Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah.
"Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"
Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.
Emak pingsan.
"Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.
Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini.
Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung.
"Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... "
"Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan.
Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon.
Tidak lebih sepuluh menit, datang sepeda motor memasuki halaman rumah. Aku intip ternyata Pakde yang datang bersama Pak Mantri.
Astaga, bukannya itu Mas Danang! Kapan dia pindah ke sini?
Pak Mantri yang dimaksud, Mas Danang, mantanku terakhir sebelum aku menikah dengan Mas Joni. Kami memutuskan berpisah karena dia ada pengangkatan di puskesmas di luar Jawa dan aku akan merantau ke ibu kota. Jarak yang begitu jauh memutuskan untuk berpisah.
"Suti, kalau kita memang jodoh. Pasti kita bertemu lagi ketika kita masih sendiri, dan bisa bersatu lagi" ucapnya saat itu.
Dan, aku menyetujui.
"Ayo, Nak Danang! Masuk!" teriak Pakde mempersilahkan masuk.
Mas Danang dengan jas putih seragam Puskesmas, masuk menyibak tirai penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah. Dia tercekat sejenak melihatku, dan segera langsung mendekati ibu.
"Dek Suti, kita bertemu lagi," ucapnya dengan suara lembut dan senyuman yang sama seperti dulu.
Terus terang, penampilannya semakin keren. Apalagi dengan rambut di minyakin dan disisir kebelakang, uh, keren. Harum minyak wanginya menyeruak di hidungku, terasa menenangkan membuat aku terlupa sejenak dengan masalah yang konyol ini.
Aduh!
Aku langsung tepok jidat, berusaha mengembalikan akal sehatku.
"Kenapa Nduk?" tanya Pakde sambil menyenggol lenganku.
"E-tidak ada. Cuma ada nyamuk," ucapku sekenanya. Aku lirik, perhatiannya masih terpaku kawatir ke keadaan emak yang lagi diperiksa.
"Bagaimana, Nak Danang?" tanya Pakde sambil memegang lengannya.
Mas Danang tersenyum dan melirik kepadaku.
"Tidak apa-apa Pak Jangin. Ini pingsan seperti biasa. Mungkin akibat lelah, atau karena perut kosong. Sebentar lagi, siuman. Biasanya ini dipicu dengan sesuatu yang mengagetkan. Memang ada apa?" tanyanya sambil mengarah kepadaku.
"Ini gara-gara kabarnya Suti yang ... "
"Mas Danang, tunggu di depan saja, yuk!" ucapku memotong perkataan Pakde.
Bisa gawat melebar-lebar nanti. Kebenarannya saja belum diungkap, sudah disiarkan.
Aku langsung menggandeng tangan Mas Danang menuju ruang depan. Aku lirik, yang digandeng senyum-senyum dengan pipi semburat merah.
Aku tinggalkan Pakde yang menunggui emak.
'Suamiku, maaf. Dikit, kok'
*
"Dek Suti, bagaimana kabarmu?" tanya Mas Danang lembut setelah menyesap teh yang baru saja aku hidangkan.
"Alhamdulillah, aku baik, Mas," ucapku sambil menyodorkan camilan di toples.
"Alhamdulillah kalau begitu, Mas tidak kawatir lagi," ucapnya sambil menatapku tajam. Tatapan tak biasa seperti terakhir kami bertemu. Terasa teduh dan mendamaikan.
"Untung, aku sudah kembali di desa ini. Aku sudah enam bulan di sini."
Terasa kikuk kami duduk berdua disini. Walaupun tidak ada maksud apa-apa tetapi sikap Mas Danang kelihatan lain. Kakinya goyang-goyang seperti dulu ketika akan menyatakan cintanya kepadaku. Wah, jangan-jangan.
"Dek Suti, sebagai laki-laki aku harus yang memulainya dulu. Aku sudah dengar kabar tentangmu, tidak usah malu. Hal seperti ini sudah biasa. Mungkin kita ditakdirkan jodoh, Deh," ucapnya sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
Dia sesekali menatapku dengan wajah sendu.
'Aduh!'
Kepalaku langsung puyeng.
Ternyata kabarku yang sudah menjadi janda sudah menyebar. Bahkan sampai ke telinga mantanku yang sekarang ada di depanku. Dan, menawarkan menjalin hubungan yang pernah usai.
'Huuft !'
Terus terang, aku benar-benar kaget dengan kejadian sekarang. Aku tarik nafas dalam-dalam, mencoba menetralkan emosiku.
"Mas Danang, sebenarnya kabar itu tidak benar, Mas. Aku dengan suamiku baik-baik saja. Itu hanya tuduhan orang-orang karena aku pulang sendiri. Aku harap Mas Danang tidak salah paham," ucapku pelan, kawatir menyinggung perasaannya.
Dia memandangku dengan senyuman yang sama.
"Dek Suti, iya aku percaya. Tetapi, ingat. Masmu ini akan selalu mendukung dan siap membantumu kapanpun," ucapnya sambil menepuk punggung tanganku.
Kata-kata 'Masmu' menandakan bahwa dia tidak percaya dengan yang aku katakan barusan. Seperti dia memproklamirkan bahwa dia adalah milikku.
"Mas permisi dulu, ya. Puskesmas lagi rame. Tidak bisa ditinggal. Terima kasih, ya. Tehnya enak dan manis, seperti yang mbuat," ucapnya dengan menyuguhkan senyumannya yang super manis juga.
Tolong ....! Bagaimana ini?
Mas Joni, bantu aku.
Hiks.
*
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan.
Diikuti Pakde Jangjn, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.
'Ya Allah, apa lagi ini?'
Puyeng ... puyeng!
******
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su
Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka
Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak
"Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam
Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re
"Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.
Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" ucap
Kita tidak bisa menjelaskan atau membungkam orang yang bergosip tentang kita. Apalagi orang sekampung. Lebih baik menutup kedua telinga ini demi kewarasan dan konsentrasi pada rencana berikutnya. Yang paling tepat menjawab kasak-kusuk mereka dengan pembuktian. Itulah yang aku lakukan sekarang. Sambil bekerja, aku memberi benteng orang sekitarku. Emak dan Lek Jangin terlebih dahulu. Mereka aku sibukkan dengan bekerja. Dengan begitu, lambat laun mereka akan mengerti membicarakan orang itu kegiatan yang merugi."Suti, Pak Gimin sudah datang. Itu di depan!" kata Pakde Jangin. "Dia ngajak keponakannya," tambahnya sambil menepuk bahuku. Keponakannya? Aku menyambar tas yang berisi perlengkapan kerjaku dan langsung ke depan. Sudah ada tiga laki-laki menungguku di sana. Pakde Jangin, Pak Gimin dan ... Mas Danang. Dia langsung menyambutku dengan senyuman andalannya.Kenapa dia ada di sini? Atau, yang dimaksud keponakan itu, dia?"Ini Danang keponakan saya. Tadi kebetulan ke rumah dan mau iku
Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena
"Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang
Bab 5. Rumah Namun kegigihan Mas Joni meruntuhkan keraguanku. Dia nekad saat lebaran menyusul aku ke kampung. Hal konyol terjadi saat itu membuatku tertawa sendiri. Kring....Lamunanku tentang kisah kami dahulu terjeda oleh dering ponsel. Gegas aku menyambar benda pipih itu. Siapa tahu Mas Joni yang sudah dapat sinyal. "Emak," gumamku sambil menekan tombol untuk menerima panggilan telpon ini. "Hallo, Mak." "Suti kamu itu kebiasaan, ya. Janjinya nelpon tapi ditungguin tidak segera ada. Emak itu kawatir kamu itu kenapa-kenapa." "Yo wes. Kamu segera istirahat. Salam buat Nak Joni." "Iya, Mak," jawabku singkat dan layar ponsel pun menggelap. Lebih baik aku tidak cerita kalau mas Joni tidak di rumah. Bisa jadi Emak tanya ini dan itu yang memungkinkan menimbulkan kecurigaan. Mbok Iyem pamit pulang, dan tinggal aku sendiri di rumah ini. Memang ini kesepakatanku dan Mas Joni yang hanya memperkerjakan pembantu pulang pergi. "Tidak nyaman kalau ada orang selain kita di rumah ini. Aku t
'Tresno kuwi jalaran soko glibet', kata guru bahasa Jawa saat sekolah dulu. Artinya, cinta itu muncul karena sering bertemu. Seperti aku dan Mas Joni ini. Awalnya urusan pekerjaan, terus keadaaan mendukung karena sama-sama perantauan, akhirnya sering bertemu dan mulai tergantung. Awalnya masih saya sekarang aku. Kalau tidak pertemu sehari saja, hati ini gelisah. Begitu juga dia mengatakan hal yang sama. Aku ingat hari bersejarah yang menjadi awal kami tidak lagi teman biasa. Ketika itu hari minggu. Pagi-pagi Mas Joni menjemut untuk ke pantai Batu Bolong di Ulu Watu. Ini sebenarnya gara-gara ucapanku semalam. "Mas Joni boleh ke sini setiap hari, tapi jangan malam minggu," pintaku sambil menyodorkan kopi hitam panas. Ya kalau hari biasa aku bisa bilang ke teman kost kalau dia ini teman kerjaan, tapi ini juga datang di malam keramat bagi orang pacaran. Teman tapi begini, pacar tapi tidak pernah ada pernyataan apapun. Aku merasa digantung. Sudut mata ini menangkap wajah ceria itu
Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,
Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon
Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me
Pesawat penuh. Untung aku memesan tiket jauh-jauh hari. Dapat jadwal dan tempat duduk sesuai yang aku inginkan-dekat jendela. Bagiku ini tempat yang menjaga privasi. Aku bisa menikmati pemandangan di luar jendela tanpa terhalang orang lain. Sekali lagi aku memeriksa ponsel. Tidak ada pesan masuk dari suamiku. Satu pesan dari Emak yang memberikan doa dan wejangan berderet. Baru saja aku akan mematikan ponsel, ada notifikasi pesan masuk. Hati ini bersorak mendapati yang aku tunggu pun memberi perhatian.[Dek Tia, tiketnya jam sekarang, kan?][Inget jangan lirak-lirik teman sebelah, apalagi cowok ganteng] pesannya dengan emoticon marah. Aku tersenyum. Rasa tersanjung karena dicemburui walaupun tanpa sebab. Mau aku godain, tapi di sana masih tertera tulisan typing.[Aku usahakan pulang lebih awal. Sudah, ya. di sini susah sinyal. Aku saja harus naik][Muach] Senyumku semakin lebar. Entah karena kangen atau apa, jantung ini berdegup lebih kencang. Tanpa menunda, jari ini menuangkan isi
Sesapan demi sesapan kopi hitam tanpa gula ini tidak mampu mengusir resahku. Kafein yang biasanya menjadikan isi kepalaku ini bersih, sekarang justru penuh dengan kata jangan-jangan.Kalau dipikir secara jernih, kenapa aku harus kawatir? Selama ini hubunganku dengan Mas Joni suamiku baik-baik saja. Kami saling terbuka dan saling percaya. Tidak ada yang disembunyikan termasuk isi ponsel masing-masing. Aku biasa membuka ponsel Mas Joni yang paswordnya tanggal ulang tahunku. Aman, kok.Namun, beredarnya gosip di kampung kemarin menyadarkan aku kalau kemungkinan bisa saja terjadi. Mereka bergosip dengan menunjukkan alasan yang bisa dipercayai. Katanya aku diceraikan suami karena belum memberi momongan."Menikah itu tujuannya mempunyai anak. Kalau tidak bisa, laki-laki ya mencari wanita lain, lah."Ada juga yang menyoal gini, "Suaminya Suti itu putih, gagah, ganteng, necis, dan berpendidikan. Kalau dapet yang lebih ya wajarlah. Wo