Narumi yang pertama menurunkan pandangannya dari Ardiaz, Ia kembali fokus pada ponselnya. Kedua jarinya pun ikut sibuk mencubit layar; membesarkan atau mengecilkan gambar yang baru saja di terimanya. Matanya menyipit, mencoba memahami maksud Siska mengirim gambar aneh itu .
“Ada apa?” Suara Bramastyo menyelinap penasaran, memecahkan konsentrasi Narumi hingga ia mendongak, menatap sang ayah di sampingnya. “Temanku... mengirim gambar abstrak,” jawabnya, kembali mengamati layar ponsel. Gambar itu memang membingungkan. Sebuah foto buram memperlihatkan sesuatu yang menyerupai kuku berhias nail art merah. Tapi, ada sesuatu yang tak biasa. Bercak-bercak gelap mengotori permukaannya, seperti darah kering. Jari di foto itu terlihat tidak utuh, seolah-olah... terpotong. Narumi mengerutkan alis, mendekatkan ponselnya lebih ke wajah, mencoba memastikan penglihatannya. “Gambar macam apa ini...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Lalu, sebuah suara lain menarik perhatian Narumi. Ia mencuri dengar percakapan Ardiaz di seberang—taman kecil di halaman rumahnya. Suara pria itu rendah, namun cukup jelas untuk ditangkap oleh telinga yang terbiasa peka. “Gambarnya aneh. Kirimkan ke tim untuk diselidiki,” ujar Ardiaz sebelum diam, mendengarkan respons dari lawan bicara di seberang telepon. Narumi berhenti memindai layar, keningnya berkerut. Kenapa Ardiaz juga membahas gambar aneh? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tetapi ia tidak sempat berpikir lebih jauh karena sebuah pesan baru masuk di ponselnya. [Sorry Na, aku salah kirim.] Narumi membaca pesan itu sekilas, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tangannya menurunkan ponsel dan kembali menatap ayahnya. “Salah kirim rupanya,” ucapnya santai, nada suaranya berusaha terdengar ringan. “Siska terlalu sibuk sampai jadi human error.” Bramastyo hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap dingin seperti biasa. “Kalau begitu, ayo kita masuk ke dalam,” matanya mengamati wajah Narumi dengan saksama. “Kamu pasti lelah.” Senyuman di bibir Narumi perlahan memudar. Ia tahu arah pembicaraan ini. Kalimat sederhana itu terlalu sarat dengan maksud tersembunyi. Sebuah pengingat halus tentang kejadian yang tak bisa ia hapus dari pikirannya, momen memalukan di depan Ghali, dan semua yang menyaksikan. Narumi menarik napas perlahan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. Namun, matanya tak bisa menahan rasa penasaran yang membuncah. “Sudah berapa lama Papa... mengawasiku?” tanyanya hati-hati. Bramastyo mengangkat alis sedikit, seolah pertanyaan Narumi bukan hal yang mengejutkan. “Semenjak kamu keluar dari rumah Papa,” katanya dengan lembut, tangannya perlahan meraih tangan putrinya. Genggaman itu tidak kuat, tetapi penuh kehangatan. Narumi hanya terpaku. Mata cokelatnya membulat dengan bibirnya terbuka sedikit, seakan ingin mengatakan sesuatu tetapi gagal menemukan kata-kata yang pas. tiba-tiba saja, dadanya gemuruh, terharu. Ayahnya itu, punya cara sendiri untuk mengawasinya dari kejauhan. “Pa—” Suaranya bergetar, nyaris pecah oleh emosi, tetapi ia tak sempat melanjutkan. Sebuah suara dari belakang menyela, memecah momen yang seharusnya menjadi miliknya dan ayahnya. “Maaf, Om,” ujar Ardiaz yang muncul dengan langkah mantap. Suaranya tenang, tetapi cukup tegas untuk menarik perhatian semua orang di sana. “Sepertinya aku harus kembali. Ada pekerjaan mendesak yang perlu kuselesaikan.” Bramastyo menatap Ardiaz dengan alis sedikit mengerut, tetapi ia segera mengangguk kecil. “Oh, sangat disayangkan,” katanya, suaranya penuh nada kecewa. “Padahal Om ingin berbicara lebih lama dengan kalian. Ada satu hal penting yang ingin Om bahas, masalah pertunangan kalian.” Narumi tetap diam. Ia hanya memperhatikan percakapan itu dengan hati yang masih berdebar. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari Ardiaz. Ada sesuatu di balik sorot mata keemasan pria itu, seberkas kegelisahan yang tidak selaras dengan senyumnya. “Lusa,” kata Ardiaz dengan wajah kembali ramah, seperti topeng yang dipasang dengan sempurna. “Kita bisa makan malam bersama. Sekalian Papa dan Mama juga ingin bertemu dengan calon istriku.” Tatapannya bergeser ke arah Narumi, pandangan yang hangat namun sulit untuk dibaca. Bramastyo menyambutnya dengan senyuman lebar. “Oho, ternyata teman lama Om sudah di Indonesia rupanya,” ujarnya dengan nada bahagia. “Baiklah, kalau begitu. Om tidak sabar bertemu dengan Papa dan Mamamu.” Ardiaz mengangguk, ekspresinya tetap tenang. “Kalau begitu, aku pamit dulu, Om.” Tatapannya kembali pada Narumi, kali ini lebih tajam, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum. “Bisa aku meminta nomor WA-mu?” Narumi menatap ponsel yang disodorkan Ardiaz. Ia tak segera meraih ponsel itu, seolah-olah benda kecil tersebut membawa beban yang lebih berat dari yang seharusnya. Di dalam hatinya, keraguan menyelinap perlahan, menciptakan rasa tak nyaman yang tak ia pahami. Namun, suara deham ayahnya yang tegas, meski tak keras membuyarkan pikirannya. Bramastyo menatapnya, sebuah isyarat halus yang tak bisa Narumi abaikan. Dengan berat hati, ia akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan Ardiaz. Jari-jarinya nyaris menyentuh layar ponsel saat sebuah notifikasi melintas di atas layar. Mata Narumi seketika menyipit, mencoba membaca tulisan singkat itu. Sebuah nama muncul, terasa begitu akrab hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Siska. Narumi membeku sejenak, otaknya berputar menghubungkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Tapi sebelum ia sempat membaca lebih jauh, Ardiaz dengan gerakan cepat menggeser notifikasi itu ke atas, Hal ini membuat Narumi langsung menatap wajah Ardiaz. “Nomormu,” ujarnya dengan senyum yang tampak kaku. Narumi mengalihkan pandangannya dari wajah Ardiaz yang menyimpan banyak teka-teki. Ia menatap layar ponsel, kemudian helaan napas meluncur sebelum mengetikkan nomor ponselnya. Mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran liar yang mulai muncul di kepalanya, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan, nama yang sama, tak lebih dari itu. Saat Narumi selesai memasukkan nomornya, Ardiaz menarik kembali ponselnya. Tanpa banyak basa-basi, pria itu bergegas pergi. Langkah-langkahnya terdengar tergesa, seolah ada sesuatu yang dikejarnya. Narumi menatap punggungnya yang semakin menjauh. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap hingga suara ayahnya memecah keheningan. “Dia anak yang baik,” ujar Bramastyo, suaranya penuh keyakinan. “Papa yakin kamu akan bahagia bersamanya.” Narumi mengalihkan pandangannya ke arah ayahnya, mencoba mencari ketulusan dalam ucapan tersebut, sampai ia tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya, namun sudut bibirnya terangkat, meski ia diam seribu bahasa. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan menggantung tanpa jawaban. Apakah benar ia bisa menggantungkan kebahagiaannya pada pria yang baru beberapa jam ia temui? Atau, seperti pesan yang melintas di layar tadi, ada lebih banyak hal tentang Ardiaz yang masih tersembunyi? Di sisi lain, mobil Ardiaz meluncur cepat, menembus keramaian ibukota yang padat. Langit kekuningan tampak indah itu, tak cukup mengusir pikirannya yang kusut. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir, tanda kegelisahan yang sulit disembunyikan. Nada dering yang nyaring memecah kesunyian di dalam mobil. Dengan gerakan cepat, Ardiaz menekan tombol panggil di ponsel yang terhubung ke speaker mobil. “Apa kamu sudah menyelidiki gambar itu?” Suaranya terdengar tajam ketika ia berbicara, {Sudah, Bos. Sepertinya nona itu salah kirim. Dia baru saja mengonfirmasi.} Alis Ardiaz bertaut, menimbulkan kerutan di dahinya yang semakin dalam. “Salah kirim? Kamu yakin? Bagaimana dengan rekaman CCTV?” {Aspek itu aman, Bos.} Suara penuh keyakinan itu tak cukup membuat Ardiaz merasa lega. Matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya sibuk berputar, mencari celah yang mungkin terlewat. “Apa kamu benar yakin? Firasatku begitu buruk tentang hal ini.” Nada suaranya merendah, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. {Yakin seratus persen, Bos,} Ardiaz mengembuskan napas panjang atas keyakinan orang kepercayaannya itu. Otot-otot di wajahnya yang tadi tegang perlahan melunak, meskipun bayangan buruk masih membayangi pikirannya. “Baiklah,” katanya akhirnya, suara dalam itu kembali tenang. “Aku akan ke tempatmu sekarang.” Dengan satu gerakan, ia menekan tombol untuk mengakhiri panggilan, dan mobil mewah itu melesat lebih cepat, secepat detak jantung Karin yang kini berhadapan dengan ayahnya, Mahendra Pramudya. pria paruh baya itu berdiri seperti gunung berapi yang siap meletus, matanya menyala tajam dengan napas berat. “Gugurkan janin haram itu!”Karin menunduk, bahunya merosot seolah mencoba menghindari tajamnya kata-kata Mahendra. “Aku tidak mau,” suaranya nyaris tenggelam di udara yang penuh ketegangan. Karin tak berani mengangkat wajah, tak sanggup menatap mata sang ayah yang penuh bara.Suara Mahendra meledak, menggema hingga sudut ruangan. “Dasar anak tak tahu diri!” Tangannya mengentak meja, membuat gelas di atasnya bergetar. “Papa sudah bilang dari awal, jangan ganggu pernikahan Nana! Tapi apa? Kamu... berani-beraninya kamu hamil!”Karin mendongak, perlahan tapi pasti. Matanya memerah, menahan air mata yang sudah membanjiri kelopaknya. “Aku mencintai Mas Ghali, Pa,” katanya lirih. Tatapannya berpindah pada sang ibu, berharap ada secercah pembelaan. Tapi perempuan itu hanya diam, wajahnya kosong seperti tembok dingin.Mahendra mendengus keras, amarahnya memuncak. “Cinta?!” teriaknya dengan nada mengejek. “Cinta tidak akan membayar kebahagiaanmu, Karin! Gugurkan anak itu, dan pergi kembali ke luar negeri. Jangan pern
“Kamu tidur di mana? Kata Karin kamu tidak kembali ke rumah orang tuanya.” Tubuh Narumi menegang. Degup jantungnya berirama tak keruan ketika sepasang lengan kuat melingkupinya dari belakang. Kehangatan tubuh itu membuat darahnya berdesir aneh. “Aku kacau saat kamu tak ada di rumah, Na. Pulanglah... kita bicarakan semuanya di rumah, ya?” suara lembut itu hampir terdengar memohon. Dengan cepat, Narumi melepaskan diri dari pelukan tersebut, berbalik, dan mendapati sosok Ghali berdiri di depannya. Wajahnya tampak lelah, kemeja putih yang dikenakan sudah tidak rapi, dan dasinya menggantung miring seolah dipasang dengan terburu-buru. “Mas Ghali...” suara Narumi tercekat. Ia ingin bersikap tenang, tapi rasa gugup menguasainya. Ghali mengulurkan tangan, mencoba menggenggam tangannya, namun Narumi menarik tangannya menjauh. “Tolong... jangan seperti ini, Mas,” ujar Narumi, berusaha menahan gemuruh emosinya. “Kamu tahu aku tidak akan pulang ke rumahmu lagi.” Wajah Ghali men
“Terluka? Darah?” Narumi mengulang kata itu, suaranya bergetar. Pandangannya langsung jatuh ke ujung jarinya. Tubuhnya menegang seketika saat matanya menangkap noda merah yang samar tapi cukup jelas.Tanpa sadar, ia menarik tangannya dengan gerakan cepat, membuat Ghali mengerutkan alis. Tatapan pria itu berubah tajam, penuh selidik.“Apa itu?” tanya Ghali sekali lagi, namun nada suaranya berubah dingin bahkan melangkah maju, mendekati istrinya.“Ini… bukan apa-apa.” Narumi berkilah dengan nada gugup, buru-buru menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Tetapi, getaran di suaranya tak luput dari perhatian Ghali.Pikiran Narumi berputar kacau. Sejak kapan jariku berdarah? Dia mencoba mengingat, tetapi tidak ada kejadian yang menjelaskan asal noda itu. Kemudian, rasa panik mulai menguasainya.Pisau. Ingatan tentang pisau di apartemen Siska mendadak memenuhi pikiran Narumi. Matanya melebar saat kesadaran menghantamnya. Apa mungkin darah ini berasal dari pisau itu?Narumi langsung m
“Ardiaz...” Suara Narumi terdengar pelan, seperti gumaman yang terhempas angin laut.“Iya, ini aku,” jawab Ardiaz sambil melangkah mendekat. “Kenapa kamu sendirian di sini?” tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.Narumi berbalik, namun hanya untuk memunggungi Ardiaz. Matanya kembali menatap lautan yang bergelombang. “Aku hanya ingin menikmati laut... dan aku memang ingin sendiri,” katanya dengan nada datar.Tanpa banyak bicara, Ardiaz berdiri di sisinya, memberikan ruang, tapi cukup dekat untuk merasakan keberadaannya. Sekilas, matanya melirik wajah Narumi yang samar-samar tampak basah oleh sisa air mata.“Kamu menangis lagi,” ucap Ardiaz pelan, hampir seperti bisikan.Narumi menoleh, alisnya bertaut dengan kerutan kecil di dahinya. Namun, senyum tipis menghiasi bibirnya, meski lebih mirip dengan senyum getir. “Apa aku tak boleh menangis?” balasnya, mencoba terdengar santai.“Tentu saja boleh,” jawab Ardiaz, sorot matanya bertemu dengan mata Narumi. “Tapi... apa kamu
Dahi Narumi mengerut dalam saat melihat Ardiaz keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Dari dalam, ia samar-samar mendengar suaranya yang terdengar gelisah berbicara melalui ponsel.“Cari sampai ketemu,” titah Ardiaz dengan tegas, melirik sekilas ke arah Narumi yang masih duduk di dalam mobil.Tak lama, pria itu mengetuk kaca jendela mobil, membuat Narumi menurunkan kaca dan menatapnya dengan ekspresi bingung.“Maaf, aku harus pergi,” ucap Ardiaz tergesa-gesa, meskipun suaranya tetap tenang.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Narumi, penasaran sekaligus khawatir.“Tidak,” jawab Ardiaz singkat. “Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang.”Narumi mengangguk pelan, mencoba menghormati keputusan pria itu. “Tak masalah,” katanya dengan nada tenang meski pikirannya dipenuhi tanda tanya.Namun, matanya terus mengamati langkah cepat Ardiaz yang menghilang di kejauhan. Rasa penasaran melingkupi benaknya, terutama setelah ia sempat menangkap sekilas pesan di layar ponsel pria itu.“Nona kecil?” gumam Nar
“Apa Nana seorang psikopat? Mas, lihat ruangan ini… benar-benar membuatku merinding,” Karin bersuara dengan nada yang sarat ketidakpercayaan.Ghali berdiri diam di ambang pintu, tubuhnya seperti membatu. Matanya menatap ruangan kecil itu, penuh dengan sesuatu yang sulit ia terima.Langit-langit ruangan dihiasi foto-foto dirinya yang tergantung dengan rapi. Dinding-dinding dipenuhi dengan catatan kecil berwarna kuning.Masing-masing mencatat hal-hal yang ia sukai dan tidak sukai. Baik dari makanan favorit, warna, jenis pakaian, hingga alerginya. Semua tercatat dengan teliti.Karin menoleh ke belakang, menatap Ghali dengan mata melebar. “Mas, kau tahu soal ini?”Ghali menggeleng pelan, “Aku tahu ada ruangan ini.” Suara yang keluar dari mulutnya nyaris seperti bisikan. “Tapi aku tidak pernah masuk, sejak Nana memintanya jadi ruang pribadinya.” Suasana menjadi hening. Karin melangkah masuk dengan ragu, memeriksa setiap detail dengan tatapan gelisah, sementara Ghali mengikuti dari belakan
Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Perasaan tak percaya menghantam Ardiaz, mengguncang setiap serat jiwanya. Ini bukan yang ia inginkan. Ia datang dengan harapan membawa jawaban atas kekhawatirannya, namun justru kematian yang menyambutnya. “Mengapa seperti ini?” tanyanya pada ruangan yang sepi, seakan menuntut jawaban dari sosok yang tak bernyawa. Ketika kesadaran perlahan merayap, tubuh Ardiaz bergerak seperti boneka tanpa kendali, melangkah mendekati Siska. Jemarinya gemetar saat menyentuh kaki sang wanita yang kini membeku. Tidak ada lagi kehangatan di sana, hanya rasa dingin yang menusuk, menggambarkan realita kejam jika Siska sudah beberapa jam meninggalkan dunia ini, meninggalkan dirinya dalam kehampaan yang tak terbayangkan. Air mata Ardiaz terus tumpah tanpa henti, rasa sesak di dadanya kian menekan, seakan ingin mencabik habis sisa-sisa kehidupannya. “Bodoh...” gumamnya lirih, suaranya bergetar penuh penyesalan. “Maafkan aku... Aku datang terlambat.” Kesadaran Ardiaz pulih dengan cepat, kesedihan t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur
Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se
Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad
Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,
Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m
Narumi menatap Karin tajam, tahu betul bahwa niat wanita itu tidak sesederhana yang terlihat. “Liburan?” tanyanya, matanya menelisik dengan penuh selidik. “Kalian berdua tiba-tiba muncul di sini dengan koper, tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ingin ikut ke Yunani?”Ghali mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Narumi. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimanapun, kita masih suami istri, bukan?”Narumi tersenyum sinis. “Masih suami istri?” ia menekankan setiap kata dengan nada yang membuat Ghali sedikit mundur selangkah. “Aku sudah muak menekankan hal ini, Mas. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu.”Ardiaz menepuk pundak Narumi pelan, mengisyaratkan agar ia tetap tenang. Kemudian, ia menatap Ghali dengan tatapan yang tajam namun tetap santai. “Dengar, Ini perjalanan pribadi kami, dan aku rasa kehadiranmu tidak diperlukan.”Ghali mendengus kesal. “Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat istriku bersama pria lain?” katanya penuh penekanan.Narumi mengambil langkah maju,