperti pukulan yang menghantam dadanya. Tapi ia tidak segera menjawab. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh tekad, Ardiaz membuka mulutnya. “Tidak, Na,” katanya, suaranya serak. “Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia dan kuat dalam menghadapi semua ini.”Narumi mengernyit
Narumi memaksakan senyumnya sambil melirik ke arah Ardiaz, yang menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya. Tapi kali ini, perhatian Narumi tidak bisa teralihkan. Matanya tetap terkunci pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka—ibunya.Sepuluh tahun.Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Jarak waktu yang panjang, dipenuhi kenangan yang dingin dan penuh luka.Narumi meneguk ludah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi yang diciptakan pikirannya. Tapi tatapan tajam wanita itu cukup untuk menyadarkannya bahwa ini nyata."Maaf, Nona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" suara lembut namun asing itu terdengar, disampaikan dalam bahasa Spanyol.Jantung Narumi berdebar keras. Ibunya… tidak mengenalinya.Bagaimana mungkin?Narumi menggigit bibirnya. Mungkin riasan tebal di wajahnya membuatnya tampak berbeda, atau… mungkin memang sejak dulu ibunya tidak pernah benar-benar peduli."Tidak," Narumi akhirnya menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Ha
Karin menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Ia tahu, jika ia terlihat terlalu penasaran, Ghali pasti akan menyadarinya.Namun, di dalam hati, ia merasa gelisah. Apa hubungan Narumi dengan Prajogo?Semakin lama, teka-teki ini terasa semakin membuatnya pusing. Jika benar Narumi berada di pulau pribadi milik Prayogo, maka jelas wanita itu memiliki sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Narumi… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?Karin menatap Ghali yang kini tampak frustrasi, menekan layar ponselnya dengan gusar.Aku harus bergerak cepat.Karin merapatkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke Ghali, mencoba mencari tahu apa yang membuat pria itu tampak gelisah sejak tadi. Matanya menelisik wajah Ghali yang dingin dan terfokus pada ponselnya.“Mas, ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.Ghali melirik sekilas, matanya menyiratkan kejengkelan yang ia coba tahan. Ia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat. Namun, tak lama kemudian, Ghali bangkit
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l