"Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang
Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena
"Sutiati! Kamu pulang naik bis?!" teriak emak mengagetkanku. Lagi selonjoran meluruskan pegelnya kakiku yang delapan jam perjalanan naik bis ekonomi.Tahukan, bis ekonomi tempat duduknya sembilan puluh derajat, mana sempit lagi. Kakiku yang panjang, memaksaku duduk seperti segitiga siku-siku. Bukannya tidak mampu naik bis eksekutif atau travel eksekutif tetapi karena kampungku tidak dilewati kendaraan yang berlebel eksekutif.Parah pelosoknya.Belum aku jawab emak langsung nerocos ngomel kepadaku."Suti, Suti ... kamu ini bikin malu, Emak. Dari Bu Lurah sampai tukang sayur nanyain, kamu itu apa sudah bangkrut? Kok pulang naik bis! Apratmu, mana? Terus suamimu mana? Kok tidak ikut. Jangan-jangan, kamu dipulangkan sama Joni, ya?!" teriak Emak membuat aku semakin pusing. Pertanyaan Emak berderet, bingung mana yang harus dijawab. Anaknya datang, mbok ya ditanya kabarnya bagaimana? Capek atau minta dipijitin. Ini malah nanyak mobil. Huuft ....Di kampung memang paling cepet kabar angin
"Emak, aku ikut ke Pasar, ya. Kangen pingin makan lupis sama pecel lontongnya Mbok Irah!" teriakku dari kamar mandi, ketika mendengar Emak sibuk mau pergi ke pasar. "Tidak usah ikut? Emak beliin saja! Kembangnya selak habis!" teriak Emak menjawab. "Emak, ikut .... !" teriakku lebih kencang. Hening, tidak ada jawaban. Aku buka sedikit pintu kamar mandi keluar, celingak-celinguk tidak ada orang. Huuf... ditinggal, deh. Emak ini kagak tahu kalau aku kangen jalan-jalan ke pasar. Di kota emang ada pasar, tetapi, kurang seru. Kalau di sini, ke pasar serasa jumpa fans. Dari pintu gerbang sudah ketemu Parjo temen SMP ku yang jaga karcis pasar. Dia dulu sempet naksir aku. Ada juga Mas Tono, penjual ayam, mantanku pas SMA dulu. Kalau beli ayam, pasti dimantepin sambil ngobrol sana-sini yang gak jelas. Mengabaikan orang sebelahnya yang mencucu, istrinya. Hehehe .... Belum kalau masuk ke pasar, ketemu Yu Sri, Lek Inem, Mbak Tinah dan yang lainnya. Mereka ada yang tetangga, temen SMA,
Brak .... !Suara pintu dapur mengagetkanku.Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.Masih silau.Siapa, ya?*Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang."Pakde Jangin!" teriakku kaget.Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa."Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriak
Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah."Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.Emak pingsan."Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini. Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung."Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... ""Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan. Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon. Ti
"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su
Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka
Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena
"Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang
Bab 5. Rumah Namun kegigihan Mas Joni meruntuhkan keraguanku. Dia nekad saat lebaran menyusul aku ke kampung. Hal konyol terjadi saat itu membuatku tertawa sendiri. Kring....Lamunanku tentang kisah kami dahulu terjeda oleh dering ponsel. Gegas aku menyambar benda pipih itu. Siapa tahu Mas Joni yang sudah dapat sinyal. "Emak," gumamku sambil menekan tombol untuk menerima panggilan telpon ini. "Hallo, Mak." "Suti kamu itu kebiasaan, ya. Janjinya nelpon tapi ditungguin tidak segera ada. Emak itu kawatir kamu itu kenapa-kenapa." "Yo wes. Kamu segera istirahat. Salam buat Nak Joni." "Iya, Mak," jawabku singkat dan layar ponsel pun menggelap. Lebih baik aku tidak cerita kalau mas Joni tidak di rumah. Bisa jadi Emak tanya ini dan itu yang memungkinkan menimbulkan kecurigaan. Mbok Iyem pamit pulang, dan tinggal aku sendiri di rumah ini. Memang ini kesepakatanku dan Mas Joni yang hanya memperkerjakan pembantu pulang pergi. "Tidak nyaman kalau ada orang selain kita di rumah ini. Aku t
'Tresno kuwi jalaran soko glibet', kata guru bahasa Jawa saat sekolah dulu. Artinya, cinta itu muncul karena sering bertemu. Seperti aku dan Mas Joni ini. Awalnya urusan pekerjaan, terus keadaaan mendukung karena sama-sama perantauan, akhirnya sering bertemu dan mulai tergantung. Awalnya masih saya sekarang aku. Kalau tidak pertemu sehari saja, hati ini gelisah. Begitu juga dia mengatakan hal yang sama. Aku ingat hari bersejarah yang menjadi awal kami tidak lagi teman biasa. Ketika itu hari minggu. Pagi-pagi Mas Joni menjemut untuk ke pantai Batu Bolong di Ulu Watu. Ini sebenarnya gara-gara ucapanku semalam. "Mas Joni boleh ke sini setiap hari, tapi jangan malam minggu," pintaku sambil menyodorkan kopi hitam panas. Ya kalau hari biasa aku bisa bilang ke teman kost kalau dia ini teman kerjaan, tapi ini juga datang di malam keramat bagi orang pacaran. Teman tapi begini, pacar tapi tidak pernah ada pernyataan apapun. Aku merasa digantung. Sudut mata ini menangkap wajah ceria itu
Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,
Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon
Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me
Pesawat penuh. Untung aku memesan tiket jauh-jauh hari. Dapat jadwal dan tempat duduk sesuai yang aku inginkan-dekat jendela. Bagiku ini tempat yang menjaga privasi. Aku bisa menikmati pemandangan di luar jendela tanpa terhalang orang lain. Sekali lagi aku memeriksa ponsel. Tidak ada pesan masuk dari suamiku. Satu pesan dari Emak yang memberikan doa dan wejangan berderet. Baru saja aku akan mematikan ponsel, ada notifikasi pesan masuk. Hati ini bersorak mendapati yang aku tunggu pun memberi perhatian.[Dek Tia, tiketnya jam sekarang, kan?][Inget jangan lirak-lirik teman sebelah, apalagi cowok ganteng] pesannya dengan emoticon marah. Aku tersenyum. Rasa tersanjung karena dicemburui walaupun tanpa sebab. Mau aku godain, tapi di sana masih tertera tulisan typing.[Aku usahakan pulang lebih awal. Sudah, ya. di sini susah sinyal. Aku saja harus naik][Muach] Senyumku semakin lebar. Entah karena kangen atau apa, jantung ini berdegup lebih kencang. Tanpa menunda, jari ini menuangkan isi
Sesapan demi sesapan kopi hitam tanpa gula ini tidak mampu mengusir resahku. Kafein yang biasanya menjadikan isi kepalaku ini bersih, sekarang justru penuh dengan kata jangan-jangan.Kalau dipikir secara jernih, kenapa aku harus kawatir? Selama ini hubunganku dengan Mas Joni suamiku baik-baik saja. Kami saling terbuka dan saling percaya. Tidak ada yang disembunyikan termasuk isi ponsel masing-masing. Aku biasa membuka ponsel Mas Joni yang paswordnya tanggal ulang tahunku. Aman, kok.Namun, beredarnya gosip di kampung kemarin menyadarkan aku kalau kemungkinan bisa saja terjadi. Mereka bergosip dengan menunjukkan alasan yang bisa dipercayai. Katanya aku diceraikan suami karena belum memberi momongan."Menikah itu tujuannya mempunyai anak. Kalau tidak bisa, laki-laki ya mencari wanita lain, lah."Ada juga yang menyoal gini, "Suaminya Suti itu putih, gagah, ganteng, necis, dan berpendidikan. Kalau dapet yang lebih ya wajarlah. Wo