Share

Kangen Suami

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-01-08 21:07:24

"Emak, aku ikut ke Pasar, ya. Kangen pingin makan lupis sama pecel lontongnya Mbok Irah!" teriakku dari kamar mandi, ketika mendengar Emak sibuk mau pergi ke pasar.

"Tidak usah ikut? Emak beliin saja! Kembangnya selak habis!" teriak Emak menjawab.

"Emak, ikut .... !" teriakku lebih kencang. Hening, tidak ada jawaban. Aku buka sedikit pintu kamar mandi keluar, celingak-celinguk tidak ada orang.

Huuf... ditinggal, deh. Emak ini kagak tahu kalau aku kangen jalan-jalan ke pasar. Di kota emang ada pasar, tetapi, kurang seru.

Kalau di sini, ke pasar serasa jumpa fans. Dari pintu gerbang sudah ketemu Parjo temen SMP ku yang jaga karcis pasar. Dia dulu sempet naksir aku. Ada juga Mas Tono, penjual ayam, mantanku pas SMA dulu. Kalau beli ayam, pasti dimantepin sambil ngobrol sana-sini yang gak jelas. Mengabaikan orang sebelahnya yang mencucu, istrinya.

Hehehe ....

Belum kalau masuk ke pasar, ketemu Yu Sri, Lek Inem, Mbak Tinah dan yang lainnya. Mereka ada yang tetangga, temen SMA, bahkan ada yang mantan calon mertua seperti Budhe Parji dan Budhe Yato. Dan semua berebut menyapa dan bahkan memaksa untuk mengobrol lama.

Seneng, kan.

Belanjanya sebentar, ngobrolnya tiga jam.

Gara-gara, ditinggal emak ke pasar akhirnya aku nganggur di rumah.

Nunggu lontong pecelnya Mbok Irah yang pedesnya serasa di tampol orang. Pedesnya cabe desa lebih gimana gitu, seger dan nyetrong, dibandingkan cabe kota. Apa hanya perasaanku aja, ya?

Klunting.... Klunting....

Ponselku bunyi dengan nada sambung spesial nomor Mas Joni, suamiku.

"Halo Mas Joni .... " teriakku ketika wajah suamiku yang ganteng itu muncul di layar ponselku.

Mak ser .... rasa di dadaku.

Berpisah masih satu hari saja, sudah terasa kangen. Selama menikah dua tahun, baru kali ini kami berpisah lebih dari duapuluh empat jam. Rasanya sekarang, gimana cobak.

Kangen.

"Kenapa Dek Tia, habis senyum kok cemberut?"

"Kangen berat, Mas," jawabku dengan masih mecucu.

"Sama, Mas juga kangen. Untung sudah dikasih bekal," katanya sambil senyum dan mengedipkan matanya menggoda.

Aku tersenyum melihat ulahnya.

"Nah, gitu dong. Kalau senyum kan, makin cantik. Cepet pulang pulang ya, Dek. Bekalnya sudah mulai nipis," ucapnya merajuk dengan mata sendu. Baru berpisah sebentar suamiku ini sudah kelimpungan.

"Mas Joni, bekasnya kemarin saja belum hilang. Aku sampe kemana-mana pakai syal."

Aku buka selendang dileherku untuk menunjukkan beberapa noda merah dileher, dada dan bahuku akibat perbuatannya. Proses pemberian bekal kemarin terlalu berlebihan, sampai berakibat fatal seperti ini.

"Hehehe, itu stempel, Dek. Tanda kepemilikan. Biar, kamu tidak bisa macem-macem!" teriaknya dengan terkekeh.

"Nanti, sampe rumah, tak bikinin lagi!" tambahnya.

"Mas Joni!" teriakku dengan pipi yang memanas. Aku lihat kanan kiri, takut ada yang nguping pembicaraan ala pasutri.

"Hari ini, ziarah ke makam Simbah? Sama emak atau Dek Slamet?"

Slamet, adik lelaki satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara. Dialah yang menemani emak di rumah, walaupun hanya hari sabtu dan minggu. Karena dia sekolah di kota kecamatan, hanya hari itu saja bisa pulang ke kampung.

Kalau bapak, jangan nanyak dia, deh. Bapak kawin lagi sama janda kaya di desa sebelah. Dia tidak sanggup menolak pesona janda sexy yang banyak tanahnya. Walaupun itu peninggalan suaminya yang meninggal.

Yah, diiklaskan saja, kata Emak. Entah karena sudah tidak cinta atau karena sudah tidak sabar menghadapi Bapak yang kerjaannya adu jago saja. Buktinya, sampai sekarang Emak baik-baik saja membiayai hidupnya dengan hasil pertaniannya.

Yah, khusus untuk pendidikan biaya Slamet adikku, itu tanggunganku. Makanya aku merantau ke kota.

"Dek Tia, kok nglamun? Kangen banget sama Mas, ya?" tanya Mas Joni menyadarkanku.

Aku tersenyum mendengarnya sambil mengangguk mengiyakan.

"Aku ziarah sama Emak. Slamet masih di kota, sekolah."

"Ya udah. Hati-hati, ya. Salam buat Emak. besuk kamu kan sudah pulang. Malamnya kita ketemu lagi. Tak jemput di terminal ya?"

"Iya, Mas. Bagaimana meetingnya sama Mr. William? Lancar, kan?"

"Alhamdulillah. Atas doa istriku yang tersayang, semuanya lancar. Lumayan, bisa buat bekal mudik!" ucapnya antusias.

Iya, usaha kami berdua mengalami kemajuan yang pesat. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang lancar, bisnis Mas Joni bisa menembus pasar Internasional.

"Alhamdulillah. Berarti sampai rumah, aku langsung di jos kerjanya ya, Mas," ucapku dengan senyum yang super lebar.

Bayangan keuntungan yang pasti didapat langsung berbayang di kepalaku. Ya aku tahulah, yang ngitung proposalnya, aku.

"Dek Tia, doa kan lagi, ya. Ini aku mau berangkat ke cargo. Mau ngurus pembayaran depositnya. Semoga tidak dikasih cek mundur."

Iya, pembayaran pembeli dari luar, biasanya sudah titip di kantor cargo. Jadi, pelunasan bisa langsung diambil ketika barang pesanan sudah di kirim. Sama-sama aman buat pembeli dan penjual seperti kami ini.

Kami pun menutup pembicaraan setelah saling cium jauh.

Alhamdulillah, bekal mudik sudah ada.

***

Kriuk ... kriuk ....

Bunyi perutku, seperti orkestra saja.

Kebiasaanku yang makan pagi menuntutku untuk segera menenangkan perut ini dengan makanan. Aku beranjak ke dapur. Di meja makan masih bersih, kosong belum ada makanan.

Aku usah perutku, 'sabar, ya, perut!'

Emak kok belum pulang, ya. Bukan menunggu emak, tapi, mengharap lontong pecel untuk membungkam bunyi kriuk ini.

Brak .... !

Suara pintu dapur mengagetkanku.

Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.

Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.

Masih silau.

Siapa, ya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Pakde Jangin

    Brak .... !Suara pintu dapur mengagetkanku.Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.Masih silau.Siapa, ya?*Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang."Pakde Jangin!" teriakku kaget.Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa."Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tuduhan Mantan

    Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah."Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.Emak pingsan."Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini. Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung."Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... ""Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan. Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon. Ti

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Minta Bukti

    "Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tawaran Gila

    Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   JJS Bersama Emak

    Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Team Senior

    "Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Emak Ikutan Kerja

    Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Mantannya Emak

    "Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.

    Last Updated : 2025-01-31

Latest chapter

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Suamiku Ngambek

    “Masih ngambek?” Aku lingkarkan kedua tanganku dari belakang ke pinggangnya. Mas Joni yang sedang mencuci piring tetap bergeming. Biasanya, dia akan menoleh dan menyambut ciumanku.“Mas Joni. Aku minta maaf.” Tetap tidak ada jawaban. Tidak dihiraukan, aku melepasnya dan menarik kursi untuk mengamatinya dari meja dapur. Punggung lebar yang dibalut kaos putih tipis itu selalu aku rindukan. Walaupun menggunakan celemek, justru itu letak keseksiannya. Sambil menyesap secangkir kopi dan menyilangkan kaki di atas kursi, aku menunggu kemarahannya mereda. Aku mengaku ini salahku.Tadi ketika kebersamaan kami sedang pada puncaknya, aku justru melemparkan kecurigaan yang menbuatnya jengkel. Hasrat Mas Joni pun surut seketika walaupun ikat pinggang sudah terlempar di lantai.Selalu begitu. Ketika marah, suamiku ini pasti mengalihkan dengan bersih-bersih. Mencuci cuci piring sudah selesai, dia beralih dengan mengelap dan menata dan dijajar di rak kayu. Panci, wajan, dan telenan yang bergantu

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Jawaban

    “Tapi kamu jangan marah, ya?” ucap Mas Joni sembari mengerjapkan mata. Maksudnya apa? Main rahasia dengan istri tapi tidak mau kena marah. Ini berhubungan dengan Wanita lain, tapi tidak mau disalahkan. Sama dengan laki-laki di luar sana yang punya banyak alas an untuk membenarkan kesalahannya.Tanganku meremas tisu keras-keras. Ingin rasanya teriak dan melempar apa saja di depanku. Aku memejamkan mata dan meraup udara untuk menenangkan emosi. Bukannya tenang, ucapan Mas Joni selanjutku membuatku muntab.“Sungguh, Dek. Mas tidak sengaja. Mas khilaf.”Seketika mataku terbelalak. Amarah yang aku tahan dari tadi benar-benar meledak. Sungguh, aku tidak terima alasan perselingkuhan karena alasan khilaf. Memang kalian tidak punya otak? Apa bedanya dengan hewan kalau berhubungan hanya berdasar kata khilaf?“Dek Tia. Kamu marah?” ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan untuk meraih tanganku yang gemetar.Spontan aku menarik diri. Tatapanku lekat ke arahnya dengan tajam. Rasanya aku benar-benar

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Siapa?

    Seingatku Mas Joni tidak mempunyai teman wanita yang begitu dekat sampai rela berbagi tangisan seperti wanita tadi. Seakan menunjukkan hubungan yang begitu dekat. Suamiku tidak pernah cerita teman wanita masa lalu, atau kenalan baru. Sampai saat ini setahuku temannya dia juga temanku. Kecuali kalau sudah lama tidak bertemu dan tidak tinggal di kota ini. 'Apa orang ini wanita masa lalu? Atau, justru wanita sekarang yang sengaja disembunyikan dariku?' 'Kenapa dia menangis? Jangan-jangan menuntut tanggung jawab.... Oh, tidak!' Dada ini mulai sesak dan isi kepala dipenuhi berbagai asumsi yang semuanya tidak ada yang bagus. "Maaf, dengan ibu siapa? " ucapku penasaran. "Sudah saya bilang, kan. Temannya Mas Joni. Kamu tidak percaya?" Ucapannya terlihat tidak sabar. Isakan tangis tidak terdengar lagi. Tertinggal nada suara yang mulai meninggi, mengintimidasi. Padahal tinggal dia kasih nama saja, kan? "Maksud saya tolong kasih tahu nama, teman dari mana, dan keperluannya apa. Karena

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Diingatkan

    "Mas Joni tidak kenapa-kenapa, kan?" Aku menangkup wajahnya, menelisik kalau ada luka. Belum puas, aku pun duduk mensejajarinnya kemudian memastikan lengan, kaki, dan tubuhnya baik-baik saja. "Kamu kenapa, Dek?" Kesadaranku masih belum pulih sepenuhnya. Aku menajamkan mata ke arah jam dinding. Jarum jam masih merujuk angka tiga. "Ini masih malam. Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Helaan napas dan anggukan jawabanku. Kenapa mimpiku begitu mengerikan? Kata Emak mimpi jam segini itu sebuah pertanda. Sepertinya benar, karena saat Simbah meninggal dulu, aku bermimpi buruk. Juga ketika Emak kecelakaaan dulu. Memang mimpi itu bunga tidur, rapi bisa jadi suatu peringatan. Jangan-jangan suamiku ini.... "Kenapa melihatku seperti itu? Kangen banget, ya. Sini Mas peluk." Lagi-lagi senyuman ditebarkan sebelum merentangkan kedua tangan. Aku menelengkan kepala dengan mata memicing, menaruh curiga. "Mas Joni tidak ada yang disembunyikan dariku, kan?" "Masih malam jangan bicara aneh-aneh. Mas kang

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Menyerah

    Namun kegigihan Mas Joni meruntuhkan keraguanku. Dia nekad saat lebaran menyusul aku ke kampung. Hal konyol terjadi saat itu membuatku tertawa sendiri. Kring.... Lamunanku tentang kisah kami dahulu terjeda oleh dering ponsel. Gegas aku menyambar benda pipih itu. Siapa tahu Mas Joni yang sudah dapat sinyal. "Emak," gumamku sambil menekan tombol untuk menerima panggilan telpon ini. "Hallo, Mak." "Suti kamu itu kebiasaan, ya. Janjinya nelpon tapi ditungguin tidak segera ada. Emak itu kawatir kamu itu kenapa-kenapa." "Yo wes. Kamu segera istirahat. Salam buat Nak Joni." "Iya, Mak," jawabku singkat dan layar ponsel pun menggelap. Lebih baik aku tidak cerita kalau mas Joni tidak di rumah. Bisa jadi Emak tanya ini dan itu yang memungkinkan menimbulkan kecurigaan. Mbok Iyem pamit pulang, dan tinggal aku sendiri di rumah ini. Memang ini kesepakatanku dan Mas Joni yang hanya memperkerjakan pembantu pulang pergi. "Tidak nyaman kalau ada orang selain kita di rumah ini. Aku tidak l

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tresno Jalaran Soko

    'Tresno kuwi jalaran soko glibet', kata guru bahasa Jawa saat sekolah dulu. Artinya, cinta itu muncul karena sering bertemu. Seperti aku dan Mas Joni ini. Awalnya urusan pekerjaan, terus keadaaan mendukung karena sama-sama perantauan, akhirnya sering bertemu dan mulai tergantung. Awalnya masih saya sekarang aku. Kalau tidak pertemu sehari saja, hati ini gelisah. Begitu juga dia mengatakan hal yang sama. Aku ingat hari bersejarah yang menjadi awal kami tidak lagi teman biasa. Ketika itu hari minggu. Pagi-pagi Mas Joni menjemut untuk ke pantai Batu Bolong di Ulu Watu. Ini sebenarnya gara-gara ucapanku semalam. "Mas Joni boleh ke sini setiap hari, tapi jangan malam minggu," pintaku sambil menyodorkan kopi hitam panas. Ya kalau hari biasa aku bisa bilang ke teman kost kalau dia ini teman kerjaan, tapi ini juga datang di malam keramat bagi orang pacaran. Teman tapi begini, pacar tapi tidak pernah ada pernyataan apapun. Aku merasa digantung. Sudut mata ini menangkap wajah ceria itu

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Dirimu

    Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Teman Mas Joni

    Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Jijik

    Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status