Hanya karena pulang kampung tidak bawa mobil, gosip tentang Sutiati dan rumah tangganya jadi berkembang tidak karuan. Terlebih karena Sutiati tidak diantar suami. Awalnya, Sutiati memilih menutup kedua telinga daripada berusaha menutup mulut orang sekampung. Namun, semakin dibiarkan kok hati semakin terbakar, ya...? Tampaknya, Sutiati harus melakukan sesuatu!
view more"Sutiati! Kamu pulang naik bis?!" teriak emak mengagetkanku.
Lagi selonjoran meluruskan pegelnya kakiku yang delapan jam perjalanan naik bis ekonomi.
Tahukan, bis ekonomi tempat duduknya sembilan puluh derajat, mana sempit lagi. Kakiku yang panjang, memaksaku duduk seperti segitiga siku-siku.
Bukannya tidak mampu naik bis eksekutif atau travel eksekutif tetapi karena kampungku tidak dilewati kendaraan yang berlebel eksekutif.
Parah pelosoknya.
Belum aku jawab emak langsung nerocos ngomel kepadaku.
"Suti, Suti ... kamu ini bikin malu, Emak. Dari Bu Lurah sampai tukang sayur nanyain, kamu itu apa sudah bangkrut? Kok pulang naik bis! Apratmu, mana? Terus suamimu mana? Kok tidak ikut. Jangan-jangan, kamu dipulangkan sama Joni, ya?!" teriak Emak membuat aku semakin pusing.
Pertanyaan Emak berderet, bingung mana yang harus dijawab. Anaknya datang, mbok ya ditanya kabarnya bagaimana? Capek atau minta dipijitin. Ini malah nanyak mobil.
Huuft ....
Di kampung memang paling cepet kabar angin seperti ini. Pantesan, dari aku turun bis dan jalan sampe rumah kok pada nyapa aku sambil melihat dengan tatapan aneh. Ternyata, banyak pertanyaan yang muter di otak mereka.
"Maksud emak mobilku Alph*rd yang dibawa kemarin itu?"
"Yo wes, pokoke itulah. Yang prat-prat itu lo. Yang harganya kata Pak Lurah satu em," kata Emak mengambil duduk di depanku.
Memang, terakhir pulang kampung aku bersama Mas Joni, suamiku, membawa mobil mewah itu. Awalnya Emak mencemoohku.
"Suti, Suti ... lama diperantauan, pulang kok bawa mobil tidak terkenal. Bawa itu, mbokya Av*nza atau Xen*a, gitu. Emak kan, bisa pinjem untuk diantar ke pasar naek mobil!" ucapnya saat itu.
Mas Joni pun mendengar celetukan Emak, geleng-geleng kepala. Jengkel campur geli.
Musibahpun datang, ketika Pak Lurah bilang, kalau mobilku itu mobil mewah yang harganya satu em lebih. Satu kelurahan berbondong-bondong ke rumah sekedar mendulit ataupun berfoto ria. Emakku langsung pasang tampang dandan ala orang tajir, kalau mau foto sama mobil harus ajak dia berfoto bersama.
Emak ... emak ...
Sekarang, Emak ngomel gara-gara aku pulang pakai bis umum. Sebenarnya Mas Joni melarangku pulang kampung naik bis. Dia menyuruhku menunggunya minggu depan, karena pekerjaannya tidak bisa di tinggal.
"Dek Tia, kamu yakin naik bis? Jauh, lo," tanya Mas Joni suamiku ketika melihatku berkemas. Nama lengkapku Sutiati, dikampung aku dipanggil Suti, kalau di kota panggilanku Tia.
"Iya Mas, aku naik bis saja. Bisnya kan langsung sampai deket rumah. Tinggal jalan sedikit saja," jawabku sambil tersenyum.
"Tidak nunggu, Mas saja? Biar naik mobil saja," bisiknya sambil memelukku.
"Mas, aku mimpi didatangi almarhum simbah. Kalau aku tidak langsung ziarah, aku tidak tenang, Mas. Ya, tidak apa naik bis, anggep saja nostalgia. Kangen naik bis," ucapku sambil mencium pipinya.
"Kalau gitu, Lebaran nanti kita naik bis saja ya, Dek. Anggep saja adventure. Aku juga pingin naik bis. Bawa mobil nanti musibah kayak kemarin. Aku juga biar tidak capek," katanya sambil mengedipkan matanya, tanda minta sangu sebelum aku tinggal pulang kampung.
Aku tersenyum-senyum ingat suamiku, itu.
"Heh! Ditanyak kok malah nglamun! Senyum-senyum, lagi! Kesambet kamu, Ti?!" teriak Emak menyadarkanku.
"Emak, aku baik-baik saja. Mas Joni lagi ada kerjaan. Jadi tidak bisa antar aku pulang. Untuk mobil, ada di rumah. Aman," jelasku berlahan sambil menahan emosi.
Sudah capek, pegel, laper, malah disuguhi omelan yang tidak penting.
"Wes, pokokke sebentar lagi Puasa, terus Lebaran. Kamu harus bawa mobilmu itu! Biar Emak tidak malu!"
Wuaduh, padahal sudah rencana mau naik bis sama Mas Joni.
Mati, aku!
********
“Masih ngambek?” Aku lingkarkan kedua tanganku dari belakang ke pinggangnya. Mas Joni yang sedang mencuci piring tetap bergeming. Biasanya, dia akan menoleh dan menyambut ciumanku.“Mas Joni. Aku minta maaf.” Tetap tidak ada jawaban. Tidak dihiraukan, aku melepasnya dan menarik kursi untuk mengamatinya dari meja dapur. Punggung lebar yang dibalut kaos putih tipis itu selalu aku rindukan. Walaupun menggunakan celemek, justru itu letak keseksiannya. Sambil menyesap secangkir kopi dan menyilangkan kaki di atas kursi, aku menunggu kemarahannya mereda. Aku mengaku ini salahku.Tadi ketika kebersamaan kami sedang pada puncaknya, aku justru melemparkan kecurigaan yang menbuatnya jengkel. Hasrat Mas Joni pun surut seketika walaupun ikat pinggang sudah terlempar di lantai.Selalu begitu. Ketika marah, suamiku ini pasti mengalihkan dengan bersih-bersih. Mencuci cuci piring sudah selesai, dia beralih dengan mengelap dan menata dan dijajar di rak kayu. Panci, wajan, dan telenan yang bergantu
“Tapi kamu jangan marah, ya?” ucap Mas Joni sembari mengerjapkan mata. Maksudnya apa? Main rahasia dengan istri tapi tidak mau kena marah. Ini berhubungan dengan Wanita lain, tapi tidak mau disalahkan. Sama dengan laki-laki di luar sana yang punya banyak alas an untuk membenarkan kesalahannya.Tanganku meremas tisu keras-keras. Ingin rasanya teriak dan melempar apa saja di depanku. Aku memejamkan mata dan meraup udara untuk menenangkan emosi. Bukannya tenang, ucapan Mas Joni selanjutku membuatku muntab.“Sungguh, Dek. Mas tidak sengaja. Mas khilaf.”Seketika mataku terbelalak. Amarah yang aku tahan dari tadi benar-benar meledak. Sungguh, aku tidak terima alasan perselingkuhan karena alasan khilaf. Memang kalian tidak punya otak? Apa bedanya dengan hewan kalau berhubungan hanya berdasar kata khilaf?“Dek Tia. Kamu marah?” ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan untuk meraih tanganku yang gemetar.Spontan aku menarik diri. Tatapanku lekat ke arahnya dengan tajam. Rasanya aku benar-benar
Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena
"Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang
Namun kegigihan Mas Joni meruntuhkan keraguanku. Dia nekad saat lebaran menyusul aku ke kampung. Hal konyol terjadi saat itu membuatku tertawa sendiri. Kring.... Lamunanku tentang kisah kami dahulu terjeda oleh dering ponsel. Gegas aku menyambar benda pipih itu. Siapa tahu Mas Joni yang sudah dapat sinyal. "Emak," gumamku sambil menekan tombol untuk menerima panggilan telpon ini. "Hallo, Mak." "Suti kamu itu kebiasaan, ya. Janjinya nelpon tapi ditungguin tidak segera ada. Emak itu kawatir kamu itu kenapa-kenapa." "Yo wes. Kamu segera istirahat. Salam buat Nak Joni." "Iya, Mak," jawabku singkat dan layar ponsel pun menggelap. Lebih baik aku tidak cerita kalau mas Joni tidak di rumah. Bisa jadi Emak tanya ini dan itu yang memungkinkan menimbulkan kecurigaan. Mbok Iyem pamit pulang, dan tinggal aku sendiri di rumah ini. Memang ini kesepakatanku dan Mas Joni yang hanya memperkerjakan pembantu pulang pergi. "Tidak nyaman kalau ada orang selain kita di rumah ini. Aku tidak l
'Tresno kuwi jalaran soko glibet', kata guru bahasa Jawa saat sekolah dulu. Artinya, cinta itu muncul karena sering bertemu. Seperti aku dan Mas Joni ini. Awalnya urusan pekerjaan, terus keadaaan mendukung karena sama-sama perantauan, akhirnya sering bertemu dan mulai tergantung. Awalnya masih saya sekarang aku. Kalau tidak pertemu sehari saja, hati ini gelisah. Begitu juga dia mengatakan hal yang sama. Aku ingat hari bersejarah yang menjadi awal kami tidak lagi teman biasa. Ketika itu hari minggu. Pagi-pagi Mas Joni menjemut untuk ke pantai Batu Bolong di Ulu Watu. Ini sebenarnya gara-gara ucapanku semalam. "Mas Joni boleh ke sini setiap hari, tapi jangan malam minggu," pintaku sambil menyodorkan kopi hitam panas. Ya kalau hari biasa aku bisa bilang ke teman kost kalau dia ini teman kerjaan, tapi ini juga datang di malam keramat bagi orang pacaran. Teman tapi begini, pacar tapi tidak pernah ada pernyataan apapun. Aku merasa digantung. Sudut mata ini menangkap wajah ceria itu
Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,
Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon
Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments