Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .
“Ada apa?” Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya. “Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel. Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri dengar percakapan Ardiaz di seberang—taman kecil di halaman rumahnya. Suara pria itu rendah, namun cukup jelas untuk ditangkap oleh telinga yang terbiasa peka. “Gambarnya aneh. Kirimkan ke tim untuk diselidiki,” ujar Ardiaz sebelum diam, mendengarkan respons dari lawan bicara di seberang telepon. Narumi berhenti memindai layar, keningnya berkerut. Kenapa Ardiaz juga membahas gambar aneh? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh karena sebuah pesan baru masuk di ponselnya. [Sorry Na, aku salah kirim.] Narumi membaca pesan itu sekilas, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tangannya menurunkan ponsel dan kembali menatap ayahnya. “Salah kirim rupanya,” ucapnya santai, nada suaranya berusaha terdengar ringan. “Siska terlalu sibuk sampai jadi human error.” Bramastyo hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. “Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam,” matanya mengamati wajah Narumi dengan saksama. “Kamu pasti lelah.” Senyuman di bibir Narumi perlahan memudar. Ia tahu arah pembicaraan ini. Kalimat sederhana itu terlalu sarat dengan maksud tersembunyi. Sebuah pengingat halus tentang kejadian yang tak bisa ia hapus dari pikirannya, momen memalukan di depan Ghali, dan semua yang menyaksikan. Narumi menarik napas perlahan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. Namun, matanya tak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah. “Sudah berapa lama Papa... mengawasiku?” tanyanya hati-hati. Bramastyo mengangkat alis sedikit, seolah pertanyaan Narumi bukan hal yang mengejutkan. “Semenjak kamu keluar dari rumah Papa,” katanya dengan lembut, tangannya perlahan meraih tangan putrinya. Genggaman itu tidak kuat, tetapi penuh kehangatan. Narumi hanya terpaku. Mata cokelatnya membulat dengan bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi gagal menemukan kata-kata yang pas. tiba-tiba saja, dadanya gemuruh, terharu. Ayahnya itu, punya cara sendiri untuk mengawasinya dari kejauhan. “Pa—” Suaranya bergetar, nyaris pecah oleh emosi, tetapi ia tak sempat melanjutkan. Sebuah suara dari belakang menyela, memecah momen yang seharusnya menjadi miliknya dan ayahnya. “Maaf, Om,” ujar Ardiaz yang muncul dengan langkah mantap. Suaranya tenang, tetapi cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di sana. “Sepertinya aku harus kembali. Ada pekerjaan mendesak yang perlu kuselesaikan.” Bramastyo menatap Ardiaz dengan alis sedikit mengerut, tetapi ia segera mengangguk kecil. “Oh, sangat disayangkan,” katanya, suaranya penuh nada kecewa. “Padahal Om ingin berbicara lebih lama dengan kalian. Ada satu hal penting yang ingin Om bahas, masalah pertunangan kalian.” Narumi tetap diam. Ia hanya memperhatikan percakapan itu dengan hati yang masih berdebar. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari Ardiaz. Ada sesuatu di balik sorot mata keemasan pria itu, seberkas kegelisahan yang tidak selaras dengan senyumnya. “Lusa,” kata Ardiaz dengan wajah kembali ramah, seperti topeng yang dipasang dengan sempurna. “Kita bisa makan malam bersama. Sekalian Papa dan Mama juga ingin bertemu dengan calon istriku.” Tatapannya bergeser ke arah Narumi, pandangan yang hangat namun sulit untuk dibaca. Bramastyo menyambutnya dengan senyuman lebar. “Oho, ternyata teman lama Om sudah di Indonesia rupanya,” ujarnya dengan nada bahagia. “Baiklah, kalau begitu. Om tidak sabar bertemu dengan Papa dan Mamamu.” Ardiaz mengangguk, ekspresinya tetap tenang. “Kalau begitu, aku pamit dulu, Om.” Tatapannya kembali pada Narumi, kali ini lebih tajam, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum. “Bisa aku meminta nomor WA-mu?” Narumi menatap ponsel yang disodorkan Ardiaz. Ia tak segera meraih ponsel itu, seolah-olah benda kecil tersebut membawa beban yang lebih berat dari yang seharusnya. Di dalam hatinya, keraguan menyelinap perlahan, menciptakan rasa tak nyaman yang tak ia pahami. Namun, suara deham ayahnya yang tegas, meski tak keras membuyarkan pikirannya. Bramastyo menatapnya, sebuah isyarat halus yang tak bisa Narumi abaikan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan Ardiaz. Jari-jarinya nyaris menyentuh layar ponsel saat sebuah notifikasi melintas di atas layar. Mata Narumi seketika menyipit, mencoba membaca tulisan singkat itu. Sebuah nama muncul, terasa begitu akrab hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Siska. Narumi membeku sejenak, otaknya berputar menghubungkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Tapi sebelum ia sempat membaca lebih jauh, Ardiaz dengan gerakan cepat menggeser notifikasi itu ke atas, Hal ini membuat Narumi langsung menatap wajah Ardiaz. “Nomormu,” ujarnya dengan senyum yang tampak kaku. Narumi mengalihkan pandangannya dari wajah Ardiaz yang menyimpan banyak teka-teki. Ia menatap layar ponsel, kemudian helaan napas meluncur sebelum mengetikkan nomor ponselnya. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran liar yang mulai muncul di kepalanya, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan, nama yang sama, tak lebih dari itu. Saat Narumi selesai memasukkan nomornya, Ardiaz menarik kembali ponselnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu bergegas pergi. Langkah-langkahnya terdengar tergesa, seolah ada sesuatu yang dikejarnya. Narumi menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap hingga suara ayahnya memecah keheningan. “Dia anak yang baik,” ujar Bramastyo, suaranya penuh keyakinan. “Papa yakin kamu akan bahagia bersamanya.” Narumi mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, mencoba mencari ketulusan dalam ucapan tersebut, sampai ia tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya, namun sudut bibirnya terangkat, meski ia diam seribu bahasa. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan menggantung tanpa jawaban. Apakah benar ia bisa menggantungkan kebahagiaannya pada pria yang baru beberapa jam ia temui? Atau, seperti pesan yang melintas di layar tadi, ada lebih banyak hal tentang Ardiaz yang masih tersembunyi? Di sisi lain, mobil Ardiaz meluncur cepat, menembus keramaian ibukota yang padat. Langit kekuningan tampak indah itu, tak cukup mengusir pikirannya yang kusut. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, tanda kegelisahan yang sulit disembunyikan. Nada dering yang nyaring memecah kesunyian di dalam mobil. Dengan gerakan cepat, Ardiaz menekan tombol panggil di ponsel yang terhubung ke speaker mobil. “Apa kamu sudah menyelidiki gambar itu?” Suaranya terdengar tajam ketika ia berbicara, {Sudah, Bos. Sepertinya nona itu salah kirim. Dia baru saja mengonfirmasi.} Alis Ardiaz bertaut, menimbulkan kerutan di dahinya yang semakin dalam. “Salah kirim? Kamu yakin? Bagaimana dengan rekaman CCTV?” {Aspek itu aman, Bos.} Suara penuh keyakinan itu tak cukup membuat Ardiaz merasa lega. Matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya sibuk berputar, mencari celah yang mungkin terlewat. “Apa kamu benar yakin? Firasatku begitu buruk tentang hal ini.” Nada suaranya merendah, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. {Yakin seratus persen, Bos,} Ardiaz mengembuskan napas panjang atas keyakinan orang kepercayaannya itu. Otot-otot di wajahnya yang tadi tegang perlahan melunak, meskipun bayangan buruk masih membayangi pikirannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, suara dalam itu kembali tenang. “Aku akan ke tempatmu sekarang.” Dengan satu gerakan, ia menekan tombol untuk mengakhiri panggilan, dan mobil mewah itu melesat lebih cepat, secepat detak jantung Karin yang kini berhadapan dengan ayahnya, Mahendra Pramudya. pria paruh baya itu berdiri seperti gunung berapi yang siap meletus, matanya menyala tajam dengan napas berat. “Gugurkan janin haram itu!”Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Perasaan tak percaya menghantam Ardiaz, mengguncang setiap serat jiwanya. Ini bukan yang ia inginkan. Ia datang dengan harapan membawa jawaban atas kekhawatirannya, namun justru kematian yang menyambutnya. “Mengapa seperti ini?” tanyanya pada ruangan yang sepi, seakan menuntut jawaban dari sosok yang tak bernyawa. Ketika kesadaran perlahan merayap, tubuh Ardiaz bergerak seperti boneka tanpa kendali, melangkah mendekati Siska. Jemarinya gemetar saat menyentuh kaki sang wanita yang kini membeku. Tidak ada lagi kehangatan di sana, hanya rasa dingin yang menusuk, menggambarkan realita kejam jika Siska sudah beberapa jam meninggalkan dunia ini, meninggalkan dirinya dalam kehampaan yang tak terbayangkan. Air mata Ardiaz terus tumpah tanpa henti, rasa sesak di dadanya kian menekan, seakan ingin mencabik habis sisa-sisa kehidupannya. “Bodoh...” gumamnya lirih, suaranya bergetar penuh penyesalan. “Maafkan aku... Aku datang terlambat.” Kesadaran Ardiaz pulih dengan cepat, kesedihan t
Suara Ardiaz mengalir begitu tenang, namun sorot matanya yang tajam, menuntut penjelasan, membuat Narumi tersentak. Sejenak ia hanya diam, mencari keberanian untuk membuka mulut. Pikiran Narumi berkecamuk, mencari cara yang tepat untuk menjawab.Sampai ia menunduk, matanya terpaku pada kancing di tangannya, lalu memutar-mutar benda kecil itu, seolah berharap menemukan jawaban di dalamnya. “Larry bilang, jika kancing ini adalah jawaban atas kematian Siska. Lalu aku menyimpulkan… kalau kancing ini ditemukan di dekat tempat kejadian.”Keheningan kembali menyelimuti mereka. Angin pantai berembus dingin, tetapi Ardiaz bergeming. Tatapannya tetap tajam, menuntut penjelasan lebih jauh.“Kancing ini sama persis dengan yang ada di mantelku. Itu sudah cukup, jadi alasan buat menuduhku sebagai pelaku.” lanjut Narumi, suaranya pelan namun jelas.“Dari mantelmu?” ulang Ardiaz, tatapannya berpindah ke kancing di tangan Narumi. “Tapi, bagaimana kancing itu bisa sampai di sana?”Narumi menggeleng p
Tak lama setelah Ardiaz memutuskan lamunannya, dering ponsel memecah keheningan di ruangan. Dengan cepat, ia menerima panggilan itu, menempelkan perangkat ke telinganya. Suara seseorang di ujung telepon segera terdengar.[Bos, Nona Narumi ada di pinggir pantai saat ini.]Mendengar laporan itu, senyum kecil muncul di sudut bibir Ardiaz. “Bagus, awasi terus gerak-geriknya. Laporkan jika ada yang mencurigakan.” Nada suaranya terdengar tegas dan penuh kendali. Setelah memberikan instruksi singkat, ia memutuskan panggilan secara sepihak tanpa menunggu respons lebih lanjut.Ardiaz kembali menatap langit yang cerah melalui jendela besar di kantornya. Tanpa menoleh, ia memanggil nama seseorang. “Julita.”Pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita berpakaian merah dengan penampilan mencolok masuk dengan langkah anggun. Senyum genit menghiasi wajahnya. “Ya, Pak?” jawab Julita dengan nada lembut namun menggoda.“Reschedule semua meeting saya hari ini,” perintahnya tegas. “Meeting dengan Pak S
“Apa yang kamu katakan, Na?” suara Karin tiba-tiba memecah keheningan, mengambil alih pembicaraan. Wanita itu berdiri dari tempatnya dan mendekati Narumi dengan ekspresi yang penuh kemarahan. “Jangan asal tuduh!”Narumi menatap Karin dengan mata cokelatnya yang menyala tajam. Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata, menyalurkan amarah dan ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak asal menuduh,” balasnya dingin, nada suaranya penuh dengan keyakinan. “Lagi pula, aku tidak bertanya padamu.”Langkah Narumi maju, memaksa Karin untuk tetap diam di tempat. Ia berdiri begitu dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka. “Keluarlah dari ruangan ini,” ucapnya lugas, menyingkirkan Karin dengan nada perintah.Mata Karin membelalak, dan sudut bibirnya sedikit bergetar. Ia tampak terkejut namun tidak mau mengalah. “Aku tidak mau keluar!” sergahnya, mengepalkan tangannya dengan erat. “Seharusnya kamulah yang keluar! Apa kamu tidak berkaca bagaimana penampilanmu saa
Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung. Awan gelap menggantung berat, dan hujan turun deras tanpa peringatan, seakan menandakan sesuatu yang buruk. Narumi tetap di tempatnya, tubuhnya gemetar di bawah guyuran hujan. Tangannya meremas tanah makam Siska, dan isakannya tertahan dalam tenggorokannya.“Bagaimana Siska bisa meninggal?” tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam oleh derasnya hujan.Kilatan petir menyambar, mengisi keheningan yang terasa begitu menyesakkan. Larry tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan melemparkannya ke depan batu nisan Siska. Benda itu jatuh dengan suara pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian Narumi.“Hanya pemiliknya yang tahu bagaimana kekasihku meninggal,” ucap Larry dingin.Narumi terdiam, matanya tertuju pada benda kecil di tanah. Sebuah kancing. Matanya membulat saat menyadari sesuatu. Ia mengenali kancing itu, kancing dari mantel yang sering ia pakai. Tangannya yang gemetar perlahan mengambil benda
Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu