Kita tidak bisa menjelaskan atau membungkam orang yang bergosip tentang kita. Apalagi orang sekampung. Lebih baik menutup kedua telinga ini demi kewarasan dan konsentrasi pada rencana berikutnya. Yang paling tepat menjawab kasak-kusuk mereka dengan pembuktian. Itulah yang aku lakukan sekarang. Sambil bekerja, aku memberi benteng orang sekitarku. Emak dan Lek Jangin terlebih dahulu. Mereka aku sibukkan dengan bekerja. Dengan begitu, lambat laun mereka akan mengerti membicarakan orang itu kegiatan yang merugi."Suti, Pak Gimin sudah datang. Itu di depan!" kata Pakde Jangin. "Dia ngajak keponakannya," tambahnya sambil menepuk bahuku. Keponakannya? Aku menyambar tas yang berisi perlengkapan kerjaku dan langsung ke depan. Sudah ada tiga laki-laki menungguku di sana. Pakde Jangin, Pak Gimin dan ... Mas Danang. Dia langsung menyambutku dengan senyuman andalannya.Kenapa dia ada di sini? Atau, yang dimaksud keponakan itu, dia?"Ini Danang keponakan saya. Tadi kebetulan ke rumah dan mau iku
"Ti! Cepet makannya, jangan lelet. Kalau bisnis itu, waktu adalah kesempatan dan itu artinya uang!" teriak Emak dari dalam kamar. Dia sudah bersiap dari tadi, diajak makan tidak mau. Alasannya, mau jaga makan karena berat badannya sudah bergeser ke kanan.Aku teruskan saja menikmati nasi godeg yang dibelikan Pakde Jangin dari pasar. Gudeg komplit, ada telor yang warna hitam, sambel goreng krecek dan tempe bacem, terasa nikmat. Tidak perduli dengan timbangan, aji mumpungku lagi on. Mumpung ada makanan nikmat, kenapa harus didustakan? Sebelum bertempur harus siapkan tenaga dan amunisi. Jangan sampai lemas apalagi ambruk."Emak beneran tidak makan? Nanti sakit, lo?" tanyaku setelah mendengar langkah kaki Emak ke luar kamar. Pandanganku tidak teralihkan dari makan di depanku, banyak ranjau cabe utuh yang membuatku extra hati-hati. Aku penyuka pedas, tapi pedas banget ya jangan."Tadi sudah nyamil tempe mendoan. Sudah cukup!" jawab Emak. Bau aroma bunga m
Tujuan pertama, kami ke Juragan Sarno. Memastikan pesananku bisa dikerjakan dan berapa harganya.Sesampai di sana, langsung disambut Juragan Sarno. Seperti Emak, penampilannya juga berubah drastis. Sebelumnya terlihat nyentrik, sekarang lebih terlihat mau pergi malam mingguan.Dia pakai celana bahan berwarna hitam, berkemeja panjang berwarna biru tua yang di lipat sampai siku. Udengnya juga tidak terlihat, terganti dengan rambut panjang diikat tersisir rapi. Emak yang di sebelahku, sejenak diam terpana dan sadar setelah aku tepuk tangannya."Tumben Kang, tidak memakai baju kebangsaan?" sindir Pakde Jangin."Ini baju spesial untuk menyambut tamu yang spesial," jawabnya dengan melirik Emak di sebelahku, dan mereka bertukar senyuman.Wuaduh!"Monggo-monggo, masuk," ajak Juragan Sarno mengajak kami masuk ke pendopo. Di sana sudah disiapkan kelapa muda dan beberapa camilan. Benar-benar disambut istimewa. Sambutan rancu, untukku sebaga
"Maaf, Mbak Sutiati. Saya keliru. Benar saya tidak tahu," ucap Pak Pangat dengan nada santun dan menundukkan badannya sedikit."Tidak apa-apa, Pak. Panggil saya Suti saja. Saya masih kelihatan imut, ya. Sampai dibilang anak magang. Santai saja," candaku berusaha mencairkan suasana. Kemudian kami berbincang tentang pesananku. Beberapa set kursi, sunbed untuk leyeh-leyeh dan beberapa wall decoration. "Kualitas harus bagus terutama kadar air bambu. Jangan sampai mengandung kutu. Memang nantinya di fumigasi, tetapi kalau sampai sana kutunya keluar, saya akan kena claim," jelasku. "Siap. Saya juga pernah pengalaman seperti itu, Mbak. Ada pemesan yang buru-buru. Sudah saya jelaskan tapi ngenyel. Akhirnya yang saya kawatirkan kejadian.""Iya, Pak. Kadang seperti saya gini juga serba salah. Di sisi lain tamu pengen cepet, tapi kan produksi butuh waktu berproses. Namun, saya lebih menekankan kualitas. lebih baik ditunda pengiriman daripada timbul masalah," ucapku disambut anggukan setuju.W
"Eh itu anak saya!"Seorang laki-laki berbadan tinggi kurus dengan kulit agak gelap, masuk menghampiri kami dan bersalaman. Berakhir dengan dia menyapa Emak yang sedari tadi duduk."Ada yang bisa saya bantu, Bu?""Oh, saya baik. Yang mau order bukan saya, tetapi dia!" kata Emak sambil mengarahkan wajahnya ke arahku.Dia langsung mengarahkan pandangan kepadaku sambil mengerutkan dahi. Apa sampai segitunya, aku tidak pantas menjadi bos. Begitu besarnya kekuatan penampilan, sampai tampilan santaiku tidak meyakinkan."Iya dengan saya. Sutiati, panggil saja saya Suti!" ucapku sengan mengulurkan tanganku."Ardiyanto. Panggil Ardi. Maaf ya, biasanya yang ke sini sudah tua-tua. Mbak Sutin masih muda, saya pikir asistennya Ibu," ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Dia tersenyum, manis juga."Sudah gek sana bikin nota, Emak tunggu di sini saja!" ucap Emak dengan menyandarkan tubuhnya."Mari Mbk, kita ke kantor," ajaknya.
"Ti ...! Suti!" Suara Pakde Jangin terdengar. Entah kenapa pagi-pagi teriak seperti itu. "Ada apa, Pakde?" tanyaku menghampirinya yang baru masuk ke dalam rumah. "Tadi ada utusan dari Kelurahan, kamu dipanggil Pak Lurah pagi ini. Kamu jadi pulang sore, kan?" tanyanya sambil menata nafasnya yang terengah-engah."Iya, sore ini. Memang ada apa, kok saya dipanggil?""Tidak tahu, katanya Pak Lurah ada perlu dengan kamu. Cepetan kamu bersiap dan kita berangkat! Pakde pulang dulu ganti baju," ucap Pakde dan segera pergi meninggalkanku.Sesuai jadwal, sore ini aku kembali ke kota. Sengaja memilih waktu di sore hari dan sampai di tujuan di pagi hari. Perjalanan malam lebih membuatku tidak capai, selain tidak panas, aku juga bisa tidur walaupun dengan posisi sembilan puluh derajat.*"Hlo Mak, mau kemana kok sudah rapi?" tanyaku melihat Emak sudah bersiap dengan tas di lengannya. "Ada panggilan ke Kelurahan, kan?""Yang dipanggilkan aku saja. Kok Emak ikutan?" "Ya harus ikut. Kita kan te
“Pokok’e masalah orderan di sini, pasrah saja ke Emak. Jangan dipikir. Sekarang kamu waktunya konsentrasi sama suamimu.”“Iya, Emak. Tapi kalau aku kirim pesan atau telpon harus diangkat, ya,” tandasku sambil menatap Emak dan Pakde Jangin bergantian. Bukannya tanpa alasan, sering kali mereka menaruh hape di lemari sedangkan mereka entah kemana. Alasannya biar hape awet dan tetap kelihatan baru. Lah, fungsinya hape apa? Handphone, telpon yang di hand. Telpon yang selalu di tangan.“Iya beres, Ti. Aku akan taruh di kantong celana terus. Suaranya juga aku besarin pol,” jawab Pakde Jangin sembari menunjukkan layar ponsel yang cahayanya saingan dengan silaunya matahari. Gak kebayang kalau dia di tempat umum terus ada nada panggil. Bisa jadi bikin orang ngantuk, terjaga seketika.“Emak juga siap, Ti. Ini akan selalu nyantol kemanapun Emak berada. Nah, kalau pakai ini kan jadi hap
Aku mengerti banget kalau laki-laki itu makhluk visual, yang senang dengan wanita sexy. Walaupun aku tidak berpendidikan tinggi, tapi aku senang membaca buku. Tidak hanya buku hiburan saja, tentang psikologi pun aku lahap. Keinginan Mas Joni akhir-akhir ini yang menurutku nyleneh karena sebelumnya tidak seperti itu. Nah ini yang menjadikan aku kepikiran. Padahal dulu dia jatuh hati kepadaku karena aku yang berpenampilan jujur. Wajahku tidak cantik, tapi justru itu dia memujaku. "Kamu itu cantik alami. Tidak seperti wanita di luar sana yang bermake-up tebal. Aku tidak bisa membayangkan suaminya saat mereka tidur. Kan mereka harus menghapus make-up, melepas bulu mata, bahkan katanya ada yang tanpa alis. Hiii," ungkapnya saat pendekatan dulu. Sekarang tidak lagi seperti dulu. Apa jangan-jangan suamiku itu sudah bosan denganku yang penampilannya apa adanya ini? Di rumah pun pakaianku lebih ke kenyamanan. Kaos oblong lebar dan celana komprang. Jauh dari kata feminim apalagi sexy. Walau
“Tapi kamu jangan marah, ya?” ucap Mas Joni sembari mengerjapkan mata. Maksudnya apa? Main rahasia dengan istri tapi tidak mau kena marah. Ini berhubungan dengan Wanita lain, tapi tidak mau disalahkan. Sama dengan laki-laki di luar sana yang punya banyak alas an untuk membenarkan kesalahannya.Tanganku meremas tisu keras-keras. Ingin rasanya teriak dan melempar apa saja di depanku. Aku memejamkan mata dan meraup udara untuk menenangkan emosi. Bukannya tenang, ucapan Mas Joni selanjutku membuatku muntab.“Sungguh, Dek. Mas tidak sengaja. Mas khilaf.”Seketika mataku terbelalak. Amarah yang aku tahan dari tadi benar-benar meledak. Sungguh, aku tidak terima alasan perselingkuhan karena alasan khilaf. Memang kalian tidak punya otak? Apa bedanya dengan hewan kalau berhubungan hanya berdasar kata khilaf?“Dek Tia. Kamu marah?” ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan untuk meraih tanganku yang gemetar.Spontan aku menarik diri. Tatapanku lekat ke arahnya dengan tajam. Rasanya aku benar-benar
Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena
"Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang
Namun kegigihan Mas Joni meruntuhkan keraguanku. Dia nekad saat lebaran menyusul aku ke kampung. Hal konyol terjadi saat itu membuatku tertawa sendiri. Kring.... Lamunanku tentang kisah kami dahulu terjeda oleh dering ponsel. Gegas aku menyambar benda pipih itu. Siapa tahu Mas Joni yang sudah dapat sinyal. "Emak," gumamku sambil menekan tombol untuk menerima panggilan telpon ini. "Hallo, Mak." "Suti kamu itu kebiasaan, ya. Janjinya nelpon tapi ditungguin tidak segera ada. Emak itu kawatir kamu itu kenapa-kenapa." "Yo wes. Kamu segera istirahat. Salam buat Nak Joni." "Iya, Mak," jawabku singkat dan layar ponsel pun menggelap. Lebih baik aku tidak cerita kalau mas Joni tidak di rumah. Bisa jadi Emak tanya ini dan itu yang memungkinkan menimbulkan kecurigaan. Mbok Iyem pamit pulang, dan tinggal aku sendiri di rumah ini. Memang ini kesepakatanku dan Mas Joni yang hanya memperkerjakan pembantu pulang pergi. "Tidak nyaman kalau ada orang selain kita di rumah ini. Aku tidak l
'Tresno kuwi jalaran soko glibet', kata guru bahasa Jawa saat sekolah dulu. Artinya, cinta itu muncul karena sering bertemu. Seperti aku dan Mas Joni ini. Awalnya urusan pekerjaan, terus keadaaan mendukung karena sama-sama perantauan, akhirnya sering bertemu dan mulai tergantung. Awalnya masih saya sekarang aku. Kalau tidak pertemu sehari saja, hati ini gelisah. Begitu juga dia mengatakan hal yang sama. Aku ingat hari bersejarah yang menjadi awal kami tidak lagi teman biasa. Ketika itu hari minggu. Pagi-pagi Mas Joni menjemut untuk ke pantai Batu Bolong di Ulu Watu. Ini sebenarnya gara-gara ucapanku semalam. "Mas Joni boleh ke sini setiap hari, tapi jangan malam minggu," pintaku sambil menyodorkan kopi hitam panas. Ya kalau hari biasa aku bisa bilang ke teman kost kalau dia ini teman kerjaan, tapi ini juga datang di malam keramat bagi orang pacaran. Teman tapi begini, pacar tapi tidak pernah ada pernyataan apapun. Aku merasa digantung. Sudut mata ini menangkap wajah ceria itu
Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,
Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon
Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me
Pesawat penuh. Untung aku memesan tiket jauh-jauh hari. Dapat jadwal dan tempat duduk sesuai yang aku inginkan-dekat jendela. Bagiku ini tempat yang menjaga privasi. Aku bisa menikmati pemandangan di luar jendela tanpa terhalang orang lain. Sekali lagi aku memeriksa ponsel. Tidak ada pesan masuk dari suamiku. Satu pesan dari Emak yang memberikan doa dan wejangan berderet. Baru saja aku akan mematikan ponsel, ada notifikasi pesan masuk. Hati ini bersorak mendapati yang aku tunggu pun memberi perhatian.[Dek Tia, tiketnya jam sekarang, kan?][Inget jangan lirak-lirik teman sebelah, apalagi cowok ganteng] pesannya dengan emoticon marah. Aku tersenyum. Rasa tersanjung karena dicemburui walaupun tanpa sebab. Mau aku godain, tapi di sana masih tertera tulisan typing.[Aku usahakan pulang lebih awal. Sudah, ya. di sini susah sinyal. Aku saja harus naik][Muach] Senyumku semakin lebar. Entah karena kangen atau apa, jantung ini berdegup lebih kencang. Tanpa menunda, jari ini menuangkan isi