Share

Minta Bukti

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2025-01-08 21:09:28

"Suti! Kamu pacaran sama Mas Mantri?" teriak Emak tiba-tiba menyibak tirai pembatas ruangan. 

Diikuti Pakde Jangin, mereka duduk di depanku menuntut jawaban.

'Ya Allah, apa lagi ini?'

Puyeng ... puyeng!

"Suti, kamu ini ditanya orang tua kok malah gedeg-gedeg! Kamu pusing? Makanya jangan aneh-aneh jadi orang. Belum lama menjanda sudah pacaran sama Mas Mantri!" teriak Emak.

"Iya Nduk. Pakde juga kasih saran. Kalau bisa di rem-rem dulu. Tidak enak diomongin tetangga," ucap Pakde Jangin mengambil duduk disebelahku.

"Emak, Pakde, tolong dengar omongan saya. Jangan dipotong ataupun dibantah, tolong!" teriakku dengan kesal. 

Bagaimana tidak kesal, semua orang sekampung seakan sudah mengerti benar tentang kehidupanku. Sudah ngeyel, salah lagi!

Kriuk ... kriuk ....

Perutku berbunyi lagi. Dari tadi pagi belum sarapan, tenagaku sudah habis mungkin minus. Nahan emosi yang sudah diubun-ubun.

"Lapar ...! Aku tak makan dulu ya, Mak," ujarku sambil cengengesan. 

Setelah bernegosiasi sama emak yang super ngeyel, akhirnya aku dibebaskan untuk makan pagi. Pastinya atas bantuan Pakde Jangin. Dia lebih memanjakanku, makanya kalau dimarahi emak larinya ke pakde.

Huwaah ....

Lontong pecelnya uenak dan puedes nya nampol! Badanku langsung berkeringat dan otakku sempat ngeblank karena pedesnya. Enak sih, dapat teralihkan dari masalah yang mbulet ini. Walaupun sesaat.

"Ini minummu! Cepetan! Sudah tidak sabar dengar ceritamu!" ucap emak menyodorkankan segelas air putih.

Hemm, alhamdulillah.

Akhirnya aku mendapatkan tenaga untuk memecahkan masalah ini. 

"Aku dengan Mas Joni, baik-baik saja. Tidak ada masalah keuangan, apalagi masalah perkawinan. Semua ini hanya salah paham. Saya juga tidak tahu dari mana datangnya kabar yang salah kaprah ini," jelasku pelan-pelan.

"Lo, kalau tidak ada masalah, kenapa kamu pulang sendiri Nduk. Jonimu mana? Naik  bis lagi, mobilmu mana? Kayak orang yang bangkrut, tidak punya duit!" kata pakde Jangin.

"Pakde, Mas Joni lagi ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Jadi tidak bisa antar pulang kampung. Kalau mobil, saya kan tidak bisa nyetir. Toh, naik bis juga lebih enak. Tidur, bangun langsung nyampe."

"Emak tidak percaya! Mana buktinya. Itu cuma omonganmu saja!" bantah Emak.

Diikuti kepala Pakde yang mengangguk-angguk, memaksaku untuk memberikan bukti yang bisa mereka percara. Apa ya?

Kalau keberadaan mobil, mana bisa aku kasih bukti. Aku bukan orang yang sok kaya, foto di depan mobil atau selfi didekat mobil seolah-olah tidak sengaja menunjukkan kalau punya mobil. Atau, selfi di dalam mobil atau lagi nyetir. 

Setelah itu di posting.

Pengumuman online.

Hehehe.

Ah, itu enggak banget.

Bukan aku.

Punya mobil ya untuk dipakai, punya karena ada manfaatnya. Bukan karena sok gaya atau pamer sana-sini.

Apa ya?

Oya, titipan Mas Joni belum tak sampaikan. Aku lupa karena ketimpa masalah ini.

"Sebentar, aku ambilkan oleh-olehnya. Aku kelupaan, keburu puyeng dengan masalah ini," cetusku sambil beranjak ke kamar tidurku. 

Walaupun aku sudah tidak tinggal di rumah, tapi kamarku masih utuh tatanannya seperti dulu. Emak merawat dan membersihkan setiap hari. Jaga-jaga kalau kami pulang, katanya.

Aku ambil travel bag dan aku bawa ke depan. 

"Apa itu, Nduk?" tanya Pakde Jangin.

Aku ambil amplop panjang warna coklat yang sudah aku siapkan dari rumah. Sudah ada tulisannya untuk siapa saja.

"Emak, ini untuk Emak. Dan, ini untuk Slamet. Yang dibuka punya Emak saja. Yang untuk Slamet, biar dia sendiri yang buka!" kataku serasa memberikan dua amplop yang ada di tanganku.

"Dan ini, untuk Pakde Jangin."

Mereka langsung membuka amplopnya sendiri. Dan, mata mereka seketika membelalak melihat isi bendelan berwarna merah.

Bagaimana tidak, bendelannya buat emak ada lima. Buat pakde jangin dua bendel. Ini lumayan, kami setiap dapat keuntungan langsung di sisihkan di rekening lainnya untuk keluarga.

Itu sudah kesepakatan kami, aku dan Mas Joni. Semua yang aku taruh di amplop atas sepengetahuan suamiku juga. Kami tidak pernah menutupi segala sesuatu, apalagi yang menyangkut dengan uang.

"Kalau kami bangkrut, tidak mungkin bisa memberikan amplop seperti ini, ya kan Pakde?" ucapku minta dukungan, dia balas dengan anggukan dan senyum lebar.

"Tidak, tidak percaya! Aku ingin ngomong langsung dengan Joni, saja. Menantuku!" kata Emak dengan nada yang sudah tidak setinggi tadi.

"Baik. Tak telpon Mas Joni, ya," ucapku berusaha sabar.

"Telpon yang ada gambarnya, Ti! Biar Emak yakin, kalau bicara beneran sama Joni. Itu lo, yang namanya pikol," tandasnya.

"Maksudnya video call, Mak?"

"Iya, pideo kol!"

Emak-emak, segitunya tidak percaya sama anak sendiri. Heran aku, dia lebih percaya dengan kabar yang gak jelas. 

Aku hubungi Mas Joni lewat video call.

Tidak nyambung. 

Aku coba lagi, belum nyambung juga.

Gaswat!

"Tuh kan, Dia tidak mau angkat telpon kamu! Emak ini sudah curiga. Piling Emak pasti benar!"

"Filling, Mak," ucapku membenarkan. Emak ini sok gaya. 

"Iya, yang itu! Kamu sebenarnya ada masalah sama Joni, terus kamu purik! Makanya kamu sudah lirak-lirik sama Mas Mantri. Dia itu kan pacarmu dulu, to? Nyari ban serep, ya" kata emak menjabarkan sebab akibat yang ada di otaknya. 

Dan semua melenceng, ceng!

Aku tersenyum kecut, bingung harus menjelaskan dengan bahasa apa? 

Mungkin bahasa tumbuh-tumbuhan, ya. Seperti angin yang bertiup, rumput bergoyang dong.

Aduh! 

Aku keikut stres!

Klunting....  Klunting.... 

Alhamdulillah, Mas Joni hubungi aku balik.

"Mas Joni!" teriakku lega setelah melihat wajah tampan suamiku di layar ponsel.

"Dek, Dek Tia! Kenapa, kok mukanya seperti tegang! Tumben telpon terus, aku lagi di cargo Dek. Ambil deposit. Bukan cek ya dik. Ini pakai Giro. Alhamdulillah, tanggalnya hari besuk. Jadi langsung tak setorin ke rekeningmu," jelasnya dengan wajah cerah. 

Iya lah, baru dapet pembayaran deposit.

Memang untuk semua pemasukan, harus disetor ke rekeningku semua. Selain supaya teratur, Mas Joni juga memberiku wewenang penuh untuk mengelolanya.

"Mas Joni sekarang masih di kantor Cargo? Bawa mobil?" tanyaku setelah melihat lokasi dibelakangnya.

"Iya, Dek. Bagaimana, apa ada perlu sama Mbak Serly Akunting?" 

Wak kebetulan ini, Emak dan Pakde biar bisa langsung tahu kegiatan Masku tercinta ini.

"Tidak. Mas Joni, ini ada Emak dan Pakde Jangin. Mereka kangen Mas Joni, pingin ngerti juga apa kegiatannya di kota. Lihatin plang nama kantor dan ketika Mas masuk mobil, ya!" jelasku.

Hehehe, aku kasih alasan yang beda dari yang sebenarnya. Kan, gawat kalau Mas Joni tahu aku di gosipin menjadi janda yang sekarang pendekatan sama Mantri Puskesmas.

Mas Joni menyetujui, walaupun awalnya tidak mau. 

Malu! 

Kawatir ditertawakan pak Satpam.

Emak, dan Pakde Jangin langsung VC. Mereka melihat Mas Joni yang jalan sambil menyorot plang nama Cargo. Terus jalan menuju parkir, diarahkan ponsel ke mobil sampai muter sampai Mas Joni naik mobil.

Percaya, kan?

*

"Permisi!" 

Ada orang datang ternyata. 

Oh, si Widya teman SMP ku dulu. Dia tinggal deket rumah sini.

Dia langsung masuk ke rumah dan menghampiriku. Memelukku erat dan menangis.

Dalam tangisnya, membisikiku

"Suti, aku bisa membantumu. Aku sahabatmu"

Ada apa lagi ... ini!?

********

Related chapters

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tawaran Gila

    Ada apa lagi ... ini!?Aku dan Widya memang berteman dari sekolah, bahkan pernah bersahabat. Kemana-mana selalu bersama. Bahkan di sekolah pun juga duduk di satu meja. Tidak hanya di sekolah, di rumah kami sering bergantian tidur di rumahku atau di rumah Widya. Kebetulan rumah kami tidak jauh.Kami pribadi yang sangat berbeda, tetapi kami bisa saling melengkapi dan menutupi kekurangan. Aku yang pendiam, kutu buku dan kurang bisa bergaul berbanding dengan Widya yang cerewet, banyak teman walaupun kurang pintar pada pelajaran.Keakraban kami mulai retak, semenjak kami mengenal cinta monyet. Penyakit sahabat, jatuh cinta kepada laki-laki yang sama. Keretakan menjadi pecah setelah aku yang terpilih menjadi labuhan cintanya. Widya yang merasa lebih mempesona, menganggap ini penghinaan baginya. Kami tidak bersua tanpa ada kata perpisahan.Cerita cinta dimulai, diiringi usainya cerita persahabatanku dengan Widya. Itu awal kisahku dengan Mas Danang yang sekarang menjadi mantri di Puskesmas ka

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   JJS Bersama Emak

    Rencana awalku pulang ke kampung untuk nyekar makam Simbah tertunda dengan urusan yang tidak jelas. Sore ini, apapun yang terjadi aku harus sesuai dengan rencana. Setelah salat Ashar, kami berangkat.Dengan berjalan kaki, aku bersama Emak pergi ke pemakaman umum yang terletak di belakang pasar. JJS -jalan-jalan sore- ala kampung, sepanjang jalan tak henti-hentinya orang menyapa dan bertanya kabar. Pertanyaan wajar dan ada juga pernyataan dari sisa gosip yang beredar."Iya sehat. Nyekar ke makam Simbah," jawabku dari pertanyaan yang sama dari ujung jalan sampai terakhir. "Ya harus begitu, Ti. Jadi orang jangan sampai melupakan leluhur, dengan begitu kamu terhindar dari kesialan. Wes tak doakan supaya badai pasti berlalu. Bisnis dan perkawinanmu terhindar dari masalah."Tuh kan, ungkapan yang menyatakan kalau gosip masih beredar.Wes, woles saja. Kalau dijelaskan bisa sampai makam sudah malam.Jarak yang dekat terasa jauh. Waktu tempuh sepuluh menit, menjadi setengah jam. Molor tidak

    Last Updated : 2025-01-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Team Senior

    "Ti ...! Suti ...! Sutiati!" teriak Emak yang baru masuk ke dalam rumah. Aku yang sampai di rumah duluan, langsung masuk kamar mandi. Mengguyur seluruh badan dengan air dingin, pilihan tepat untuk mengurai pikiran yang penat. Air dari mata air di pegunungan terasa sejuk dan menenangkan. Persiapan menjelaskan tentang yang kami kerjakan ke Emak, membutuhkan sabar yang tak terbatas."Suti ...! Kamu di mana?!""Emaaak! Aku mandi!" teriakku dari kamar mandi dan melanjutkan gosok badan pakai batu apung."Sutiati! Kamu ini membuat Emak kawatir saja! Emak mikirnya kamu marah! Mandinya jangan lama, Emak siapkan makanan!" Huufff ....Emak, anakmu ini lagi marah beneran, kesal ngadepin Emak yang tidak peka dan selalu berfikir aneh Aku lanjutkan jeburan air menyiram kepalaku yang terasa mengepul ini. *"Emak tidak makan?" tanyaku setelah sadar, dia hanya memandangiku yang rakus menyantap hidangan kampung ini. Tempe goreng, Nila goreng dan rebusan sayur. Dilengkapi sambal tomat yang pedas. Sam

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Emak Ikutan Kerja

    Klunting .... Klunting ....Laporan pagi dari suami tercinta, Mas Joni. VC."Dek Tia ... Mas kangen. Biasanya bangun pagi langsung disuguhi senyum manismu. Sekarang garing!" keluhnya membuka obrolan. "Kok sudah rapi? Mau pergi? Sama siapa? Jangan aneh-aneh!" cecar Mas Joni. Tambah satu lagi grupnya Emak. Suka sekali punya pemikiran aneh."Suamiku terganteng .... Ini lo yang membuatku harus pergi? Lupa?" tanyaku sambil menunjukkan kertas berisi daftar pesanan Mr William yang tadi malam aku print. Untung di kamar Slamet adikku, ada komputer dan printer nganggur. Sementara di sana aku jadikan kantor sementara."Maaf, ya," ucap Mas Joni dengan muka mohon ampun dan senyum menawan menunjukkan pesonanya. Biasanya kalau di rumah, tanpa babibu langsung aku uwel-uwel menuntaskan kegemaskanku. Berhubung lewat ponsel, ya cium online ajalah."Dek Tia, Mr William ada tambahan lagi. Sudah aku email. Buat revisi PI, ya. Nanti sekalian kamu email dia dan di CC ke cargo!"ucapnya. Alhamdulillah, re

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Mantannya Emak

    "Ini anakmu, Dek? Cantik ya, mirip kamu dulu!" ucap Juragan Sarno melihatku dan emak secara bergantian.Wuaduh ...!Panggilannya itu, lo, membuatku tidak tahan. Dunia sejenak seperti milik mereka berdua ketika saling melempar pandang dan berakhir dengan senyum yang sedikit tertahan, sudah tidak peduli dengan keriput di sana sini. Emak, anakmu ada di sini, lagi nempel di tembok. "Ehem ...! Ehem ...!" suara Pakde Jangin memecah suasana yang kikuk ini. Dia baru datang setelah parkir mobil di bawah pohon mangga. Urusan mobil, memang dia paling ribet. Parkir harus di tempat teduh, kalau kepanasan cat bisa retak dan mengelupas, itu pendapatnya. Makanya emak turun terlebih dahulu menyusul aku yang mengejarnya, meninggalkan Pakde yang sibuk mencari tempat teduh."Eh, Jangin! Sudah lama kita tidak bertemu, kawan. Ayo, sini masuk! Hari ini, hari apa, ya. Kok saya mendapatkan anugrah besar!" kata Juragan Sarno.Kami digiring masuk ke dalam pendopo besar, full kayu jati dengan ukiran klasik.

    Last Updated : 2025-01-31
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Siap

    Untungnya, Juragan Sarno tidak sadar dan beranjak dari duduknya.Dia bergegas ke rumah belakang danmenyuruh orang untuk mengambil kelapa muda.*****Kami pun menikmati suguhan kelapa muda utuh sambil membicarakan pesananku tadi. Juragan Sarno ternyata orangnya enak diajak bicara, dia mengerti benar tentang perkayuan. Banyak ilmu yang aku dapat dari dia. Kami diajak berkeliling ke gudang penggergajian dan ke kebon belakang yang penuh dengan tumpukan kayu glondongan. "Dek, penampilanmu kok lain? Seperti akan siap tempur," tanya Juragan Sarno lirih, walaupun aku masih mendengar jelas."Ini baju kerja team senior, Kang. Harus diposisi siap di medan seperti ini!" jawab Emak. Kemudian terdengar ceritanya tentang perjalanan ke tambang batu. Bagaimana dia harus loncat sana dan sini. Ceritanya terdengar berlebihan, sih, tetapi membuat Juragan kayu itu terkesima mendengarnya."Makanya, menantu saya melarang memakai baju bagusan. Bukan karena tidak punya, lo, tetapi, takut ada yang naksir!" ucap

    Last Updated : 2025-02-07
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Surat Sakti

    Kita tidak bisa menjelaskan atau membungkam orang yang bergosip tentang kita. Apalagi orang sekampung. Lebih baik menutup kedua telinga ini demi kewarasan dan konsentrasi pada rencana berikutnya. Yang paling tepat menjawab kasak-kusuk mereka dengan pembuktian. Itulah yang aku lakukan sekarang. Sambil bekerja, aku memberi benteng orang sekitarku. Emak dan Lek Jangin terlebih dahulu. Mereka aku sibukkan dengan bekerja. Dengan begitu, lambat laun mereka akan mengerti membicarakan orang itu kegiatan yang merugi."Suti, Pak Gimin sudah datang. Itu di depan!" kata Pakde Jangin. "Dia ngajak keponakannya," tambahnya sambil menepuk bahuku. Keponakannya? Aku menyambar tas yang berisi perlengkapan kerjaku dan langsung ke depan. Sudah ada tiga laki-laki menungguku di sana. Pakde Jangin, Pak Gimin dan ... Mas Danang. Dia langsung menyambutku dengan senyuman andalannya.Kenapa dia ada di sini? Atau, yang dimaksud keponakan itu, dia?"Ini Danang keponakan saya. Tadi kebetulan ke rumah dan mau iku

    Last Updated : 2025-02-08
  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Ajining Diri

    "Ti! Cepet makannya, jangan lelet. Kalau bisnis itu, waktu adalah kesempatan dan itu artinya uang!" teriak Emak dari dalam kamar. Dia sudah bersiap dari tadi, diajak makan tidak mau. Alasannya, mau jaga makan karena berat badannya sudah bergeser ke kanan.Aku teruskan saja menikmati nasi godeg yang dibelikan Pakde Jangin dari pasar. Gudeg komplit, ada telor yang warna hitam, sambel goreng krecek dan tempe bacem, terasa nikmat. Tidak perduli dengan timbangan, aji mumpungku lagi on. Mumpung ada makanan nikmat, kenapa harus didustakan? Sebelum bertempur harus siapkan tenaga dan amunisi. Jangan sampai lemas apalagi ambruk."Emak beneran tidak makan? Nanti sakit, lo?" tanyaku setelah mendengar langkah kaki Emak ke luar kamar. Pandanganku tidak teralihkan dari makan di depanku, banyak ranjau cabe utuh yang membuatku extra hati-hati. Aku penyuka pedas, tapi pedas banget ya jangan."Tadi sudah nyamil tempe mendoan. Sudah cukup!" jawab Emak. Bau aroma bunga m

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Dirimu

    Menikah itu tidak sekadar cukup dengan kata cinta, itu yang dulu sempat menyurutkanku mau menerima lamaran Mas Joni. "Dek Tia. Aku itu sudah merasa nyaman ketika bersama kamu seperti ini. Rasanya ada yang hilang ketika aku pamit. Aku mulai tergantung sama kamu," ucapnya kala berkunjung ke kost. Awalnya berkunjung dengan alasan bisnis, lama-lama ngobrol ngalor-ngidul sampai harus diusir supaya cepat pulang. "Ya karena kamu tidak punya teman di sini. Kita sama-sama perantauan. Nanti kalau ada teman yang lebih asyik pasti aku dilupakan," jawabku sambil berusaha sesantai mungkin. "Kami takut kehilangan saya? Kita sama-sama enggan berjauhan. Jangan-jangan kita sekarang sedang jatuh cinta." "Halah, gombal. Ini kopinya diminum," sahutku sembari menyodorkan cangkir blirik biru yang menguar aroma kopi tubruk. Jujur, celetukannya sering bikin jantung ini berdegup tak karuan."Hmmm.... Harum!" serunya setelah menghirup, kemudian menyesap kopi hitam. Yang bikin betah di sini selain ngobrol,

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Teman Mas Joni

    Kendaraan yang aku tumpangi melambat seiring mendekati gerbang rumahku yang berwarna orange. Badan ini condong ke depan dengan mata menajam, mendapati laki-laki duduk di atas motor besar yang di parkir di depan pintu gerbang. Kawatir juga ketika mau turun dari taksi ditungguin laki-laki. Apalagi tidak dikenal. Banyak penjahat yang pura-pura menjadi tamu atau kurir, dan ketika penghuninya sendirian mereka beraksi. Untung saja Mbok Iyem langsung membuka gerbang ketika aku telpon. Aku mengamati penjaga rumahku yang berbincang sebentar dengan laki-laki berjaket kulit warna hitam itu. "Periksa bawaannya dulu. Jangan sampai ketinggalan." Ucapan pengemudi menyadarkanku. Dia membukakan pintu dan menunjukkan koper bawaanku yang dia keluarkan dari bagasi. Segera aku berkemas dan keluar dari kendaraan. "Terima kasih, Pak." Aku menyelipkan ongkos beserta uang tip. "Bu Tia, ada tamunya Pak Joni." Mbok Iyem mengambil alih bawaanku. Laki-laki itu mendekat sambil mengulurkan tangan. "Saya Jon

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Jijik

    Rasa iba pun hilang sekejap, berganti dengan jijik dan kesal. Tubuh ku beringsut memberi jarak. Aku paling benci dengan penghianatan. Eh, ternyata yang di depanku ini wanita tidak baik. Apapun alasannya, kalau wanita yang mau dengan suami orang itu menurutku sudah orang zolim. Apa dia tidak sadar kalau sikapnya itu menyakiti wanita lain? Memang perselingkuhan bukan hanya kesalahan si wanita ini, si lelaki pun punya andil yang sama. Namun, bukankah tepukan tangan tidak akan berbunyi nyaring kalau keduanya tidak menginginkan. "Saya berharap besar supaya nanti istrinya mengerti," ucapnya sambil mengelus perutnya. 'Bah! Istri mana yang rela suaminya selingkuh? Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan wanita lain saja sudah sakitnya setengah mati.' Aku menjawab ucapannya dalam hati. "Ya kalau pun tidak menerima saya, minimal menerima anak ini." Sontak aku memalingkan wajah ke arahnya. Dahiku berkerut tidak mengerti yang dimaksud. "Mbak akan menyerahkan anak ini? Kenapa? " Dia me

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Teman Sepesawat

    Pesawat penuh. Untung aku memesan tiket jauh-jauh hari. Dapat jadwal dan tempat duduk sesuai yang aku inginkan-dekat jendela. Bagiku ini tempat yang menjaga privasi. Aku bisa menikmati pemandangan di luar jendela tanpa terhalang orang lain. Sekali lagi aku memeriksa ponsel. Tidak ada pesan masuk dari suamiku. Satu pesan dari Emak yang memberikan doa dan wejangan berderet. Baru saja aku akan mematikan ponsel, ada notifikasi pesan masuk. Hati ini bersorak mendapati yang aku tunggu pun memberi perhatian.[Dek Tia, tiketnya jam sekarang, kan?][Inget jangan lirak-lirik teman sebelah, apalagi cowok ganteng] pesannya dengan emoticon marah. Aku tersenyum. Rasa tersanjung karena dicemburui walaupun tanpa sebab. Mau aku godain, tapi di sana masih tertera tulisan typing.[Aku usahakan pulang lebih awal. Sudah, ya. di sini susah sinyal. Aku saja harus naik][Muach] Senyumku semakin lebar. Entah karena kangen atau apa, jantung ini berdegup lebih kencang. Tanpa menunda, jari ini menuangkan isi

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Kebalikan

    Sesapan demi sesapan kopi hitam tanpa gula ini tidak mampu mengusir resahku. Kafein yang biasanya menjadikan isi kepalaku ini bersih, sekarang justru penuh dengan kata jangan-jangan.Kalau dipikir secara jernih, kenapa aku harus kawatir? Selama ini hubunganku dengan Mas Joni suamiku baik-baik saja. Kami saling terbuka dan saling percaya. Tidak ada yang disembunyikan termasuk isi ponsel masing-masing. Aku biasa membuka ponsel Mas Joni yang paswordnya tanggal ulang tahunku. Aman, kok.Namun, beredarnya gosip di kampung kemarin menyadarkan aku kalau kemungkinan bisa saja terjadi. Mereka bergosip dengan menunjukkan alasan yang bisa dipercayai. Katanya aku diceraikan suami karena belum memberi momongan."Menikah itu tujuannya mempunyai anak. Kalau tidak bisa, laki-laki ya mencari wanita lain, lah."Ada juga yang menyoal gini, "Suaminya Suti itu putih, gagah, ganteng, necis, dan berpendidikan. Kalau dapet yang lebih ya wajarlah. Wo

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Tapi

    Aku mengerti banget kalau laki-laki itu makhluk visual, yang senang dengan wanita sexy. Walaupun aku tidak berpendidikan tinggi, tapi aku senang membaca buku. Tidak hanya buku hiburan saja, tentang psikologi pun aku lahap. Keinginan Mas Joni akhir-akhir ini yang menurutku nyleneh karena sebelumnya tidak seperti itu. Nah ini yang menjadikan aku kepikiran. Padahal dulu dia jatuh hati kepadaku karena aku yang berpenampilan jujur. Wajahku tidak cantik, tapi justru itu dia memujaku. "Kamu itu cantik alami. Tidak seperti wanita di luar sana yang bermake-up tebal. Aku tidak bisa membayangkan suaminya saat mereka tidur. Kan mereka harus menghapus make-up, melepas bulu mata, bahkan katanya ada yang tanpa alis. Hiii," ungkapnya saat pendekatan dulu. Sekarang tidak lagi seperti dulu. Apa jangan-jangan suamiku itu sudah bosan denganku yang penampilannya apa adanya ini? Di rumah pun pakaianku lebih ke kenyamanan. Kaos oblong lebar dan celana komprang. Jauh dari kata feminim apalagi sexy. Walau

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Bab. Kepikiran

    “Pokok’e masalah orderan di sini, pasrah saja ke Emak. Jangan dipikir. Sekarang kamu waktunya konsentrasi sama suamimu.”“Iya, Emak. Tapi kalau aku kirim pesan atau telpon harus diangkat, ya,” tandasku sambil menatap Emak dan Pakde Jangin bergantian. Bukannya tanpa alasan, sering kali mereka menaruh hape di lemari sedangkan mereka entah kemana. Alasannya biar hape awet dan tetap kelihatan baru. Lah, fungsinya hape apa? Handphone, telpon yang di hand. Telpon yang selalu di tangan.“Iya beres, Ti. Aku akan taruh di kantong celana terus. Suaranya juga aku besarin pol,” jawab Pakde Jangin sembari menunjukkan layar ponsel yang cahayanya saingan dengan silaunya matahari. Gak kebayang kalau dia di tempat umum terus ada nada panggil. Bisa jadi bikin orang ngantuk, terjaga seketika.“Emak juga siap, Ti. Ini akan selalu nyantol kemanapun Emak berada. Nah, kalau pakai ini kan jadi hap

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Dipanggil

    "Ti ...! Suti!" Suara Pakde Jangin terdengar. Entah kenapa pagi-pagi teriak seperti itu. "Ada apa, Pakde?" tanyaku menghampirinya yang baru masuk ke dalam rumah. "Tadi ada utusan dari Kelurahan, kamu dipanggil Pak Lurah pagi ini. Kamu jadi pulang sore, kan?" tanyanya sambil menata nafasnya yang terengah-engah."Iya, sore ini. Memang ada apa, kok saya dipanggil?""Tidak tahu, katanya Pak Lurah ada perlu dengan kamu. Cepetan kamu bersiap dan kita berangkat! Pakde pulang dulu ganti baju," ucap Pakde dan segera pergi meninggalkanku.Sesuai jadwal, sore ini aku kembali ke kota. Sengaja memilih waktu di sore hari dan sampai di tujuan di pagi hari. Perjalanan malam lebih membuatku tidak capai, selain tidak panas, aku juga bisa tidur walaupun dengan posisi sembilan puluh derajat.*"Hlo Mak, mau kemana kok sudah rapi?" tanyaku melihat Emak sudah bersiap dengan tas di lengannya. "Ada panggilan ke Kelurahan, kan?""Yang dipanggilkan aku saja. Kok Emak ikutan?" "Ya harus ikut. Kita kan te

  • Akibat Pulang Kampung Tidak Bawa Mobil   Obatnya Emak

    "Eh itu anak saya!"Seorang laki-laki berbadan tinggi kurus dengan kulit agak gelap, masuk menghampiri kami dan bersalaman. Berakhir dengan dia menyapa Emak yang sedari tadi duduk."Ada yang bisa saya bantu, Bu?""Oh, saya baik. Yang mau order bukan saya, tetapi dia!" kata Emak sambil mengarahkan wajahnya ke arahku.Dia langsung mengarahkan pandangan kepadaku sambil mengerutkan dahi. Apa sampai segitunya, aku tidak pantas menjadi bos. Begitu besarnya kekuatan penampilan, sampai tampilan santaiku tidak meyakinkan."Iya dengan saya. Sutiati, panggil saja saya Suti!" ucapku sengan mengulurkan tanganku."Ardiyanto. Panggil Ardi. Maaf ya, biasanya yang ke sini sudah tua-tua. Mbak Sutin masih muda, saya pikir asistennya Ibu," ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. Dia tersenyum, manis juga."Sudah gek sana bikin nota, Emak tunggu di sini saja!" ucap Emak dengan menyandarkan tubuhnya."Mari Mbk, kita ke kantor," ajaknya.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status