Narumi meraih ponselnya di atas meja, jemarinya gemetar saat mencoba menghubungi Siska. Namun, suara operator yang mengatakan ponsel tidak aktif justru membuat jantungnya berdebar semakin keras.Ia menggigit bibir bawahnya, merasa ada yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang, Narumi bangkit dari kursinya, bersiap untuk pergi.“Kamu mau ke mana?” Suara ayahnya menghentikan langkah Narumi, menuju pintu utama. Ia menoleh dengan ekspresi gelisah. “Aku ingin ke apartemen Siska,” jawabnya.“Siska?” Bramastyo mengulangi nama itu dengan dahi berkerut.Narumi mengangguk, “Dia pengacaraku. Aku harus ke sana malam ini.” suaranya pelan tapi tegas.“Ini sudah larut malam, Na." Bramastyo melirik jam di tangannya, lalu menatap putrinya dengan penuh pertimbangan. "Besok saja,” katanya dengan setengah memerintah, setengah mengkhawatirkan.Narumi kembali menggigit bibir, rasa gelisah di hatinya kian membuncah, tetapi ia mencoba menjaga nada bicaranya untuk tetap tenang. “Tapi, aku harus ke sana, Pa.”
“L-Larry, apa yang kamu lakukan?” tanya Narumi dengan suara terputus, berusaha memahami situasi di tengah napasnya mulai tersendat.“Aku akan membunuhmu!” geram Larry, nadanya penuh dendam. Wajah pria itu kian merah padam, tangan mencengkeram lebih erat. Melihat situasi kian memanas, Ardiaz memutar matanya dengan kesal. “Lepaskan dia, Bung!” ucapnya dingin, suaranya penuh ancaman.Keadaan semakin tegang. Napas Narumi semakin tersengal, tubuhnya kian melemah, dan hampir kehilangan kesadaran. Namun, matanya sontak terbelalak ketika tangan Ardiaz sudah mencengkeram leher Larry. Tindakan yang tak terduga pria itu membuat Narumi terkejut, meskipun pikirannya mulai mengabur oleh rasa sakit dan kurangnya udara.“Tidak akan!” balas Larry dengan sorot mata yang tak kalah tajam. Ia mencoba menggunakan tangan satunya untuk melepaskan cengkeraman di lehernya, tetapi upayanya sia-sia.Ardiaz tidak sedikit pun mengendurkan cengkeramannya. Sorot matanya penuh ketegasan, seolah memberi peringatan:
Narumi tersenyum tipis, nyaris remeh. “Cerai?” ulangnya sambil bersandar di kursi. Ia menarik napas pelan sebelum melanjutkan dengan nada sinis. “Jadi, kamu ingin menikah kontrak denganku?”Tanpa basa-basi, Ardiaz menganggukkan kepala. “Anggap saja begitu,” jawabnya singkat.“Kenapa?” tanya Narumi dengan cepat, sorot matanya tajam menuntut penjelasan.Ardiaz mengambil cangkir tehnya dengan tenang, melirik Narumi sejenak sebelum menjawab. “Karena, aku merasa kamu belum sepenuhnya siap menjadi istriku. Jadi... itu adalah saran terbaik yang bisa kupikirkan saat ini,” ujar Ardiaz dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Narumi terdiam, mencerna kata-kata Ardiaz. Apa yang ia katakan ada benarnya. Narumi memang belum siap untuk berumah tangga kembali, bahkan ia telah memikirkan berbagai cara untuk menggagalkan rencana ayahnya. Namun, ide pernikahan kontrak itu membangkitkan trauma lamanya.“Aku menolak,” tegas Narumi, menatap Ardiaz dengan penuh keyakinan.“Alasannya?” tanya Ardiaz, menata
Narumi menarik napas panjang dengan ekspresi malas, siap untuk menyahut, tetapi kata-katanya terpotong oleh Ardiaz yang berbicara lebih dulu.“Laporkan saja,” ujar Ardiaz santai, namun dengan nada tajam. “Mungkin dia ingin merasakan pukulanku untuk kedua kalinya.”Narumi menoleh ke arah Ardiaz dengan satu alis terangkat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Karin yang terkejut. Wanita itu jelas sedang mengingat memar di wajah Ghali, dan ekspresinya mencerminkan amarah yang tertahan.“Jadi... Kamu yang membuat wajah tampan Mas Ghali babak belur? Dasar preman!” geram Karin dengan suara yang semakin keras, menarik perhatian para pengunjung di sekitar mereka.Narumi memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah maju ke depan Ardiaz, berhadapan langsung dengan Karin.“Cukup, Karin!” ucapnya tegas, sorot matanya tajam. “Jangan pernah menghina calon suamiku.”“Apa?” Karin tersentak mendengar kata-kata itu, matanya melebar penu
Ardiaz menyembunyikan tatapan tajam di balik senyuman yang terlihat tenang. Namun di dalam hati, gelombang emosi bergejolak. Ia menyusun rencana dengan sabar, menantikan sejauh mana Narumi mampu bertahan di bawah tekanan yang sengaja ia ciptakan.“Baiklah, katakan saja bila nantinya kamu ingin mengganti pengacara lain,” ujarnya dengan nada ramah yang hanya sekadar basa-basi.Narumi terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab singkat, “Tentu.”Kepala Ardiaz mengangguk pelan. “Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi lagi setelah ini?” tanyanya, suaranya tetap terdengar ringan.“Tidak, aku pikir sebaiknya kita pulang.”Ardiaz mengangguk setuju, lalu mereka berdua kembali berjalan menuju mobil. Namun, tepat saat mereka hendak masuk ke mobil, sebuah mobil sport merah berhenti mendadak di depan kendaraan mereka. Mata Ardiaz langsung tertuju pada mobil itu, alisnya terangkat saat melihat seorang pria turun dengan tergesa-gesa.“Mas Ghali,” gumam Narumi, mengenali pemilik mobil tersebut
“Kamu baik-baik saja, Na?” Suara Ardiaz memecah kesunyian, nadanya terdengar tenang tapi juga penuh perhatian.Narumi menoleh sesaat ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi, namun ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menghindari tatapan tajam yang seolah bisa membaca isi hatinya.“Kamu butuh sesuatu?” tanya Ardiaz lagi, suaranya tetap lembut namun sedikit lebih mendesak.Narumi menghela napas pelan, merasa terusik oleh perhatian berulang itu. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat tanpa menoleh.Mobil kembali hening, hanya suara mesin yang terdengar di sela-sela kemacetan. Namun, Ardiaz tidak menyerah. “Maaf, bukan maksud cerewet. Aku hanya ingin mencairkan suasana,” katanya, kali ini dengan nada lebih ringan, seolah ingin mengimbangi kekakuan yang melingkupi mereka.Pernyataan itu sontak membuat Narumi menoleh ke arahnya. Matanya menatap Ardiaz dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. Ia tidak mengerti mengapa pria ini
Jemari Narumi sedikit bergetar ketika ia membaca bait pertama surat itu:‘Jika surat ini ada di tanganmu, maka aku mungkin sudah tiada.’Kalimat itu menusuk hatinya. Air matanya mengenang di sudut mata, membayangkan Siska, sahabatnya, yang begitu putus asa hingga harus meninggalkan pesan seperti ini. Semakin ia membaca, semakin rasa pedih menyelimutinya. Surat itu penuh dengan penyesalan Siska, penyesalan karena tidak mampu menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ghali.Namun, yang lebih mengusik adalah ingatannya akan perilaku Larry tempo hari. Sesuatu tentang pria itu terasa janggal, seolah ada rahasia besar yang coba ia tutupi. Tapi Narumi tak punya waktu untuk memikirkannya lebih jauh. Surat itu menuntut seluruh perhatiannya.Matanya terus bergerak membaca setiap baris hingga tiba di bagian penutup yang membuat dahinya berkerut tajam:‘Na, jika suatu saat kamu harus berurusan dengan kelompok dari kalangan elit, berhati-hatilah dalam bergaul dengan mereka. Hal ini juga berlaku un
Begitu Narumi tiba di Cafe Art, matanya langsung menangkap sosok Larry yang berdiri di dekat pintu masuk. Namun, Siska tidak ada di sana. Rasa kecewa menyelinap di hati Narumi, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Ikuti aku. Jangan bicara di tempat terbuka!” kata Larry dengan nada dingin sambil menatap tajam.Narumi mengerutkan dahi, merasa bingung sekaligus terganggu. Bukankah dia sendiri yang memilih tempat ini untuk bertemu? pikirnya. Jika Larry tidak ingin berbicara di tempat terbuka, mengapa memilih kafe yang ramai seperti ini? Namun, ia menahan diri untuk tidak membalas perkataan pria itu.Narumi menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya, lalu mengikuti langkah Larry yang tampak terburu-buru. Pria itu bahkan berjalan cepat, nyaris tidak memedulikan Narumi yang harus mempercepat langkahnya agar tidak tertinggal. Kemudian, mereka melewati kerumunan pengunjung dan pelayan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di bagian belakang kafe.Ruangan itu terlihat privat, pin
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se
Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad
Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,
Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m
Narumi menatap Karin tajam, tahu betul bahwa niat wanita itu tidak sesederhana yang terlihat. “Liburan?” tanyanya, matanya menelisik dengan penuh selidik. “Kalian berdua tiba-tiba muncul di sini dengan koper, tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ingin ikut ke Yunani?”Ghali mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Narumi. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimanapun, kita masih suami istri, bukan?”Narumi tersenyum sinis. “Masih suami istri?” ia menekankan setiap kata dengan nada yang membuat Ghali sedikit mundur selangkah. “Aku sudah muak menekankan hal ini, Mas. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu.”Ardiaz menepuk pundak Narumi pelan, mengisyaratkan agar ia tetap tenang. Kemudian, ia menatap Ghali dengan tatapan yang tajam namun tetap santai. “Dengar, Ini perjalanan pribadi kami, dan aku rasa kehadiranmu tidak diperlukan.”Ghali mendengus kesal. “Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat istriku bersama pria lain?” katanya penuh penekanan.Narumi mengambil langkah maju,
Karin berusaha terdengar santai, meskipun ada semburat kepahitan yang tak bisa ia sembunyikan dalam suaranya. Pandangannya tetap terpatri pada sosok Narumi yang berdiri nyaman di sisi Ardiaz. Perlahan, genggamannya pada lengan Ghali semakin erat, seolah ingin memastikan bahwa pria di sisinya tetap berada dalam kendali.Namun, Ghali dengan tegas melepaskan genggaman itu. Tatapannya tajam dan dingin. “Berhentilah bermain kata, Karin. Sebaiknya kamu kembali ke Indonesia.”Karin tersentak, matanya membesar dalam keterkejutan. “Mas...,” suaranya bergetar, mencari secercah harapan di wajah Ghali, tetapi yang ia temukan hanyalah kebekuan.“Aku sudah bilang untuk tidak mengganggu.” Nada suara Ghali semakin tajam, menusuk langsung ke dalam hati Karin. “Kalau aku masih melihatmu bertingkah, jangan salahkan aku kalau harus bersikap lebih kasar.”Detik itu juga, Karin merasa dadanya mengimpit. Ia hanya bisa berdiri terpaku, melihat punggung Ghali yang meninggalkannya tanpa sedikit pun menoleh.S
“Na, aku harus cek sesuatu sebentar.” Pamitnya Ardiaz pada Narumi membuat ia harus duduk di meja makan sendiri, menatap piring yang hampir kosong. Kepergian Ardiaz yang terkesan mendadak menjadikannya resah, terlebih karena pria itu tampak berbeda, seperti menyembunyikan sesuatu.“Apa ada yang penting?” pertanyaannya tadi masih terngiang di kepalanya. Ardiaz hanya menjawab dengan senyum yang tidak benar-benar tulus, membuat Narumi semakin yakin bahwa ada hal yang sedang terjadi di luar kendalinya.Ia menghela napas dalam, matanya menatap kosong ke arah lilin kecil di meja. “Apa aku sudah keterlaluan sama Mama?” gumamnya pelan, rasa bersalah masih menyelimuti hatinya setelah percakapan menyakitkan dengan ibunya tadi siang.Narumi meneguk air mineral itu perlahan, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan masa lalunya terus menghantuinya, menciptakan kegelisahan yang sulit ia enyahkan.Di sisi lain, Ardiaz berdiri di luar villa, di bawah temaram lampu jalan yang berpendar redup. Mat
Narumi menatap ibunya dengan intens, sorot matanya penuh keingintahuan bercampur rasa sakit. Keheningan di antara mereka begitu tebal, hingga suara napas terdengar seperti gema di ruangan itu. Amaly akhirnya membuka suara, suaranya rendah dan penuh beban. “Tiga tahun sebelum kamu menemui Mama… Mama menikah dengan papa kandung Liyou. Kami…”Wanita itu berhenti, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Narumi tetap diam, tidak mendesak. Ia tahu ibunya sedang bertarung dengan emosinya sendiri.“Kami hidup bahagia saat itu,” lanjut Amaly akhirnya. “Tapi di tiga tahun pernikahan itu, Mama mulai merindukanmu.”Narumi terkejut. Matanya membesar, tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Mama merindukanku? Pikirnya, tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya menunggu ibunya melanjutkan.“Tapi Mama ingat akan perjanjian dengan Papamu,” lanjut Amaly, suaranya semakin lirih. “Dia akan memberikan setengah hartanya pada Mama asal Mama tidak menemuimu. Waktu itu Mama setuju, karena Mama pi