Share

Minta Bukti

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-01-08 21:09:28

"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. 

Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.

'Ya Allah, apa lagi ini?'

Puyeng ... puyeng!

"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak.

"Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku.

"Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. 

Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!

Kriuk ... kriuk ....

Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun.

"Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. 

Setelah bernegosiasi sama emak yang super ngeyel, akhirnya aku dibebaskan untuk makan pagi. Pastinya atas bantuan Pakde Jangin. Dia lebih memanjakanku, makanya kalau dimarahi emak larinya ke pakde.

Huwaah ....

Lontong pecelnya uenak dan puedes nya nampol! Badanku langsung berkeringat dan otakku sempat ngeblank karena pedesnya. Enak sih, dapat teralihkan dari masalah yang mbulet ini. Walaupun sesaat.

"Ini minummu! Cepetan! Sudah tidak sabar dengar ceritamu!" ucap emak menyodorkankan segelas air putih.

Hemm, alhamdulillah.

Akhirnya aku mendapatkan tenaga untuk memecahkan masalah ini. 

"Aku dengan Mas Joni, baik-baik saja. Tidak ada masalah keuangan, apalagi masalah perkawinan. Semua ini hanya salah paham. Saya juga tidak tahu dari mana datangnya kabar yang salah kaprah ini," jelasku pelan-pelan.

"Lo, kalau tidak ada masalah, kenapa kamu pulang sendiri Nduk. Jonimu mana? Naik  bis lagi, mobilmu mana? Kayak orang yang bangkrut, tidak punya duit!" kata pakde Jangin.

"Pakde, Mas Joni lagi ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi tidak bisa antar pulang kampung. Kalau mobil, saya kan tidak bisa nyetir. Toh, naik bis juga lebih enak. Tidur, bangun langsung nyampe."

"Emak tidak percaya! Mana buktinya. Itu cuma omonganmu saja!" bantah Emak.

Diikuti kepala Pakde yang mengangguk-angguk, memaksaku untuk memberikan bukti yang bisa mereka percara. Apa ya?

Kalau keberadaan mobil, mana bisa aku kasih bukti. Aku bukan orang yang sok kaya, foto di depan mobil atau selfi didekat mobil seolah-olah tidak sengaja menunjukkan kalau punya mobil. Atau, selfi di dalam mobil atau lagi nyetir. 

Setelah itu di posting.

Pengumuman online.

Hehehe.

Ah, itu enggak banget.

Bukan aku.

Punya mobil ya untuk dipakai, punya karena ada manfaatnya. Bukan karena sok gaya atau pamer sana-sini.

Apa ya?

Oya, titipan Mas Joni belum tak sampaikan. Aku lupa karena ketimpa masalah ini.

"Sebentar, aku ambilkan oleh-olehnya. Aku kelupaan, keburu puyeng dengan masalah ini," cetusku sambil beranjak ke kamar tidurku. 

Walaupun aku sudah tidak tinggal di rumah, tapi kamarku masih utuh tatanannya seperti dulu. Emak merawat dan membersihkan setiap hari. Jaga-jaga kalau kami pulang, katanya.

Aku ambil travel bag dan aku bawa ke depan. 

"Apa itu, Nduk?" tanya Pakde Jangin.

Aku ambil amplop panjang warna coklat yang sudah aku siapkan dari rumah. Sudah ada tulisannya untuk siapa saja.

"Emak, ini untuk Emak. Dan, ini untuk Slamet. Yang dibuka punya Emak saja. Yang untuk Slamet, biar dia sendiri yang buka!" kataku serasa memberikan dua amplop yang ada di tanganku.

"Dan ini, untuk Pakde Jangin."

Mereka langsung membuka amplopnya sendiri. Dan, mata mereka seketika membelalak melihat isi bendelan berwarna merah.

Bagaimana tidak, bendelannya buat emak ada lima. Buat pakde jangin dua bendel. Ini lumayan, kami setiap dapat keuntungan langsung di sisihkan di rekening lainnya untuk keluarga.

Itu sudah kesepakatan kami, aku dan Mas Joni. Semua yang aku taruh di amplop atas sepengetahuan suamiku juga. Kami tidak pernah menutupi segala sesuatu, apalagi yang menyangkut dengan uang.

"Kalau kami bangkrut, tidak mungkin bisa memberikan amplop seperti ini, ya kan Pakde?" ucapku minta dukungan, dia balas dengan anggukan dan senyum lebar.

"Tidak, tidak percaya! Aku ingin ngomong langsung dengan Joni, saja. Menantuku!" kata Emak dengan nada yang sudah tidak setinggi tadi.

"Baik. Tak telpon Mas Joni, ya," ucapku berusaha sabar.

"Telpon yang ada gambarnya, Ti! Biar Emak yakin, kalau bicara beneran sama Joni. Itu lo, yang namanya pikol," tandasnya.

"Maksudnya video call, Mak?"

"Iya, pideo kol!"

Emak-emak, segitunya tidak percaya sama anak sendiri. Heran aku, dia lebih percaya dengan kabar yang gak jelas. 

Aku hubungi Mas Joni lewat video call.

Tidak nyambung. 

Aku coba lagi, belum nyambung juga.

Gaswat!

"Tuh kan, Dia tidak mau angkat telpon kamu! Emak ini sudah curiga. Piling Emak pasti benar!"

"Filling, Mak," ucapku membenarkan. Emak ini sok gaya. 

"Iya, yang itu! Kamu sebenarnya ada masalah sama Joni, terus kamu purik! Makanya kamu sudah lirak-lirik sama Mas Mantri. Dia itu kan pacarmu dulu, to? Nyari ban serep, ya" kata emak menjabarkan sebab akibat yang ada di otaknya. 

Dan semua melenceng, ceng!

Aku tersenyum kecut, bingung harus menjelaskan dengan bahasa apa? 

Mungkin bahasa tumbuh-tumbuhan, ya. Seperti angin yang bertiup, rumput bergoyang dong.

Aduh! 

Aku keikut stres!

Klunting....  Klunting.... 

Alhamdulillah, Mas Joni hubungi aku balik.

"Mas Joni!" teriakku lega setelah melihat wajah tampan suamiku di layar ponsel.

"Dek, Dek Tia! Kenapa, kok mukanya seperti tegang! Tumben telpon terus, aku lagi di cargo Dek. Ambil deposit. Bukan cek ya dik. Ini pakai Giro. Alhamdulillah, tanggalnya hari besuk. Jadi langsung tak setorin ke rekeningmu," jelasnya dengan wajah cerah. 

Iya lah, baru dapet pembayaran deposit.

Memang untuk semua pemasukan, harus disetor ke rekeningku semua. Selain supaya teratur, Mas Joni juga memberiku wewenang penuh untuk mengelolanya.

"Mas Joni sekarang masih di kantor Cargo? Bawa mobil?" tanyaku setelah melihat lokasi dibelakangnya.

"Iya, Dek. Bagaimana, apa ada perlu sama Mbak Serly Akunting?" 

Wak kebetulan ini, Emak dan Pakde biar bisa langsung tahu kegiatan Masku tercinta ini.

"Tidak. Mas Joni, ini ada Emak dan Pakde Jangin. Mereka kangen Mas Joni, pingin ngerti juga apa kegiatannya di kota. Lihatin plang nama kantor dan ketika Mas masuk mobil, ya!" jelasku.

Hehehe, aku kasih alasan yang beda dari yang sebenarnya. Kan, gawat kalau Mas Joni tahu aku di gosipin menjadi janda yang sekarang pendekatan sama Mantri Puskesmas.

Mas Joni menyetujui, walaupun awalnya tidak mau. 

Malu! 

Kawatir ditertawakan pak Satpam.

Emak, dan Pakde Jangin langsung VC. Mereka melihat Mas Joni yang jalan sambil menyorot plang nama Cargo. Terus jalan menuju parkir, diarahkan ponsel ke mobil sampai muter sampai Mas Joni naik mobil.

Percaya, kan?

*

"Permisi!" 

Ada orang datang ternyata. 

Oh, si Widya teman SMP ku dulu. Dia tinggal deket rumah sini.

Dia langsung masuk ke rumah dan menghampiriku. Memelukku erat dan menangis.

Dalam tangisnya, membisikiku

"Suti, aku bisa membantumu. Aku sahabatmu"

Ada apa lagi ... ini!?

********

Related chapters

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tawaran Gila

    Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   JJS Bersama Emak

    Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Team Senior

    "Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Emak Ikutan Kerja

    Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Mantannya Emak

    "Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   AAA

    Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" uca

    Last Updated : 2025-02-07
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Naik Bis

    "Sutiati! Kamu pulang naik bis?!" teriak emak mengagetkanku. Lagi selonjoran meluruskan pegelnya kakiku yang delapan jam perjalanan naik bis ekonomi.Tahukan, bis ekonomi tempat duduknya sembilan puluh derajat, mana sempit lagi. Kakiku yang panjang, memaksaku duduk seperti segitiga siku-siku. Bukannya tidak mampu naik bis eksekutif atau travel eksekutif tetapi karena kampungku tidak dilewati kendaraan yang berlebel eksekutif.Parah pelosoknya.Belum aku jawab emak langsung nerocos ngomel kepadaku."Suti, Suti ... kamu ini bikin malu, Emak. Dari Bu Lurah sampai tukang sayur nanyain, kamu itu apa sudah bangkrut? Kok pulang naik bis! Apratmu, mana? Terus suamimu mana? Kok tidak ikut. Jangan-jangan, kamu dipulangkan sama Joni, ya?!" teriak Emak membuat aku semakin pusing. Pertanyaan Emak berderet, bingung mana yang harus dijawab. Anaknya datang, mbok ya ditanya kabarnya bagaimana? Capek atau minta dipijitin. Ini malah nanyak mobil. Huuft ....Di kampung memang paling cepet kabar angin

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kangen Suami

    "Emak, aku ikut ke Pasar, ya. Kangen pingin makan lupis sama pecel lontongnya Mbok Irah!" teriakku dari kamar mandi, ketika mendengar Emak sibuk mau pergi ke pasar."Tidak usah ikut? Emak beliin saja! Kembangnya selak habis!" teriak Emak menjawab."Emak, ikut .... !" teriakku lebih kencang. Hening, tidak ada jawaban. Aku buka sedikit pintu kamar mandi keluar, celingak-celinguk tidak ada orang. Huuf... ditinggal, deh. Emak ini kagak tahu kalau aku kangen jalan-jalan ke pasar. Di kota emang ada pasar, tetapi, kurang seru. Kalau di sini, ke pasar serasa jumpa fans. Dari pintu gerbang sudah ketemu Parjo temen SMP ku yang jaga karcis pasar. Dia dulu sempet naksir aku. Ada juga Mas Tono, penjual ayam, mantanku pas SMA dulu. Kalau beli ayam, pasti dimantepin sambil ngobrol sana-sini yang gak jelas. Mengabaikan orang sebelahnya yang mencucu, istrinya.Hehehe ....Belum kalau masuk ke pasar, ketemu Yu Sri, Lek Inem, Mbak Tinah dan yang lainnya. Mereka ada yang tetangga, temen SMA, bahkan ada

    Last Updated : 2025-01-08

Latest chapter

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   AAA

    Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" uca

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Mantannya Emak

    "Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Emak Ikutan Kerja

    Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Team Senior

    "Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   JJS Bersama Emak

    Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tawaran Gila

    Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Minta Bukti

    "Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.'Ya Allah, apa lagi ini?'Puyeng ... puyeng!"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak."Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku."Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!Kriuk ... kriuk ....Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun."Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. Setelah bernegosiasi sama emak yang su

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tuduhan Mantan

    Nafas emak memburu dan bibir bergetar menahan amarah."Pokoknya aku tidak terima! Anakku diperlakukan seperti ini. Aku tidak terima!"Tubuh emak bergetar, langsung limbung dan luruh jatuh ke lantai.Emak pingsan."Emak .... !" teriakku secepatnya meraih tubuh emak yang lunglai.Pakde Jangin langsung, membopoh tubuhnya ke lincak depan TV. Tempat biasanya emak, nonton sambil rebahan. Aku balurin tubuh emak dengan minyak kayu putih. Gara-gara kabar yang tidak jelas emak jadi seperti ini. Kenapa mereka tidak tanya kepadaku langsung? Lebih baik, aku jelaskan kepada Pakde Jangin. Biar dia yang ngurus emak, mungkin pakai bahasanya bisa nyambung."Pakde, saya mau bicara. Sebenarnya, saya ... ""Sudah! Bicaranya nanti saja. Saya harus panggil Pak Mantri, bahaya kalau emakmu tidak langsung ditangani. Bisa keblabasan!" kata Pakde Jangin tergopong, memotong apa yang aku harus jelaskan. Dia langsung bergegas setengah lari pergi. Kondisi emak masih sama, dia terlihat lemas dan tidak merespon. Ti

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Pakde Jangin

    Brak .... !Suara pintu dapur mengagetkanku.Pintu dibuka dengan keras, silau sinar matahari dari luar menyeruak masuk. Terlihat sosok bayangan berdiri di sana.Aku picingkan mata, mencoba memastikan siapa yang masuk. Yang datang seperti kehilangan rasa sabar.Masih silau.Siapa, ya?*Aku lekatkan tanganku di atas alis untuk menahan silau dan mengetahui siapa yang datang."Pakde Jangin!" teriakku kaget.Dia adalah kakak emak yang terkenal jagoan di desaku ini. Tidak ada yang berani melawan dia, memang Pakde ku ini suka bertindak kasar, grusa-grusu, dan tanpa tedeng aling-aling, istilah Jawanya.Kalau ada yang bikin rusuh di kampung, dia nomor satu langsung di depan. Melibas semua yang melanggar aturan. Sebut nama Pakde Jangin, semua preman di sekitar desa ini termasuk sak kecamatan langsung ngibrit. Begitu dahsyatnya nama besar pakdeku ini.Makanya, Pak Lurah mengangkatnya jadi Ketua Keamanan Desa."Suti! Mana Joni, suamimu! Kok dia seenaknya saja, mentang-mentang orang kota!" teriak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status