Di hadapannya kini terhampar satu buket bunga mawar dengan seribu tangkai, ditemani sebuah kado raksasa yang menjulang tinggi.Narumi berdiri membatu. Sudah lama sekali ia tidak melihat banyaknya bunga itu, bunga yang pernah menjadi favoritnya dulu. Banyak hal yang berubah sejak ia memutuskan mencintai Ghali, pria yang alergi serbuk bunga. Demi dirinya, Narumi menjauhi segala hal yang berkaitan dengan bunga.Ardiaz berhasil membawa kenangan yang sempat terkubur oleh Narumi. Malahan, ia merasa tersentuh atas tindakan pria itu.“Papa tak salah pilih calon mantu, 'Kan?” Suara Bramastyo memecah lamunan Narumi. Nada bangga pria paruh baya itu terdengar jelas sampai mengalihkan pandangannya, menatap dengan rasa haru.“Apa kamu bahagia?” tanya Bramastyo pelan sambil memeluk erat putrinya, Narumi.Mendengar pertanyaan itu. Narumi tertegun, sudah berapa lama sejak seseorang menanyakan kebahagiaannya? Jawabannya, sangatlah lama.Dengan tersenyum kecil, ia pun menjawab, “Hm, aku sangat bahagia
Perasaan tak percaya menghantam Ardiaz, mengguncang setiap serat jiwanya. Ini bukan yang ia inginkan. Ia datang dengan harapan membawa jawaban atas kekhawatirannya, namun justru kematian yang menyambutnya. “Mengapa seperti ini?” tanyanya pada ruangan yang sepi, seakan menuntut jawaban dari sosok yang tak bernyawa. Ketika kesadaran perlahan merayap, tubuh Ardiaz bergerak seperti boneka tanpa kendali, melangkah mendekati Siska. Jemarinya gemetar saat menyentuh kaki sang wanita yang kini membeku. Tidak ada lagi kehangatan di sana, hanya rasa dingin yang menusuk, menggambarkan realita kejam jika Siska sudah beberapa jam meninggalkan dunia ini, meninggalkan dirinya dalam kehampaan yang tak terbayangkan. Air mata Ardiaz terus tumpah tanpa henti, rasa sesak di dadanya kian menekan, seakan ingin mencabik habis sisa-sisa kehidupannya. “Bodoh...” gumamnya lirih, suaranya bergetar penuh penyesalan. “Maafkan aku... Aku datang terlambat.” Kesadaran Ardiaz pulih dengan cepat, kesedihan t
Narumi meraih ponselnya di atas meja, jemarinya gemetar saat mencoba menghubungi Siska. Namun, suara operator yang mengatakan ponsel tidak aktif justru membuat jantungnya berdebar semakin keras.Ia menggigit bibir bawahnya, merasa ada yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang, Narumi bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi.“Kamu mau ke mana?” Suara ayahnya menghentikan langkah Narumi, menuju pintu utama. Ia menoleh dengan ekspresi gelisah. “Aku ingin ke apartemen Siska,” jawabnya.“Siska?” Bramastyo mengulangi nama itu dengan dahi berkerut.Narumi mengangguk, “Dia pengacaraku. Aku harus ke sana malam ini.” suaranya pelan tapi tegas.“Ini sudah larut malam, Na." Bramastyo melirik jam di tangannya, lalu menatap putrinya dengan penuh pertimbangan. "Besok saja,” katanya dengan setengah memerintah, setengah mengkhawatirkan.Narumi kembali menggigit bibir, rasa gelisah di hatinya kian membuncah, tetapi ia mencoba menjaga nada bicaranya untuk tetap tenang. “Tapi, aku harus ke sana, Pa.”
“L-Larry, apa yang kamu lakukan?” tanya Narumi dengan suara terputus, berusaha memahami situasi di tengah napasnya mulai tersendat.“Aku akan membunuhmu!” geram Larry, nadanya penuh dendam. Wajah pria itu kian merah padam, tangan mencengkeram lebih erat. Melihat situasi kian memanas, Ardiaz memutar matanya dengan kesal. “Lepaskan dia, Bung!” ucapnya dingin, suaranya penuh ancaman.Keadaan semakin tegang. Napas Narumi semakin tersengal, tubuhnya kian melemah, dan hampir kehilangan kesadaran. Namun, matanya sontak terbelalak ketika tangan Ardiaz sudah mencengkeram leher Larry. Tindakan yang tak terduga pria itu membuat Narumi terkejut, meskipun pikirannya mulai mengabur oleh rasa sakit dan kurangnya udara.“Tidak akan!” balas Larry dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Ia mencoba menggunakan tangan satunya untuk melepaskan cengkeraman di lehernya, tetapi upayanya sia-sia.Ardiaz tidak sedikit pun mengendurkan cengkeramannya. Sorot matanya penuh ketegasan, seolah memberi peringatan:
Narumi tersenyum tipis, nyaris remeh. “Cerai?” ulangnya sambil bersandar di kursi. Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan dengan nada sinis. “Jadi, kamu ingin menikah kontrak denganku?”Tanpa basa-basi, Ardiaz menganggukkan kepala. “Anggap saja begitu,” jawabnya singkat.“Kenapa?” tanya Narumi dengan cepat, sorot matanya tajam menuntut penjelasan.Ardiaz mengambil cangkir tehnya dengan tenang, melirik Narumi sejenak sebelum menjawab. “Karena, aku merasa kamu belum sepenuhnya siap menjadi istriku. Jadi... itu adalah saran terbaik yang bisa kupikirkan saat ini,” ujar Ardiaz dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Narumi terdiam, mencerna kata-kata Ardiaz. Apa yang ia katakan ada benarnya. Narumi memang belum siap untuk berumah tangga kembali, bahkan ia telah memikirkan berbagai cara untuk menggagalkan rencana ayahnya. Namun, ide pernikahan kontrak itu membangkitkan trauma lamanya.“Aku menolak,” tegas Narumi, menatap Ardiaz dengan penuh keyakinan.“Alasannya?” tanya Ardiaz, menata
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
“Mama ingin bertemu.” Tangannya sedikit gemetar, ada keraguan yang menghantuinya. Tapi di sisi lain, ada dorongan kuat untuk memenuhi panggilan tersebut.{Iya, Kak. Kami akan menunggumu di restoran,} suara Liyou terngiang di pikirannya sebelum panggilan itu diputus secara sepihak.Narumi menghela napas panjang, kegugupannya semakin menjadi. Ia berjalan ke arah jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.“Na, ayo kita sarapan,” suara Ardiaz terdengar dari balik pintu. Suara itu terdengar santai, tapi Narumi tahu betul pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban.Ia menggigit bibirnya, ragu untuk merespons. Ardiaz selalu tahu bagaimana caranya menembus pertahanan dirinya, meskipun ia sudah berusaha menghindar.“Aku tidak akan sarapan,” katanya akhirnya dengan nada datar. “Sarapanlah lebih dulu.”Narumi mendengar langkah kaki Ardiaz menjauh dari pintu, dan ia menghela
“Mas Ghali, kenapa dia bisa ada di sini?” gumamnya pelan, tangannya mencengkeram tirai dengan kuat.Keributan di luar villa semakin memuncak. Suara teriakan, bentakan, dan benda yang jatuh memecah keheningan pagi. Narumi masih berdiri diam di dekat jendela, matanya terpaku pada sosok Ghali yang berdiri dengan ekspresi penuh kemarahan. Di sampingnya, Karin tampak memegang lengannya, dengan ekspresi kepura-puraan khawatir dan provokasi halus.“Narumi! Aku tahu kamu di sana! Keluar sekarang!” teriak Ghali, suaranya begitu menggelegar.Narumi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, situasi ini terlalu melelahkan untuk dihadapi begitu saja.Sebelum Narumi sempat bergerak, suara tenang namun penuh ancaman terdengar dari arah ruang tamu.“Berhenti membuat keributan,” kata Ardiaz dengan nada rendah, tapi penuh ancaman. “Ini bukan tempatmu untuk berteriak-teriak seperti orang hutan.”Narumi meno
Di sudut sebuah kafe kecil di tepi jalan, Narumi duduk diam, memandangi secangkir teh hangat di hadapannya. Udara malam itu cukup dingin, namun hangatnya suasana dalam kafe berhasil sedikit meredakan pikirannya yang berkecamuk. Di depannya, Liyou duduk sambil menatap Narumi yang memegang kain kompres. Mata Narumi masih bengkak setelah tangis panjang yang tak terbendung sebelumnya.“Bagaimana kabar Kakak?” suara Liyou memecah keheningan, terdengar hati-hati tapi penuh perhatian.Narumi menghela napas panjang, lalu meletakkan kain kompres itu di atas meja. Matanya menatap wajah Liyou, menelusuri setiap detail wajah adiknya yang kini sudah tumbuh dewasa. “Tidak begitu baik,” jawabnya dengan nada lelah.Tapi di balik kelelahannya, ada rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Liyou, adiknya yang dulu kecil dan rapuh, kini duduk di hadapannya, terlihat kuat dan dewasa. Ia hampir lupa bahwa waktu terus berjalan, dan Liyou bukan lagi anak sepuluh tahun yang dulu sering ia ajak bermain.N
Narumi berdiri mematung, matanya menatap lekat pada Ardiaz yang kini hanya diam di tempat. Tatapan pria itu sulit diartikan. Entah itu rasa bersalah, kebingungan, atau mungkin campuran dari semuanya.“Kenapa kamu melakukan ini?” Narumi mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tajam. Ia tidak peduli dengan ketegangan yang terlihat di wajah Ardiaz. Tangannya terangkat, mencengkeram lengan pria itu dengan erat, sampai tubuh Ardiaz sedikit bergoyang karena dorongan emosinya.“Apa kamu sengaja ingin menyakitiku?”Tubuh Ardiaz menegang seketika. Matanya melebar, seolah pertanyaan itu seperti pukulan yang menghantam dadanya. Tapi ia tidak segera menjawab. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan.Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh tekad, Ardiaz membuka mulutnya. “Tidak, Na,” katanya, suaranya serak. “Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia dan kuat dalam menghadapi semua ini.”Narumi mengernyit
Narumi memaksakan senyumnya sambil melirik ke arah Ardiaz, yang menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya. Tapi kali ini, perhatian Narumi tidak bisa teralihkan. Matanya tetap terkunci pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di depan mereka—ibunya.Sepuluh tahun.Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali ia melihat wanita itu. Jarak waktu yang panjang, dipenuhi kenangan yang dingin dan penuh luka.Narumi meneguk ludah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi yang diciptakan pikirannya. Tapi tatapan tajam wanita itu cukup untuk menyadarkannya bahwa ini nyata."Maaf, Nona, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" suara lembut namun asing itu terdengar, disampaikan dalam bahasa Spanyol.Jantung Narumi berdebar keras. Ibunya… tidak mengenalinya.Bagaimana mungkin?Narumi menggigit bibirnya. Mungkin riasan tebal di wajahnya membuatnya tampak berbeda, atau… mungkin memang sejak dulu ibunya tidak pernah benar-benar peduli."Tidak," Narumi akhirnya menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Ha
Karin menahan diri untuk tidak langsung bertanya. Ia tahu, jika ia terlihat terlalu penasaran, Ghali pasti akan menyadarinya.Namun, di dalam hati, ia merasa gelisah. Apa hubungan Narumi dengan Prajogo?Semakin lama, teka-teki ini terasa semakin membuatnya pusing. Jika benar Narumi berada di pulau pribadi milik Prayogo, maka jelas wanita itu memiliki sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Narumi… apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?Karin menatap Ghali yang kini tampak frustrasi, menekan layar ponselnya dengan gusar.Aku harus bergerak cepat.Karin merapatkan tubuhnya sedikit lebih dekat ke Ghali, mencoba mencari tahu apa yang membuat pria itu tampak gelisah sejak tadi. Matanya menelisik wajah Ghali yang dingin dan terfokus pada ponselnya.“Mas, ada apa?” tanyanya dengan nada hati-hati.Ghali melirik sekilas, matanya menyiratkan kejengkelan yang ia coba tahan. Ia menghela napas panjang sebelum menyandarkan tubuhnya ke kursi pesawat. Namun, tak lama kemudian, Ghali bangkit
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l